Ronce melati panjang dengan beberapa mawar merah telah terpasang di sisi sebelah kanan, di atas hijab yang dikenakan. Sebelah kiri dipasangkan ronce lebih pendek dengan bunga kantil di bagian bawahnya. Cunduk mentul menari-nari indah saat Aliyah menggerakkan kepalanya. Meskipun memakai hijab, hiasan pengantin adat Jawa masih terpasang lengkap pada tubuhnya. Kalung susun tiga juga terpasang indah pada leher. Gelang paes sebagai simbol keabadian cinta sepasang suami istri melingkar cantik di kedua pergelangan tangannya.
Tak beda jauh dengan yang Aliyah kenakan, Haidar pun mengenakan pakaian pengantin khas Jawa senada dengan Aliyah. Satu jam lagi acara resepsi akan dilaksanakan. Tak banyak yang diundang dalam resepsi pernikahan mereka, sekitar 500 orang saja. Undangan diperuntukkan bagi keluarga besar Haidar dan Aliyah, teman sejawat mempelai laki-laki, sahabat sang pengantin perempuan dan beberepa kenalan orang tua mereka berdua. Raut kebahagian terpancar jelas di antara keluarga mereka. Di atas pelaminan Haidar masih terus mencari keberadaan Zafran. Acara resepsi sudah dimulai sejak sepuluh menit lalu, tetapi sahabatnya itu belum terlihat kahadirannya. "Bun, Haidar ke belakang dulu. Boleh?" tanya Haidar kepada bundanya, yang berdiri tepat di sampingnya ditemani kakak ipar sebagai pangganti Abi yang telah berpulang. "Nyang ndi tho, Le (ke mana, sih, Nak)?" "Haidar lapar, Bun. Pengen maem, gak lama, kok. Cuma mau ngambil kue sebagai pengganjal perut saja." Wajahnya sengaja dibuat sedemikian memelas agar bundanya mempercayai. Kenyataan yang ada, Haidar merasa jenuh dengan rangkaian acara resepsi. Dia, hanya ingin menghirup udara yang lebih sejuk di luar tenda tempat resepsi. "Yo, wes. Ojo suwe-suwe lho ( ya, sudah. Jangan lama-lama)! Eling tamune iseh akeh (ingat tamunya masih banyak)." Dengan tatapan mata menghujam Haidar, seolah dia tak mempercayai apa yang dikatakannya. "Inggeh, Bun." Senyum kemenangan tercetak di wajah tampannya. Haidar turun dari sisi kiri panggung pelaminannya, melewati Aliyah tanpa sepatah kata pun. Sedari status halal telah dipatenkan, dia belum sekalipun berbincang dengan Aliyah. Dia, hanya membacakan doa pengantin dan memasangkan cincin pernikahan di jari manis sebelah kanan istrinya tanpa satu kata pun terucap. Sebenarnya, Haidar tak tega melihat Aliyah yang menatapnya dengan penuh tanda tanya, tetapi semua ia acuhkan begitu saja. Sepotong kue dan segelas jus jeruk menemani Haidar menikmati udara di luar tenda resepsi. Acara resepsi pernikahan diadakan di pelataran rumah Haidar. Di bagian belakang rumahnya terdapat beberapa tanaman buah-buahan seperti jambu bangkok, pisang dan rambutan. Di bawah pohon rambutan ada sebuah bangku yang sering ia dan bundanya duduki sekedar melepas penat atas aktifitas harian mereka, di sinilah Haidar berada. Merenungi segala yang telah terjadi hari ini. Mampukah aku menjalani pernikahan ini, selayaknya mereka yang menikah berdasarkan rasa suka sama suka kepada pasangannya. Entah sampai kapan aku bisa menerima kehadiran Aliyah sepenuhnya dalam hidupku. Sejenak bertanya lebih penting dari jawabannya. Seperti aku yang sekarang tak kuasa menerima takdir jodoh yang telah dituliskan, tetapi akan selalu ada doa-doa yang kupintakan saat riak-riak itu datang nanti. Tepukan lembut di pungung mengakhiri semua monolog hati Haidar. Ada Zafran yang tersenyum melihat keadaan sahabatnya itu. Dia mulai duduk di samping Haidar setelah mengucapkan selamat. Kedua tangannya ia rentangkan disandaran kursi sambil duduk menyilangkan kaki. "Jika, kehilangan cinta yang tak jelas muaranya, lantas Allah memberimu kebaikan dan pahala yang tak terhingga yaitu surga. Kenapa tidak? Yakinkan hatimu bahwa semua ini kamu lakukan semata-mata karena ibadah kepada Allah." Kata yang Zafran ucapkan seolah jawaban pertanyaan hati Haidar. "Terus terang aku masih butuh waktu, Sob." Diteguknya jus jeruk untuk mendinginkan hati dan tenggorokannya. "Jika mendengar kabarnya membuat dadamu kembali sesak, hatimu kembali rapuh dan pikiranmu kembali bimbang. Maka, cukupkan dirimu! Jangan lagi menabur pasir diatas luka yang sedang dalam usaha sembuh. Cukup! Buang jauh-jauh semua harapanmu kepadanya. Ada seseorang yang harus kau prioritaskan saat ini. Biarkan dia bahagia bersama kekasih halalnya. Jangan bebani hatimu dengan terus memikirkan seseorang yang tak pantas kau pikirkan!" Haidar berusaha memahami nasihat Zafran. Apa yang dikatakan sahabatnya itu benar, tak ada salahnya jika melepas cinta yang tak bermuara. Haidar tahu dari informasi salah satu temannya kemarin yang ada di bagian litbang data alumni komisariat bahwa Ghazala Hazimah telah menikah. Kulepas dirimu hanya karena berharap Allah akan memberikan yang terbaik bagiku. Aliyah Fadwah bagaimanapun keadaanmu, kau adalah tanggung jawabku di dunia dan di akhirat nanti.Happy Reading*****"Mas, aku seorang perempuan yang bisa merasakan sedih dan juga khawatir jika ada sahabat atau bahkan orang di sekitar kita yang mengalami masalah. Contohnya seperti Mbak Azza," sahut Aliyah, menjawab perkataan sang suami sebelumnya. "Aku pasti memprioritaskan kesembuhan dan kesehatanku karena aku ingin hidup selama mungkin bersama njenengan, tapi jika aku nggak bisa lepas dari rasa was-was akan kesehatan Mbak Azza."Haidar terdiam mendengar semua penjelasan yang diucapkan wanita yang terbaring lemah di hadapannya. Aliyah sudah sangat jauh berbeda dari pertama yang dikenalnya. Kini, perempuan itu lebih bijaksana dan berhati-hati saat berkata apalagi ketika hatinya tidak sependapat dengan Haidar."Mas, ayolah. Jangan pelit memberitahukan tentang keadaan Mbak Azza. Aku juga perlu tahu tentang keadaannya." Aliyah menyentuh lengan sang suami dengan tangannya yang terbebas dari selang infus karena Haidar terlihat diam dan pandangannya lurus seperti ada banyak beban di pi
Happy reading*****Melangkahkan kaki dengan perasaan jengkel, Haidar benar-benar tidak mengerti dengan pemikiran Hazimah. Bukankah pembicaraan mereka semula sudah jelas bahwa mereka telah saling memaafkan dan berusaha berdamai dengan masa lalu. Namun, mengapa kalimat terakhir yang terlontar tadi seakan mengoyak harga diri Haidar sebagai seorang lelaki. "Huh, harus seperti apa lagi aku bertindak agar kebencianmu itu mereda," gumam Haidar sepanjang perjalanan menuju rumah sakit tempat Aliyah dirawat.Sekitar lima belas menit kemudian, lelaki itu sudah berhasil memarkirkan kendaraannya di halaman rumah sakit. Penuh kerinduan, Haidar keluar dan berjalan cepat menuju ruang perawatan sang istri. Setelah sampai di depan kamar inap Aliyah, Haidar sengaja mengintip dari kaca pintu. Melihat keadaan sang istri di dalam."Maaf, ya, Sayang. Terlalu lama, Mas, ninggalin kamu. Sampai tertidur pulas begitu," gumam Haidar sambil mencoba membuka pintu sepelan mungkin. Namun, pintu tersebut tetap meni
Happy Reading*****"Andai tak pernah ada fotomu yang aku coret dengan tinta merah, Mas Zafran nggak akan pernah curiga dan bertanya macam-macam," sahut Hazimah, "mengapa ... mengapa takdir kita bertiga harus seperti ini?"Deg ... Jantung Haidar rasanya akan terlempar keluar saat itu juga ketika mendengar pengakuan jujur Hazimah."Ya Allah. Segitu bencinya kamu padaku."Hazimah membuang muka, mengusap kembali lelehan air matanya. Ya, perempuan itu memang sangat membenci Haidar walau dulu sempat mengagumi lelaki tersebut. Namun ternyata, perangai dan tingkah laku Haidar membuat rasa kagum itu hilang."Enggak heran jika kamu membenciku sampai berbuat segitunya. Aku juga ikut andil menumbuhkan perasaan itu," tambah Haidar setelah beberapa menit, perempuan berjilbab di depannya terdiam."Nggak seperti itu, Ain. Aku saja yang terlalu kekanakan. Mungkin, saat itu usia kita masih terlalu muda dan egois. Jadi, aku menumpahkan semua kekesalan itu pada fotomu." Tangis Hazimah kembali pecah.
Happy Reading*****Haidar tersenyum setelah mematikan sambungan telepon dengan Aliyah. "Al ... Al, kamu itu benar-benar sudah mengubah hidupku. Dari yang semula tidak berwarna sama sekali, menjadi begitu berwarna," gumamnya. "Mas," panggil Yana ketika Haidar terlihat tidak sibuk dengan ponselnya."Ya, Tan?""Kenapa lama sekali Azza keluar dari ruangan itu?" tanya perempuan paruh baya tersebut. "Sabar, Tan. Mungkin tindakannya memerlukan cukup banyak waktu," jawab Haidar.Yana pun mengangguk dan kembali duduk, menunggu dokter atau salah satu tim medis keluar dari ruangan tersebut. Beberapa puluh menit menunggu, Hazimah keluar dari ruangan tersebut memakai kursi roda. Yana dan Haidar pun mengucap syukur karena melihat wajah perempuan itu yang sedikit cerah dari sebelumnya. Hari mulai terlihat gelap, awan putih yang menghiasi langit kini telah berganti warna menjadi kekuningan. Haidar membuka pintu rumah Yana dengan cepat agar Hazimah segera beristirahat. Dari belakang Haidar, pere
Happy Reading*****"Mas, ih," ucap Aliyah sambil mengerucutkan bibirnya. Lalu, meminta sang mertua membantunya mengubah posisi menjadi setengah duduk. "Tunggu, ya."Tangan kiri Haidar kini berada di bawah dagu, menunggu Sania yang membantu Aliyah duduk di pembaringannya. Sekali lagi, dia melihat ketidakberdayaan Aliyah karena penyakitnya. Ah, suami mana yang tidak sedih jika sudah melihat seorang istri kesakitan seperti itu. Haidar berusaha menahan genangan air yang mulai terkumpul di pelupuknya."Mas, kamu nggak apa-apa?" Terdengar suara Aliyah menyapa. Haidar mencoba menganggukkan kepala demi menjaga suasana hati sang istri. "Bagaimana keadaan Mbak Azza? Dia kenapa, Mas?" Sekalipun keadaan Aliyah sakit, ternyata masih ada kekhawatiran terhadap keadaan Hazimah. Haidar begitu salut dengan sikap perempuan yang dinikahinya itu. Sungguh, Haidar begitu menyesal telah mengabaikan Aliyah di awal pernikahan mereka."Dia masih dalam ruang penanganan." Tak ada kalimat yang bisa Haidar sampai
Happy Reading*****Haidar keluar dari ruangan dokter yang menangani Hazimah. Keseluruhan jasadnya menjadi lemah setelah mendengar penjelasan tentang kondisi janin, bakal calon anak Zafran. Masih dengan pikiran yang berkelana ke segala arah, Haidar duduk di sebelah Yana. "Apa yang dokter katakan, Mas?" tanya Yana. Tatapan penuh pengharapan dari seorang ibu yang telah kehilangan putranya jelas sekali terlihat oleh Haidar. Hampir ... hampir saja Haidar meneteskan air matanya. Namun, ketika melihat raut kesedihan di mata perempuan yang telah melahirkan Zafran itu, Haidar berhasil menghalau semuanya. Lelaki itu mendongakkan kepala agar air matanya tidak terjatuh dan Yana tidak melihat kelemahannya saat ini."Tante, maafkan saya jika telah lancang mendahului dan menyetujui saran dokter untuk mengambil tindakan pada Hazimah." Haidar menggeser posisi duduknya agar lebih dekat dengan Yana. Tangan kanannya berusaha menggenggam jemari perempuan yang sudah dianggapnya Ibu sendiri untuk menenan
Happy Reading*****"Mbak, tolong sekali ini saja," pinta Yana bahkan perempuan paruh baya itu sampai harus menangkupkan kedua tangannya agar sang menantu tidak memikirkan hal lain, selain keselamatannya dan janin yang dikandung. Sebuah isyarat persetujuan dari Hazimah, membulatkan tekad Haidar menyentuh istri sahabatnya itu. "Ayo, Tan," ajak Haidar ketika dia berhasil membopong Hazimah. "Hati, ya, Mas, Bu. Saya pamit juga," kata sang Bidan.Gegas mereka masuk ke mobil dan melaju ke klinik sang dokter obstetri, hanya sekitar 15 menit ketiganya sudah sampai. Tak perlu banyak perkataan, ketika Yana turun dan memanggil perawat untuk segera menangani sang menantu. Haidar dengan sigap kembali membopong Hazimah. Kali ini, perempuan itu tidak protes sama sekali, keadaan yang begitu lemah itulah penyebabnya.Dalam gendongan Haidar, Hazimah merapalkankan istigfar lirih dengan mata terpejam. Dari jarak beberapa langkah di depannya, Haidar melihat perawat yang mendorong ranjang. Di sampingnya
Happy Reading*****"Iya, beliau mengatakan jika Hazimah mengeluhkan kondisi perutnnya," Haidar mennatap sang istri, seolah meminta persetujuan untuk menjenguk istri almarhum sahabatnya itu."Mas, njenengan harus segera datang menolong mereka. Aku takut Mbak Aza kenapa-napa. Njenengan kan tahu kalau di rumah itu nggak ada lelaaki," kata Aliyah yang juga mulai panik mendengar penjelasan Haidar."Al, Mas minta maaf. Mungkin, enggak bisa menemanimu seharian ini." Haidar mencium pucuk kepala Aliyah. "Bunda segera datang, beliau sudah ada di parkiran saat ini. Maaf, ya, Sayang." Panggilan terakhir yang diucapkan lelaki itu membuat Aliyah berbunga-bunga, meskipun dalam keadaan yang tidak baik-baik saja. Sekali lagi, Haidar mencium istrinya, tetapi tidak di bagian kepala melainkan di kedua pipi dan juga keningnya."Mas, tenang saja. Al, nggak masalah kalau ditinggal njenengan. Keselamatan Mbak Azza jauh lebih penting saat ini. Dia sudah menjadi bagian dari tanggung jawabmu setelah kepergian
Happy Reading*****Haidar menatap Aliyah dengan tatapan seperti waktu pertama kali perempuan itu bertanya dan mengajak suaminya melakukan hal-hal romantis. Tatapan yang senantiasa membuat jantung si perempuan berdetak lebih cepat bahkan mungkin segera copot. Begitu menegangkan sekaligus misterius."Al, jangan pernah mendahului kehendak Allah. Semua mungkin jika Allah sudah menghendaki. Kita sebagai hamba-Nya, hanya perlu berdoa dan pasrah. Kamu enggak boleh mengatakan hal seeburuk itu lagi. Apa kamu enggak mau menua bersama Mas dan anak-anak kita nantinya?" Sendok yang berisi makanan di tangan Haidar kini berpindah ke mulut Aliyah. Lelaki itu dengan telaten menyuapi istrinya. "Jadi, kamu harus semangat untuk sembuh supaya semua impian kita segera terwujud," katanya sambil menaikkan garis bibirnya."Mas," panggil Aliyah ketika makanan yang masuk ke mulutnya sudah berhasil Aliyah telan. "Kenapa, Al?""Seandainya, kita nggak pernah diberikan amanah keturunan, apa yang akan njenengan la