Share

Ch 2. Pura-pura Bahagia

Wanita muda itu menutup mata, mencoba tidur. Tetapi rasa perih dan ngilu di perutnya, membuatnya terus mengerang kesakitan. 

Kepalanya terasa pusing dan  perdarahannya belum juga berhenti. Bianca membuka matanya dan menatap langit-langit  kamarnya. 

Dia mendesah sedih memandang sekeliling kamarnya. Walau semua benda di kamarnya seakan berteriak mahal, tapi kemewahan yang melimpah tidak berarti apa-apa bagi Bianca sekarang. 

Dengan limbung berjalan ke kamar mandi untuk kembali mengganti pembalut. 

Sambil menghela napas, wanita itu menatap bathup. Berendam dengan air panas di dalam bak sepertinya akan menyenangkan.

Wanita itu mulai mengisi air hangat dan masuk, merendam seluruh tubuhnya, pilu di perutnya sedikit mereda, namun hatinya terasa kosong dan kesepiannya semakin menjadi-jadi. 

Dengan kepala terasa berputar, wanita muda itu merendam dirinya dan menikmati sensasi kehangatan air panas memeluk dirinya.

Bianca lalu mengambil obat penenang yang diberikan dokter, dan meminumnya dengan anggur. Bianca merasakan pahit dan asam anggur masuk ke tenggorokannya. 

“Anakku, haruskah mama ikut kamu?” tanya Bianca lemah. Dadanya terasa sesak, “Buat apa sampah tetap hidup? Lebih baik aku menyusul anakku.” pikirnya frustrasi. 

Dia lalu teringat papanya dan mendesah sedih.  “Aku juga tak akan lagi menyusahkan papa, dia juga pasti lebih bahagia jika tidak ada lagi anaknya yang bermasalah seperti aku” isaknya frustasi. 

Dia merasa sangat kesepian dan sendirian. Tidak ada yang benar-benar peduli kepadanya.

Rencana Bianca sebenarnya sangat sederhana, jika dia hamil dia akan bisa menikah dengan Kevin. 

Tapi semua itu gagal, pria itu melarikan diri tanpa mau bertanggung jawab. Hidup bebas tanpa ada cengkraman dari mama tirinya pun menguap bagaikan mimpi. Bianca yang polos sudah ditipu dan dikhianati. Anaknya pun kini hilang. 

"Lalu buat apa aku masih bernapas?" Bianca menatap sekeliling kamar mandi mewahnya dan menatap silet cukur yang ada di samping bathtub dan menghela napas panjang. 

Dengan mendesah kesal, Alice melangkahkan kakinya menaiki tangga dengan berat demi membawakan susu untuk Bianca. 

Menurut bidan yang membantu aborsi tadi, susu bisa membantu memulihkan kandungan. 

Calon besannya sudah bercerita kalau dia menginginkan cucu dengan cepat, karena itu, kondisi kandungan Bianca harus cepat pulih. 

Alice sudah promosi besar-besaran mengatakan kalau anaknya itu sedang masa subur saat malam pernikahan nanti.

Dengan pernikahan dalam beberapa bulan, Bianca harus siap kembali hamil. Wanita paruh akhirnya sampai di kamar anak tirinya yang ditandai dua pilar dari marmer putih. 

Karena cintanya pada anaknya, papa Bianca memberikan kamar yang terluas bagi putrinya. Hal itu selalu membuat dongkol Alice. 

Wanita paruh baya itu lalu mengambil kunci dari kantongnya dan membuka kunci kamar. 

Hidungnya kembali menangkap bau keringat di kamar yang pengap itu. Walau pendingin ruangan berjalan, tapi entah kenapa kamar Bianca selalu terasa pengap. 

Kakinya melangkah sampai dia terhenti karena menatap tempat tidur yang kosong, dengan panik dia berlari dan membuka jendela. Alice menghela napas lega saat tidak ada tanda apa-apa di jendela.

“Dia tidak melompat turun, syukurlah,” pikirnya panik, lalu mendengar gemericik air di kamar mandi. Dia segera menuju kamar mandi dan mengetuk pintunya dengan tidak sabaran.

“Anak bodoh, bagaimana kamu bisa mandi di jam 1 pagi!” teriaknya menggedor pintu dengan kasar.

“Buka pintunya, BIAN!” teriak Alice menggelegar, tapi Bianca masih belum membuka pintunya, dengan tidak sabar Alice membuka pintu dan menjerit tertahan saat melihat bathtub yang berwarna merah. 

Bau anyir darah tercium dan membuatnya mual. Hanya ujung kepala Bianca yang terlihat, dengan tangan tangan masih mengeluarkan darah. 

“Anak brengsek! Menyusahkan saja,” makinya sambil segera memanggil karyawannya.

Semakin banyak pekerjaan yang harus Alice perbaiki sekarang. Dengan segera Bianca dibawa ke rumah sakit. Tapi sial bagi Alice, golongan darah keluarga Thomas ternyata langka. 

Untuk menyelamatkan nyawa Bianca, wanita itu harus mendapatkan transfusi darah segera. 

Setelah mengerahkan segala kemampuannya, Alice akhirnya harus menghubungi papanya Bianca dan mengaku dosa.

Bara marah sekali dengan istrinya. Bianca anak perempuan satu-satunya dalam keadaan kritis dan wanita itu baru memberitahukan berita itu saat Bianca sangat membutuhkan darahnya untuk bertahan hidup. 

Dia menatap tidak percaya kepada Alice yang hanya bisa menangis. Pria itu segera mengambil penerbangan paling pagi dan untungnya masih sempat untuk mendonorkan darahnya demi Bianca. 

Kini dia hanya bisa berharap keajaiban, nyawa anaknya harus  dapat diselamatkan. 

Pria itu berjalan mondar mandir di depan ruang operasi dan berjanji di dalam hati, apapun yang diminta anaknya, dia akan kabulkan, dia akan lebih memperhatikan anaknya mulai dari sekarang. 

Pria itu memandang jam tangannya sudah 2 jam setelah Bianca menerima transfusi darah, seharusnya sudah ada berita dari dokter. 

Dia menggeram kesal menatap pintu coklat ruang operasi lalu duduk di samping istrinya yang masih menangis sesegukan. 

“Maafkan aku, Bara, aku tidak tahu bagaimana dia bisa berpikir untuk melakukan aborsi, lalu menyayat tangannya, andai dia bercerita denganku, aku pasti melarangnya untuk melakukan semua itu, kamu tahu kan aku menyayangi Bianca seperti anakku sendiri,” ucap Alice merajuk masuk dalam pelukan suaminya. 

Pria itu mendesah kesal tapi akhirnya membalas pelukkan istrinya. Setelah kehilangan mamanya Bianca saat Bianca masih kecil, Bara berjanji tidak akan memarahi istrinya, lagipula  dia tahu istrinya sangat menyayangi Bianca, wanita itu tidak pernah kasar pada Bianca. 

Anak perempuan satu-satunya itu sudah Alice anggap sebagai anaknya sendiri, setelah mengetahui kalau dirinya tidak bisa mempunyai anak. 

“Pasti hatinya ketakutan sekali saat berpikir akan kehilangan anaknya” pikir Bara kasihan dengan istri keduanya, dia benar-benar tertipu dengan sandiwara Alice yang piawai.

“Kasihan kamu, pasti kamu takut sekali saat menemukannya tadi. Untung kamu mau membawakannya susu hangat, kalau tidak, dia pasti akan terlambat ditemukan,” ucap suaminya sambil mengecup keningnya. 

Tubuh Alice yang tadinya dingin merasa diguyur dengan air hangat. Dia dapat bernapas lega kembali, suaminya seperti biasa dapat dibodohi dengan mudah. 

Tadinya wajah pria itu terlihat sangat marah, untung dia dapat berakting dengan sempurna. 

Tapi memang, Alice juga sangat bersyukur, karena dia menuruti apa kata bidan tadi, untuk membawakan susu hangat bagi Bianca, kalau dia tidak, bisa-bisa kesempatannya berbesanan dengan pemilik Goro Grup gagal. 

“Anak bodoh itu harus segera dinikahkan, jika dia mau bunuh diri, nanti setelah menikah, setelah mereka sudah menjadi besan Goro Grup.” pikirnya dalam hati. 

Alice segera bergelung di dada suaminya dengan nyaman. “Pria ini walau tua tetap saja tampan, pikirnya dalam hati mengagumi wajah suaminya.

“Pihak Goro sudah tahu? Ada yang memberitahukan Noel?” tanya Bara tiba-tiba membuat hati Alice mencelos jatuh sampai ke perutnya.

“Eh .... apakah harus mereka tahu? Toh mereka sudah sepakat menikahkan Bianca dengan Noel? Noel juga sudah setuju?” tanya Alice takut-takut, pura-pura bodoh. 

“Itu tidak ada hubungannya, Alice, Noel harus tahu keadaan calon istrinya,” sergah Bara bingung.

“Kata kamu, pria itu jatuh cinta pada Bianca pada pandangan pertama?” tanya Bara heran.

“Iya, karena itu aku tidak mau membuatnya panik, biarlah dia tidak perlu tahu. Hanya mungkin sebaiknya pernikahan dipercepat. Mungkin Bianca merasa kesepian setelah ditinggal begitu saja dengan kekasihnya yang kurang ajar itu, sehingga dia menjadi nekad seperti ini” ujar Alice pura-pura geram.

“Sudah kamu coba tanyakan siapa kekasihnya?” tanya Bara menatap mata istrinya yang segera membuang pandangannya. 

“Sudah, tapi Bianca tidak mau memberitahuku, dia sepertinya terlalu kecewa, harusnya aku tidak meninggalkannya sendiri, dia pasti kesepian, aku yang salah, jangan marahi Bianca, salahkan aku yang kurang memperhatikannya,” ujar Alice menangis dengan hebohnya, membuat Bara melupakan rencananya mencari kekasih Bianca.

“Oh, sayang aku tidak akan menyalahkanmu, kamu sudah menjadi ibu yang baik bagi Bianca, baiklah, kita akan mempercepat pernikahan Bianca dan Noel.” Bara segera memeluk istrinya yang tersedu-sedu. 

"Kamu memang paling mengerti aku, sayang."

Bara mengecup kening sambil memeluk istrinya. 

“Oh Bianca kamu sangat beruntung memiliki mama tiri seperti Alice, dia sangat mengasihimu sampai mau menerima kesalahanmu sebagai kesalahannya. Mengapa kamu melakukan ini nak?” pikir Bara sambil menatap lampu tanda operasi yang masih juga belum berubah warna. 

Saat mata Bianca terbuka, dilihatnya wajah papanya yang menangis. Dia tersenyum ingin meraih papanya, ia ingin bercerita semuanya pada papanya seluruh isi hatinya. Namun semua segera dia urungkan saat melihat Alice yang menangis terharu di sebelah papanya.

“Oh dia sadar Bara, dia sudah sadar!” pekik Alice gembira, kali ini dia tidak berakting, dia sungguh-sungguh senang. 

Dengan siumannya Bianca, maka pernikahan terjadi. Segala kekacauan yang anak tirinya buat, tidak berhasil. Kini, sesuai dengan permintaannya, Bara akan mempercepat pernikahan Bianca. 

Semua tetap berjalan sesuai dengan rencananya. Alice tidak dapat berhenti tersenyum. Goro Grup, bersiaplah.

“Bagaimana keadaanmu sayang? Kamu bahagia kan? Kamu akhirnya menikah dengan pria yang kamu sangat cintai?” tanya  Bara pada putrinya saat hingar bingar pesta pernikahan mereka berakhir. 

Anak perempuannya tersenyum dan menatapnya.

“Bahagia papa, aku sangat bahagia,” ucap Bianca lirih. Alice mengangguk senang akan jawaban Bianca yang sudah dia atur dari jauh-jauh hari.

“Jika kamu bahagia, maka papa akan bahagia, sayang.” 

Bianca menerima pelukan papanya lalu masuk ke dalam mobil pengantin putih yang akan membawanya pulang ke rumah barunya bersama Noel Klein. 

Dia melambai sambil terus berpura-pura bahagia.

“Aku bahagia papa, setidaknya di hadapanmu aku bisa berpura-pura bahagia.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status