“Nasi goreng, kalau boleh.”
Dia makan nasi goreng buatan ibu tua itu, yang ternyata lezat sekali.
Melihat meja makan yang besar dan kaku, Bianca merasa semakin kesepian, karena itu Bianca lebih memillih duduk di samping kolam renang yang jernih airnya. Matahari terasa hangat di kulitnya, Bianca menatap air kolam beriak-riak terkena angin sambil tersenyum tipis.
”Aku boleh berenang,” pikirnya dalam hati dengan gembira.
Wanita itu menghela napasnya sambil merebahkan tubuhnya di kursi kolam yang berbantalkan bermotif daun pisang.
Malam pertama sudah berhasil dia lewati dengan aman, bagaimana dengan malam-malam berikutnya?
Sebenarnya bukan salah Noel, mereka sama-sama terperangkap dalam pernikahan ini, dan sudah seharusnya jika dia meminta haknya, Bianca harus menerimanya. Tapi jika bisa mengelak, Bianca akan sangat bersyukur.
Hatinya masih sesak dengan Kevin yang kabur dari kehidupannya, lalu anaknya yang direnggut paksa.
Air matanya mengalir lagi, lalu dia menghapusnya segera jangan sampai ada yang melihatnya menangis. Untuk sementara waktu, dia akan sulit mempercayai pria. Terutama pria yang terpaksa menikahinya. Dia tahu, dia tidak boleh berharap apa-apa.
Mereka hanya orang asing yang disatukan oleh satu kepentingan.
Bisnis.
…
Dengan langkah mantap, seperti biasa Noel memasuki gedung kantornya— gedung di mana dia benar-benar bisa berkuasa tanpa ada campur tangan mamanya.
Papanya kadang masih datang untuk memeriksa, tapi dia sudah menyerahkan segala otoritas pada Noel.
Namun, anehnya Emily dan Andi sekretaris dan asistennya tidak menyapanya di depan kantornya seperti biasa. Dengan gusar dia memasuki ruangan kantornya.
Dia segera menekan tombol di handphone-nya dengan kesal.
"Pagi Pak," sahut Andi di dering pertama.
"Kamu di mana?"
"Di-di proyek pak," jawab asistennya dengan takut-takut.
Noel mendesah kesal. “Bisa-bisanya anak buahnya pergi ke lapangan sendiri!” desisnya dalam hati dengan kesal.
“Ba-bapak bukannya mau bulan madu?” Hati Noel mencelos.
“Ah benar kemarin mamanya ada bicara sekilas, dia juga harus melakukan bulan madu.
Dengan kesal dia mematikan teleponnya dan kembali mengambil tas kerjanya.
“Sial, dia harus kembali pulang,” makinya dalam hati meninggalkan pekerjaan yang menjadi perlindungannya selama ini.
Emily mendekati makhluk yang seperti bidadari yang tertidur di tepi kolam. Semalam dia sudah melihatnya, putih dan pucat. Tapi sangat cantik bagaikan peri di film Lord of The Ring.
Kini makhluk itu tertidur di tepi kolam dengan gaun putih berenda, jika dia pria, Emily pasti akan segera jatuh cinta dengan wanita itu, pikirnya dengan kagum. Sangat pantas dia menjadi istri seorang CEO.
“Tapi kenapa dia tidur disini? Dimana Pak Noel?” tanya Emily dalam hati.
“Umm … maaf,” ucapnya yang ternyata sangat mengejutkan wanita itu, dia memekik ketakutan, seperti terbangun dari mimpi yang menakutkan. Matanya yang keemasan menatap Emily dengan takut.
“Siapa?” Suaranya begitu pelan sampai Emily hampir tidak dapat mendengarnya.
“Saya Emily sekretaris Pak Noel, saya mau bantu menyiapkan keberangkatan kalian ke Pulau Goro.”
Bianca menegakkan tubuhnya, dan menatap bingung ke arah Emily seperti kata-katanya tidak masuk akal.
“Pulau Goro, buat apa?”
Sekarang Emily yang bingung, kadang jalan pikiran orang kaya susah dia mengerti, dia menahan dirinya, dan tersenyum.
“Bulan madu? Anda akan pergi bulan madu kan?” jawab Emily sopan. Wajah pucat wanita cantik itu kini semakin pucat, dia terbelalak menatap Emily.
“Hmm, apakah semalam Pak Noel terlalu ganas, sampai wanita ini terlihat begitu ketakutan?” pikir Emily dengan bingung, tapi dia belum sempat berkata apa-apa lagi, terdengar suatu kegaduhan dari belakangnya.
Ada bunyi piring dibanting dan teriakan, makian tak senonoh terdengar merusak telinga.
“Oh…, Madam sudah datang,” desah Emily segera merapikan pakaiannya, lalu dengan segera membantu wanita malang di sebelahnya untuk berdiri dan merapikan gaun putih wanita itu.
Sebenarnya dia sudah sangat cantik dan sempurna, tapi untuk Madam, Einstein saja kurang pintar. Sehingga sudah pasti, dia bisa menemukan kesalahan istri baru tuannya.
“Ayo cepat, kita harus menyambutnya,” ujar Emily segera menarik wanita itu masuk ke dalam. Wanita itu dengan bingung mengikuti Emily tanpa bicara apa-apa.
Madam adalah versi lebih tuanya dari Alice, mereka sangat mirip bahkan gaya rambut pun sama, digelung rapi membentuk konde di belakang.
Wanita paruh baya itu mengenakan gaun kemerahan dengan corak burung merak yang mewah, yang sepertinya, Bianca pernah melihat Alice mengenakannya, hanya versi berwarna hijau. Wanita itu tersenyum mengerikan saat melihat Bianca.
Saat pertama kali melihat wanita itu, Bianca sudah tahu kalau wanita ini mirip dengan Mama tirinya, tapi kini dia yakin kalau dia persis sama dengan Alice. Semua diperhitungkan, dan tidak tulus.
Mata wanita itu langsung menatap Bianca dari ujung kaki ke ujung rambutnya. Bianca merasa ditelanjangi dengan pandangan mata Karen yang tidak sopan.
“Ah, anakku Bianca, semalam kamu terlihat cantik sekali, apakah kamu lelah? Mama hanya ingin mengantarkan kalian untuk bulan madu. Kalian bisa menggunakan pesawat kami, sudah Mama siapkan semua, asal pulang kamu membawa cucu,” ujar wanita itu tanpa basa basi mengucapkan keinginannya.
Emily segera membuang pandangan matanya, tapi sial, sikap itu segera mengundang protes dari wanita paruh baya di hadapannya.
“Kamu sudah siapkan semua kan? Jangan sampai ada yang salah, semua harus persis sama seperti yang saya atur!”
Mata Karen melotot menatap Emily tanpa ada keramah-tamahan bohongan yang dia berikan pada Bianca.
“Sudah, Madam,” jawab Emily takut, dia menunduk menatap ujung sepatunya.
Wanita itu kembali menatap Bianca dan tersenyum dibuat-buat.
“Bagaimana keadaanmu, kamu harus makan yang sehat, Mama sudah pecat Bibi tadi, apa-apaan dia kasih sarapan kamu nasi goreng, kamu harus makan yang sehat, kamu kan calon ibu,” ujar wanita itu menyentuh pundak Bianca.
Menantunya itu bergidik saat merasakan sentuhan Karen, tapi untungnya dia tidak menyadari itu karena melihat anaknya datang dengan tergesa-gesa.
“Mama? Mama sedang apa kemari?” ucap Noel terengah-engah. Pandangan pria itu hanya tertuju pada mamanya.
“Kamu kemana saja, Mama sudah setengah jam disini, kenapa kamu baru muncul?”
Suaminya datang dengan terburu-buru, rambutnya yang agak panjang melambai, semalam Bianca kurang memperhatikannya karena sibuk menyalami tamu.
Dia hanya merasa ada manekin yang berdiri kaku di sebelahnya. Siapa sangka hatinya bereaksi aneh saat mengetahui dia datang menghampiri mereka.
Ternyata suaminya tampan juga. Hidungnya tinggi, bibirnya penuh, rahangnya tegas, dan tatapannya tajam. Sangat laki-laki.
Pria itu mengenakan jas kerja buatan designer terkenal membuatnya terlihat sangat berbeda dengan pria yang Bianca peluk tadi pagi.
“Eh, kenapa Aku tiba-tiba kembali teringat dengan pelukan mereka tadi pagi ya?” pikir Bianca segera membuang pandangannya ke kolam renang.
“Aku, ke kantor, ada yang harus aku tanda tangani,” ujar pria itu berbohong, dia terkejut melihat Emily yang ada di belakang mamanya. Wanita itu menggeleng pelan seakan memberikan kode.
“Oh, tanda tangan di saat kamu seharusnya bulan madu?” desis Karen dengan tatapan mematikan.
Noel segera merasa sangat bersalah, kenapa dia tidak berpikir mamanya akan datang dan memeriksa? Dia menyesal dan menundukkan kepalanya.
“Kamu tahu istrimu makan apa?” desis mamanya lagi, hati Noel mencelos, baru menyadari Bianca juga ada disana.
Wanita itu menunduk dan menghindari tatapan matanya, seketika Bianca menyesal memilih nasi goreng sebagai sarapannya. Noel hanya bisa diam merasakan tatapan menusuk Karen.
“Dia makan nasi goreng! Bagaimana bisa menghasilkan bayi yang sehat kalau dia makan nasi goreng buat sarapan!” teriak Karen emosi.
Leon menatap kesal, istrinya yang mogok jalan dan hanya mau duduk di kantin rumah sakit. Walau sudah terlihat berumur, tapi Karen tetaplah wanita yang sangat cantik. Tubuhnya kini tidak seraping dulu, malah agak gempal, tapi hal itu yang membuat dia terlihat menggemaskan. Ya setidaknya di mata Leon, bukan rahasia lagi kalau banyak yang membenci Karen, kadang Leon sendiri jika tak mencintai istrinya mati- matian, juga membenci kelakuannya yang sering di luar nalar.“Tak seharusnya kita bertanya seperti tadi.” Leon bergumam sedikit, lebih ke diri sendiri. “Kita? Kamu kan yang tanyak!” sentak wanita di hadapannya dengan bibir panjang beberapa senti.“Iya aku, aku yang tanya kok tadi,” desis Leon kembali dengan nada meninggi.“Iya kamu, harusnya nanyaknya lebih pelan- pelan, sekarang kita diusir gara- gara kamu!” ucap Karen segera menyalahkan suaminya, lupa kalau dia yang berteriak lebih keras tadi.Leon sudah menarik napas untuk membalas ucapan istrinya, tapi menahan diri saat melihat
Noah memandang ke arah Noel yang sedang menciumi tangan Bianca. Air mata yang mengalir tak pernah diusap menandakan kalau Noel sama sekali tak peduli dengan sekitarnya. “Umm … Noel, sepertinya kamu ga boleh angkat tangannya dulu, dia,-” Ucapan Emily terhenti saat Noel menatapnya dengan penuh kesedihan.“Jangan egois, kamu nggak denger apa kata dokter tadi, dia ga boleh banyak gerakan dulu!” desis Noah menarik tangan Noel sehingga tangan Bianca terjatuh ke atas tempat tidur dengan bunyi ‘puk’ yang agak keras. Emily menarik napas dengan panik karena takut.“NOAH!” omel wanita itu sambil segera memukul pundak Noah dengan kesal.“Dia tak akan kena serangan jantung karena tangannya terjatuh dari ketinggian seperti tadi.” Noah segera membela diri.“Kalau begitu kenapa kamu larang Noel untuk mencium jemarinya?” balas Emily dengan sengit.“Itu kan bukan begitu maksudnya,” jawab Noah dengan suara semakin meninggi.“Maksudnya terus apa?” tanya Emily semakin tak mau kalah.“Kalian berdua bisa g
Kejadiannya begitu cepat, Noel bahkan tak ingat bagaimana jelasnya apa yang terjadi. Saat itu malam pekat dan cahaya hanya berasal dari lampu mobilnya. Noel memaki saat melihat mobil Kevin di pinggir jalan. Apa yang ada dipikirkan Bianca sampai dia mau diajak ke pinggiran hutan seperti ini?Noel segera turun dan mencoba membiasakan matanya dengan kegelapan malam, akhirnya setelah memicingkan matanya Noel bisa melihat ada gubuk kecil yang reyot.Dengan jantung berdebar Noel segera berlari masuk sambil berusaha menguatkan hatinya untuk tetap mengambil video walau apapun yang terjadi. Video itu untuk barang bukti, dia harus bisa mengambil video tanpa ketahuan. Namun saat dia memasuki ruangan, niat Noel untuk mengambil video buyar semua. Perasaannya segera mengambil alih dan entah bagaimana Kevin sudah ada di bawahnya dengan bersimbah darah. “Vrengsek! Bajingan!” ucapnya berkali- kali sambil menonjok Kevin dengan penuh emosi. Pria itu gagal melarikan diri, walau berusaha untuk kabur tap
“Nggak lucu! Balikin nggak!” bentak Emily mencoba meraih tangan Noah yang teracung ke atas.“Nggak, kamu jawab dulu, pilih aku atau Noel!” tanya Noah lagi dengan penuh kecemburuan.“Kamu konyol, ini pasti penting, kembalikan handphoneku, Noah,” bujuk Emily dengan sia-sia karena Noah semakin berjinjit sehingga sudah pasti Emily tak bisa meraihnya.“Aku benci dia! Dia selalu merebut milikku! Keluarga dan sekarang kamu!” erang Noah dengan penuh perasaan. Emily baru saja mau menjawab, tapi malah terdengar dering telepon lain yang membuat mereka berdua terkejut. Telepon kamar, telepon kamar yang tak pernah berdering tiba-tiba berdering kencang. Kali ini, Noah yang tak tau posisi telepon kamar Emily kalah cepat. Wanita itu lebih dulu mengangkat telepon.“Aku nggak ngerti kamu lagi ngapain, kamu tahu kalau aku telepon tengah malam begini pasti ada yang penting!” desis Andi dengan penuh amarah. “Apa?” jawab Emily mengabaikan kekesalan mantan kekasihnya itu. Sekarang jam 3 pagi, Andi tak mu
Kini dingin udara yang membekukan tulangnya tak lagi semerikan yang ada di hadapannya. Tubuh Kevin yang tak lagi menyenangkan untuk dilihat mendekati Bianca. Tatapan mata pria itu begitu mencekam sehingga Bianca begitu takut. Lebih baik dia mati daripada harus melayani mantan pacarnya itu.“Bian … malam ini dingin, sebaiknya kita berdua berbaring dengan hangat, berpelukan,” desah pria itu sambil menurunkan resleting celananya. Bianca seketika menggeleng.“Aku nggak kedinginan,” cicitnya berbohong tanpa guna, karena memang bukan itu maksud Kevin. Pria itu menendang celananya dengan kasar lalu tertawa begitu mendengar ucapan Bianca.“Kalau gitu aku yang kedinginan,” desah pria itu lalu membuka celana dalamnya yang menguning. Bianca segera menutup matanya saat pria itu semakin mendekat. “Kalau kedinginan sebaiknya, pakai lagi bajumu,” erang Bianca menjauhi bau pesing amis yang mendekati indra penciumannya. Entah apa yang ada di hadapannya karena wanita itu menutup mata rapat-rapat sambi
Bianca menahan mual yang kembali melanda dirinya. Mobil Kevin jauh dari kata bersih, bukan hanya karena mobil Kevin adalah sedan tua yang penuh sampah, tapi karena mobil ini juga sangat pengap. Tidak ada AC sedangkan jendela mobil itu tidak dapat dibuka karena macet. Bianca melirik ke arah Kevin mantan kekasihnya yang terlihat sangat marah dengan takut-takut. Tapi sebenarnya bukan itu saja yang membuat Bianca takut, kata-kata Kevin tadi, Noel melihat mereka. Itu adalah satu-satunya penjelasan kenapa rekeningnya tak bisa diakses, siapa lagi yang dapat memblokir rekeningnya kalau bukan Noel? Apa yang akan terjadi nanti? Bagaimana jika Noel akan mengusirnya? Bagaimana jika nanti Noel akan menceraikan Bianca? Seketika itu perut Bianca terasa berputar, mual itu tak tertahankan sehingga apa pun yang tadi wanita itu tahan sekarang naik dan keluar dari mulutnya. Kevin segera memaki dan meminggirkan mobilnya. “Vrengsek!” Pria itu menekan rem dengan kasar sehingga tubuh tipis Bianca terpelan