Tatapan Karen sangat merendahkan Noel. Pria itu segera menelan ludahnya sendiri.
“Kamu jadi suami harus bisa mengatur rumah, Mama sangat kecewa. Sudahlah, sekarang Mama tunggu di ruang piano. Kamu segera bersiap untuk ke pulau Goro, Mama sudah atur semua.”
Wanita segera berbalik dan dengan langkah anggun berjalan menaiki undakan menuju dalam rumah.
Emily tanpa sadar menghembuskan napas yang dia tahan. Lalu menatap wajah bosnya yang pucat.
Setiap bertemu dengan Madam, pria itu selalu berwajah seperti itu. Tapi Emily tidak bisa menyalahkannya, jika memiliki ibu seperti itu, Emily mungkin sudah gila sebelum puber.
“Goro?”
“Siap pak.”
“Jam?”
“Jam 11.30 pak,” jawab Emily melihat jam tangannya, sekarang sudah jam 11.
Tapi dia sebenarnya bersyukur, sudah jam 11. Karena dengan begitu mereka tidak perlu berlama-lama bersama nenek lampir itu.
Wanita itu menatap istri baru bosnya, tapi aneh, wanita itu biasa saja, dia tidak terkejut dengan gelagat madam mereka yang berlebihan.
“Oke, sebaiknya kamu keluarkan semua koper dan pastinya semua sudah siap. Kamu berangkat duluan ke bandara, ingat pastikan semua sesuai perintah Mama.”
Bosnya berkata dengan suara berat menatap tajam ke arah Emily. Wanita itu segera bungkuk dan meninggalkan mereka.
Bianca menatap suaminya, namun bingung harus berkata apa, jadi dia kembali diam. Noel menggaruk belakang kepalanya, lalu menatap mata Bianca.
“Kamu dengar ‘kan, kita akan bulan madu. Semua sudah disiapkan. Kamu nggak usah repot … sekarang ikut aku ke dalam,” ujarnya dingin, lalu tanpa kata-kata lain, pria itu juga melangkahkan kakinya yang panjang ke dalam rumah.
Ruangan Piano adalah ruangan ballroom kecil bergaya Victorian, dengan gorden tinggi yang berat.
Lantainya yang dari marmer mengkilap, dengan karpet persia di bawah piano.
Karen duduk dengan anggun meminum teh kesukaannya, secangkir earl grey yang pekat. Wanita itu bergeming saat Noel masuk, tapi saat melihat Bianca, dia tersenyum tipis dan menepuk kursi kosong di sebelahnya.
Dengan hati menciut wanita muda itu duduk di sebelahnya dengan kaku.
“Für Elise.”
Noel mendesah pelan lalu duduk di kursi dan membuka cover piano. Bak robot, pria itu memainkan piano dengan segera.
Bianca terpana menatap suaminya, jari-jari itu dengan lincah memainkan lagu klasik yang Bianca sering dengar tanpa tahu judulnya.
“Kamu bisa main piano?” Bianca yang sedang serius memperhatikan Noel terkejut akan pertanyaan mertuanya, lalu menggeleng pelan.
“Harus, nanti belajar dengan Noel ya, jadi nanti kamu bisa mengajarkannya kepada anakmu nanti, piano itu penting.
Bianca merasa kalau itu bukan saran, tapi perintah yang wajib dia lakukan. Wanita muda itu segera mengangguk pelan.
“Oke, Mama pergi dulu, kalian cepat bulan madu dan berikan Mama cucu.”
Dia berdiri dan pergi tanpa bicara apa-apa lagi walau permainan Noel belum selesai.
Permainan piano seketika terhenti dan Noel segera mengikuti mamanya keluar, dengan heran Bianca juga merasa harus mengikuti mereka.
Wanita itu segera naik mobil dan dengan wajah kaku pergi begitu saja. Begitu mama mertuanya pergi, Bianca baru bisa merasakan kembali kakinya.
Dari tadi, dia gugup sekali. Suaminya juga terlihat lebih santai. Pria itu kembali masuk ke ruang tengah dan menatapnya kembali seakan baru menyadari keberadaan Bianca dari tadi.
“Ayo,” ujarnya singkat.
“Aku belum siap, aku tidak tahu kalau kita mau pergi,” sergahnya bergeming. Noel menatap bola mata kaca di hadapannya dengan kesal karena harus mengulang dirinya lagi.
“Semua sudah disiapkan … kamu hanya tinggal bawa dirimu saja.” Pria itu lalu masuk ke sebuah kamar dan keluar dengan mengenakan jeans dan kaos polo hitam. Hati Bianca dengan konyolnya kembali berdesir.
“Kamu ... sepertinya tak usah ganti baju, ayo.”
Dia menatap sekilas Bianca, seakan menilainya. Lalu pria itu berjalan keluar rumah sambil membawa sebuah buku bersampul kulit.
Bianca mendengus lalu mengambil handphonenya dari kamar.
“Sepertinya kehidupan aneh ini yang akan aku jalani, tapi setidaknya aku terbebas dari Alice,” pikirnya dalam hati.
Noel menatap istrinya yang pucat, tertidur di kursi pesawat sambil menghela napas. Sebelumnya Bianca sangat terlihat kalau dia tidak percaya naik pesawat pribadi seperti ini, kini setelah merasa nyaman, wanita itu tidur dengan nyenyaknya.
Walau lebih kecil dari pesawat biasanya, tapi pesawat pribadi adalah transportasi yang selalu Grup Goro gunakan, selain helicopter. Wanita itu tadi memegang pegangan kursinya erat-erat saat pesawat mau terbang, melihatnya seperti itu merupakan hiburan tersendiri, setelah pengalaman pagi yang tidak menyenangkan bersama mamanya tadi.
Pulau yang dituju adalah milik pribadi keluarganya. Dia menatap keluar melalui jendela oval pesawat, laut biru muda di bawah mereka menandakan sebentar lagi mereka akan sampai. Hanya akan ada mereka nanti disana, entah apa yang mamanya sudah siapkan. Noel mengerutkan keningnya. Jika berhubungan dengan mamanya, pasti banyak hal aneh yang akan terjadi.
Saat pesawat mendarat, Bianca terbangun dengan terkejut, entah kenapa dia kini dengan mudahnya tertidur, dia seperti membalas insomnianya beberapa minggu ke belakang.
Suaminya menatapnya tanpa ekspresi lalu membuang pandangan. Hati Bianca mencelos, pria itu tampak selalu tidak menyukainya.
“Mungkin dia sangat kesal harus menghabiskan waktu bersamaku,” pikir Bianca, tapi dia tidak bisa menahan semangatnya, Bianca sangat suka pantai. Walau pria kaku itu membencinya, dia akan menikmati waktu yang ada disini.
Saatnya menikmati kebebasannya dari Alice. Dia tersenyum lebar saat turun dari pesawat dan menghirup aroma laut. Dulu saat masih kecil, papanya masih mengizinkan dia main di pantai. Tapi sejak kedatangan Alice, tidak lagi. Menurut wanita itu, kulit wanita sempurna harus putih pucat. Jadi berjemur di bawah matahari sangat haram hukumnya buat Bianca. Tapi kini mama tirinya tidak ada disini, dia akan berpuas diri bermain di pantai.
Mereka menuju rumah. Bukan, ini bukan rumah tapi seperti kastil kecil di pinggir pantai, ada kolam dan taman yang indah. Intinya mirip sekali dengan rumah Noel, hanya versi kecilnya.
Pria itu masuk ke kastil kecil itu dan Bianca mengikutinya sambil mengamati isi kastil dengan terpesona. Pria itu lalu masuk ke sebuah ruangan dengan pintu kayu yang besar, dan seperti kemarin Bianca mengikutinya.
“Kamu ... jangan masuk disini, ini kamarku.”
Pria itu berhenti di depan pintu, menahan Bianca masuk. Bianca menatap pria itu dengan bingung.
“Kamu ... di kamar sebelah saja, pasti Emily sudah menyiapkannya,” ujarnya lagi lalu masuk dan menutup pintu di depan wajah Bianca.
“Tertolak.” pikiran itu yang muncul di kepala Bianca segera. Hatinya mencelos menyadari, kalau suaminya bukan hanya tidak menyukainya, tapi sepertinya pria itu malah membencinya.
Noah memandang ke arah Noel yang sedang menciumi tangan Bianca. Air mata yang mengalir tak pernah diusap menandakan kalau Noel sama sekali tak peduli dengan sekitarnya. “Umm … Noel, sepertinya kamu ga boleh angkat tangannya dulu, dia,-” Ucapan Emily terhenti saat Noel menatapnya dengan penuh kesedihan.“Jangan egois, kamu nggak denger apa kata dokter tadi, dia ga boleh banyak gerakan dulu!” desis Noah menarik tangan Noel sehingga tangan Bianca terjatuh ke atas tempat tidur dengan bunyi ‘puk’ yang agak keras. Emily menarik napas dengan panik karena takut.“NOAH!” omel wanita itu sambil segera memukul pundak Noah dengan kesal.“Dia tak akan kena serangan jantung karena tangannya terjatuh dari ketinggian seperti tadi.” Noah segera membela diri.“Kalau begitu kenapa kamu larang Noel untuk mencium jemarinya?” balas Emily dengan sengit.“Itu kan bukan begitu maksudnya,” jawab Noah dengan suara semakin meninggi.“Maksudnya terus apa?” tanya Emily semakin tak mau kalah.“Kalian berdua bisa g
Kejadiannya begitu cepat, Noel bahkan tak ingat bagaimana jelasnya apa yang terjadi. Saat itu malam pekat dan cahaya hanya berasal dari lampu mobilnya. Noel memaki saat melihat mobil Kevin di pinggir jalan. Apa yang ada dipikirkan Bianca sampai dia mau diajak ke pinggiran hutan seperti ini?Noel segera turun dan mencoba membiasakan matanya dengan kegelapan malam, akhirnya setelah memicingkan matanya Noel bisa melihat ada gubuk kecil yang reyot.Dengan jantung berdebar Noel segera berlari masuk sambil berusaha menguatkan hatinya untuk tetap mengambil video walau apapun yang terjadi. Video itu untuk barang bukti, dia harus bisa mengambil video tanpa ketahuan. Namun saat dia memasuki ruangan, niat Noel untuk mengambil video buyar semua. Perasaannya segera mengambil alih dan entah bagaimana Kevin sudah ada di bawahnya dengan bersimbah darah. “Vrengsek! Bajingan!” ucapnya berkali- kali sambil menonjok Kevin dengan penuh emosi. Pria itu gagal melarikan diri, walau berusaha untuk kabur tap
“Nggak lucu! Balikin nggak!” bentak Emily mencoba meraih tangan Noah yang teracung ke atas.“Nggak, kamu jawab dulu, pilih aku atau Noel!” tanya Noah lagi dengan penuh kecemburuan.“Kamu konyol, ini pasti penting, kembalikan handphoneku, Noah,” bujuk Emily dengan sia-sia karena Noah semakin berjinjit sehingga sudah pasti Emily tak bisa meraihnya.“Aku benci dia! Dia selalu merebut milikku! Keluarga dan sekarang kamu!” erang Noah dengan penuh perasaan. Emily baru saja mau menjawab, tapi malah terdengar dering telepon lain yang membuat mereka berdua terkejut. Telepon kamar, telepon kamar yang tak pernah berdering tiba-tiba berdering kencang. Kali ini, Noah yang tak tau posisi telepon kamar Emily kalah cepat. Wanita itu lebih dulu mengangkat telepon.“Aku nggak ngerti kamu lagi ngapain, kamu tahu kalau aku telepon tengah malam begini pasti ada yang penting!” desis Andi dengan penuh amarah. “Apa?” jawab Emily mengabaikan kekesalan mantan kekasihnya itu. Sekarang jam 3 pagi, Andi tak mu
Kini dingin udara yang membekukan tulangnya tak lagi semerikan yang ada di hadapannya. Tubuh Kevin yang tak lagi menyenangkan untuk dilihat mendekati Bianca. Tatapan mata pria itu begitu mencekam sehingga Bianca begitu takut. Lebih baik dia mati daripada harus melayani mantan pacarnya itu.“Bian … malam ini dingin, sebaiknya kita berdua berbaring dengan hangat, berpelukan,” desah pria itu sambil menurunkan resleting celananya. Bianca seketika menggeleng.“Aku nggak kedinginan,” cicitnya berbohong tanpa guna, karena memang bukan itu maksud Kevin. Pria itu menendang celananya dengan kasar lalu tertawa begitu mendengar ucapan Bianca.“Kalau gitu aku yang kedinginan,” desah pria itu lalu membuka celana dalamnya yang menguning. Bianca segera menutup matanya saat pria itu semakin mendekat. “Kalau kedinginan sebaiknya, pakai lagi bajumu,” erang Bianca menjauhi bau pesing amis yang mendekati indra penciumannya. Entah apa yang ada di hadapannya karena wanita itu menutup mata rapat-rapat sambi
Bianca menahan mual yang kembali melanda dirinya. Mobil Kevin jauh dari kata bersih, bukan hanya karena mobil Kevin adalah sedan tua yang penuh sampah, tapi karena mobil ini juga sangat pengap. Tidak ada AC sedangkan jendela mobil itu tidak dapat dibuka karena macet. Bianca melirik ke arah Kevin mantan kekasihnya yang terlihat sangat marah dengan takut-takut. Tapi sebenarnya bukan itu saja yang membuat Bianca takut, kata-kata Kevin tadi, Noel melihat mereka. Itu adalah satu-satunya penjelasan kenapa rekeningnya tak bisa diakses, siapa lagi yang dapat memblokir rekeningnya kalau bukan Noel? Apa yang akan terjadi nanti? Bagaimana jika Noel akan mengusirnya? Bagaimana jika nanti Noel akan menceraikan Bianca? Seketika itu perut Bianca terasa berputar, mual itu tak tertahankan sehingga apa pun yang tadi wanita itu tahan sekarang naik dan keluar dari mulutnya. Kevin segera memaki dan meminggirkan mobilnya. “Vrengsek!” Pria itu menekan rem dengan kasar sehingga tubuh tipis Bianca terpelan
Emily menatap layar laptopnya untuk mengerjakan semua yang diperintahkan oleh Noel tadi. Suara pria itu tadi begitu serius sehingga Emily tahu kalau pekerjaan itu harus selesai sekarang juga. Noah meletakkan piring makan siang mereka sambil membersihkan jarinya yang terkena saus. Seharusnya Emily tak mengalihkan pandangannya dari layar, namun pemandangan di hadapannya begitu seksi, Noah yang hanya mengenakan kaos dalam putih ketat terlalu tampan untuk tak dilirik. Namun sayangnya, lirikan matanya itu membuat pria itu besar kepala. Dengan cepat pria itu menarik kursi Emily sehingga menghadap kepadanya.“Ini meja makan, kita makan, lalu baru kamu urus Noel lagi.” Pria itu mendengus tiap mengucapkan nama kakaknya, entah sampai kapan Noah harus terus berbagi Emily dengan Noel. Bukankah seharusnya Emily tak bekerja lagi pada Noel, seharusnya Emily adalah milik Noah seutuhnya.“Sebentar, aku harus kerjakan ini!” desah Emily sambil ingin mengembalikan kursinya yang menghadap pada pria beram