Beberapa pelayan yang tadi sempat berada di sana dan menyaksikan semua yang terjadi mendekat dan menolong Alice.
Mereka semua ikut sedih tetapi tidak berani melakukan apa pun. "Nyonya, maaf karena kami tidak melihat kondisi dapur sebelumya," kata salah seorang di antara mereka. Alice berdiri dan menatap penampilannya yang semakin kacau, ia menghela napas dan menggeleng. "Bukan salah kalian. Pergilah, lanjutkan pekerjaan kalian lagi." "Tapi, Nyonya Anda--" "Tidak masalah, aku akan bersihkan dapur setelah itu membersih diri," potongnya cepat. Jika tidak segera membersihkan dapur, ibu mertuanya bisa kembali murka. ** Setelah kejadian pagi tadi, Leonardo segera bergegas berangkat ke kantor. "Selamat pagi, Pak," sambut wanita cantik dengan rambut sebahu. Leonardo hanya mengangguk, dia bahkan tidak tertarik memperhatikan Dara terlalu lama. Wanita dengan setelan formal itu hanya tersenyum kecut, lalu menekan tombol paling atas untuk sampai ke ruangan CEO. Sementara itu, pria yang berada di sebelah Leonardo hanya berdehem kecil lalu menatap Dara dengan tatapan peringat. Dia menyadari bahwa sekretaris Bosnya ini seperti sengaja menggoda dengan penampilannya yang aduhai seksi. Dara yang tahu tatapan itu lantas memalingkan wajah dan kembali menatap lurus ke arah pintu. Tidak berselang lama, pintu lift terbuka. Leonardo merapikan jas miliknya lalu melangkah keluar disusul oleh Bram dan juga Dara di belakangnya. Tiba di meja miliknya, Dara meletakkan tas dan juga bersiap untuk duduk. Akan tetapi, belum juga bokongnya menempel, Leonardo memintanya menghadap ke dalam ruangannya. "Dara, ikut ke ruangan!" seru Leonardo menatap sekilas sekretaris pribadinya. Dara menoleh cepat dan berucap,"Baik. Saya ke ruangan Bapak setelah ini." Selesai mendengar jawaban Dara, Leonardo dan Bram langsung berlalu dan masuk ke dalam ruangan. Beberapa karyawan lain saling senggol, tatapan Dara pada Bos mereka jelas sekali terlihat sangat berbahaya. Dara bisa melihat dan juga mendengar mereka berbisik membicarakan dirinya. Tetapi, mana peduli dirinya dengan omongan itu? "Kerjakan saja tugas kalian. Jangan terlalu sibuk mengurusi urusan orang lain." Dara melangkah dengan anggun melewati mereka yang semakin tercengang atas ucapannya. Dara sudah berdiri di depan pintu berukuran besar dengan cat berwarna hitam, beberapa kali menghela napas, setelahnya langsung mengetuk pintu dan masuk setelah mendengarkan perintah. Dara mengucapkan salam lagi setelah berada di dalam ruangan. Tetapi, hanya Bram---Asisten Leonardo saja yang mengangguk. Dara tetap tersenyum dan menoleh pada Bram. Pria yang tak kalah tampannya dari Leonardo itu tetap memberi senyuman hangat walau terkadang dia juga bisa memasang wajah garang. "Dara, duduklah dan berikan hasil pekerjaanmu semalam," kata Bram pada Dara. Dara melirik Leonardo dengan ekor matanya. Pria itu sama sekali tidak bisa tersentuh sama sekali. Dara menghela napas pelan kemudian duduk di hadapan Bram yang sudah siap dengan laporannya. "Saya sudah mengerjakan seperti yang Pak Bram ajarkan. Silakan diperiksa dulu," ujar Dara masih tetap berharap Leonardo mendekat dan mereka duduk bertiga. Bram meraih dokumen yang Dara berikan, kemudian kembali bertanya, "Kau sudah atur pertemuan Bos dengan tuan Arsen?" Dara menoleh pada Leonardo dan mengangguk, setelah kembali patah hati karena Leonardo tidak juga menatapnya barulah Dara menjawab, "Saya sudah mengaturnya, Pak. Tuan Arsen meminta bertemu saat makan siang." Leonardo mendengar dengan jelas apa yang Bram dan Dara bicarakan sejak tadi. Pertemuan dengan tuan Arsen adalah pertemuan yang sangat penting untuk kemajuan perusahaan miliknya. Kerja sama yang akan dilakukan akan menggemparkan perusahaan lain yang pernah menolak bekerja sama dengan dirinya. "Baiklah, kalau begitu, atur semua dengan baik." Bram berdiri setelah memeriksa semua dokumen yang Dara kerjakan. Kemudian pria itu melangkah ke arah tengah ruangan dan berpamitan pada Bosnya. "Bos, saya melanjutkan pekerjaan saya. Permisi." Bram undur diri setelah mendapatkan persetujuan. Sekarang tinggallah Dara dan Leonardo berdua di dalam ruangan. Pria itu baru mengangkat wajah setelah Bram keluar dari ruang. Dara mendekat dengan senyum merekah, bahkan Leonardo tidak tahu kapan Dara melepas satu kancing kemeja miliknya. "Pak, Anda ingin kopi?" bisik Dara setengah menggoda. Bahkan wanita berambut sebahu itu sudah duduk di meja dengan gaya sensual. Leonardo langsung bersandar di badan kursi dengan tangan bersedekap. Menatap datar Dara yang terus memainkan jemarinya di meja dengan cara mengetuk pelan. Tidak tahan karena Leo tidak juga mengerti dengan keinginannya, Dara langsung menegakkan badan dan duduk di pangkuan Leonardo tanpa aba-aba. "Jangan terlalu keras mendiami ku. Aku tidak suka." Dara ingin menyentuh wajah Leonardo, tetapi lebih cepat ditepis dan dicekal. "Ingat, kau di mana, Dara. Bram bisa saja masuk dan melihat bagaimana kau dengan tidak sopan duduk di pangkuanku." Leonardo masih menatap Dara dengan tenang. Dara mendengus kesal dan berucap, "Aku bosan berpura-pura setiap hari. Kenapa tidak kau katakan saja pada mereka kalau kita--" "Turun!" potong Leonardo cepat. Dara menarik napas panjang dan menggeleng. "Tidak! Aku ingin lebih lama bermesraan denganmu seperti ini." Tidak membuang kesempatan, Dara kembali menjalankan aksinya. Ia membuat lingkaran dengan jarinya pada kemeja Leonardo. "Kau cepat sekali berubah Leo. Setidaknya biarkan aku bersamamu walaupun itu hanya sebentar." Sekali lagi, Leonardo menghentikan gerakan jari Dara yang melingkar di kemejanya, lalu memintanya untuk berdiri. "Turun, atau kau keluar dari ruanganku!" ucap Leonardo masih dengan tatapan teduh. Dara sempat mengerucutkan bibir, tetapi ia menurut. Ini masih terlalu cepat untuk dia keluar dari ruangan Leonardo. Leonardo melangkah melewati Dara, lalu berdiri di depan dinding besar dan terus menatap bangunan-bangunan megah di bawah sana. Sementara itu, Dara langsung merapikan rok span sebatas lutut miliknya dan mengancing kembali kemejanya seperti semula. Setelah itu, ia melangkah dan berdiri di sebelah Leonardo. Beberapa saat hening, Dara menoleh dan bertanya dengan serius, "Apakah kau sudah mencintai istrimu?" "Itu bukan pekerjaanmu, Dara. Jadi, jangan tanyakan hal di luar tugasmu," jawab Leo seadanya. Suami Alice itu, lantas membalikkan tubuh menghadap Dara sang sekretaris, "Keluarlah, buatkan aku kopi seperti biasa!" Dara menghentakkan kaki, kesal. Dia tidak pernah mendapatkan jawaban memuaskan setiap kali menanyakan soal istri Leonardo. "Leo, aku serius. Apakah karena itu, kau terus menolak ku sentuh?" tanya Dara dengan rasa tidak sabar. "Pergilah, buatkan aku kopi seperti yang kau tawarkan tadi!" Dara menghentakkan kaki kesal, keluar dari ruangan Leonardo. Sementara itu, Leonardo hanya terkekeh kecil, melihat tingkah Dara yang tidak menyerah sedikitpun. "Dia memang berbeda," monolog Leonardo. ••••• Alice sudah terlihat rapi walaupun dia hanya mengenakan pakaian sederhana. Rambut coklat miliknya diikat dengan pita berwarna cream kesukaannya. Dengan langkah ragu, ia melangkah ke arah kamar ibu mertuanya. Menghela napas panjang lalu menghembuskan dengan pelan, Alice mengetuk pintu. Luna membuka pintu dengan tatapan sinis, ia bersedekap dan menatap Alice malas. "Katakan apa maumu?" Luna mendengus pelan. Alice tersenyum kecil dan berucap pelan, "Ibu, aku akan kerumah Ibuku. Mungkin pulang sedikit terlambat." Luna menoleh cepat, seperti tidak terima dengan apa yang Alice katakan barusan. Ia mendekat dan menatap tajam menantunya. "Kau pasti beralasan agar tidak bekerja benarkan?"Luna menghela napas berulang kali, ia duduk dan menatap menantunya. “Ibu hanya tidak bisa membayangkan bagaimana nasib Laila di sana.”Leo mengangguk paham. Ia meraih tangan ibunya. “Ibu, Damian akan menjaganya selama satu bulan, lagipula ada Arsen di sana.”“Arsen? Kamu masih percaya pada pria itu? Bagaimana jika–”“Ibu, tolong percaya dengan keputusan yang sudah aku ambil, Arsen adalah satu-satunya yang bisa menjaga Laila setelah Damian.”Lagi-lagi Luna mendengus, ia tak suka dengan pria bernama Arsen. Pria itu ingin merebut Alice dari putranya bahkan dengan terang-terangan mengakui Laila dan Damian sebagai anak.“Kalian tidak ada yang mengerti dengan kekhawatiranku. Aku hanya ingin cucuku hidup dengan damai, tidak perlu sekolah di tempat jauh, kita bisa–”“Maafkan aku karena memotong ucapanmu Bu. Tetapi ini adalah keputusan mereka. Laila ingin sekolah bisnis seperti Silviana, sementara Damian, putraku adalah penerus, dia harus memiliki pendidikan yang jauh lebih hebat.”Membuang na
Alice dan Leo saling pandang, pun dengan Laila yang hanya berdecak mendengar permintaan kakaknya.“Apa maksudmu, Damian?” tanya Laila semakin jengah.“Aku tidak mungkin mengekor padamu, aku juga ingin memiliki sesuatu yang bisa dibanggakan,” katanya.“Tidak ada yang menjagamu sebaik aku, Laila. Sejak kita kecil, aku yang–”“Tapi sekarang aku sudah besar, aku bisa menjaga diriku, lagipula di sana ada Ayah Arsen.” Laila berdiri dengan kesalnya.“Terserah jika kalian tidak mendukung, aku akan tetap bersekolah di tempat yang aku inginkan,” ujarnya, “dan Ayah tidak boleh menarik kesepakatan kita.”“Laila duduk dulu, Nak.” Alice menepuk pelan sebelah sisi tempatnya.“Tidak Ibu. Tidak sebelum Damian berpikir waras.”Setelah mengatakan itu, Laila meninggalkan ruangan dengan kekesalan pada Damian.“Dia gila,” geramnya dengan nada yang kesal.Sementara itu, Clara yang melihat kakak perempuannya menuju kamar, segera mengikuti. Rasanya sangat berat berpisah meski mereka berdua jarang sekali terli
“Selamat pagi.” Laila datang lebih cepat, memotong ucapan Alice yang tengah memeluk putri bungsunya.“Selamat pagi, Sayang.” Leonardo menyambut putri sulungnya, kemudian meminta Laila untuk duduk di sebelahnya.Melihat itu, Clara mengerucutkan bibir, “Ayah, jangan terlalu memanjakan kakak, dia sudah–”“Clara lebih baik kamu diam, berikan susu yang kamu buatkan tadi untukku.” Laila meraih selembar roti dan mengolesi dengan selesai cokelat.“Baiklah.” Clara memeluk ibunya singkat kemudian memberikan susu yang dibuatnya pada Laila.“Sekarang berikan nilai untukku. Aku yakin ini rasanya seratus,” kata Clara.Laila meraih gelas susu miliknya, kemudian meneguknya hingga setengah. “Enak, aku rasa ini adalah bakatmu.”Clara mengerucutkan bibir, “Bakatku banyak Kak. Hanya saja, aku tidak ingin menunjukkan pada orang lain,” katanya dengan bangga.“Oh aku sangat kagum padamu. Duduklah, aku ingin memberikan hadiah lain.” Laila meletakkan gelas yang sudah kosong kemudian merogoh kantong celana mil
Alice masih ke dalam ruang makan dan benar saja, semua sudah disiapkan dengan sangat baik. Clara yang melihat wajah takjub ibunya pun ikut merasa bahagia.“Bagaimana? Aku sangat membanggakan bukan?” tanyanya pada sang ibu.“Benar Clara yang melakukan ini sendiri?” Alice menoleh pada putrinya yang langsung terdiam dengan bibir tersenyum kecil.“Senangnya, Clara dibantu oleh kak Laila,” akunya, “tapi karena dia kelelahan dan mengantuk, kakak kembali ke kamar.”Alice menaikkan alis, kemudian mengangguk paham. “Ya sudah, tapi setidaknya, Clara sudah membuktikan jika putri ibu sudah sangat hebat.”Clara mengangguk senang. “Tolong beritahu kakek ya, Bu. Aku ingin kakek mendengar hal baik tentangku.”“Baiklah, jika kakek bertanya, Ibu akan memberitahu jika cucunya yang cantik ini sudah besar.”Clara memeluk ibunya. “Ibu aku sangat menyayangimu. Aku yakin karena itulah ayah sangat mencintaimu.”Alice terkekeh, “Ya sudah, sekarang duduk dulu, Ibu akan buatkan sarapan untuk kita semua.”“Aku ak
Alice menghela napas panjang untuk meredam semuanya. Tidak ada yang bisa mengetahui takdir kedepannya. Damian masih terlalu muda, sementara Sera, gadis kecil itu juga masih seusia Clara yang mungkin tidak mengerti dengan situasi ini.“Semoga saja, Damian mendapatkan yang terbaik,” putus Alice akhirnya.Leo mengangguk meski rasanya ada yang aneh. Rasa sakit yang Alice rasakan sepertinya terlalu besar, hingga sang istri belum bisa memaafkan apa yang telah terjadi.“Kamu benar, Damian masih terlalu muda. Kita bisa lebih tenang karena Bram juga telah meninggalkan kota bersama putrinya.Setelah mereka membahas semuanya, Alice memutuskan untuk tidak membahas ini lagi. Ia bahkan meminta Laila untuk tidak membantu Damian melupakan perasaannya yang diyakini hanya rasa sesaat.“Tidurlah, aku masih ada banyak pekerjaan di bawah,” kata Leo akhirnya, hingga saat ini ia belum menemukan seseorang yang bisa menggantikan posisi Bram di kantor.“Maafkan aku. Aku seharusnya tidak terlalu keras sehingga
Malam hari, Alice yang masih merasa curiga pada Dara dan Leo memutuskan untuk tidur lebih cepat. Ia tahu usianya tidak lagi muda seperti dulu. Jadi, tidur adalah pilihan yang lebih tepat.Sementara itu, Leo yang tahu dengan kecemburuan istrinya hanya tersenyum kecil, merasa bersalah, tetapi ia bisa buktikan jika dirinya dan Dara tak ada hal yang harus dicurigai.“Aku sudah katakan padamu, kedatangannya adalah untuk berterima kasih karena tidak menghalangi Bram keluar dari perusahan,” jelas Leo pelan di telinga sang istri.“Mereka memutuskan untuk meninggalkan kota ini, jadi Bram sudah mengundur diri,” sambungnya.“Kenapa harus bertemu? Bukankah Bram bisa mewakili, Kenapa harus datang padaku, bukankah sama saja dia ingin mengulang kejadian yang telah lalu?” balas Alice akhirnya. Wanita itu membuka mata, tak menoleh tetapi masih menunggu suaminya menjawab pertanyaannya.“Sera yang memaksa untuk datang dan kebetulan dia–”“Apakah setelah melihatnya kembali hatimu masih bergetar? Dia bah