 LOGIN
LOGINBerada di rumah Ibu dan dikelilingi keluarga membuat luka di hatiku sedikit terobati. Rasanya seperti bisa bernapas lagi setelah sekian lama menahan sesak.
Ibu terus menenangkan dan menasihatiku agar sabar, agar jangan larut dalam kesedihan. Dan ketika pikiranku sudah agak tenang, aku pamit untuk kembali ke rumah Mas Azam.
“Usahakan pulang sebelum suamimu datang, ya, Nak,” pesan Ibu sambil menggenggam tanganku lembut. “Jangan sampai pas dia tiba di rumah tapi istrinya malah masih diluar.”
Aku hanya mengangguk, mencoba tersenyum. “Iya, Bu. Aku pulang sekarang.”
Perjalanan pulang sore itu terasa panjang. Matahari condong ke barat, menebarkan warna jingga di langit. Rasanya seperti langit ikut memahami hatiku yang penuh kekhawatiran.
Aku tiba di rumah sekitar pukul empat sore, masih ada waktu dua jam sebelum Mas Azam pulang. Biasanya ia tiba menjelang atau setelah adzan magrib berkumandang, tergantung situasi di jalan raya.
Seperti biasa, aku langsung masuk dapur. Aku masak makan malam untuk kami berdua. Tanganku bergerak otomatis, tapi pikiranku melayang entah ke mana.
Dulu, setiap aku masak, rasanya penuh semangat karena aku tahu Mas Azam akan tersenyum saat mencicipinya. Tapi sekarang, aku hanya ingin menyibukkan diri supaya tidak terus berpikir tentang rasa sesak di dada.
Biasanya aku selalu menunggu Mas Azam untuk makan bersama. Tapi sore itu, aku sengaja makan duluan. Aku tak ingin duduk satu meja dengannya dan pura-pura tidak terjadi apa-apa, sementara pikiranku dipenuhi tanda tanya dan luka.
Selesai makan, aku mulai beres-beres rumah. Sejak pagi tadi rumah ini belum tersentuh sapu. Debu menumpuk, karpet kusut, dan piring kotor masih di meja. Aku yang terbiasa dengan kerapihan, tentu tidak betah melihat rumah berantakan seperti ini.
Aku mulai dari kamar tidur. Dan benar saja, keadaannya... astaga. Hanya satu malam aku tak di kamar ini, tapi sudah seperti kapal pecah. Pakaian kotor berserakan, handuk basah tergeletak di atas kasur, pintu lemari terbuka lebar, dan entah sudah berapa hewan kecil yang mungkin mondar-mandir di sana.
Aku menarik napas panjang sebelum mulai membereskan semuanya. Saat sedang mengumpulkan pakaian kotor Mas Azam, aku melakukan kebiasaanku: memeriksa saku celananya satu per satu.
Biasanya aku hanya menemukan uang kembalian seribu atau dua ribu. Kadang malah hanya nota belanjaan di minimarket. Tapi kali ini, jari-jariku merasakan sesuatu yang berbeda: selembar kertas tebal, berkarbon rangkap dua, dengan segel yang sudah terbuka.
Aku mengerutkan dahi. “Kertas apa ini?” batinku. Dari luar terlihat seperti nota, tapi setelah kulihat lebih dekat… oh, bukan. Ini slip gaji.
Hatiku tiba-tiba berdetak lebih cepat. Slip gaji Mas Azam. Selama tujuh tahun menikah, aku tidak pernah melihatnya secara langsung. Mas Azam bilang tidak perlu, karena semua sudah diatur olehnya. Aku percaya. Aku tidak pernah curiga. Tapi entah kenapa kali ini, ada dorongan kuat untuk membuka kertas itu.
“Mungkin nggak apa-apa, aku kan istrinya,” aku membujuk diri sendiri. “Aku berhak tahu.”
Perlahan aku buka lipatan kertas itu. Dan saat mataku membaca angka di bagian bawah, jantungku seperti berhenti berdetak.
Dua puluh lima juta rupiah.
Aku menatap angka itu lama, berharap aku salah baca. Tapi tidak. Di situ jelas tertulis “Gaji Bersih: Rp 25.000.000,-”.
Tanganku bergetar. Selama ini Mas Azam bilang gajinya hanya empat belas juta. Ia selalu menjelaskan dengan tenang: empat juta untukku, tiga juta untuk cicilan mobil, dua juta untuk uang sakunya, dan lima juta untuk Ibunya.
Aku bahkan sempat menanyakan kenapa bagian Ibunya lebih besar, padahal kami tidak tinggal serumah. Mas Azam hanya bilang itu untuk biaya sehari-hari dan kuliah Laras, adik perempuannya. Aku tidak protes. Aku pikir, mungkin itu bentuk bakti suami kepada orangtuanya. Aku mencoba memahami.
Tapi sekarang? Dua puluh lima juta. Artinya selama ini ia menyembunyikan sebelas juta lebih setiap bulannya dariku. Untuk apa? Ke mana uang itu pergi?
Aku menatap slip itu lagi. Ada potongan cicilan sebesar tujuh ratus ribu. Jadi Mas Azam juga punya pinjaman di kantor? Pinjaman untuk apa? Aku tidak pernah tahu. Tidak pernah diberi tahu.
Bukan uangnya yang membuatku marah. Tapi dustanya. Kenapa ia harus berbohong? Kenapa selama ini ia membuatku percaya bahwa hidup kami sederhana, padahal ia punya lebih dari cukup?
Kusimpan slip gaji itu di saku dasterku. Nanti malam, aku akan menanyakannya. Ia harus menjelaskan.
Aku melanjutkan bersih-bersih rumah dengan pikiran yang berkecamuk. Setiap kali mengingat wajahnya, hatiku seperti diremas. Tujuh tahun pernikahan… apa semua ini cuma sandiwara? Apa aku begitu tidak layak sampai ia merasa harus menyembunyikan semuanya dariku?
Waktu berlalu tanpa kusadari. Saat aku selesai, jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah enam sore. Aku buru-buru membersihkan diri, lalu berganti pakaian. Tak lama kemudian terdengar suara mobil di depan rumah.
“Assalamualaikum,” sapa Mas Azam dari pintu, suaranya riang seperti biasa.
“Waalaikumsalam,” jawabku datar. Aku menyambutnya tanpa senyum, menyalami tangannya tanpa ekspresi.
“Wangi banget, habis mandi ya?” katanya sambil mendekat.
“Hem,” hanya itu jawabku.
“Aku juga mandi dulu, deh. Gerah banget, udah kayak ikan asin! Nanti kamu nggak mau deket-deket sama Mas,” candanya.
Aku tidak membalas. Hatiku terlalu sesak untuk tertawa. Aku masuk kamar, menyiapkan pakaian gantinya.
Tak lama, Mas Azam menyusul masuk. Ia menaruh ponsel di atas nakas, lalu mengambil handuk. Sebelum masuk kamar mandi, ia sempat mendekat, memelukku dari belakang.
“Nanti malam jangan tidur di kamar tamu lagi ya, Mas kangen tidur sama kamu,” bisiknya lembut.
Tubuhku menegang. Ada masa di mana kalimat itu bisa membuatku tersenyum. Tapi tidak malam ini. Aku menepis tangannya pelan dan menunduk. “Aku capek,” ucapku singkat.
Tanpa menunggu responnya, aku berjalan keluar kamar. Dari sela pintu yang sengaja tidak kututup rapat, aku mengintip. Mas Azam masuk ke kamar mandi, terdengar suara air mengalir.
Aku menatap ponselnya yang tergeletak di atas nakas.
Ada sesuatu dalam diriku yang berkata: lihatlah, Alya. Mungkin jawaban dari semua kebohongan itu ada di sana.
Tanganku gemetar saat melangkah mendekat. Jantungku berdegup kencang, antara takut dan penasaran.
Aku tahu… ini mungkin salah. Tapi aku juga tahu, ada yang jauh lebih salah jika aku terus diam dan pura-pura tidak tahu.
Perlahan, kutatap layar ponsel itu. Cahaya lembutnya memantul di wajahku, bersamaan dengan degup jantung yang semakin keras.
Dan malam itu, tanpa aku sadari… satu rahasia besar akan terbuka — rahasia yang akan mengubah hidupku untuk selamanya.

Siang itu matahari terasa lembut, tidak terlalu terik, tapi cukup hangat untuk membuat suasana jadi nyaman. Sebelum pulang ke rumah Ibu, aku dan Alina memutuskan mampir ke sebuah warung soto Betawi yang sangat akrab dalam ingatanku.Warung kecil di pinggir jalan itu tidak pernah berubah sejak dulu. Dindingnya masih dipenuhi foto-foto lama pelanggan, aroma rempah dan santan masih sama seperti ketika almarhum Ayah dulu sering mengajak kami makan di sini tiap habis gajian.Aku masih ingat betul, momen ketika Ayah duduk di kursi panjang dekat jendela, menyeruput soto sambil bercanda dengan Ibu. Hari itu selalu jadi hari yang ditunggu. Hari libur masak bagi Ibu, dan hari makan enak bagi kami sekeluarga.Kini, bertahun-tahun berlalu, hanya aku dan Alina yang datang. Tapi setiap kali menginjakkan kaki di sini, rasanya seperti k
“Tunggu, Mbak Alya!”Suara Laras memecah langkahku yang sudah hampir sampai di gerbang. Aku menoleh cepat. Wajahnya pucat pasi, napasnya terengah seperti habis berlari maraton.“Apa lagi?” tanyaku dingin.“T-tolong... jangan laporkan kami ke polisi, Mbak. Oke, ini... ini kami kembalikan semuanya,” katanya terbata, suaranya nyaris bergetar. Ia menoleh ke arah ibunya. “Ayo, Bu... lepas semua.”Bu Mayang terperangah. “Apa? Kamu ini ngomong apa sih, Laras? Gak usah nurutin perempuan mandul ini! Kita gak salah apa-apa!”Namun tatapan Laras penuh ketakutan. “Bu, Ibu mau kita masuk penjara?” desisnya lirih tapi cukup tajam untuk
Ingatanku langsung melesat ke peristiwa kemarin sore, saat Bu Mayang dan Laras datang ke rumah, meminta uang dengan wajah memelas. Kala itu Mas Azam masuk ke kamar dan sempat membuka lemari. Aku memang tak curiga, kukira dia hanya mengambil dompet atau pakaian ganti. Tapi sekarang, setelah tahu semua perhiasanku hilang, pikiranku tak bisa berhenti memutar kemungkinan itu.Apa mungkin… saat itulah Mas Azam mengambil semua perhiasanku dan menyerahkannya pada mereka?Hatiku bergetar hebat. Tak bisa dibiarkan! Itu jelas pencurian, mengambil barang milik orang lain tanpa izin, bahkan milik istrinya sendiri!Aku berpikir keras mencari kemungkinan lain, tapi nihil. Di rumah ini hanya ada aku dan Mas Azam. Tidak ada orang luar yang punya akses ke kamar kami. Beberapa hari lalu mema
Mas Azam baru saja masuk kamar ketika aku masih senyum-senyum sendiri di depan laptop. Refleks, aku menutup tab yang sedang kubuka dan cepat-cepat menggantinya dengan halaman berita lain.Untung dia tak melihat apa yang sebenarnya sedang kubaca, artikel tentang kasus orang tua Dina yang akhirnya viral di media. Entah kenapa, membaca tentang kesialan mereka memberiku sedikit rasa lega… seperti keadilan kecil dari semesta."Lihat apa sih, sampai senyum-senyum sendiri gitu?" tanya Mas Azam sambil melepas jam tangannya."Ah, nggak, cuma konten lucu aja, Mas," jawabku cepat, berusaha terdengar santai.Mas Azam cuma mengangguk tanpa rasa ingin tahu. Ia lalu membuka lemari dan mulai memilih baju. Aku kira dia cuma mau ganti pakaian, jadi aku kembali fokus ke layar laptop. Jari-jariku mengetik asal, tapi pikiranku tetap tak bisa lepas dari rencana perceraian ini. Semoga saja semua berjalan sesuai yang sudah kususun dengan Bang Will.*****Seminggu kemudian, tiba saatnya sidang pertama percera
Sudah beberapa hari Bu Mayang tak muncul. Biasanya aku justru bersyukur kalau beliau tak datang, karena setiap kedatangannya selalu diiringi ribut-ribut yang menguras tenaga dan emosi. Tapi hari ini, suara khas langkah kakinya yang cepat dan berat kembali terdengar di depan rumah.Aku baru saja menyiapkan teh hangat ketika pintu terbuka tanpa diketuk. Dan benar saja, Ibu mertuaku muncul diambang pintu. Di belakangnya ada Laras, adik iparku, menunduk dengan wajah gelisah.“Assalamu’alaikum,” ucap mereka tanpa ekspresi.“Waalaikumsalam,” jawabku datar. Belum sempat aku mempersilakan duduk, Bu Mayang sudah lebih dulu membuka suara dengan nada tinggi.“Mana, Zam, uang lima juta yang Ibu minta kemarin? Ibu udah kirim pesan berapa kali, tapi kamu gak jawab-jawab!”Mas Azam yang sedang membaca koran sontak menegakkan badan. “Lho, Bu, Azam belum gajian. Lagian, buat apa sih uang sebanyak itu?”“Buat kuliahnya Laras, Zam! Ya kan, Ras?” tanya Bu Mayang, melirik anaknya dengan tatapan tajam.Lar
Dari dalam kamar, samar-samar kudengar dering ponsel Bu Mayang. Suaranya nyaring dan berulang-ulang, tapi tak juga diangkat. Padahal biasanya, kalau yang menelepon anaknya, dia akan cepat-cepat menjawab sambil menyalakan mode drama.Aku tahu persis, kali ini yang menelepon pasti Mas Azam. Dia pasti sudah melihat sendiri seluruh kejadian tadi lewat tayangan CCTV yang langsung terkoneksi ke ponselnya. Aku bahkan bisa membayangkan bagaimana paniknya Bu Mayang saat tahu kebohongannya terbongkar. Pasti dia sekarang sedang bingung harus berkata apa kalau anaknya bertanya.“Biarin aja,” gumamku pelan sambil menatap layar laptop. “Biar dia panik sendiri.”Aku sudah terlalu lelah menghadapi ibu mertua yang selalu cari gara-gara itu. Sekarang fokusku hanya satu: bebas dari rumah ini, tanpa harus membuat Mas Azam curiga.Beberapa jam terakhir kuhabiskan untuk mencari informasi di internet. Aku mengetik kata kunci: cara mengajukan gugatan cerai online.Begitu hasilnya muncul, mataku langsung berb








