Home / Rumah Tangga / Istri Yang Kau Anggap Mandul / Bab 4 - Rahasia Besar Azam

Share

Bab 4 - Rahasia Besar Azam

Author: Eladzaky
last update Last Updated: 2025-10-23 21:50:41

Berada di rumah Ibu dan dikelilingi keluarga membuat luka di hatiku sedikit terobati. Rasanya seperti bisa bernapas lagi setelah sekian lama menahan sesak.

Ibu terus menenangkan dan menasihatiku agar sabar, agar jangan larut dalam kesedihan. Dan ketika pikiranku sudah agak tenang, aku pamit untuk kembali ke rumah Mas Azam.

“Usahakan pulang sebelum suamimu datang, ya, Nak,” pesan Ibu sambil menggenggam tanganku lembut. “Jangan sampai pas dia tiba di rumah tapi istrinya malah masih diluar.”

Aku hanya mengangguk, mencoba tersenyum. “Iya, Bu. Aku pulang sekarang.”

Perjalanan pulang sore itu terasa panjang. Matahari condong ke barat, menebarkan warna jingga di langit. Rasanya seperti langit ikut memahami hatiku yang penuh kekhawatiran.

Aku tiba di rumah sekitar pukul empat sore, masih ada waktu dua jam sebelum Mas Azam pulang. Biasanya ia tiba menjelang atau setelah adzan magrib berkumandang, tergantung situasi di jalan raya.

Seperti biasa, aku langsung masuk dapur. Aku masak makan malam untuk kami berdua. Tanganku bergerak otomatis, tapi pikiranku melayang entah ke mana.

Dulu, setiap aku masak, rasanya penuh semangat karena aku tahu Mas Azam akan tersenyum saat mencicipinya. Tapi sekarang, aku hanya ingin menyibukkan diri supaya tidak terus berpikir tentang rasa sesak di dada.

Biasanya aku selalu menunggu Mas Azam untuk makan bersama. Tapi sore itu, aku sengaja makan duluan. Aku tak ingin duduk satu meja dengannya dan pura-pura tidak terjadi apa-apa, sementara pikiranku dipenuhi tanda tanya dan luka.

Selesai makan, aku mulai beres-beres rumah. Sejak pagi tadi rumah ini belum tersentuh sapu. Debu menumpuk, karpet kusut, dan piring kotor masih di meja. Aku yang terbiasa dengan kerapihan, tentu tidak betah melihat rumah berantakan seperti ini.

Aku mulai dari kamar tidur. Dan benar saja, keadaannya... astaga. Hanya satu malam aku tak di kamar ini, tapi sudah seperti kapal pecah. Pakaian kotor berserakan, handuk basah tergeletak di atas kasur, pintu lemari terbuka lebar, dan entah sudah berapa hewan kecil yang mungkin mondar-mandir di sana.

Aku menarik napas panjang sebelum mulai membereskan semuanya. Saat sedang mengumpulkan pakaian kotor Mas Azam, aku melakukan kebiasaanku: memeriksa saku celananya satu per satu. 

Biasanya aku hanya menemukan uang kembalian seribu atau dua ribu. Kadang malah hanya nota belanjaan di minimarket. Tapi kali ini, jari-jariku merasakan sesuatu yang berbeda: selembar kertas tebal, berkarbon rangkap dua, dengan segel yang sudah terbuka.

Aku mengerutkan dahi. “Kertas apa ini?” batinku. Dari luar terlihat seperti nota, tapi setelah kulihat lebih dekat… oh, bukan. Ini slip gaji.

Hatiku tiba-tiba berdetak lebih cepat. Slip gaji Mas Azam. Selama tujuh tahun menikah, aku tidak pernah melihatnya secara langsung. Mas Azam bilang tidak perlu, karena semua sudah diatur olehnya. Aku percaya. Aku tidak pernah curiga. Tapi entah kenapa kali ini, ada dorongan kuat untuk membuka kertas itu.

“Mungkin nggak apa-apa, aku kan istrinya,” aku membujuk diri sendiri. “Aku berhak tahu.”

Perlahan aku buka lipatan kertas itu. Dan saat mataku membaca angka di bagian bawah, jantungku seperti berhenti berdetak.

Dua puluh lima juta rupiah.

Aku menatap angka itu lama, berharap aku salah baca. Tapi tidak. Di situ jelas tertulis “Gaji Bersih: Rp 25.000.000,-”.

Tanganku bergetar. Selama ini Mas Azam bilang gajinya hanya empat belas juta. Ia selalu menjelaskan dengan tenang: empat juta untukku, tiga juta untuk cicilan mobil, dua juta untuk uang sakunya, dan lima juta untuk Ibunya.

Aku bahkan sempat menanyakan kenapa bagian Ibunya lebih besar, padahal kami tidak tinggal serumah. Mas Azam hanya bilang itu untuk biaya sehari-hari dan kuliah Laras, adik perempuannya. Aku tidak protes. Aku pikir, mungkin itu bentuk bakti suami kepada orangtuanya. Aku mencoba memahami.

Tapi sekarang? Dua puluh lima juta. Artinya selama ini ia menyembunyikan sebelas juta lebih setiap bulannya dariku. Untuk apa? Ke mana uang itu pergi?

Aku menatap slip itu lagi. Ada potongan cicilan sebesar tujuh ratus ribu. Jadi Mas Azam juga punya pinjaman di kantor? Pinjaman untuk apa? Aku tidak pernah tahu. Tidak pernah diberi tahu.

Bukan uangnya yang membuatku marah. Tapi dustanya. Kenapa ia harus berbohong? Kenapa selama ini ia membuatku percaya bahwa hidup kami sederhana, padahal ia punya lebih dari cukup?

Kusimpan slip gaji itu di saku dasterku. Nanti malam, aku akan menanyakannya. Ia harus menjelaskan.

Aku melanjutkan bersih-bersih rumah dengan pikiran yang berkecamuk. Setiap kali mengingat wajahnya, hatiku seperti diremas. Tujuh tahun pernikahan… apa semua ini cuma sandiwara? Apa aku begitu tidak layak sampai ia merasa harus menyembunyikan semuanya dariku?

Waktu berlalu tanpa kusadari. Saat aku selesai, jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah enam sore. Aku buru-buru membersihkan diri, lalu berganti pakaian. Tak lama kemudian terdengar suara mobil di depan rumah.

“Assalamualaikum,” sapa Mas Azam dari pintu, suaranya riang seperti biasa.

“Waalaikumsalam,” jawabku datar. Aku menyambutnya tanpa senyum, menyalami tangannya tanpa ekspresi.

“Wangi banget, habis mandi ya?” katanya sambil mendekat.

“Hem,” hanya itu jawabku.

“Aku juga mandi dulu, deh. Gerah banget, udah kayak ikan asin! Nanti kamu nggak mau deket-deket sama Mas,” candanya.

Aku tidak membalas. Hatiku terlalu sesak untuk tertawa. Aku masuk kamar, menyiapkan pakaian gantinya.

Tak lama, Mas Azam menyusul masuk. Ia menaruh ponsel di atas nakas, lalu mengambil handuk. Sebelum masuk kamar mandi, ia sempat mendekat, memelukku dari belakang.

“Nanti malam jangan tidur di kamar tamu lagi ya, Mas kangen tidur sama kamu,” bisiknya lembut.

Tubuhku menegang. Ada masa di mana kalimat itu bisa membuatku tersenyum. Tapi tidak malam ini. Aku menepis tangannya pelan dan menunduk. “Aku capek,” ucapku singkat.

Tanpa menunggu responnya, aku berjalan keluar kamar. Dari sela pintu yang sengaja tidak kututup rapat, aku mengintip. Mas Azam masuk ke kamar mandi, terdengar suara air mengalir.

Aku menatap ponselnya yang tergeletak di atas nakas.

Ada sesuatu dalam diriku yang berkata: lihatlah, Alya. Mungkin jawaban dari semua kebohongan itu ada di sana.

Tanganku gemetar saat melangkah mendekat. Jantungku berdegup kencang, antara takut dan penasaran.

Aku tahu… ini mungkin salah. Tapi aku juga tahu, ada yang jauh lebih salah jika aku terus diam dan pura-pura tidak tahu.

Perlahan, kutatap layar ponsel itu. Cahaya lembutnya memantul di wajahku, bersamaan dengan degup jantung yang semakin keras.

Dan malam itu, tanpa aku sadari… satu rahasia besar akan terbuka — rahasia yang akan mengubah hidupku untuk selamanya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri Yang Kau Anggap Mandul   Bab 78 - Kerjasama sambil Pedekate

    POV: AuthorRaja menyomot sepotong brownies dari dalam kulkas. Tanpa piring, tanpa sendok—langsung masuk ke mulut dalam satu gigitan besar. Sambil mengunyah, ia melangkah santai menuju ruang keluarga, tempat kedua orang tuanya sedang duduk berdampingan menonton televisi.“Hmm… browniesnya masih enak,” gumamnya pelan, lalu menjatuhkan diri di sofa panjang.Sultan, ayahnya, sedang bersandar dengan kaki sedikit terangkat, sementara Magdalena—ibunya—terlihat fokus pada acara di layar. Raja melirik sesaat, lalu membuka percakapan.“Gimana, Pa? Cabang Makassar lancar?” tanyanya.Sultan mengangguk pelan. “So far so good, Ja. Progresnya sesuai target. Tapi ya namanya cabang baru, masih perlu perhatian ekstra.”Raja mengangguk sambil kembali mengunyah. “Hmm…”“Kamu nggak mau sekalian pegang Makassar?” lanjut Sultan. “Menetap di sana beberapa waktu. Biar lebih kepegang, lebih rapi pengawasannya.”Raja langsung menggeleng cepat. “Nggak dulu deh, Pa. Aku fokus di pusat aja. Sekarang kan semuanya

  • Istri Yang Kau Anggap Mandul   Bab 77 - Pindah Ke Kontrakan Baru

    POV: AuthorSetelah Joyo dipastikan sudah dapat kontrakan, Azam langsung pamit pulang. Wajahnya terlihat begitu kusut, akibat digempur terus menerus oleh masalah yang tak ada hentinya seharian ini."Nanti dulu lah Zam, bantu Bapak dulu turunkan barang-barang ini. Masa kamu tega Bapak nurunin ini semua sendirian" Cegah Joyo."Itu ada Pak Sodri, minta bantuan dia aja. Tapi jangan lupa kasih upah, hargai keringatnya""Ya sudah kalau begitu, terserah kamu" Sahut Joyo kecewa."Oh ya, satu lagi Pak. Jangan pernah hubungi aku untuk minta tolong apapun terkait urusan Bapak dengan perempuan itu. Aku gak sudi membantu lagi! ini yang terakhir" Tegas Azam seraya menaiki sepeda motornya.Sebelum melajukan sepeda motornya Ia mengangguk pada Pak Sodri tanda berpamitan, namun melewati Tatik begitu saja tanpa menyapanya sama sekali. Bahkan Naura yang sejak tadi terus memandang ke arahnya dengan penuh tanya pun tak di pedulikannya.Azam memacu sepeda motornya dengan kecepatan cukup tinggi, tujuan dia

  • Istri Yang Kau Anggap Mandul   Bab 76 - Istri Baru Joyo Ditolak Warga

    POV: AzamKepalaku sudah hampir meledak rasanya menghadapi semua yang terjadi hari ini. Jatah apesku selama setahun seolah dihabiskan semua di hari ini.Berawal dari mobilku yang mogok, minta uang ke Dina untuk bawa ke bengkel tapi tak dikasih. Semua uang yang sudah ditangannya jangan harap bisa keluar lagi.Sejak menikah dengan Dina dan keuangan diatur olehnya, aku tak pernah lagi membawa mobilku untuk servis rutin ke bengkel. Padahal dulu aku selalu merawat mobilku ini dengan baik dan tak pernah absen untuk servis setiap bulannya.Akhirnya mau tak mau aku harus mencoba membetulkannya sendiri, meski aku tak punya basic apapun tentang permontiran.Mobil belum selesai, aku dibuat shock dengan sebuah berita yang menggemparkan. Oke, lebih tepatnya memalukan, amat sangat memalukan. Bapakku di grebek warga sedang ena-ena dengan seorang janda di kontrakannya.Terrekam jelas wajah Bapakku dan wanita itu disana, sungguh memalukan. Dan apesnya lagi, aku yang dipanggil kesana untuk menyelesaika

  • Istri Yang Kau Anggap Mandul   Bab 75 - Penjelasan Raja

    POV: AlyaPuluhan pesan dan missed call dari Mas Raja masih terus berdatangan. Entah kenapa aku masih enggan membaca pesannya ataupun mengangkat telepon darinya.Lucu sih sebenarnya, kenapa aku bersikap seperti ini ya? mengingat hubunganku dengan Mas Raja masih hanya sebatas teman biasa. Lalu kenapa aku sampai se begininya?Aku terus berpikir, apakah sikapku ini tepat? Apa bukannya justru jadi kelihatan jelas kalau aku cemburu? Padahal siapa aku?"Kalau dia beneran mikir aku cemburu gimana ya? meskipun memang iya, tapi kan bukan hak aku. Dia masih bebas melakukan apapun tanpa perlu persetujuan aku" Batinku terus bermonolog.Akhirnya aku memutuskan untuk menyudahi 'silent treatment' ku daripada ujungnya malah bikin malu diri sendiri. Karena aku juga tak tau bagaimana perasaan mas Raja padaku, belum tentu juga dia suka padaku.Pucuk dicinta, ponselku berdering. Ku lihat ada nama Mas Raja di layar ponsel yang berpendar. Segera ku geser tombol hijau ke kanan untuk menerima panggilan itu.

  • Istri Yang Kau Anggap Mandul   Bab 74 - Kesedihan Laras

    "Mbak Laras kenapa? Mbak Laras sakit?" Tanya Ayu, yang melihat perubahan pada diri Laras setelah ia break makan siang tadi. Padahal sebelumnya Laras masih terlihat biasa-biasa saja.Memang setelah Laras selesai istirahat dan kembali bekerja, Ayu melihatnya begitu lesu. Wajahnya pucat dan matanya sembap. Ia juga terlihat lebih banyak melamun dan seperti tidak bersemangat."Gue gak apa-apa kok,Yu" Sahut Laras lirih. Sambil terus mengelap piring basah yang baru saja selesai di cuci."Beneran? Tapi Mbak Laras pucat banget loh.. Mbak Laras istirahat aja, atau mau pulang? aku ijinin sama Bang Erwin ya?" Ucap Ayu dengan ekspresi wajah cemas.Ayu memang wanita berhati lembut, ia mudah sekali Iba pada orang lain. Apalagi Laras merupakan rekan kerja dia satu-satunya, yang telah ia anggap seperti saudara sendiri."Gak usah Ayu... Udah lo tenang aja, gue aman. Eh, ada customer rombongan tuh" Sahut Laras sambil menunjuk ke luar dengan kepalanya.Ayu menoleh ke arah yang ditunjukkan Laras. Benar s

  • Istri Yang Kau Anggap Mandul   Bab 73 - Alya Kecewa

    Tak lama kemudian, Raja membelokkan mobilnya ke halaman sebuah minimarket. Alya langsung turun buat membeli barang pesanan ibunya.“Sebentar ya, Mas,” ucap Alya sambil membuka pintu.“Eh, aku ikut ah. Pegel juga duduk lama di mobil,” sahut Raja sambil mematikan mesin dan ikut turun.Alya mengangguk. Mereka masuk bersama, lalu berpisah arah. Alya ke lorong perlengkapan wanita, Raja menuju deretan lemari pendingin.Nggak lama Alya sudah dapat barang yang dicari. Ia berniat menyusul Raja ke bagian minuman sekalian ambil pesanan ibunya. Dari jauh, Alya melihat Raja sedang berdiri depan lemari es, pilih-pilih minuman. Tapi sebelum Alya sempat menghampiri, seorang wanita cantik tiba-tiba datang mendekati Raja.Otomatis langkah Alya terhenti. Mau mendekat tapi merasa nggak enak. Jadilah ia memilih menunggu di lorong sebelah sambil menguping sedikit.“Raja?”Raja menoleh. “Renata?”“Kamu ngapain di sini?” tanya Renata.“Oh, ada urusan aja di sekitar sini,” jawab Raja santai, jelas nggak mau je

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status