Sudah jam lima sore, Akbar masih menanti kedatangan Mas Radit di depan teras. Sudah hampir satu jam dia tidak beranjak. Rasanya kasihan juga jika sampai Mas Radit membatalkan kedatangannya malam ini.
"Nunggunya di dalam aja Nak, sambil nonton televisi," tawarku melihat dia mulai jenuh.
"Nggak Ma, Akbar mau nunggu di sini. Di dalam Akbar kayak ngerasa kepanasan gitu, Ma."
Tersenyum aku mendengar alasan yang keluar dari mulutnya. Meski tanpa dampingan Mas Radit, namun dia sepenuhnya menuruni kecerdikan sang ayah. Ah, andai Mas Radit ikut mengasuhnya bersamaku, pasti ia tumbuh menjadi sosok yang lebih luar biasa dari sekarang.
Astaghfirullah, aku mengelus dada akan andai-andai yang tidak berdalil ini. Lalu memilih duduk di sofa ruang tamu. Entah kenapa hati inipun diam-diam menanti kedatangannya.
*
Tepat pukul enam, saat azan magrib hampir mengumandang. Terdengar deru mobil berhenti di depan pagar. Aku mengangkat tubuh dari kegiatan mengisi laporan ruangan, sambil menyibak sedikit gorden di kamar ini.
Nampak oleh kedua mata, Mas Radit dengan kaos berkerah lengan pendek serta celana jeans turun dari mobil.
Dengan menyandang tas punggung, ia sungguh masih terlihat muda. Padahal usia kami sudah berlalu enam tahun, tapi wajahnya tidak sedikitpun menua.
Ya Allah, kenapa hati ini tidak bisa berhenti mencintainya. Kupalingkan wajah, untuk kemudian kembali menekuni tugas yang harus selesai besok.
Semua keperluan Akbar khusus malam ini, sudah aku serahkan sama Bik Ina. Sudah kuputuskan, aku tidak akan keluar dari kamar walau dengan alasan apapun. Makan malam pun sudah kuminta bantuan Bibik untuk diantar ke dalam kamar.
Hatiku boleh saja masih mencintainya, tapi sampai kapanpun, Mas Radit tidak boleh tahu tentang rasa ini.
*
Malam mulai membentang. Masih di kamar, aku terus mendengar Akbar dan Mas Radit bercanda di ruang televisi. Hati ini mulai kesal, padahal sudah kuberitahu Mas Radit, agar dia tidak berkeliaran di dalam rumah. Langsung menuju kemah. Tapi Mas Radit bandel, dia melanggar perintahku!
Bik Ina harus bertanggung jawab. Aku mengambil gawai untuk kemudian menelpon wanita itu.
[Bik, kenapa Mas Radit masih di ruang keluarga?]
[Nganu, Nyonya. Mas Radit sedang membuat sebuah lukisan.]
[Suruh buat aja di tenda, Bik.]
[Nggih Nyonya, biar Bibik sampaikan.]
Sebenarnya Mas Radit membuat lukisan apa, dahulu saat masih bersamanya, aku paling senang meminta dia melukis tiap kegiatan yang kulakukan. Syukur, keahliannya melukis kini menurun pada Akbar.
Seperti ayahnya, Akbar juga kerap melukis wajahku lalu menempelkan pada dinding kamarnya.
Ah, kenapa aku jadi teringat masa lalu lagi?
Kugelengkan kepala sambil menunggu beberapa menit. Rasa penasaran kembali melanda, tatkala di luar sudah tidak lagi terdengar suara mereka.
Kuputuskan untuk keluar kamar, hanya untuk mengecek posisi Mas Radit. Pelan langkah ini berjalan hingga sampai ruang tengah yang pintunya langsung menuju ke halaman belakang.
Kusibak sedikit gorden hingga nampaklah di mataku Mas Radit dan Akbar sedang asyik membuat api unggun. Entah apa yang berbisik, tiba-tiba kepala Mas Radit menoleh.
Hingga mata kami bertemu sejenak. Aku yang ketangkap basah tengah mengintip begitu merasa malu. Segera saja kubalikkan tubuh untuk kemudian berlari ke kamar.
Memalukan! Bisa sampai kejadian begini. Pasti Mas Radit naik kuping.
Aku terduduk lemas di atas ranjang, saat ini pikiran malah melayang ke sebuah rumah. Rumah yang dulu pernah kutempati bersamanya.
"Bagaimana mungkin Ika membiarkan suaminya menginap di rumahku tanpa ada rasa was-was atau cemburu? Apa benar dia sudah mengikhlaskan Mas Radit."
Huh! Jadi ini yang namanya penyesalan? Dia telah merebut Mas Radit dariku secara hina, dan sekarang dia hendak mengembalikan apa yang seharusnya tidak menjadi miliknya? Jika semua ini adalah takdir, haruskan aku menerima Mas Radit kembali?
Ah, aku tidak terlahir sebagai wanita murahan, seulas tali yang sudah terputus, bagaimanapun ingin disambung kembali tetap ada simpul yang membuat tali itu tidak lurus seperti semula. Begitu juga dengan pernikahan, hubungan yang dibangun kembali setelah perpisahan, tidak akan berjalan mulus sebagaimana dahulu saat masih bersama.
Kembali pada Mas Radit adalah hal tak mungkin yang akan terjadi dalam hidupku.
Terdengar, gawaiku bergetar, tanda bahwa ada pesan yang masuk. Dengan malas aku gerakkan tangan untuk membuka notif tersebut.
[Kok cuma mengintip Dek, nggak mau gabung?]
Kuhela napas berat, seperti dugaan Mas Radit pasti akan memancing. Tapi jujur, satu sisi hatiku begitu berharap bisa bergabung dengan mereka, tapi sisi lain begitu menolak.
Lebih baik kuabaikan pesannya. Tapi pesan lain kembali masuk.
[Kenapa nggak dibalas Dek? Kemari kita buka surat dari Mama dan kita baca bersama.]
Tetap tak kutanggapi, suratnya saja sudah kubuang.
Meski begitu Mas Radit tak henti mengirimkanku pesan. Kini ia malah mengirim fotonya bersama Akbar.
Ya Allah ...
Kumatikan handphone lalu mencoba untuk memejamkan mata. Tapi nasib, hingga jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam, mata ini masih begitu kuat untuk terbuka.
Sedang apa mereka diluar sana, tapi suasana malam sudah begitu tenang. Sepertinya Akbar dan Mas Radit memang sudah tertidur. Untuk menghilangkan rasa penasaran, aku memutuskan kembali keluar. Mengecek keadaan mereka secara diam-diam. Kali ini harus bisa menjaga agar Mas Radit tidak sampai menangkap keberadaanku.
Suara petir yang membelah langit malam, membuat langkahku semakin berdebar. Pelan kusibak gorden lalu kembali memantau.
Ternyata benar, mereka sudah tertidur. Kuhela napas, sambil hendak kembali menuju kamar. Tapi suara hujan yang tiba-tiba turun langsung deras membuat langkahku terhenti.
"Ya Allah, kenapa hujan? Kemahnya rendah, pasti air yang mengenang akan memasuki tenda," keluhku penuh khawatir.
Semakin lama hujan semakin deras. Kuhidupkan gawai, siapa tahu Mas Radit menelpon memberi tahu keadaan di dalam tenda.
Benar saja, begitu aktif, gawaiku langsung disambut panggilan. Karena ini darurat, kuputuskan untuk mengangkat.
[Assalamualaikum Dek, air hujan masuk ke dalam tenda. Kasihan Akbar, apa boleh Mas bawa masuk?]
[Wassalamualaikum salam. Boleh, tapi Mas tetap nggak boleh tidur di dalam]
Ternyata aku setega itu, dia terdiam.
[Iya, Dek. Mas tetap ditenda.]
Aku membangunkan Bik Ina untuk membuka pintu samping, sedang diri ini langsung kembali ke kamar. Tak lama, terdengar suara gaduh di luar. Kubuka sedikit pintu.
Ternyata Mas Radit sudah membawa Akbar masuk. Tapi kenapa anakku menangis? Kuputuskan untuk mengendap di balik tembok.
"Akbar mau tidur sama Ayah."
"Diluar hujan, Nak."
"Nggak papa, 'kan ada Ayah."
"Ayah nggak bisa lindungi kamu dari hujan."
"'Kan ada tenda."
"Tendanya kemasukan air Sayang, nanti kamu kedinginan."
"Nggak papa, asal sama Ayah."
Tak lagi kudengar percakapan mereka. Hati ini terlalu rapuh untuk kembali menerima rasa sakit. Apakah aku harus setega ini ya Allah? Atau mungkin hujan ini pertanda bahwa yang kulakukan salah, mengijinkan dia masuk kembali dalam hidup?
Tak sanggup menahan, air mata kembali menyembul di sudut mata. Kuusap kasar! Jangan lemah Alya!
Sekitar lima belas menit berikutnya, tidak lagi terdengar suara gaduh di luar. Aku kembali memutuskan untuk mengecek.
Kamar Akbar sudah kembali tenang. Kakiku tergerak untuk melihat keadaan anak semata wayangku itu.
Pelan, aku membuka pintu kamar dan mendapati bocah itu sudah kembali terlelap seorang diri. Aku kembali menarik langkah untuk melihat keadaan Mas Radit.
Sejenak menarik napas. Tenda ia biarkan terbuka, mungkin dia tahu aku akan memeriksa keadaannya.
Menyedihkan! Lelaki itu duduk di atas sebuah bengku kecil di dalam tenda. Hujan yang semakin deras telah semakin banyak membawa airnya masuk ke dalam tenda.
Kubiarkan pemandangan menyiksa batin itu tanpa ingin mengubah keadaan.
Aku berbalik dan memilih tidur di dalam kamar Akbar. Ya, jika sendiri pasti malam ini aku akan bergadang hingga pagi.
***
Kokok ayam mengantar mataku terbuka, kulirik jam yang menggantung di dinding. Masih pukul setengah empat subuh. Seperti biasa, tahajjud menjadi ritual sunnah yang tak boleh terlewatkan untuk kulakukan.
Tapi sebelum kembali ke kamar, rasa penasaran menuntun langkahku kembali mengecek kondisi Mas Radit. Hujan memang sudah berhenti, biasa halaman belakang sedikit tergenang air. Pasti Mas Radit tidak bisa tidur.
Kusibak kembali gorden, mataku membelalak, sosok itu kini tertidur di atas teras dengan berbalut selimut.
Kasihan sekali kamu Mas. Ya Allah, maafkan hamba yang sudah begitu semena-mena padanya.
Tak boleh lemah, kubiarkan keadaan menyedihkan yang kini menimpa Mas Radit. Langkahku justru mantap untuk melaksanakan shalat dipenghujung malam.
*
Suara ketukan pintu kamar membuat diri yang sudah rapi dengan jas kerja ini tergerak untuk membuka pintu tersebut.
Bik Ina berdiri dengan raut muka khawatir.
"Ada apa, Bik?"
"Mas Radit Nyonya?"
"Kenapa Mas Radit?"
"Tubuhnya menggigil Nyonya, saat saya sentuh, badannya panas sekali."
Deg!
"Dimana sekarang Mas Radit?"
"Masih di teras belakang Nyonya."
"Suruh masuk ke kamar tamu."
"Baik Nyonya."
'Ya Allah, ketegaanku telah membuatnya jatuh sakit.'
Hati ingin menangis mendapati keadaan ini. Sakit yang tak bisa kujelaskan menghujam dada.
'Jangan lagi ya Allah. Sudah cukup.'
Aku kembali terduduk dengan mata yang terasa mulai memanas. Kuputuskan untuk sedikit merendahkan diri.
Akan kuanggap dia sebagai seorang pasien.
Tangan kini meraih sebutir obat penurun panas lalu kutarik langkah menuju kamar tamu. Sampai di depan kamar itu, kulihat Mas Radit sudah terbaring di atas ranjang. Berat, langkah kutarik memasuki kamar. Tiap kali kaki menjejak lantai, terasa ada yang menusuk-nusuk jantung ini.
Aku berdiri lama di samping ranjang, menatap dirinya dengan mata terpejam dan bibir terlihat memucat. Kusentuh dahi yang ternyata begitu hangat.
Benar, dia sakit. Mungkin terlalu lama dalam kehujanan.
Hati ini sakit sekali. Melihatnya begini, membuat napasku terasa berat.
Kuletakkan obat penurun demam pada sebuah mangkuk kecil di atas nakas. Lalu kupaksakan langkah ini meninggalkannya. Namun, baru saja memutar tubuh, suara Mas Radit membuat tubuh serasa luruh.
"Jangan pergi Dek, jangan tinggalkan Mas lagi. Mas butuh kamu, Dek. Tolong, maafkan semua kesalahan Mas. Tolong Dek."
Aku berbalik dan mendapati ia mengigau dengan mata terpejam.
"Jangan pergi, Dek. Jangan siksa Mas lagi."
Kini matanya terbuka.
***
🥺
"Jangan pergi, Dek. Jangan siksa Mas lagi," ucapnya dengan mulai membuka mata. Jadi daritadi, dia berpura-pura tidur?Kubuang napas sambil memendam kekesalan. Harus kuakui hati ini seolah tercerabut paksa mendengar permintaan yang kembali keluar dari mulut Mas Radit. Aku jadi tak mengerti, atau jangan-jangan dia amnesia hingga lupa bahwa yang memilih berpisah adalah dia, bukan diriku!Jika banyak wanita akan mengamuk untuk meluapkan kekesalan hatinya, tapi tidak denganku. Dari dulu tabiat ini memang tidak berubah. Kukumpulkan kekuatan untuk hanya mengeluarkan suara."Mas sudah terlalu banyak berbicara semenjak kemarin. Saya minta Mas jangan sampai salah paham perihal keijinan untuk menginap di rumah ini. Semua saya lakukan demi Akbar."Ucapanku pelan namun tegas. Dia tergerak, seperti hendak berbicara."Tolong beri Mas kesempatan untuk menjelaskan semuanya, Dek.""Tidak ada yang perlu dijelaskan lagi, Mas. Talak yang Mas ucapkan enam tahun yang lalu sudah menjelaskan semuanya. Saya ha
POV Bik InaPagi ini saya ditugaskan Mbak Alya mengawasi mantan suaminya. Sebenarnya saya tidak menyukai pekerjaan ini, tapi demi beliau yang teramat saya sayangi, saya bersedia melakukannya.Sudah lima tahun saya bekerja di rumah majikan saya ini, tepat setelah beliau melahirkan anak pertamanya bernama Akbar. Saat itu beliau tinggal di rumah eyangnya di Kota Malang. Yang saya tahu, beliau baru ditalak oleh suami dan diusir oleh ibu mertuanya.Seharusnya pula, beliau tinggal bersama ibu kandung yang berposisi di Kudus. Tapi kenyataan, di daerah itu pula sudah tersiar kabar bahwa beliau mengandung anak hasil hubungan terlarang.Saya tahu benar bagaimana kehidupan beliau. Kepahitan serta kepiluan yang beliau rasa. Selama masih mengandung, beliau setiap saat dalam keadaan murung, selalu menanti mantan suaminya datang untuk merujuk. Tapi ternyata, lelaki itu baru datang setelah Mbak Alya melahirkan.Entah apa sebenarnya yang terjadi diantara mereka, tapi satu yang saya tahu, bahwa mereka
"Alya."Langkahku terhenti, tatkala suara panggilan seseorang terdengar di belakang. Sejenak aku menoleh untuk memastikan siapa yang sudah memanggilku tersebut."Dokter Adam?"Duda sombong itu memanggilku? Nggak salah? Atas apa yang sudah ia lakukan tadi pagi, aku harus mengacuhkan panggilannya.Kubuang wajah, tak perduli. Langkahku tak terhenti walau sejenak."Alya."Kini dia berhasil menyeimbangkan posisinya denganku."Saya baru tahu, selain kurang hati-hati, kamu juga kurang bisa mendengar."Apa katanya? Kurang bisa mendengar?Baik akan saya layani segala keinginanmu, Dokter."Maksud Dokter apa? Apa kurang cukup mempermalukan saya di depan pasien tadi pagi? Saya ini manusia, punya hati, Dok."Lelaki itu terdiam."Jadi selain yang dua tadi, kamu juga mudah tersinggung."Aku mengeram di hadapannya. Kehentakkan dua tangan, lalu berlari menuju tempat parkiran. Dia hanya termanggu di tempatnya berdiri. Tanpa usaha untuk mengejar apalagi meminta maaf. Ingat, sampai kapanpun saya tidak a
Tak ingin peduli pada pesan terakhir yang dikirimkan dokter Adam ke ponselku. Aku kembali menapak kaki hingga ke kantin. Suasana di tempat itu masih lenggang dari pengunjung. Hanya beberapa bangku yang terisi. Kupilih duduk di kursi dekat taman. Ingatan ini sejenak terlempar pada dokter paru yang baru berdinas di rumah sakit sekitar enam bulan lalu. Selama ini memang kami jarang bertemu. Sesekali hanya berpas-pasan di koridor atau di ruangan rawatan saat aku mengantar pasien untuk rawat inap. Selebihnya pernah dua kali berada dalam satu ruang rapat. Artinya aku dan dia memang tidak pernah terlibat pertikaian, tapi kenapa sikapnya seolah sangat tidak menyukaiku?Apa benar cuma karena salah pasang infus kemarin? Masak iya sampai ngatain diri ini tidak beradap.Aneh! Bikin pusing.Saat kedua tangan baru membuka bungkusan nasi gurih di atas meja, seketika pandangan teralih pada beberapa meter ke depan.Yang baru saja menjadi topik dalam benak melangkah mendekat bersama beberapa staf UGD
Dulu aku mengikhlaskan Mas Radit untuk dimadu dengannya, tapi apa balasan yang kuterima? Dia mencampakkanku sedemikian lihai!"Alya.***Aku menangis sejadi-jadinya di dalam kamar. Kubiarkan air mata yang selama ini hanya boleh menetes tersebab mengingat dosa, kali ini berderai mengingat mantan. Enam tahun kugunakan seluruh usiaku untuk melupakan masa-masa indah bersamanya, tapi sungguh aku tak bisa. Tak pernah dalam hidup dia menyakitiku melainkan oleh fitnah yang ditimbulkan oleh ibunya. Dan hari ini, aku sudah membiarkan tanganku menyentuhnya kembali. Aku bersalah ya Allah. Dia yang tak boleh lagi kusentuh!Allah ...Harusnya memang tak kubiarkan dia terlalu jauh kembali.Kejadian ini semakin menyadarkanku, bahwa setegar apapun diri ini. Aku tetaplah wanita.Satu jam kubiarkan menangis tanpa ada seorangpun yang mengusik. Memasuki menit di jam kedua, kamarku diketuk pelan. Lalu Akbar muncul di sebaliknya.Kubalikkan tubuh menghadap tembok, menutupi sisa-sisa air mata dari pengliha
POV RaditBagi dunia, kamu mungkin hanya satu orang.Tapi bagiku, kamu adalah dunia.Enam tahun tanpamu, aku kehilangan duniaku, Al.Kembalilah, aku butuh kamu sebagai tempatku berpijak.***Kubaringkan kepala sembari menatap langit-langit kamar, bayang Alya menari-nari di sana. Ah, andai waktu bisa kembali, aku ingin menarik ulang kata-kataku. Sungguh aku masih sangat mencintainya. Sedikitpun tidak ada yang berubah.Enam tahun, jika ia beri sedikit saja kesempatan untuk kujelaskan semuanya. Tentu hidup kami tidak akan seperti ini, tentu tidak ada rindu yang tersia-siakan tanpa bisa berbagi. Semua bahkan terlewati dengan terus membawa duka. Ibarat kata, kami berada di dua dunia. Hanya tau tanpa pernah bertemu.Kulirik surat wasiat Mama sebelum beliau menutup mata. Harusnya mama meminta agar aku membacanya bersama Alya. Huh, apakah Alya sudah membaca surat miliknya, kira-kira apa yang Mama tuliskan?Aku hanya bisa membayangkan, mungkin lebih baik kubaca surat ini terlebih dahulu. Kub
Sudah satu jam sejak kepergian Akbar bersama Mas Radit, aku terduduk dengan pikiran penuh tanya di sini. Tak tahan terus didera rasa penasaran, akhirya kuputuskan untuk menghubungi Bik Ina.[Assalamualaikum Mbak Alya.][Waalaikum salam Bik.]Sejenak bibirku kelu, entah apa yang ingin kutanyakan pada wanita itu. Perihal keadaan Mas Radit, tentu aneh. Alangkah lebih beralasan jika yang kutanyakan adalah Akbar.[Akbar bagaimana, Bik?][Oh, Den Akbar baik Mbak. Lagi asyik main air sama Bapake.][Air? Emang dimana ini Bik?][Den Akbar minta ke Waterboom Mbak, yang di Dawe itu.][Wah, lumayan jauh 'kan?][Kata Mas Radit cuma sebentar.][Sebentar, pasti lupa waktu itu kalau udah di air. Bibik ingatin, ya. Kalau udah jam limaan, segera udahan.][Iya, nanti Bibik ingatin, Mbak.]Kututup telpon dengan perasaan gusar, dasar Mas Radit, sekalinya dikasih, malah dibawa ke tempat nggak aman begitu. Akbar 'kan punya riwayat alergi, gimana kalau kelamaan mandi terus alerginya kambuh.Kulirik terus jam
POV RaditMobil melaju dengan kecepatan sedang, sesuai permintaan Akbar, hari ini kami akan mengunjungi Waterboom Mulia Kudus. Banyak pertanyaan yang terlontar dari mulut mungil anak semata wayangku. Tapi semua tak khusuk kutanggapi. Pikiran ini masih saja dipenuhi bayang-bayang Alya. Sentuhan kembali tangannya pada pipi, sungguh aku menanti hal ini semenjak enam tahun yang lalu. Aku merindumu Al. Tendang aku sepuasnya, tapi berjanjilah bahwa kau akan kembali.Pandangan ini sedikit kabur, serasa ada yang memenuhi pelupuk mata."Yah ....""Iya, Nak?"Suara Akbar membuatku terhenyak. Kembali dia menceritakan kisah sekolahnya, teman-temannya. Bagaimana ia mendapat pujian setiap hari dari guru-gurunya. Akbar memang anak hebat, tentu sebab diasuh oleh wanita sehebat Alya.Perlahan suara Akbar menghilang. Pikiranku kembali terlempar pada Alya. Berbagai pertanyaan seperti diurutkan dalam benak. Apakah Alya sudah membaca surat dari Mama? Tapi kenapa sikapnya seolah masih begitu memendam am