Share

Bab 4

Author: Lee Sizunii
last update Last Updated: 2024-08-07 22:38:37

“Morgan, kenapa membawaku ke sini?”

Valeria bertanya-tanya kenapa Morgan membawanya ke rumah lama keluarga Morreti. Beberapa tahun yang lalu rumah itu sudah disita bank saat keluarga Morreti bangkrut.

Mobil hitam mewah itu memasuki halaman rumah yang sangat luas. Rumah megah bak istana itu juga terlihat masih sama dengan polesan batu marmer di setiap sudutnya.

 

"Silahkan, Valeria," kata pria 8 tahun lebih tua itu. Morgan membukakan pintu mobil untuk Valeria yang masih terlihat bingung. Morgan mengarahkan lengannya, "Tuan besar akan menjelaskan semuanya."

Valeria melingkarkan tangannya di lengan Morgan. Mereka berdua masuk kedalam rumah besar tersebut. Semuanya masih sama bagi Valeria, suasana rumah tersebut membawakan kenangan lama Valeria. Dulu di rumah itu Valeria menghabiskan masa kecil dan remajanya dengan menjadi anak nakal dan manja.

Morgan membawa Valeria ke sebuah ruangan yang dia tahu ruangan itu adalah tempat keluarga besarnya berkumpul. Saat pintu besar itu terbuka semua orang yang ada di sana langsung memandang ke arah Valeria.

"Vale," gumam wanita cantik paruh baya yang menatap Valeria dengan berkaca-kaca.

"Mommy ...." Valeria melepaskan tangan Morgan untuk menghampiri wanita itu.

Elena menghampiri Valeria dengan tergesa-gesa lalu keduanya saling berpelukan. "Vale, Mommy sangat merindukanmu," ucap Elena dengan berlinang air mata.

Valeria tak kuasa menahan isak tangisnya. Dia melimpahkan semua perasaan sakitnya yang sejak kemarin dia rasakan. 

Terlebih lagi, sudah setahun lamanya Valeria tidak melihat wajah sang ibu. Sejak memutuskan untuk menikah dengan Julian, Valeria sudah tidak pernah diizinkan untuk bertemu kembali dengan Elena.

Tangan keriput yang masih terlihat terawat itu mengusap bulir air mata Valeria. "Kamu apa kabar, Honey?"

Valeria hanya menggelengkan kepalanya. Semuanya tidak baik-baik saja, dia kehilangan anaknya dan Julian juga berselingkuh di belakangnya selama ini. Belum lagi keterkejutan ini, Valeria masih bingung kenapa semua keluarganya bisa ada di sana.

"Selamat datang kembali di rumah, Valeria," ucap pria paruh baya, paman Valeria, Roberto Morreti.

Valeria menoleh, Paman, Bibi dan kedua orang tuanya seperti sedang menunggu kedatangannya. 

Tak lama, Lorenzo Morreti, ayah Valeria menghampiri mereka berdua. Tatapan yang selalu tajam dan mematikan itu masih sama seperti dulu di saat Valeria terakhir kali melihatnya.

"Daddy ...," gumam Valeria dengan mata berkaca-kaca. 

Meskipun Lorenzo sangat keras kepada Valeria, tapi sejak dulu Valeria sangat manja kepadanya. Hanya dengan melihat mata Lorenzo saja Valeria sudah mau mengadu kepadanya.

Lorenzo hanya merentangkan kedua tangannya mempersilahkan Valeria masuk ke dalam pelukannya. 

Tanpa menunggu lama Valeria memeluk tubuh yang masih tegap itu. Valeria kembali menangis di pelukan Lorenzo, dia terisak-isak sampai kesulitan bernapas.

"Maafkan Vale, Dad. Vale sangat bodoh," gumamnya sambil tergugu.

"Kamu baru sadar jika kamu bodoh?" kata Lorenzo begitu saja tanpa perasaan membuat Elena menyenggol keras lengan Lorenzo.

Hal itu justru membuat Valeria tertawa. Dia sangat merindukan kedua orang tuanya.

Elena membawa Valeria duduk di sofa bersama yang lain. Tatapan bibinya sejak tadi tak pernah lepas dari Valeria. Dia bahkan menatap Valeria dari atas sampai ke bawah.

"Ck, ck, ck, lihatlah, Baby. Pria itu bahkan tak bisa mengurusmu dengan benar. Aku rasa aku mau membunuhnya," ucap Giulia.

Valeria tidak bisa membalas ucapan bibinya itu. Dia tahu benar memang banyak yang berubah sejak dia menikah dengan Julian, dan perubahan itu bukan ke arah yang bagus. 

Dia menjadi lebih jelek daripada saat dia masih lajang, kulitnya kusam dan kasar. Rambutnya juga tak terurus, apalagi sejak melahirkan, tubuhnya menjadi gendut. Hal itu lah yang membuat Julian berpaling, karena dia pikir Valeria sudah tak secantik dulu lagi saat pertama kali dia dapatkan. 

Bukan apa, Valeria sendiri juga hidup tak layak di keluarga Ricci membuatnya menjadi seperti ini. Ibu mertuanya melarang Valeria menggunakan uang Julian dengan seenaknya atau bahkan tak memperbolehkan Valeria membeli barang keperluannya sendiri.

Setelah berbincang beberapa saat, Valeria yang tadinya banyak diamnya kini mulai angkat bicara. "Mom, Dad, bukankah kita sudah lama bangkrut dan rumah ini disita? Kenapa ..., kita ada di sini sekarang?"

Mereka semua saling pandang dan berakhir menatap Lorenzo. Pria paruh baya yang duduk di sofa single itu berdehem sejenak. "Ehem, sebenarnya kita tidak pernah bangkrut Vale," kata Lorenzo.

"Apa?" gumam Valeria terkejut, "bagaimana bisa?"

Kemudian, bergantian, orang tua beserta paman dan bibinya menjelaskan apa yang terjadi selama ini.

Selama ini, mereka hanya ingin menguji Valeria. Sebagai satu-satunya pewaris Moretti, mereka menginginkan dia mendapatkan hal yang layak. Dan menurut orang tuanya, Julian bukanlah pria yang tepat untuk mendampingi Pewaris Moretti.

"Jadi semuanya hanya karangan kalian?" gerutu Valeria sambil menatap meja besar yang ada di hadapannya.

Elena mengusap tangan Valeria lalu menggenggamnya. "Honey, bukannya kami membuangmu tapi saat itu kamu terlihat sangat gigih dan Daddy-mu ...." Elena melirik suaminya sekilas. "Daddy sangat marah dan membiarkan kamu pergi. Namun, kamu tau Daddy tidak pernah mengabaikanmu bukan? Selama ini dia mengawasimu dari jauh," jelas Elena.

Valeria tertawa lirih. "Lalu, apa untungnya bagiku sekarang?"

Dia merasa semuanya sudah tak berguna lagi. Dia hancur sekarang; tubuhnya, mentalnya, bahkan dia kehilangan anaknya. 

Andai jika dulu Lorenzo dan yang lainnya memberitahu sejak awal, apa dia tidak akan menjadi seperti ini? Di dalam hati Valeria mulai menyalahkan semua orang dan keadaan yang dia lalui.

"Kalian membawaku ke sini karena tau hidupku sudah hancur? Miris sekali."

"Daddy membawamu pulang karena sudah saatnya kamu mengambil apa yang menjadi milikmu, Vale." Lorenzo menatapnya tajam. "Lagipula, mana mungkin aku biarkan seorang Morreti hidup di jalanan karena dibuang oleh orang-orang yang telah membuatmu sengsara?” Rahang Lorenzo mengetat kala mengatakan kalimat itu. “Kepergianmu dari keluarga Ricci sudah menjadi alasan yang cukup untuk Daddy membawamu kembali."

Dari sana, Valeria berpikir keras. Bukankah jika ingin membalas apa yang keluarga Ricci lakukan padanya, dia membutuhkan amunisi sebanyak-banyaknya?

Saat Valeria tengah menimbang, Lorenzo kembali bertanya dengan penuh wibawa, “Jadi, apa kamu siap menjadi Pewaris Moretti, Valeria?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri Yang Kau Hina, Incaran Mafia   EPILOG

    Lima Tahun Kemudian ....Di markas Il Leone d'Ombra, seorang gadis kecil duduk di samping seorang pria bertubuh kekar. Suasana ruangan itu penuh dengan aroma logam dan minyak senjata, namun gadis kecil itu tampak tidak terganggu sedikit pun.Antonio, pria yang tengah merapikan senjata, berkali-kali menarik napas panjang. Di sebelahnya, Elettra—gadis kecil berusia lima tahun dengan rambut ikal kecokelatan dan mata secerah musim semi—terus berbicara tanpa jeda."Uncle Antonio, kenapa peluru ini warnanya beda? Apa senjatanya juga beda? Kalau senjata ini bisa buat tembak monster nggak? Kenapa di sini gelap banget? Uncle nggak takut hantu?"Antonio menghela napas, berusaha tetap fokus membersihkan senjatanya. "Elettra, bukankah kau seharusnya menggambar atau bermain boneka? Anak seusiamu biasanya tidak tertarik pada senjata.""Aku bukan anak kecil biasa, Uncle. Aku Elettra Marino! Aku harus tahu semuanya supaya bisa melindungi Mommy dan Daddy. Kalau Uncle nggak mau jawab, aku tanya sama Da

  • Istri Yang Kau Hina, Incaran Mafia   Bab 210

    Elena menangis tak henti-henti di pelukan Lorenzo. Tubuhnya bergetar, wajahnya penuh kekhawatiran."Tuhan, jangan ambil putriku ..., jangan ambil cucuku ...," isaknya berulang kali.Lorenzo mencoba menenangkan istrinya, meski dalam hatinya sendiri ada badai yang tak kalah hebat. "Tenanglah, sayang. Valeria perempuan yang kuat. Dia akan baik-baik saja." Meski suaranya terdengar tenang, genggaman tangannya pada bahu Elena menunjukkan betapa kerasnya dia menahan diri untuk tidak ikut larut dalam kepanikan.Sementara itu, Anna mondar-mandir di koridor rumah sakit. Setiap detik terasa seperti menit, setiap menit terasa seperti jam."Kenapa lama sekali? Kenapa belum ada kabar?" Anna bergumam, tatapannya kosong.Di tengah semua kegaduhan itu, Salvatore justru terdiam. Dia berdiri di sudut ruangan, tubuhnya kaku seperti patung. Matanya tertuju pada pintu ruang operasi, seolah menunggu keajaiban. Namun, dalam keheningannya, tubuhnya gemetar. Keringat dingin membasahi pelipisnya."Valeria ...,

  • Istri Yang Kau Hina, Incaran Mafia   Bab 209

    Hari berganti hari, minggu berganti minggu. Kini perut Valeria sudah semakin membesar, hampir memasuki usia delapan bulan.Musim semi menghiasi kota dengan udara hangat dan bunga bermekaran. Valeria duduk di bangku kayu di tepi jalan, menikmati es krim stroberi yang mencair perlahan di tangannya.Wajahnya berseri-seri, matanya berbinar penuh kebahagiaan. Di sampingnya, Salvatore duduk santai, sesekali menyeka tetesan es krim yang hampir jatuh ke gaun Valeria."Kau tahu, Salvatore," ucap Valeria sambil menjilati sendok es krimnya. "Aku berharap anak kita nanti suka es krim sepertiku. Bagaimana menurutmu?"Salvatore tertawa kecil. "Kalau begitu, aku harus siap-siap mengisi freezer penuh es krim. Anak kita akan jadi pecinta es krim garis keras sepertimu."Valeria tertawa terbahak. Suara tawanya menggema lembut di tengah keramaian jalan. Beberapa orang yang lewat ikut tersenyum melihat pasangan itu, seolah kebahagiaan mereka menular.Tas belanja di kaki mereka penuh dengan perlengkapan ba

  • Istri Yang Kau Hina, Incaran Mafia   Bab 208

    Matahari mulai tenggelam, menciptakan gradasi oranye dan ungu di langit senja. Salvatore duduk di kursi balkon kamar Valeria, memandangi langit dengan tatapan kosong.Angin sore berhembus lembut, namun tidak mampu mendinginkan pikirannya yang berkecamuk. Kata-kata Julian terus terngiang di kepalanya, mengalun seperti nada minor yang menghantui."Lepaskan Sofia .... Hentikan penyiksaannya ...."Salvatore memijit pelipisnya. Rasa pusing itu kembali datang, semakin tajam seiring bayangan-bayangan samar yang muncul. Wajah Sofia, jeruji penjara, dan suara erangan kesakitan yang entah berasal dari mana. Apa benar semua itu ulahnya?Dia mendesah panjang, rasa bersalah mulai merayapi hatinya. Bagaimana mungkin dia mencintai Valeria namun di saat yang sama menyakiti orang lain? Apakah ini sisi gelapnya yang tersembunyi?"Salvatore?"Suara lembut Valeria membuyarkan lamunannya. Salvatore menoleh, melihat Valeria berdiri di sampingnya dengan segelas jus segar di tangannya. Senyum perempuan itu t

  • Istri Yang Kau Hina, Incaran Mafia   Bab 207

    Setelah menjalani pemeriksaan di rumah sakit, Salvatore dan Valeria keluar dengan senyum lega. Hasil pemeriksaan menunjukkan kondisi mereka baik-baik saja. Kaki Salvatore hanya memerlukan sedikit terapi, dan kehamilan Valeria dalam keadaan sehat. Beban yang sempat menggantung di benak mereka pun perlahan terangkat."Ayo, kita makan siang. Aku sudah lapar," ujar Valeria ceria, menggenggam tangan Salvatore dengan erat."Aku juga," Salvatore tersenyum hangat. "Ada restoran di sekitar sini yang katanya enak. Mau coba?""Tahu darimana?""Tadi aku sempat mendengar percakapan orang di rumah sakit. Mau coba makan di sana?"Valeria mengangguk antusias. Mereka berjalan bergandengan tangan menuju restoran kecil berdesain klasik yang tak jauh dari rumah sakit. Suasananya tenang dengan dekorasi kayu dan jendela besar yang menghadap ke taman kota.Mereka memilih meja di dekat jendela, menikmati pemandangan hijau di luar sembari menunggu pesanan datang. Percakapan ringan mengalir, sesekali diiringi

  • Istri Yang Kau Hina, Incaran Mafia   Bab 206

    Sinar matahari pagi menerobos jendela ruang makan, menciptakan pola-pola cahaya yang menari di atas meja kayu panjang yang telah dipenuhi oleh berbagai hidangan sarapan. Aroma roti panggang yang baru matang, telur dadar lembut, dan kopi hitam pekat menguar di udara, memberikan suasana hangat di rumah keluarga Valeria.Di ujung meja, Salvatore duduk dengan rapi dalam setelan kasual, mengenakan kemeja putih yang digulung hingga siku dan celana panjang gelap. Di sebelahnya, Valeria tampak anggun dalam gaun sederhana berwarna pastel yang lembut membungkus tubuhnya yang kini tengah mengandung. Tangannya sesekali mengusap perutnya yang mulai membuncit, seolah secara naluriah melindungi kehidupan kecil di dalamnya.Elena meletakkan cangkir kopi di depannya, kemudian duduk di samping Lorenzo. Giulia dan Roberto juga telah mengambil tempat, memulai sarapan dengan senda gurau kecil."Kalian tampak rapi pagi ini." Elena membuka percakapan dengan senyum keibuan. "Ada acara khusus?"Valeria dan Sa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status