Share

Bab 3

Penulis: Lee Sizunii
last update Terakhir Diperbarui: 2024-08-07 22:37:31

"Nolen!" teriak Valeria yang langsung terbangun.

Tatapan mata sayu itu menoleh ke sekeliling. Bau antiseptik menyengat hidungnya, kepalanya juga sangat pusing. Valeria sadar, dia tak seharusnya di sini. Dia harus menemui bayinya.

Dengan cepat Valeria mencabut infus yang menancap di tangannya, membuat bercak darah mengalir membasahi lantai. Valeria menyingkap selimut dan langsung turun dari ranjang rumah sakit.

Seperti orang yang hilang akal, Valeria pergi ke ruangan dimana dia meninggalkan Nolen di sana. 

Saat Valeria masuk ke dalam ruangan itu, Julian, kedua mertuanya–Giovani, Isabella dan juga Sofia, iparnya sudah berada di ruangan itu. Mereka menatap sebuah tubuh mungil yang membiru di atas ranjang.

"No-nolen," gumam Valeria saat melihat tubuh bayinya kaku.

Mereka semua langsung menoleh kearah Valeria. Julian tampak menatapnya tajam. Dengan penuh kemarahan Isabella menghampiri Valeria lalu menampar keras pipi Valeria.

"Kurang ajar! Kamu sudah membunuh cucuku!" teriak Isabella di depan wajah Valeria.

"Mom, udah Mom. Jangan seperti ini, ini rumah sakit." Sofia mencoba menenangkan Isabella yang terlihat sangat emosi dan hendak menghabisi Valeria.

"Kamu benar-benar kurang ajar," geram Isabella.

Giovani menghampiri mereka, tatapan matanya juga tak kalah tajam menatap Valeria yang menatap tubuh bayinya dengan tatapan mata kosong. Tanpa berkata apa-apa, Giovani mengisyaratkan Isabella dan Sofia untuk keluar dari ruangan.

Valeria langsung berlari ke arah ranjang di mana Nolen berada. "Nolen, sayang. Bangun," bisik Valeria dengan tangis tak terbendung.

Tubuh Valeria tersentak saat Julian menariknya. 

Dengan tatapan nyalang Julian memegang lengan Valeria dengan erat. "Ini caramu membalasku? Kamu gila? Kamu tahu, aku cuma butuh Nolen dan kamu malah membunuhnya?!"

Valeria hanya bisa menangis, dia hancur sehancur-hancurnya. Setelah pria di hadapannya tak lagi mencintainya dan justru membuangnya …  Nolen adalah buah hatinya, mana mungkin dia tega menghabisi nyawa anaknya sendiri. 

Julian menghempaskan tangan Valeria dengan keras. "Aku akan buat perhitungan denganmu. Mulai besok kita akan benar-benar bercerai. Kamu, bukan siapa-siapa lagi sekarang." Julian langsung meninggalkan ruangan itu.

Valeria terduduk di atas lantai. Dia tak sanggup membalas ucapan Julian dan juga keluarganya, Valeria bahkan tak sanggup menopang tubuhnya sendiri sekarang. Dia hanya menangis dan meratapi hidupnya dan juga Nolen.

Pemakaman dilakukan besok paginya dan tentunya hal itu dilakukan oleh keluarga Ricci. Semua orang yang datang ke pemakaman bahkan tak memandang sedikitpun ke arah Valeria. Mereka seolah tak menganggap Valeria ada di sana.

Dokter bilang jika Nolen kehilangan nyawanya karena sebuah alergi. Hal ini membuat Isabella dan yang lainnya menyalahkan Valeria karena tak becus menjaga anaknya.

"Nyonya Valeria?" Suara seorang pria membuat Valeria yang duduk di sisi makam anaknya jadi menoleh ke samping. "Saya Virgo, pengacara keluarga Ricci. Ini adalah berkas yang perlu anda tanda tangani," kata pria berjas hitam itu.

Valeria mengambil berkas itu dan membacanya. Dia tersenyum miris. Rupanya Julian benar-benar menceraikannya hari ini. Hati Valeria bahkan tersenyum getir saat melihat isi surat itu di mana mengatakan jika Valeria tak berhak sama sekali dengan harta keluarga Ricci ataupun Julian.

Tanpa berpikir panjang, Valeria menandatangani surat cerai itu. Harta, tak lagi penting untuk Valeria. Lagipula dia sejak awal tak membutuhkan harta keluarga Ricci. 

"Bilang ke Julian, aku tidak membutuhkan apapun, jadi tidak perlu memberikan uang untukku," kata Valeria dengan dingin ke pengacara itu.

 Valeria akan mengingat hari ini. Sakit dan air mata yang Valeria rasakan, akan dia ingat sampai kapanpun itu.

"Baik, saya akan menyampaikannya ke Tuan Julian." Pengacara itu pergi meninggalkan Valeria di tempatnya. 

Hari mulai petang, tetapi Valeria masih setia di samping makam Nolen. Dia bahkan tak beranjak dari sana. 

Tak lama, Isabella dan beberapa wanita lainnya mendekati Valeria.

"Bukankah Julian sudah menceraikan kamu? Kenapa kamu masih di sini? Pergi!" usir Isabella.

Dengan tatapan kosong yang masih menatap makam Nolen, Valeria berkata lirih, "Aku masih mau menemani anakku di sini."

Isabella bersungut-sungut. "Sekarang dia sudah berkumpul dengan leluhur keluarga Ricci, kamu bukan siapa-siapa lagi jadi pergi dari sini. Security!" Beberapa keamanan pun datang. "Seret dia pergi dari sini!"

Dua orang berbadan kekar langsung memegangi kedua lengan Valeria. Wanita itu memberontak saat hendak dibawa. 

Tatapan mata merah Valeria menatap tajam Isabella. "Kenapa kamu memperlakukan aku seperti ini?" ucap Valeria dengan suara menahan amarah. Dia benar-benar muak dengan keluarga ini.

Dengan sinis Isabella menatap balik Valeria. "Kenapa? Dari awal aku tidak pernah mengakuimu sebagai salah satu bagian dari kami. Masih tanya kenapa?" Isabella terkekeh di akhir kalimatnya.

Mata Valeria semakin menajam dengan guratan otot mata yang semakin memerah. "Aku akan selalu mengingat bagaimana kalian semua memperlakukanku selama ini. Sampai kapanpun aku tidak akan pernah lupa!"

"Haha, memangnya kamu bisa apa?” Tidak takut, Isabella justru tertawa sinis. “Sana bawa dia pergi!"

Para Security itu menyeret paksa Valeria pergi dari makam keluarga Ricci tersebut. 

Amarah yang ada di dalam hati Valeria meluap, dia mengutuk satu keluarga itu di dalam hatinya. Hari-hari buruk yang dia lalui di keluarga Ricci akan dia ingat selama sisa hidupnya.

Valeria dilempar keluar dari tempat itu. Bahkan semua orang hanya menatapnya sinis seolah Valeria adalah sebuah kotoran. Sakit yang dia derita, tak akan pernah Valeria lupakan.

"Kalian lihat saja nanti."

Langkah kaki Valeria hendak pergi dari sana tapi terhenti karena dia dihadapkan dengan Julian yang sedang berjalan sambil menggandeng Margareta di sampingnya. Mereka berdua terlihat saling tersenyum satu sama lain, membuat Valeria merasa sakit lebih dalam.

Bisa-bisanya Julian membawa wanita itu ke pemakaman anaknya sendiri.

Tangan Valeria mengepal melihat mereka masuk ke dalam pemakaman tersebut. Tak mau berlama-lama di sana, Valeria melangkahkan kakinya untuk pergi dari tempat itu. 

Selang beberapa meter, Valeria melihat sebuah sepasang sepatu berhenti di hadapannya.

"Valeria."

Wanita itu langsung mendongak menatap seorang pria dengan kumis tipis berwajah tegas sedang berdiri di hadapannya. "Morgan?"

Ya, pria yang dulu selalu menjadi asistennya kini tepat di hadapan Valeria. 

Semenjak keluarganya bangkrut, Morgan tak lagi menemani Valeria dan wanita itu dibiarkan hidup mandiri di luar sana.

"Tuan besar menyuruhmu pulang, Valeria."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Istri Yang Kau Hina, Incaran Mafia   EPILOG

    Lima Tahun Kemudian ....Di markas Il Leone d'Ombra, seorang gadis kecil duduk di samping seorang pria bertubuh kekar. Suasana ruangan itu penuh dengan aroma logam dan minyak senjata, namun gadis kecil itu tampak tidak terganggu sedikit pun.Antonio, pria yang tengah merapikan senjata, berkali-kali menarik napas panjang. Di sebelahnya, Elettra—gadis kecil berusia lima tahun dengan rambut ikal kecokelatan dan mata secerah musim semi—terus berbicara tanpa jeda."Uncle Antonio, kenapa peluru ini warnanya beda? Apa senjatanya juga beda? Kalau senjata ini bisa buat tembak monster nggak? Kenapa di sini gelap banget? Uncle nggak takut hantu?"Antonio menghela napas, berusaha tetap fokus membersihkan senjatanya. "Elettra, bukankah kau seharusnya menggambar atau bermain boneka? Anak seusiamu biasanya tidak tertarik pada senjata.""Aku bukan anak kecil biasa, Uncle. Aku Elettra Marino! Aku harus tahu semuanya supaya bisa melindungi Mommy dan Daddy. Kalau Uncle nggak mau jawab, aku tanya sama Da

  • Istri Yang Kau Hina, Incaran Mafia   Bab 210

    Elena menangis tak henti-henti di pelukan Lorenzo. Tubuhnya bergetar, wajahnya penuh kekhawatiran."Tuhan, jangan ambil putriku ..., jangan ambil cucuku ...," isaknya berulang kali.Lorenzo mencoba menenangkan istrinya, meski dalam hatinya sendiri ada badai yang tak kalah hebat. "Tenanglah, sayang. Valeria perempuan yang kuat. Dia akan baik-baik saja." Meski suaranya terdengar tenang, genggaman tangannya pada bahu Elena menunjukkan betapa kerasnya dia menahan diri untuk tidak ikut larut dalam kepanikan.Sementara itu, Anna mondar-mandir di koridor rumah sakit. Setiap detik terasa seperti menit, setiap menit terasa seperti jam."Kenapa lama sekali? Kenapa belum ada kabar?" Anna bergumam, tatapannya kosong.Di tengah semua kegaduhan itu, Salvatore justru terdiam. Dia berdiri di sudut ruangan, tubuhnya kaku seperti patung. Matanya tertuju pada pintu ruang operasi, seolah menunggu keajaiban. Namun, dalam keheningannya, tubuhnya gemetar. Keringat dingin membasahi pelipisnya."Valeria ...,

  • Istri Yang Kau Hina, Incaran Mafia   Bab 209

    Hari berganti hari, minggu berganti minggu. Kini perut Valeria sudah semakin membesar, hampir memasuki usia delapan bulan.Musim semi menghiasi kota dengan udara hangat dan bunga bermekaran. Valeria duduk di bangku kayu di tepi jalan, menikmati es krim stroberi yang mencair perlahan di tangannya.Wajahnya berseri-seri, matanya berbinar penuh kebahagiaan. Di sampingnya, Salvatore duduk santai, sesekali menyeka tetesan es krim yang hampir jatuh ke gaun Valeria."Kau tahu, Salvatore," ucap Valeria sambil menjilati sendok es krimnya. "Aku berharap anak kita nanti suka es krim sepertiku. Bagaimana menurutmu?"Salvatore tertawa kecil. "Kalau begitu, aku harus siap-siap mengisi freezer penuh es krim. Anak kita akan jadi pecinta es krim garis keras sepertimu."Valeria tertawa terbahak. Suara tawanya menggema lembut di tengah keramaian jalan. Beberapa orang yang lewat ikut tersenyum melihat pasangan itu, seolah kebahagiaan mereka menular.Tas belanja di kaki mereka penuh dengan perlengkapan ba

  • Istri Yang Kau Hina, Incaran Mafia   Bab 208

    Matahari mulai tenggelam, menciptakan gradasi oranye dan ungu di langit senja. Salvatore duduk di kursi balkon kamar Valeria, memandangi langit dengan tatapan kosong.Angin sore berhembus lembut, namun tidak mampu mendinginkan pikirannya yang berkecamuk. Kata-kata Julian terus terngiang di kepalanya, mengalun seperti nada minor yang menghantui."Lepaskan Sofia .... Hentikan penyiksaannya ...."Salvatore memijit pelipisnya. Rasa pusing itu kembali datang, semakin tajam seiring bayangan-bayangan samar yang muncul. Wajah Sofia, jeruji penjara, dan suara erangan kesakitan yang entah berasal dari mana. Apa benar semua itu ulahnya?Dia mendesah panjang, rasa bersalah mulai merayapi hatinya. Bagaimana mungkin dia mencintai Valeria namun di saat yang sama menyakiti orang lain? Apakah ini sisi gelapnya yang tersembunyi?"Salvatore?"Suara lembut Valeria membuyarkan lamunannya. Salvatore menoleh, melihat Valeria berdiri di sampingnya dengan segelas jus segar di tangannya. Senyum perempuan itu t

  • Istri Yang Kau Hina, Incaran Mafia   Bab 207

    Setelah menjalani pemeriksaan di rumah sakit, Salvatore dan Valeria keluar dengan senyum lega. Hasil pemeriksaan menunjukkan kondisi mereka baik-baik saja. Kaki Salvatore hanya memerlukan sedikit terapi, dan kehamilan Valeria dalam keadaan sehat. Beban yang sempat menggantung di benak mereka pun perlahan terangkat."Ayo, kita makan siang. Aku sudah lapar," ujar Valeria ceria, menggenggam tangan Salvatore dengan erat."Aku juga," Salvatore tersenyum hangat. "Ada restoran di sekitar sini yang katanya enak. Mau coba?""Tahu darimana?""Tadi aku sempat mendengar percakapan orang di rumah sakit. Mau coba makan di sana?"Valeria mengangguk antusias. Mereka berjalan bergandengan tangan menuju restoran kecil berdesain klasik yang tak jauh dari rumah sakit. Suasananya tenang dengan dekorasi kayu dan jendela besar yang menghadap ke taman kota.Mereka memilih meja di dekat jendela, menikmati pemandangan hijau di luar sembari menunggu pesanan datang. Percakapan ringan mengalir, sesekali diiringi

  • Istri Yang Kau Hina, Incaran Mafia   Bab 206

    Sinar matahari pagi menerobos jendela ruang makan, menciptakan pola-pola cahaya yang menari di atas meja kayu panjang yang telah dipenuhi oleh berbagai hidangan sarapan. Aroma roti panggang yang baru matang, telur dadar lembut, dan kopi hitam pekat menguar di udara, memberikan suasana hangat di rumah keluarga Valeria.Di ujung meja, Salvatore duduk dengan rapi dalam setelan kasual, mengenakan kemeja putih yang digulung hingga siku dan celana panjang gelap. Di sebelahnya, Valeria tampak anggun dalam gaun sederhana berwarna pastel yang lembut membungkus tubuhnya yang kini tengah mengandung. Tangannya sesekali mengusap perutnya yang mulai membuncit, seolah secara naluriah melindungi kehidupan kecil di dalamnya.Elena meletakkan cangkir kopi di depannya, kemudian duduk di samping Lorenzo. Giulia dan Roberto juga telah mengambil tempat, memulai sarapan dengan senda gurau kecil."Kalian tampak rapi pagi ini." Elena membuka percakapan dengan senyum keibuan. "Ada acara khusus?"Valeria dan Sa

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status