"TIDAK! JANGAN!"
Valeria berteriak dengan peluh membasahi dahinya. Tubuhnya seketika terduduk di atas kasur empuk yang sudah beberapa minggu ini menampung air matanya.
Mata Valeria melihat ke sekeliling dan mendapati kamarnya masih sama. Helaan napas berat keluar dari mulutnya, dia hanya bermimpi. Mimpi yang sangat buruk. Rasa sesak di dada Valeria membuatnya menangis tersedu-sedu. Lagi-lagi rasa sakit hatinya masih menjalar sangat dalam di hati Valeria.
Tok! Tok!
Suara ketukan pintu diikuti perkataan seorang pelayan di depan kamarnya membuat Valeria menghapus air mata.
"Nona Valeria, Nyonya besar sudah menunggu di bawah."
Dengan suara parau, dia mencoba menyahut, "Setengah jam lagi aku akan turun."
"Baik Nona."
Valeria turun dari ranjangnya, gegas dia langsung masuk ke dalam kamar mandi. Meskipun tubuhnya terasa lemah dan tak berdaya, Valeria memaksakan untuk turun dari ranjang.
Setelah pulang ke rumah, sudah hampir tiga minggu Valeria hanya merenung, mengurung diri bahkan terlihat sangat tidak menikmati hidupnya.
Hari ini, Valeria sudah berjanji dengan Elena untuk pergi ke suatu tempat. Awalnya Valeria tak mau karena Elena berencana membawanya ke psikiater kenalan ibunya. Namun, motivasi balas dendam yang dilontarkan Elena membuat Valeria tersadar.
"Kamu harus bangkit untuk membalaskan rasa sakitmu. Ini saatnya kamu menunjukkan siapa kamu sebenarnya."
Setengah jam berlalu, Valeria benar-benar keluar dari kamarnya. Dengan dua pelayan di belakangnya, Valeria keluar dari lift dan menghampiri Elena yang sudah duduk di meja makan.
Senyum cerah wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu merekah saat melihat Valeria.
"Honey, ayo kita sarapan dulu," ujarnya.
Valeria menggeleng. "Aku tidak mau Mom, Mommy saja yang sarapan lalu kita segera berangkat."
Elena tak mau memaksa, dia tahu bagaimana beratnya hidup Valeria selama ini. Bahkan untuk makan saja Elena harus memaksanya selama beberapa minggu terakhir. "Setidaknya, minum dulu susu yang Mommy buatkan untukmu, Honey."
Valeria tak menolak, dia duduk di kursi lalu menenggak habis susu buatan Elena. Senyum cerah kembali terlukis di wajah Elena, dia langsung mengajak Valeria pergi karena dia sendiri memang sudah sarapan sebelum Valeria datang.
Di dalam mobil, Valeria hanya diam. Dia tahu ada yang salah dengan dirinya. Merasa lelah setiap saat dan seperti tidak bertenaga. Valeria ingin membantu dirinya sendiri, karena itu hari ini dia ikut Elena untuk mengunjungi psikiater.
"Ingat, Honey. Ini semua untukmu."
"Aku tau itu, Mom," balas Valeria dengan suara parau.
Tangan Elena menggenggam tangan Valeria untuk memberinya kekuatan. "Orang bisa lihat kamu baik-baik saja, Honey. Namun, Mommy tidak. Sakit di hatimu sama dengan sakit di tubuhmu setelah mengalami kecelakaan yang parah, jadi kita harus merawatnya. Mommy akan menemani kamu, Honey. Proses yang kamu lalui, Mommy akan selalu ada di sana bersamamu."
Valeria menatap mata Elena dengan berkaca-kaca. Air matanya kembali luruh. "Terima kasih, Mom."
Valeria benar-benar sangat bersyukur, baik Elena dan juga seluruh keluarganya sangat mendukung Valeria dalam hal apapun.
Satu jam perjalanan, mereka sampai di sebuah rumah sakit. Valeria berjalan di samping Elena dengan beberapa bodyguard di belakang mereka.
Kedatangan Valeria dan Elena menyita perhatian orang yang ada di sana. Mereka langsung masuk ke dalam ruangan di mana ada seorang dokter wanita paruh baya dengan rambut hampir memutih sepenuhnya.
Dokter itu tersenyum ramah dan mendatangi mereka. “Elena!”
"Grace," balas Elenan lalu mereka saling berpelukan.
"Aku sudah sangat berdebar membaca pesanmu sejak kemarin, sudah lama sekali kita tidak bertemu dan kamu justru malah memesan konsultasi? Ck, ck, ck, hidupmu penuh kejutan."
Elena tersenyum tipis. "Seperti yang sudah aku katakan, dia, Valeria."
Grace menatap Valeria dengan tatapan ramah, dia bahkan menepuk ringan bahu Valeria. "Aku sudah dengar semuanya. Aku juga tidak menyangka, dia akan dengan cepat bertumbuh, terakhir aku melihatnya, dia masih berumur 10 tahun."
"Dan kita masih muda saat itu," kelakar Elena lalu disambut tawa renyah mereka berdua.
"Ayo sayang, kita duduk terlebih dahulu." Grace mengajak Valeria ke sebuah sofa.
"Mommy akan tunggu di luar, Honey. Grace, jaga berlianku," ucapnya.
Dokter itu mengangguk meyakinkan. Usai Elena keluar, kini hanya tinggal Valeria dan juga Grace di dalam sana yang tengah duduk berhadapan di sofa.
Grace tersenyum lembut, mencoba menciptakan suasana yang nyaman. "Valeria, aku sangat senang bisa bertemu denganmu lagi. Bagaimana perasaanmu saat ini?"
Valeria terdiam sejenak, mengumpulkan keberanian untuk menjawab. "Aku... aku merasa sangat lelah, Grace. Semua ini terasa begitu berat."
Grace mengangguk pengertian. "Itu sangat wajar, Valeria. Mengalami trauma seperti yang kamu alami tidak mudah. Kita di sini untuk membantumu melewati semua ini, langkah demi langkah. Apakah ada hal tertentu yang ingin kamu bicarakan terlebih dahulu?"
Valeria menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. "Aku terus-menerus bermimpi buruk tentang anakku. Rasa bersalah dan penyesalan ini selalu menghantui."
Grace meraih tangan Valeria dengan lembut. "Mimpi buruk bisa menjadi cerminan dari rasa takut dan trauma yang belum terselesaikan. Apakah kamu ingin menceritakan lebih lanjut tentang mimpi-mimpimu? Kita bisa mencari cara untuk mengatasinya bersama."
Valeria mulai bercerita, air mata mengalir di pipinya. "Dalam mimpiku, anakku selalu menuduhku meninggalkannya. Aku merasa tak berdaya dan takut. Dan Julian... dia selalu ada di sana, menertawakan aku."
Grace mendengarkan dengan penuh perhatian, memberi ruang bagi Valeria untuk mengekspresikan perasaannya. "Mimpi-mimpi ini mungkin mencerminkan perasaan terpendam yang kamu miliki. Merasa ditinggalkan, bersalah, dan ketidakberdayaan adalah emosi yang sangat berat. Namun, dengan berbicara tentangnya, kita bisa mulai memahami dan meredakan perasaan ini."
Valeria mengangguk, merasa sedikit lega bisa berbagi. "Aku ingin merasa lebih baik, tapi aku tidak tahu harus mulai dari mana."
Grace tersenyum penuh pengertian. "Langkah pertama sudah kamu ambil dengan datang ke sini. Kita akan melangkah bersama, menemukan cara untuk menyembuhkan dan memperkuat dirimu. Kita bisa mulai dengan teknik relaksasi dan latihan untuk membantu mengatasi mimpi buruk. Bagaimana menurutmu?"
Valeria menghela napas panjang dan mencoba tersenyum. "Terima kasih, Grace. Aku siap untuk mencoba."
Grace meraih tangan Valeria sekali lagi, memberikan dukungan penuh. "Kamu tidak sendiri, Valeria. Kita akan melewati ini bersama."
Lima Tahun Kemudian ....Di markas Il Leone d'Ombra, seorang gadis kecil duduk di samping seorang pria bertubuh kekar. Suasana ruangan itu penuh dengan aroma logam dan minyak senjata, namun gadis kecil itu tampak tidak terganggu sedikit pun.Antonio, pria yang tengah merapikan senjata, berkali-kali menarik napas panjang. Di sebelahnya, Elettra—gadis kecil berusia lima tahun dengan rambut ikal kecokelatan dan mata secerah musim semi—terus berbicara tanpa jeda."Uncle Antonio, kenapa peluru ini warnanya beda? Apa senjatanya juga beda? Kalau senjata ini bisa buat tembak monster nggak? Kenapa di sini gelap banget? Uncle nggak takut hantu?"Antonio menghela napas, berusaha tetap fokus membersihkan senjatanya. "Elettra, bukankah kau seharusnya menggambar atau bermain boneka? Anak seusiamu biasanya tidak tertarik pada senjata.""Aku bukan anak kecil biasa, Uncle. Aku Elettra Marino! Aku harus tahu semuanya supaya bisa melindungi Mommy dan Daddy. Kalau Uncle nggak mau jawab, aku tanya sama Da
Elena menangis tak henti-henti di pelukan Lorenzo. Tubuhnya bergetar, wajahnya penuh kekhawatiran."Tuhan, jangan ambil putriku ..., jangan ambil cucuku ...," isaknya berulang kali.Lorenzo mencoba menenangkan istrinya, meski dalam hatinya sendiri ada badai yang tak kalah hebat. "Tenanglah, sayang. Valeria perempuan yang kuat. Dia akan baik-baik saja." Meski suaranya terdengar tenang, genggaman tangannya pada bahu Elena menunjukkan betapa kerasnya dia menahan diri untuk tidak ikut larut dalam kepanikan.Sementara itu, Anna mondar-mandir di koridor rumah sakit. Setiap detik terasa seperti menit, setiap menit terasa seperti jam."Kenapa lama sekali? Kenapa belum ada kabar?" Anna bergumam, tatapannya kosong.Di tengah semua kegaduhan itu, Salvatore justru terdiam. Dia berdiri di sudut ruangan, tubuhnya kaku seperti patung. Matanya tertuju pada pintu ruang operasi, seolah menunggu keajaiban. Namun, dalam keheningannya, tubuhnya gemetar. Keringat dingin membasahi pelipisnya."Valeria ...,
Hari berganti hari, minggu berganti minggu. Kini perut Valeria sudah semakin membesar, hampir memasuki usia delapan bulan.Musim semi menghiasi kota dengan udara hangat dan bunga bermekaran. Valeria duduk di bangku kayu di tepi jalan, menikmati es krim stroberi yang mencair perlahan di tangannya.Wajahnya berseri-seri, matanya berbinar penuh kebahagiaan. Di sampingnya, Salvatore duduk santai, sesekali menyeka tetesan es krim yang hampir jatuh ke gaun Valeria."Kau tahu, Salvatore," ucap Valeria sambil menjilati sendok es krimnya. "Aku berharap anak kita nanti suka es krim sepertiku. Bagaimana menurutmu?"Salvatore tertawa kecil. "Kalau begitu, aku harus siap-siap mengisi freezer penuh es krim. Anak kita akan jadi pecinta es krim garis keras sepertimu."Valeria tertawa terbahak. Suara tawanya menggema lembut di tengah keramaian jalan. Beberapa orang yang lewat ikut tersenyum melihat pasangan itu, seolah kebahagiaan mereka menular.Tas belanja di kaki mereka penuh dengan perlengkapan ba
Matahari mulai tenggelam, menciptakan gradasi oranye dan ungu di langit senja. Salvatore duduk di kursi balkon kamar Valeria, memandangi langit dengan tatapan kosong.Angin sore berhembus lembut, namun tidak mampu mendinginkan pikirannya yang berkecamuk. Kata-kata Julian terus terngiang di kepalanya, mengalun seperti nada minor yang menghantui."Lepaskan Sofia .... Hentikan penyiksaannya ...."Salvatore memijit pelipisnya. Rasa pusing itu kembali datang, semakin tajam seiring bayangan-bayangan samar yang muncul. Wajah Sofia, jeruji penjara, dan suara erangan kesakitan yang entah berasal dari mana. Apa benar semua itu ulahnya?Dia mendesah panjang, rasa bersalah mulai merayapi hatinya. Bagaimana mungkin dia mencintai Valeria namun di saat yang sama menyakiti orang lain? Apakah ini sisi gelapnya yang tersembunyi?"Salvatore?"Suara lembut Valeria membuyarkan lamunannya. Salvatore menoleh, melihat Valeria berdiri di sampingnya dengan segelas jus segar di tangannya. Senyum perempuan itu t
Setelah menjalani pemeriksaan di rumah sakit, Salvatore dan Valeria keluar dengan senyum lega. Hasil pemeriksaan menunjukkan kondisi mereka baik-baik saja. Kaki Salvatore hanya memerlukan sedikit terapi, dan kehamilan Valeria dalam keadaan sehat. Beban yang sempat menggantung di benak mereka pun perlahan terangkat."Ayo, kita makan siang. Aku sudah lapar," ujar Valeria ceria, menggenggam tangan Salvatore dengan erat."Aku juga," Salvatore tersenyum hangat. "Ada restoran di sekitar sini yang katanya enak. Mau coba?""Tahu darimana?""Tadi aku sempat mendengar percakapan orang di rumah sakit. Mau coba makan di sana?"Valeria mengangguk antusias. Mereka berjalan bergandengan tangan menuju restoran kecil berdesain klasik yang tak jauh dari rumah sakit. Suasananya tenang dengan dekorasi kayu dan jendela besar yang menghadap ke taman kota.Mereka memilih meja di dekat jendela, menikmati pemandangan hijau di luar sembari menunggu pesanan datang. Percakapan ringan mengalir, sesekali diiringi
Sinar matahari pagi menerobos jendela ruang makan, menciptakan pola-pola cahaya yang menari di atas meja kayu panjang yang telah dipenuhi oleh berbagai hidangan sarapan. Aroma roti panggang yang baru matang, telur dadar lembut, dan kopi hitam pekat menguar di udara, memberikan suasana hangat di rumah keluarga Valeria.Di ujung meja, Salvatore duduk dengan rapi dalam setelan kasual, mengenakan kemeja putih yang digulung hingga siku dan celana panjang gelap. Di sebelahnya, Valeria tampak anggun dalam gaun sederhana berwarna pastel yang lembut membungkus tubuhnya yang kini tengah mengandung. Tangannya sesekali mengusap perutnya yang mulai membuncit, seolah secara naluriah melindungi kehidupan kecil di dalamnya.Elena meletakkan cangkir kopi di depannya, kemudian duduk di samping Lorenzo. Giulia dan Roberto juga telah mengambil tempat, memulai sarapan dengan senda gurau kecil."Kalian tampak rapi pagi ini." Elena membuka percakapan dengan senyum keibuan. "Ada acara khusus?"Valeria dan Sa