Share

Melarikan Diri

Aiden telah menunggu selama 20 menit di meja makan dan Hanna belum juga datang.

"Mengapa dia lama sekali?" gumamnya gelisah.

Aiden kemudian beranjak dari meja makan dan berjalan menuju kamar yang dulunya adalah miliknya dan Alena.

Ketika membuka pintu dia terkejut melihat Mira pingsan dan tergeletak di lantai. Matanya melihat sekeliling dan dia tidak menemukan sosok Hanna.

"Mira! Mira!" ujar Aiden sambil menepuk-nepuk pipi dan pundak Mira.

Mira perlahan mulai membuka matanya dan ketika dia tersadar penuh dia berkata dengan gugup dan gelisah.

"Tuan, maafkan saya, saya telah lalai. Tadi Nyonya meminta obat untuk mengobati luka lecet di pergelangan tangan dan kakinya. Kemudian... kemudian saya merasa seperti sesuatu menyengat di kulit telinga saya dan tiba-tiba penglihatan saya gelap Tuan."

"Pengawal! Pengawal!" teriak Aiden memanggil.

"Ya, Bos!" para bodyguard Aiden kemudian datang.

"Segera kejar dan temukan Hanna!"

"Siap, Bos!"

"Sial, aku baru saja menemukanmu dari persembunyian setelah 2 tahun, Alena. Kali ini aku tidak boleh kehilanganmu lagi!" geram Aiden sambil mengepalkan tangannya.

. . . . . . . . . . . .

Hanna dengan susah payah menyusup dan melewati gerbang rumah Aiden Bradley.

Dia telah berjalan beberapa menit dan dia hanya berpikir untuk berlari saja tanpa tahu arah dan tujuan.

"Ugh! Bagaimana caranya aku menghubungi seseorang dan bisa pergi dari sini? Dompet, tas dan teleponku semuanya ada pada lelaki biadab itu," gumam Hanna.

Hanna mencoba untuk bertanya kepada seseorang yang dia temui di jalan.

"Permisi, Nyonya, bisakah saya meminjam telepon anda? Saya baru saja dicopet, dan ingin menghubungi seseorang untuk meminta pertolongan."

Beruntung baginya wanita itu mau meminjamkan telepon padanya.

Hanna kemudian menekan beberapa angka yang diingatnya. Setelah beberapa nada panggilan terdengar suara.

"Ya, halo, dengan siapa saya berbicara?"

"Mia! Mia ini aku, Hanna!" ujar Hanna gembira.

"Han... Hanna? Benarkah ini kamu? Astaga ke mana saja kamu selama 4 hari ini? Aku bahkan telah melaporkan kamu menghilang di kepolisian setempat. Apa kamu tahu? Ayah dan ibumu bahkan sudah bersiap dengan uang tebusan jika orang yang menculikmu meminta tebusan."

Ada kelegaan dan kekhawatiran yang terdengar bersamaan pada suara asisten pribadi Hanna itu.

"Dengar, Mia, sekarang aku tidak punya banyak waktu menjelaskan. Siapkan passport dan tiket penerbangan ke Amerika atas namaku dan namamu untuk pergi besok pagi. Kamu harus berangkat besok pagi dengan tiket tersebut, cari seorang perempuan yang penampilannya terlihat seperti aku untuk kamu bawa bersamamu."

"Baiklah, lalu bagaimana denganmu, Hanna?"

"Atur seseorang untuk mengantarku ke kota sebelah, lalu pesankan tiket penerbangan untukku kembali ke Amerika melalui kota tetangga. Ikuti saja pengaturanku ini, aku sungguh tidak punya waktu untuk menjelaskan banyak sekarang."

"Oke, aku mengerti Hanna. Kamu di mana sekarang, akan segera kuperintahkan seseorang menjemputmu."

"Baiklah, aku akan mengirimkan lokasiku saat ini padamu."

Setelah beberapa saat kemudian Hanna menutup panggilan teleponnya.

"Terima kasih, Nyonya, sudah meminjamkan telepon anda kepada saya." ucap Hanna sambil mengembalikan telepon ke pemiliknya.

"Syukurlah mimpi buruk ini segera berakhir." gumam Hanna lega.

. . . . . . . . . . . . . . . . . .

Di rumah Aiden sedang mendapat laporan dari orang-orangnya.

"Kami menemukan bahwa nama nona Hanna masuk dalam daftar penumpang pesawat menuju Amerika dengan jadwal keberangkatan pagi, Bos," laporan dari orang suruhan Aiden.

"Kalau begitu, blokir semua penerbangan ke Amerika besok pagi. Dan terus awasi asisten pribadi Hanna yang bernama Mia Coster."

"Siap, Bos!"

"Pergilah!" sahut Aiden.

Ketika dia telah sendirian, dia membuka sebuah foto di layar teleponnya. Di dalam foto terlihat seorang wanita cantik, wajahnya putih bersih dengan pipi merona, bibir tipisnya yang merah tersenyum cerah.

Rambut gadis itu dikuncir satu, dia menggunakan seragam dokter dan ada stetoskop tergantung di lehernya.

Aiden mengusap foto yang ditampilkan pada layar teleponnya.

"Alena... jangan pergi lagi, hukum aku dengan apa saja, tapi jangan pergi lagi."

Aiden teringat kejadian 2 tahun yang lalu hari ketika Alena menghilang. Hari itu mereka bertengkar hebat.

"Aku ingin bercerai, Aiden! Aku membencimu!"

"Tidak, Sayang, aku tidak bisa hidup tanpamu."

Aiden memohon sambil memegang tangan Alena.

"Kenapa kamu membunuh kakakku, Aiden? Kamu pria kejam!"

"Alena, itu semua tidak disengaja. Aku tidak bermaksud membunuhnya, aku bukan dengan sengaja mendorongnya ke dalam jurang."

"Bohong! Bukankah kamu selama ini menyiksaku dalam pernikahan palsu ini demi membalas dendammu pada kakakku?"

"Tidak Alena, sekarang aku benar-benar mencintaimu."

"Kamu kejam! Kamu tetap membunuh kakakku, padahal dia sudah membuktikan bahwa bukan dia yang membunuh Rose Bradley. Adikmu dibunuh Jake!"

"Aku sungguh tidak berniat membunuh Brian Hart."

Plakkkk!

Terdengar suara tamparan yang sangat keras mendarat di pipi Aiden.

"Selamat tinggal, Aiden. Aku berharap di kehidupan selanjutnya kita tidak akan pernah dipertemukan lagi."

Alena berlari pergi meninggalkan rumah itu dan memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi.

Aiden pun segera mengejar mobil Alena di belakangnya. Tapi naas, malang tidak dapat dihindari.

Ketika berada di jalan tikungan tajam di kaki pegunungan, Alena kehilangan kendali pada mobilnya.

BRAKKKK!

Suara benturan keras mobil terdengar di depan. Aiden menatap histeris mobil yang menabrak pagar pembatas dan berguling jatuh ke laut itu.

"Alenaaaa..!"

Bangkai mobil Alena ditemukan keesokkan harinya, tapi jasad Alena tidak diketemukan di sana. Aiden percaya bahwa Alena mungkin saja masih hidup selama tidak diketemukan jasadnya.

Tapi menurut para ahli dan kepolisian setempat, sangat mustahil bagi seseorang bisa selamat dari kecelakaan tersebut. Meskipun telah dilakukan pencarian selama berbulan-bulan, jasad Alena tidak pernah diketemukan.

Setelah 1 tahun melakukan pencarian, Aiden kemudian menyerah. Dia mendirikan pusara indah bertuliskan, "Untuk isteriku tercinta Alena Hart."

Disebelah pusara Alena terdapat pusara kecil yang bertuliskan, "Beristirahat dengan damai Putera tercinta Alena Hart dan Aiden Bradley yang bernama Sam Bradley."

"Maafkan Papa, Nak. Papa tidak mampu menjaga kamu dan juga mamamu. Semoga kalian berbahagia di surga," ujar Aiden lirih.

Pusara itu memiliki bentuk dan ukiran yang sangat indah. Di sekelilingnya ditanami bunga lily putih.

Lily putih adalah bunga favorit Alena semasa hidupnya. Menurutnya. lily putih melambangkan kemurnian dan ketulusan, itulah mengapa Alena sangat menyukainya.

Alena lah yang menanam lily putih itu di sekeliling pusara puteranya. Sungguh tidak disangka bahkan pusaranya akan tergeletak disana juga tidak lama setelah kematian puteranya.

Selama 1 tahun pernikahan yang dijalaninya bersama Alena semasa hidup. Aiden tidak pernah memberikan cinta seorang suami kepada isteri pada Alena. Dan bahkan Aiden selalu bertindak kejam dan menyakiti hatinya.

Dia tidak pernah memperlakukan Alena dengan baik semasa hidupnya, bahkan Alena harus kehilangan anaknya yang baru lahir. Alena merasa depresi dan putus asa dengan pernikahannya, berkali-kali dia mencoba bunuh diri agar terlepas dari siksaan Aiden.

Sudah sangat terlambat ketika Aiden baru menyadari perasaan cintanya pada Alena ketika itu. Dia menyadarinya ketika Alena sudah putus asa dan menyerah padanya.

"Alena..." Aiden bergumam sambil meremas ponselnya. "Aku akan menemukanmu. Pasti! Kau harus berada di sisiku selamanya!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status