Selesai mandi, Valency turun ke lantai bawah dan masuk ke ruang makan. Dia melihat sosok Jayden yang menunggu sembari memerhatikan tablet kerjanya.
“Maaf. Aku takut membuatmu menunggu lama.”
Suara Valency membuat Jayden mengangkat pandangan dan menyingkirkan kerjaannya. “Duduklah.”
Valency menatap bingung deretan kursi yang begitu banyak. Di mana dirinya harus duduk?
“Duduklah di sebelahku,” ucap Jayden seakan bisa membaca pikiran gadis tersebut.
Valency mengangguk, menarik kursi di sebelah kanan Jayden, lalu duduk di sana.
Selagi menunggu para pelayan menghidangkan makanan, Valency diam-diam curi pandang ke kanan. Dari jarak sedekat ini, dia baru sadar bahwa ada yang beda dengan penampilan Jayden.
Tanpa balutan kemeja dan jas formal seperti sebelumnya, Jayden terlihat lebih segar dan santai dengan kaos putih sederhana beserta celana jogger hitam. Rambut setengah kering pria itu entah kenapa membuat penampilan Jayden lebih muda dibandingkan biasanya.
Kalau ada orang yang melihat Jayden sekarang, Valency bisa bertaruh jika orang tersebut tak akan percaya bahwa pria itu telah berada di usia kepala tiga!
Mendadak, manik hitam Jayden bergeser dan bertemu dengan pandangan Valency.
“Ada sesuatu di wajahku?”
Pertanyaan itu membuat Valency tersentak dan buru-buru mengalihkan pandangan ke depan karena malu. “T-tidak.”
Setelah terdiam sesaat sembari menatap Valency dalam, Jayden akhirnya berkata, “Makanlah.”
Karena sup telah dihidangkan sebagai menu pembuka, Valency langsung meraih sendok sup yang berada di bagian paling kanan dan mulai menyantap hidangannya.
‘Ini enak …,’ batin Valency sembari tersenyum dengan mata berbinar.
Di saat itu, Valency menyadari May sedang memandangnya dengan wajah kaget. Hal yang sama juga dia dapati dari sisi Jayden, walau jauh lebih samar dibandingkan ekspresi May.
“Ada apa?” tanya Valency bingung. “Apa ada yang salah?” Mata gadis itu mengerjap selagi menunggu jawaban.
Selama sesaat, Jayden tampak memandang Valency penuh tanya, tapi kemudian pria itu menggelengkan kepala dan berkata, “Tidak.” Dia melemparkan pandangan penuh arti kepada May dan mengizinkan wanita itu pergi untuk menghidangkan menu makanan selanjutnya.
Kening Valency mengernyit, merasa ada yang tidak beres. Akan tetapi, karena tidak ada yang berniat memberikan penjelasan, dia memutuskan untuk mengabaikannya dan lanjut makan.
Seiring makan malam mendekati akhir, Jayden pun mengajukan sebuah pertanyaan kepada Valency, “Dari mana kamu mempelajari table manner?’
Pertanyaan itu membuat Valency tersentak, akhirnya menyadari apa yang membuat May dan Jayden menatap kaget ke arahnya. Ternyata, semua itu karena dia mengerti tata cara makan kalangan atas!
Dengan memasang senyum tenang, Valency balas bertanya, “Apa aneh bagi seseorang sepertiku untuk tahu table manner?’
Jayden menatap Valency. “Cukup mengejutkan,” jawabnya jujur.
“Cecilia Owen adalah nona muda keluarga konglomerat. Berteman dengannya membuatku paham tata cara menyantap kalangan atas,” jelas Valency dengan lancar.
Jawaban Valency membuat Jayden terdiam sesaat. Kemudian, pria itu pun lanjut memotong kue yang hadir sebagai hidangan penutup makan malam itu. “Begitukah?” ujarnya.
Bohong. Tentu saja itu sebuah kebohongan yang Valency ciptakan untuk menutupi kenyataan.
Belajar dari Cecilia? Omong kosong!
Jangankan untuk pergi bersama, mantan sahabatnya itu bahkan tak pernah mengenalkan Valency kepada orang tuanya. Demikian, bagaimana mungkin Cecilia mengajarinya tentang table manner?
Akan tetapi, untuk menghindari kecurigaan yang tidak diperlukan, Valency terpaksa berdusta.
Selesai makan malam, Valency mendengar Jayden berpesan pada May. “Ke depannya, hindari menyajikan seafood di ruang makan.”
Perintah Jayden yang tiba-tiba membuat May maupun Valency bingung.
“Apa ada masalah dengan hidangan malam ini, Tuan?” tanya May dengan khawatir.
Jayden berdiri dari kursinya. “Tidak, hanya saja Valency alergi dengan seafood.”
Valency spontan terbelalak. Dia tidak menyangka Jayden akan menangkap hal sesederhana itu hanya dari makan malam pertama mereka bersama!
Bahkan Felix dan Cecilia yang bertahun-tahun dengannya pun tak pernah peduli maupun sadar tentang alerginya ….
Selagi Valency terpana dengan Jayden, May membungkuk hormat pada majikannya. “Baik, Tuan.”
Setelah dirinya berjalan beberapa langkah untuk meninggalkan ruang makan, Jayden menoleh untuk menatap Valency. “Kamu ingin terus duduk di sana sepanjang malam?”
Ajakan pria itu spontan membuat lamunan Valency pecah. “T-tidak.” Dia pun berdiri setelah mengelap bibirnya. Tak lupa dia berkata pada May, “Terima kasih, May.”
May tersenyum penuh arti dan membungkuk. “Selamat menikmati malam Anda, Nyonya, Tuan.”
Melihat senyuman May, Valency mengerjapkan mata, bertanya-tanya kenapa wanita tersebut tersenyum seperti itu. Namun, kala dirinya masuk ke dalam kamar dan suara pintu dikunci terdengar, Valency berbalik cepat untuk menatap Jayden.
Pikiran Valency langsung berkelana jauh. ‘Jangan bilang, kalau dia mau melakukan hal itu?’ Wajah Valency merah padam seketika, kepalanya menghela kecil. ‘Tidak, tidak! Apakah harus sampai sejauh itu? Ini kan hanya pernikahan bisnis! Aku belum siap melakukannya.’
Diamnya Valency dengan ekspresi yang berubah-ubah tertangkap oleh Jayden.
Di tempatnya, lamunan Valency buyar ketika dirinya menangkap langkah Jayden mendekat ke arahnya. Dia mengangkat pandangan dan mendapati pria tersebut menatap dirinya lurus.
Terintimidasi, kaki Valency perlahan-lahan mundur sampai kakinya menabrak ranjang dan dirinya jatuh terduduk ke kasur empuk di belakang.
Sadar Jayden telah di hadapannya, Valency setengah berseru, “A-apa yang kamu lakukan?!”
Pandangan terhibur terpancar dari mata Jayden. Kemudian, perlahan pria itu mendaratkan kedua tangannya di kasur, mengunci pergerakan Valency.
“Haruskah kita mulai malam pertama ini?”
(☉_☉) · (⊙_⊙') Kek mana itu maksudnya Jayden?! Malper langsung gas?! Terima kasih untuk kalian yang sudah baca sampai akhir! Kalau kalian suka karya ini, jangan lupa untuk berikan like, vote, dan comment yaa! Biar author tahu tanggapan kalian terhadap karya ini, terima kasih!
[Atau kamu mau kujemput di tempat sepupumu itu?]"Oh, sial," gumam Verena, akhirnya bangkit dari kursi yang sudah beberapa jam ia duduki. Tak jauh dari sana, Ashton menoleh."Kenapa?" tanya pria itu."Tidak," balas Verena. Ia kembali duduk dan memikirkan balasan apa yang bisa dia berikan pada Eric.[Kamu sudah baca pesanku. Kenapa tidak balas?]Sebuah pesan dari Eric kembali muncul, membuat Verena berdecak."Dasar tidak sabaran." Verena membalas pesan tersebut demikian. "Apa tidak bisa dibicarakan lewat telepon saja?"Baru beberapa detik usai Verena mengirim pesan itu, balasan Eric langsung datang.[Tidak.][Harus bertemu.]Lalu satu lagi.[Tunggu aku di sana.]"Aku tidak sedang di rumah Ashton," balas Verena. "Nanti saja."[Di mana, kalau begitu?]Verena memutar otaknya dengan cepat. Jika ia menjawab ada di kantor, Eric akan dengan mudah menemukan kebenarannya."Di rumah."Eric belum tahu di mana tempat tinggalnya. Dan tidak mungkin pria itu dengan bodohnya mengecek mansion Miller un
[Atau kamu mau kujemput di tempat sepupumu itu?]"Oh, sial," gumam Verena, akhirnya bangkit dari kursi yang sudah beberapa jam ia duduki. Tak jauh dari sana, Ashton menoleh."Kenapa?" tanya pria itu."Tidak," balas Verena. Ia kembali duduk dan memikirkan balasan apa yang bisa dia berikan pada Eric.[Kamu sudah baca pesanku. Kenapa tidak balas?]Sebuah pesan dari Eric kembali muncul, membuat Verena berdecak."Dasar tidak sabaran." Verena membalas pesan tersebut demikian. "Apa tidak bisa dibicarakan lewat telepon saja?"Baru beberapa detik usai Verena mengirim pesan itu, balasan Eric langsung datang.[Tidak.][Harus bertemu.]Lalu satu lagi.[Tunggu aku di sana.]"Aku tidak sedang di rumah Ashton," balas Verena. "Nanti saja."[Di mana, kalau begitu?]Verena memutar otaknya dengan cepat. Jika ia menjawab ada di kantor, Eric akan dengan mudah menemukan kebenarannya."Di rumah."Eric belum tahu di mana tempat tinggalnya. Dan tidak mungkin pria itu dengan bodohnya mengecek mansion Miller un
"Dan aku bilang kamu beruntung karena tinggal di sebelah rumahnya?"Usai mengatakan itu, Samuel kembali memandang Eric dengan tatapan asing. Ekspresi sepupunya itu tampak senang, sekaligus puas. Seakan-akan ia baru mendapatkan momen yang ia harapkan."Tunggu, Ric. Kamu tidak tahu?" tanya Samuel. "Manusia ini. Kamu tidak mendengarkan ceritaku ya!?"Eric mengibaskan tangannya. "Tidak penting."Hal itu membuat Samuel menggerutu. Mengatakan hal-hal seperti ia yang telah membantu Eric dan selalu siap sedia, tapi begini balasan Eric padanya. Eric bahkan tidak memperkenalkan Verena lebih awal padanya, dan sebagainya.Namun, Eric tidak mendengarkan. Ia sibuk menyusun rencana.Karena Verena kembali tidak membalas pesan Eric, entah kenapa. Pria itu jadi tidak bisa mengurusi persoalan mereka yang belum selesai.Kalau Verena ada di sebelah rumah, akan lebih mudah bagi Eric untuk mengurusnya.***Namun, wanita yang Eric cari sedang tidak berada di rumah."Kamu tidak mau pulang?"Pertanyaan Ashton
"Selamat pagi, Nona Lee."Eric Gray memandang Leon, asisten kepercayaannya selama ini, yang tengah melakukan pertemuan dengan Patricia Lee, reporter yang pertama kali memuat berita tentang dirinya dan Verena. Ia ingin menyelidiki apakah Patricia terlibat pihak-pihak lain yang ingin menjatuhkannya, ataukah dia bergerak sendiri.Karena penyelidikan pun menyatakan kalau malam itu Patricia sedang berada di rumah sakit, bukan hotel tempat pesta Eric dilaksanakan.Ditambah lagi, Eric memang sudah dengan mudah menyingkirkan berita-berita yang merugikannya dan Verena. Tapi akan sulit kalau ternyata ada musuh lain yang tidak mereka ketahui.Sejauh ini, dugaannya dan Verena sama; keluarga Miller sendiri. Lebih tepatnya pihak Olivia. Meski ada ketidakcocokan mengenai asumsi tersebut di beberapa tempat."Sekarang kamu tertarik pada ibu tunggal?" Sepupunya, Samuel, menghempaskan dirinya untuk duduk di sebelah Eric dan mengamati pertemuan Leon dengan Patricia. Eric dan Samuel tidak bergabung, mela
Keith baru saja berjalan melewati pintu masuk ketika salah seorang pelayan menghampirinya dan mengatakan bahwa Verena datang berkunjung.Dan sekarang kakaknya itu ada di kamar Kimberly."Untuk apa dia ada di sana?" gumam Keith. Dia bergegas naik ke lantai 2 ketika ja mendengar suara pecahan kaca dari kamar Kimberly.Panik, Keith langsung berlari dan coba membuka pintu kamar.Terkunci. Kimberly nekat membayar orang untuk mencelakai Verena beberapa waktu yang lalu. Meskipun Keith sudah mengancam adik kembarnya itu agar ia tidak melakukannya lagi, Keith tidak yakin Kimberly akan diam saja saat melihat Verena ada di tempat yang sama dengannya.Dengan panik, Keith menggedor pintu kamar adik kembarnya.Tak berapa lama, Verena muncul di balik pintu tersebut dan langsung ditarik keluar oleh Keith."Ve!?" Tidak ada luka. Aman--tunggu. Keith mengernyit melihat tanda merah keunguan di area sekitaran tengkuk Verena. Namun, saat ia berniat memastikan tanda itu, Verena sudah menarik diri.Keith m
"Apakah benar demikian?" Senyum Verena tidak sampai matanya, seolah sedang mengolok lawan bicaranya. "Anak kandung Aster Miller?"Tidak ada perubahan ekspresi yang berarti di wajah Kimberly, saat Verena mengamati. Bisa jadi gadis itu benar-benar meyakini identitasnya sebagai putri bungsu keluarga Miller."Omong kosong apa yang kamu katakan?" balas Kimberly. Gadis itu akhirnya berjalan menghampiri Verena dan menarik lengan baju Verena. "Keluar dari kamarku, sekarang!"Namun, Verena menepisnya dengan mudah. "Jangan begitu. Kita baru sampai di obrolan yang kusukai." balas Verena. Ia menyelipkan kunci kamar tersebut di tas miliknya. "Kimberly. Apakah kamu pernah berpikir dari mana kamu mendapat mata abu-abu dan rambut pirang itu? Padahal di saat yang sama, keluarga kita seluruhnya berambut gelap?""Berhenti menyebutnya keluarga kita, sialan. Menjijikkan sekali!""Tapi suka tidak suka, ini memang keluargaku juga." Verena berdiri, lalu berjalan ke tepi ranjang Kimberly. "Meski aku sempat te