Share

Bab 8 – Mimpi Buruk

“Mmh … ahh!”

Suara decakan lidah yang bercampur desahan memenuhi ruangan.

Punggung Valency menempel di dinding, sedangkan dadanya menempel dengan dada bidang Jayden. Tidak ada lagi jarak di antara mereka, bahkan bibir mereka tengah sibuk berpagutan panas dan mengecap rasa satu sama lain. 

“Jayden … Jayden hentikan ….”

Permintaan itu terlontar dari bibir Valency ketika dirinya merasakan tangan pria itu menelusup masuk ke dalam bajunya, membuat lenguhan Valency terdengar semakin keras.

“Perempuan murahan! Aku tidak mengira kamu serendah itu sampai bisa jual diri!” 

Suara tawa diikuti cacian membuat Valency membuka mata. Dia menoleh cepat dan melihat sosok Felix yang berdiri selagi menatapnya dengan wajah merendahkan.

“Berkali-kali memintamu untuk melakukannya, kamu malah menolak. Sekarang, kamu malah melebarkan kedua kakimu untuk seorang asing dengan sukarela? Kenapa? Apa yang pria itu berikan untukmu? Uang? Harta? Atau mungkin … bantuan untuk balas dendam?” 

Seringai Felix dan tebakannya yang akurat membuat wajah Valency diselimuti kengerian.

Di saat ini, seorang wanita muncul di sebelah Felix. “Sudahlah, Sayang. Gadis rendahan itu memang tidak mampu bergerak seorang diri, makanya dia lebih bersedia menjadi simpanan seorang Jayden Spencer.”

Itu Cecilia.

“Kamu benar. Tapi, bahkan seorang Jayden Spencer hanya menginginkan kenikmatan sesaat sebelum memutuskan untuk membuangnya!”

Valency terbelalak, mendapati sosok Jayden sudah menghilang. Dendamnya belum terbalas, bagaimana bisa pria itu menghilang!?

“Tidak … tidak … TIDAK!”

**

Tubuh Valency tersentak, terbangun dengan posisi duduk dan napas yang tersengal-sengal. 

Mata Valency mengamati sekelilingnya, menyadari jika kini dia berada di kamar kediaman Jayden. Tak ada Felix di sana.

“Mimpi …,” gumam Valency rendah dengan wajah keruh, teringat sosok Felix dan Cecilia. ‘Bahkan di dalam mimpi, mereka tak bisa berhenti mengusikku.’

Kemudian, ingatannya melambung kepada sosok Jayden, bagaimana pria itu menghilang sesuai ucapan Felix dan Cecilia.

Valency menghela napas panjang, mengusap kasar wajahnya karena bermimpi yang tidak-tidak. 

Namun, detik berikutnya Valency merasa tubuhnya diselimuti desiran aneh. Inti tubuhnya terasa berkedut.

Sontak, Valency teringat bagian awal mimpinya, dan wajahnya pun memerah.

“Mimpi macam apa itu, Valency …?” ujar Valency dengan suara rendah.

“Apa yang kamu mimpikan?” 

Pertanyaan yang dilontarkan suara bariton itu membuat Valency terkejut. Dia menoleh cepat dan mendapati sosok Jayden baru saja keluar dari kamar mandi.

Valency memerhatikan Jayden yang telah siap dengan setelan pakaian yang rapi. Walau telah dibalut jas, tapi otot kekar pria itu tetap terlihat, membuat pikiran Valency agar meliar.

Sadar dia mulai berpikir tidak senonoh lagi, Valency membuang wajah. “B-bukan … bukan apa-apa ….”

Alis Jayden agak tertaut, lalu dia pun menghampiri gadis itu.

Sadar Jayden mendekatinya, Valency mengangkat pandangan, hanya untuk mendapati wajah Jayden telah begitu dekat dengannya.

Tuk!

Dahi pria itu menempel dengan dahi Valency.

“Tidak panas.”

Wajah Valency langsung merah seperti kepiting rebus seiring dirinya beringsut mundur menjauhi Jayden. “A-apa yang kamu lakukan?!” 

“Memeriksamu,” jawab Jayden singkat, sedikit bingung dengan kepanikan Valency. 

“A-apa?” 

“Kukira kamu demam karena belajar terlalu keras semalam,” balas Jayden sembari berjalan pergi dan meraih sebuah dasi dari salah satu laci lemarinya. “Sepertinya, aku salah.”

Ucapan Jayden membuat Valency teringat dengan hal yang sebenarnya dia lakukan dengan pria itu di malam yang lalu. 

Alih-alih kegiatan panas seperti yang ada di mimpinya, Valency malah berakhir mempelajari silsilah keluarga Spencer dari Jayden. Pria itu menyatakan bahwa akan ada pesta yang diadakan dalam kurang-lebih satu minggu, jadi dia harap sebelum hari tersebut tiba, Valency bisa mengingat hal-hal penting perihal keluarganya.

“Kamu ingin mengenalkanku pada keluargamu di pesta?!” Valency bertanya panik di malam sebelumnya.

“Mengenalkan istriku pada keluarga, itu hal yang sewajarnya,” balas Jayden santai.

Mengingat bagaimana Jayden mengatakan pesta tersebut berhubungan dengan kontrak mereka, Valency pun menganggap serius permintaan Jayden sampai mereka berbicara hingga larut malam. 

Lelah karena belajar, terus memikirkan mengenai cara membalaskan dendam kepada Cecilia dan Felix, canggung karena harus tidur di ranjang yang sama dengan Jayden, juga ditambah dengan pikiran yang tidak-tidak mengenai ‘malam pertama’, tidak heran Valency bermimpi yang tidak-tidak.

Melihat Valency kembali terbengong, Jayden mengerutkan kening. “Kamu sungguh baik-baik saja? Kalau memang tidak enak badan, akan kupanggilkan dokter keluarga.”

“Aku baik-baik saja, Jay,” balas Valency lembut seraya mengulas senyum kecil untuk menenangkan pria tersebut. “Tenang saja."

“Baiklah.” 

Melihat dasi Jayden agak miring, Valency turun dari tempat tidur dan membenarkannya. “Kubantu.” Selesai, gadis itu tersenyum. “Lebih baik.”

Bantuan Valency membuat Jayden agak terkejut, tapi pria itu dengan cepat kembali memasang wajah datar dan berkata, “Terima kasih.” Dia pun menambahkan, “Aku pergi sekarang.”

Sebelum Jayden pergi, Valency mendadak berkata, “Ah, apa ada buku perihal silsilah keluarga Spencer yang bisa kupelajari?”

Semalam, Valency tertidur di tengah-tengah pembelajaran mereka. Merasa bersalah, Valency ingin lanjut belajar sendiri tanpa mengganggu Jayden.

“Ada satu album di perpustakaan,” jawab Jayden. “Tanyakan pada May.”

“Terima kasih!”

Sampai ke tangga menuju lantai bawah, pria tersebut menghentikan Valency yang mengantarnya. “Sampai di sini saja dan lanjutlah tidur kalau lelah,” ujar Jayden. “Ketika nanti ingin keluar, katakan pada May dan dia akan siapkan sopir dan mobil untuk mengantarmu, mengerti?”

“Aku mengerti,” sahut Valency cepat. 

“Telepon aku kalau ada apa-apa. Aku pergi,” pamit Jayden sebelum akhirnya pergi meninggalkan rumah itu.

Mata Valency terkunci pada punggung tegap dan lebar Jayden yang semakin menjauh. Sungguh, gadis itu terhipnotis dengan perlakuan pria tersebut padanya. Begitu hangat dan lembut, jauh berbeda dengan Felix.

Semakin lama, Valency sadar betapa buruk perlakuan mantan kekasihnya itu padanya, terlebih Cecilia yang adalah teman baiknya.

Sadar dirinya mulai melamun, Valency menggelengkan kepala untuk menyadarkan diri. “Aku harus bersiap-siap.” Dia masih harus menemui Felix di kantornya.

Setelah membersihkan diri dan mengganti pakaiannya, Valency pergi menuju kantor Felix. Baru saja Valency melangkah masuk ke dalam kantor Felix, beberapa karyawan langsung melemparkan tatapan khawatir ke arahnya. 

Walau ada beberapa yang menutupi kekhawatiran itu dengan senyum ramah, tapi Valency sadar ada yang salah.

Sepertinya, suasana hati Felix sedang buruk.

“Nona Valency, Direktur sudah menunggu di ruangannya,” ujar sang resepsionis dengan senyum lemah. Dengan suara rendah, dia juga menambahkan, “Tolong berhati-hatilah ….”

Valency tersenyum dan mengangguk menerima saran itu. Kemudian, dia masuk ke dalam kantor Felix. 

BRAK!

Suara pintu yang terbanting keras terdengar diikuti dengan tarikan keras pada pergelangan tangan Valency.

“Valency Lambert! Apa kamu sengaja ingin membuatku marah?!” 

Creative Words

(╬≖_≖) Oi, yang bener lah Felix ... kek binat*ng kau itu Terima kasih untuk kalian yang sudah baca sampai akhir! Kalau kalian suka karya ini, jangan lupa untuk berikan like, vote, dan comment yaa! Biar author tahu tanggapan kalian terhadap karya ini, terima kasih!

| 5
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Diana Rasima Hutagalung
ya benar si felix kasar sekali....
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status