“Mmh … ahh!”
Suara decakan lidah yang bercampur desahan memenuhi ruangan.
Punggung Valency menempel di dinding, sedangkan dadanya menempel dengan dada bidang Jayden. Tidak ada lagi jarak di antara mereka, bahkan bibir mereka tengah sibuk berpagutan panas dan mengecap rasa satu sama lain.
“Jayden … Jayden hentikan ….”
Permintaan itu terlontar dari bibir Valency ketika dirinya merasakan tangan pria itu menelusup masuk ke dalam bajunya, membuat lenguhan Valency terdengar semakin keras.
“Perempuan murahan! Aku tidak mengira kamu serendah itu sampai bisa jual diri!”
Suara tawa diikuti cacian membuat Valency membuka mata. Dia menoleh cepat dan melihat sosok Felix yang berdiri selagi menatapnya dengan wajah merendahkan.
“Berkali-kali memintamu untuk melakukannya, kamu malah menolak. Sekarang, kamu malah melebarkan kedua kakimu untuk seorang asing dengan sukarela? Kenapa? Apa yang pria itu berikan untukmu? Uang? Harta? Atau mungkin … bantuan untuk balas dendam?”
Seringai Felix dan tebakannya yang akurat membuat wajah Valency diselimuti kengerian.
Di saat ini, seorang wanita muncul di sebelah Felix. “Sudahlah, Sayang. Gadis rendahan itu memang tidak mampu bergerak seorang diri, makanya dia lebih bersedia menjadi simpanan seorang Jayden Spencer.”
Itu Cecilia.
“Kamu benar. Tapi, bahkan seorang Jayden Spencer hanya menginginkan kenikmatan sesaat sebelum memutuskan untuk membuangnya!”
Valency terbelalak, mendapati sosok Jayden sudah menghilang. Dendamnya belum terbalas, bagaimana bisa pria itu menghilang!?
“Tidak … tidak … TIDAK!”
**
Tubuh Valency tersentak, terbangun dengan posisi duduk dan napas yang tersengal-sengal.
Mata Valency mengamati sekelilingnya, menyadari jika kini dia berada di kamar kediaman Jayden. Tak ada Felix di sana.
“Mimpi …,” gumam Valency rendah dengan wajah keruh, teringat sosok Felix dan Cecilia. ‘Bahkan di dalam mimpi, mereka tak bisa berhenti mengusikku.’
Kemudian, ingatannya melambung kepada sosok Jayden, bagaimana pria itu menghilang sesuai ucapan Felix dan Cecilia.
Valency menghela napas panjang, mengusap kasar wajahnya karena bermimpi yang tidak-tidak.
Namun, detik berikutnya Valency merasa tubuhnya diselimuti desiran aneh. Inti tubuhnya terasa berkedut.
Sontak, Valency teringat bagian awal mimpinya, dan wajahnya pun memerah.
“Mimpi macam apa itu, Valency …?” ujar Valency dengan suara rendah.
“Apa yang kamu mimpikan?”
Pertanyaan yang dilontarkan suara bariton itu membuat Valency terkejut. Dia menoleh cepat dan mendapati sosok Jayden baru saja keluar dari kamar mandi.
Valency memerhatikan Jayden yang telah siap dengan setelan pakaian yang rapi. Walau telah dibalut jas, tapi otot kekar pria itu tetap terlihat, membuat pikiran Valency agar meliar.
Sadar dia mulai berpikir tidak senonoh lagi, Valency membuang wajah. “B-bukan … bukan apa-apa ….”
Alis Jayden agak tertaut, lalu dia pun menghampiri gadis itu.
Sadar Jayden mendekatinya, Valency mengangkat pandangan, hanya untuk mendapati wajah Jayden telah begitu dekat dengannya.
Tuk!
Dahi pria itu menempel dengan dahi Valency.
“Tidak panas.”
Wajah Valency langsung merah seperti kepiting rebus seiring dirinya beringsut mundur menjauhi Jayden. “A-apa yang kamu lakukan?!”
“Memeriksamu,” jawab Jayden singkat, sedikit bingung dengan kepanikan Valency.
“A-apa?”
“Kukira kamu demam karena belajar terlalu keras semalam,” balas Jayden sembari berjalan pergi dan meraih sebuah dasi dari salah satu laci lemarinya. “Sepertinya, aku salah.”
Ucapan Jayden membuat Valency teringat dengan hal yang sebenarnya dia lakukan dengan pria itu di malam yang lalu.
Alih-alih kegiatan panas seperti yang ada di mimpinya, Valency malah berakhir mempelajari silsilah keluarga Spencer dari Jayden. Pria itu menyatakan bahwa akan ada pesta yang diadakan dalam kurang-lebih satu minggu, jadi dia harap sebelum hari tersebut tiba, Valency bisa mengingat hal-hal penting perihal keluarganya.
“Kamu ingin mengenalkanku pada keluargamu di pesta?!” Valency bertanya panik di malam sebelumnya.
“Mengenalkan istriku pada keluarga, itu hal yang sewajarnya,” balas Jayden santai.
Mengingat bagaimana Jayden mengatakan pesta tersebut berhubungan dengan kontrak mereka, Valency pun menganggap serius permintaan Jayden sampai mereka berbicara hingga larut malam.
Lelah karena belajar, terus memikirkan mengenai cara membalaskan dendam kepada Cecilia dan Felix, canggung karena harus tidur di ranjang yang sama dengan Jayden, juga ditambah dengan pikiran yang tidak-tidak mengenai ‘malam pertama’, tidak heran Valency bermimpi yang tidak-tidak.
Melihat Valency kembali terbengong, Jayden mengerutkan kening. “Kamu sungguh baik-baik saja? Kalau memang tidak enak badan, akan kupanggilkan dokter keluarga.”
“Aku baik-baik saja, Jay,” balas Valency lembut seraya mengulas senyum kecil untuk menenangkan pria tersebut. “Tenang saja."
“Baiklah.”
Melihat dasi Jayden agak miring, Valency turun dari tempat tidur dan membenarkannya. “Kubantu.” Selesai, gadis itu tersenyum. “Lebih baik.”
Bantuan Valency membuat Jayden agak terkejut, tapi pria itu dengan cepat kembali memasang wajah datar dan berkata, “Terima kasih.” Dia pun menambahkan, “Aku pergi sekarang.”
Sebelum Jayden pergi, Valency mendadak berkata, “Ah, apa ada buku perihal silsilah keluarga Spencer yang bisa kupelajari?”
Semalam, Valency tertidur di tengah-tengah pembelajaran mereka. Merasa bersalah, Valency ingin lanjut belajar sendiri tanpa mengganggu Jayden.
“Ada satu album di perpustakaan,” jawab Jayden. “Tanyakan pada May.”
“Terima kasih!”
Sampai ke tangga menuju lantai bawah, pria tersebut menghentikan Valency yang mengantarnya. “Sampai di sini saja dan lanjutlah tidur kalau lelah,” ujar Jayden. “Ketika nanti ingin keluar, katakan pada May dan dia akan siapkan sopir dan mobil untuk mengantarmu, mengerti?”
“Aku mengerti,” sahut Valency cepat.
“Telepon aku kalau ada apa-apa. Aku pergi,” pamit Jayden sebelum akhirnya pergi meninggalkan rumah itu.
Mata Valency terkunci pada punggung tegap dan lebar Jayden yang semakin menjauh. Sungguh, gadis itu terhipnotis dengan perlakuan pria tersebut padanya. Begitu hangat dan lembut, jauh berbeda dengan Felix.
Semakin lama, Valency sadar betapa buruk perlakuan mantan kekasihnya itu padanya, terlebih Cecilia yang adalah teman baiknya.
Sadar dirinya mulai melamun, Valency menggelengkan kepala untuk menyadarkan diri. “Aku harus bersiap-siap.” Dia masih harus menemui Felix di kantornya.
Setelah membersihkan diri dan mengganti pakaiannya, Valency pergi menuju kantor Felix. Baru saja Valency melangkah masuk ke dalam kantor Felix, beberapa karyawan langsung melemparkan tatapan khawatir ke arahnya.
Walau ada beberapa yang menutupi kekhawatiran itu dengan senyum ramah, tapi Valency sadar ada yang salah.
Sepertinya, suasana hati Felix sedang buruk.
“Nona Valency, Direktur sudah menunggu di ruangannya,” ujar sang resepsionis dengan senyum lemah. Dengan suara rendah, dia juga menambahkan, “Tolong berhati-hatilah ….”
Valency tersenyum dan mengangguk menerima saran itu. Kemudian, dia masuk ke dalam kantor Felix.
BRAK!
Suara pintu yang terbanting keras terdengar diikuti dengan tarikan keras pada pergelangan tangan Valency.
“Valency Lambert! Apa kamu sengaja ingin membuatku marah?!”
(╬≖_≖) Oi, yang bener lah Felix ... kek binat*ng kau itu Terima kasih untuk kalian yang sudah baca sampai akhir! Kalau kalian suka karya ini, jangan lupa untuk berikan like, vote, dan comment yaa! Biar author tahu tanggapan kalian terhadap karya ini, terima kasih!
[Atau kamu mau kujemput di tempat sepupumu itu?]"Oh, sial," gumam Verena, akhirnya bangkit dari kursi yang sudah beberapa jam ia duduki. Tak jauh dari sana, Ashton menoleh."Kenapa?" tanya pria itu."Tidak," balas Verena. Ia kembali duduk dan memikirkan balasan apa yang bisa dia berikan pada Eric.[Kamu sudah baca pesanku. Kenapa tidak balas?]Sebuah pesan dari Eric kembali muncul, membuat Verena berdecak."Dasar tidak sabaran." Verena membalas pesan tersebut demikian. "Apa tidak bisa dibicarakan lewat telepon saja?"Baru beberapa detik usai Verena mengirim pesan itu, balasan Eric langsung datang.[Tidak.][Harus bertemu.]Lalu satu lagi.[Tunggu aku di sana.]"Aku tidak sedang di rumah Ashton," balas Verena. "Nanti saja."[Di mana, kalau begitu?]Verena memutar otaknya dengan cepat. Jika ia menjawab ada di kantor, Eric akan dengan mudah menemukan kebenarannya."Di rumah."Eric belum tahu di mana tempat tinggalnya. Dan tidak mungkin pria itu dengan bodohnya mengecek mansion Miller un
[Atau kamu mau kujemput di tempat sepupumu itu?]"Oh, sial," gumam Verena, akhirnya bangkit dari kursi yang sudah beberapa jam ia duduki. Tak jauh dari sana, Ashton menoleh."Kenapa?" tanya pria itu."Tidak," balas Verena. Ia kembali duduk dan memikirkan balasan apa yang bisa dia berikan pada Eric.[Kamu sudah baca pesanku. Kenapa tidak balas?]Sebuah pesan dari Eric kembali muncul, membuat Verena berdecak."Dasar tidak sabaran." Verena membalas pesan tersebut demikian. "Apa tidak bisa dibicarakan lewat telepon saja?"Baru beberapa detik usai Verena mengirim pesan itu, balasan Eric langsung datang.[Tidak.][Harus bertemu.]Lalu satu lagi.[Tunggu aku di sana.]"Aku tidak sedang di rumah Ashton," balas Verena. "Nanti saja."[Di mana, kalau begitu?]Verena memutar otaknya dengan cepat. Jika ia menjawab ada di kantor, Eric akan dengan mudah menemukan kebenarannya."Di rumah."Eric belum tahu di mana tempat tinggalnya. Dan tidak mungkin pria itu dengan bodohnya mengecek mansion Miller un
"Dan aku bilang kamu beruntung karena tinggal di sebelah rumahnya?"Usai mengatakan itu, Samuel kembali memandang Eric dengan tatapan asing. Ekspresi sepupunya itu tampak senang, sekaligus puas. Seakan-akan ia baru mendapatkan momen yang ia harapkan."Tunggu, Ric. Kamu tidak tahu?" tanya Samuel. "Manusia ini. Kamu tidak mendengarkan ceritaku ya!?"Eric mengibaskan tangannya. "Tidak penting."Hal itu membuat Samuel menggerutu. Mengatakan hal-hal seperti ia yang telah membantu Eric dan selalu siap sedia, tapi begini balasan Eric padanya. Eric bahkan tidak memperkenalkan Verena lebih awal padanya, dan sebagainya.Namun, Eric tidak mendengarkan. Ia sibuk menyusun rencana.Karena Verena kembali tidak membalas pesan Eric, entah kenapa. Pria itu jadi tidak bisa mengurusi persoalan mereka yang belum selesai.Kalau Verena ada di sebelah rumah, akan lebih mudah bagi Eric untuk mengurusnya.***Namun, wanita yang Eric cari sedang tidak berada di rumah."Kamu tidak mau pulang?"Pertanyaan Ashton
"Selamat pagi, Nona Lee."Eric Gray memandang Leon, asisten kepercayaannya selama ini, yang tengah melakukan pertemuan dengan Patricia Lee, reporter yang pertama kali memuat berita tentang dirinya dan Verena. Ia ingin menyelidiki apakah Patricia terlibat pihak-pihak lain yang ingin menjatuhkannya, ataukah dia bergerak sendiri.Karena penyelidikan pun menyatakan kalau malam itu Patricia sedang berada di rumah sakit, bukan hotel tempat pesta Eric dilaksanakan.Ditambah lagi, Eric memang sudah dengan mudah menyingkirkan berita-berita yang merugikannya dan Verena. Tapi akan sulit kalau ternyata ada musuh lain yang tidak mereka ketahui.Sejauh ini, dugaannya dan Verena sama; keluarga Miller sendiri. Lebih tepatnya pihak Olivia. Meski ada ketidakcocokan mengenai asumsi tersebut di beberapa tempat."Sekarang kamu tertarik pada ibu tunggal?" Sepupunya, Samuel, menghempaskan dirinya untuk duduk di sebelah Eric dan mengamati pertemuan Leon dengan Patricia. Eric dan Samuel tidak bergabung, mela
Keith baru saja berjalan melewati pintu masuk ketika salah seorang pelayan menghampirinya dan mengatakan bahwa Verena datang berkunjung.Dan sekarang kakaknya itu ada di kamar Kimberly."Untuk apa dia ada di sana?" gumam Keith. Dia bergegas naik ke lantai 2 ketika ja mendengar suara pecahan kaca dari kamar Kimberly.Panik, Keith langsung berlari dan coba membuka pintu kamar.Terkunci. Kimberly nekat membayar orang untuk mencelakai Verena beberapa waktu yang lalu. Meskipun Keith sudah mengancam adik kembarnya itu agar ia tidak melakukannya lagi, Keith tidak yakin Kimberly akan diam saja saat melihat Verena ada di tempat yang sama dengannya.Dengan panik, Keith menggedor pintu kamar adik kembarnya.Tak berapa lama, Verena muncul di balik pintu tersebut dan langsung ditarik keluar oleh Keith."Ve!?" Tidak ada luka. Aman--tunggu. Keith mengernyit melihat tanda merah keunguan di area sekitaran tengkuk Verena. Namun, saat ia berniat memastikan tanda itu, Verena sudah menarik diri.Keith m
"Apakah benar demikian?" Senyum Verena tidak sampai matanya, seolah sedang mengolok lawan bicaranya. "Anak kandung Aster Miller?"Tidak ada perubahan ekspresi yang berarti di wajah Kimberly, saat Verena mengamati. Bisa jadi gadis itu benar-benar meyakini identitasnya sebagai putri bungsu keluarga Miller."Omong kosong apa yang kamu katakan?" balas Kimberly. Gadis itu akhirnya berjalan menghampiri Verena dan menarik lengan baju Verena. "Keluar dari kamarku, sekarang!"Namun, Verena menepisnya dengan mudah. "Jangan begitu. Kita baru sampai di obrolan yang kusukai." balas Verena. Ia menyelipkan kunci kamar tersebut di tas miliknya. "Kimberly. Apakah kamu pernah berpikir dari mana kamu mendapat mata abu-abu dan rambut pirang itu? Padahal di saat yang sama, keluarga kita seluruhnya berambut gelap?""Berhenti menyebutnya keluarga kita, sialan. Menjijikkan sekali!""Tapi suka tidak suka, ini memang keluargaku juga." Verena berdiri, lalu berjalan ke tepi ranjang Kimberly. "Meski aku sempat te
"Tuan Gray, ini profil identitas reporter yang menulis berita mengenai Anda dan Nona Miller pertama kali."Eric hanya melirik laporan si asisten yang ada di atas meja sekilas sebelum kembali menekuni layar laptop di hadapan.Meski begitu, pikirannya sebenarnya tidak sedang berada di sana.Pria itu masih ada pada malam yang ia habiskan dengan Verena. Dan itu membuatnya gila karena Verena tampil seakan itu tidak berdampak apa-apa padanya.Padahal kalau ia memang benar, Eric adalah kali pertama dan kali selanjutnya wanita itu. Kenapa Verena bersikap biasa saja?"Tuan Gray?" Suara sang asisten kembali mengusik Eric."Ya, aku dengar." Eric menghela napas dan akhirnya menyandarkan dirinya ke sandaran kursi, lalu mengambil laporan yang ada."Sudah kamu cek?" tanya Eric."Ya, Tuan.""Ada yang aneh?""Saya sarankan Anda mengecek bagian keluarga, Tuan."Eric menggumam pelan. Ia hanya membaca sekilas mengenai identitas si reporter. Patricia Lee. Pendatang di negara ini, usianya ada di akhir 20-a
Verena merasakan atmosfer di mansion keluarga Miller sedikit berbeda dan cukup mencekam dibandingkan biasanya. Mungkin karena tidak ada suara para pekerja membersihkan perabotan atau mereka yang beraktivitas di dapur, mengobrol ringan sembari mempersiapkan makan. Atau mungkin juga karena suara barang pecah belah yang dihancurkan di lantai 2.Verena bisa menduga itu berasal dari kamar adik tirinya, Kimberly. Tidak sulit."Selamat pagi, Nona." Salah seorang pelayan menyapanya, bersamaan dengan suara teriakan dari lantai 2. "Tuan Miller ada di kamarnya seperti biasa, Nona. Mari saya antar "Verena menggeleng. "Aku ke sini bukan untuk bertemu dengannya." Ia mengangkat kepalanya, memandang ke arah pintu ruangan yang merupakan kamar Kimberly. "Keith di mana?""Tuan Keith belum pulang sejak semalam, Nona."Hal tersebut menimbulkan kernyitan di kening Verena.Apakah terjadi sesuatu pada pria itu setelah ia bertemu dengan Verena semalam? Atau ada hal lain?Pikiran Verena teralihkan saat kemba
"Kalau begitu, apakah kamu masih akan berpikir kalau hubungan kita hanya sekadar bisnis untukku?"Verena memilih untuk tidak menjawab terlebih dahulu dan melanjutkan sarapannya. Ia perlu beberapa saat untuk berpikir, bukan menuruti keinginan emosionalnya seperti beberapa saat terakhir.Sepertinya obat itu sudah merusak sistem kerjanya. Sangat disayangkan.Tanpa diduga, Eric Gray tidak mengejar jawabannya. Meski begitu, bukan berarti Eric berhenti menatap Verena dengan pandangannya yang tidak bisa ia artikan itu.Oke, fokus. Pertama, soal si pria misterius. Belum selesai, tapi sedang dalam penyelidikan. Verena hanya bisa menunggu.Kedua, soal adik tirinya yang tersayang. Verena sudah mengatur rencana untuk gadis licik itu. Akan ia laksanakan di waktu yang tepat untuk hasil maksimal.Lalu, Eric Gray. Pria ini--Pikiran Verena terputus saat ponselnya kembali berdering. Mengira bahwa itu Ashton, Verena langsung mengangkatnya."Ash, sudah kubilang--""Balas pesanku."Panggilan diakhiri beg