Share

Istri untuk Papa
Istri untuk Papa
Penulis: Aurel Ntsya

Bab 1 - Kejadian di Rooftop

"Hei, kau mau kemana!"

"Berhenti di sana, atau aku akan membunuhmu!"

Seorang perempuan tampak gemetaran, ia tidak punya pilihan lain selain berlari. Melihat tiga laki-laki menyeramkan itu mengejarnya.

"Tuhan, aku mohon. Selamatkan aku." Sembari berlari, ia terus berdoa. Langkah kaki yang saling bersahutan diiringi teriakan yang memintanya berhenti terdengar semakin dekat di belakangnya, jika dia tertangkap maka habislah riwayatnya.

Luna, seorang perawat yang bekerja di rumah sakit swasta yang sangat terkenal. Harus berurusan dengan para rentenir karena hutang yang ditinggalkan orang tuanya.

Dengan gerakan cepat, Luna berlari menaiki tangga yang terhubung menuju rooftop. Bersembunyi di sana, di balik tumpukan kursi kayu yang sudah tidak terpakai.

Detak jantungnya masih memburu, semakin kencang memompa saat mendengar derap langkah kaki yang mendekat. Luna bahkan memejamkan mata dan memanjatkan doa, berharap ia tidak ditemukan.

"Mama?"

"Ha?" Luna cukup terkejut, keringat dingin bahkan menguap dari dalam tubuhnya.

Namun, ia akhirnya bisa bernapas lega saat membuka mata, karena yang ada di hadapannya adalah seorang anak perempuan yang masih menggunakan baju pasien khas rumah sakit. Wajahnya terlihat pucat.

"Oh, hai," sapa Luna, masih berusaha mengatur deru napasnya yang memburu, hingga ia kembali dikejutkan dengan sebuah pelukan. Anak perempuan yang kiranya berusia empat tahun itu tiba-tiba memeluk Luna erat.

Luna tidak menolak, hanya membalas pelukan dari anak perempuan itu, sembari mengatur deru napasnya. "Apa kamu sedang mencari Mamamu?" tanya Luna kemudian, setelah mereka tidak lagi saling memeluk.

"Kamu bukan Mama aku?" tanya balik anak perempuan itu dengan polosnya, matanya mengerjap lucu.

"Bukan! Aku bukan Mama kamu, aku belum memiliki anak." Luna membantah dengan cepat sembari menjauhkan tubuhnya.

Bagaimana bisa Luna memiliki anak, bahkan saat ini usia Luna baru 26 tahun. Dan yang lebih penting untuk diketahui, Luna belum menikah. Lalu, anak siapa yang ada di hadapannya ini? Luna tidak mengenalnya.

"Jadi, siapa Mamaku?" Anak itu tampak kecewa. Ia menunduk, memainkan jari-jemarinya.

"Aku juga tidak tahu," jawab Luna, mengangkat bahunya tanda tak tahu.

Masih memandangi anak perempuan yang berdiri di depannya. Ada kesedihan yang ia tunjukkan. Membuat Luna menarik simpati dalam dirinya, "Nama kamu siapa?" tanya Luna sembari menarik anak perempuan itu untuk lebih dekat dengannya.

"Nama aku, Bintang," jawabnya, masih enggan untuk melihat ke arah Luna.

"Kalau nama aku, Luna. Kamu bisa memanggilku kak Luna, oke!" seru Luna yang juga memperkenalkan diri, "tenang saja, aku akan membantumu mencari Mama kamu," ujar Luna lagi, saat menangkap gurat sedih yang tergambar jelas di wajah Bintang.

"Aku tidak memiliki Mama, aku hanya memiliki Papa," ujar Bintang, kali ini ia menatap Luna dengan binar matanya yang bulat.

Luna kemudian diam, berusaha menangkap apa yang dimaksud oleh Bintang. Jika tidak memiliki Mama, lalu untuk apa dia mencari Mamanya sampai mengira Luna adalah sang Mama.

"Bukannya tadi Bintang mencari Mama?" tanya Luna, ragu. Masih belum paham yang sebenarnya. Ia baru saja tercekat nyaris tidak bisa bernapas karena dikejar para rentenir, dan tiba-tiba ada seorang anak perempuan yang menghampiri dan memanggil dirinya Mama.

"Aku tidak mencari Mama, tapi aku menginginkan Mama Luna untuk menjadi Mamaku," pinta Bintang yang berhasil membuat Luna melotot. Yang benar saja. Dan juga, Luna sudah memintanya untuk memanggil kakak, tapi Bintang malah memanggil dengan sebutan Mama.

"Kenapa aku?" tanya Luna, menunjuk dirinya sendiri.

"Karena Mama Luna bisa berlari kencang menaiki tangga, seperti di film-film," ujar Bintang, antusias. Ia menatap Luna dengan wajah polosnya, matanya bahkan berkedip-kedip dengan senyuman yang begitu manis, sangat menggemaskan.

Luna mengerti sekarang, sepertinya Bintang melihatnya saat berlari tadi. Dan karena itu, Bintang mengikutinya sampai di sini.

Masih asik mengobrol dengan Bintang yang bersikeras memanggilnya Mama, Luna tidak menyadari kehadiran tiga orang laki-laki yang memandangnya dengan senyum miring. Para rentenir yang tadi mengejarnya.

"Kau berada di sini rupanya." Suara yang terdengar berat itu, mampu membuat Luna mematung di tempatnya.

Luna merasa darahnya berhenti mengalir. Dengan napas tertahan, Luna menoleh dengan kaku. Dan, pandangan mata mereka bertemu.

"Jangan mendekat!" teriak Luna, menarik Bintang agar berlindung di belakangnya.

"Kenapa? Kau mau lari kemana lagi?" tanya salah satu dari tiga laki-laki itu, melihat Luna yang berusaha mundur dengan sebuah tangan kecil yang berada dalam genggamannya.

"Jangan mendekat!" Sekali lagi Luna berteriak. Dengan napas memburu, Luna berhenti mundur. Ia sudah sampai di bagian pinggir.

Luna melihat sekitarnya, salah satu dari tiga rentenir itu berdiri di dekat pintu. Sedangkan dua orang lagi sudah semakin dekat dari tempat Luna berdiri. Luna sudah tidak bisa lagi bergerak, selangkah lagi ia mundur, maka Luna akan jatuh ke bawah.

"Mama, mereka siapa?" Mendengar suara Bintang yang ketakutan, membuat Luna tersadar kalau ia tidak sedang sendiri sekarang.

Luna menoleh untuk melihat Bintang, ia tidak mungkin berpikiran pendek dan melompat dari atas sini saat Bintang sedang bersamanya. Luna harus menemukan cara lain, setidaknya Bintang tidak akan diganggu oleh para rentenir itu, cukup Luna saja.

"Jangan melihat mereka," bisik Luna. Berjongkok di hadapan Bintang, mensejajarkan tinggi tubuhnya. Luna lalu menarik Bintang agar bersembunyi dalam pelukannya.

"Jadi, kau sudah memiliki anak," ujar laki-laki itu, derap langkahnya yang pelan semakin mendekati Luna.

Luna hanya bisa memejamkan mata, memeluk Bintang semakin erat. Sudah pasrah atas apa yang akan terjadi, namun sebisa mungkin ia berusaha melindungi Bintang dalam dekapannya. Apa pun yang terjadi, Bintang tidak boleh sampai terluka.

"Aku sudah memberimu peringatan bukan, segera bayar utang kamu bulan ini!"

"Akan tetapi, kau malah memilih jalan yang rumit, mencoba bermain-main dengan kami? Ha!" Laki-laki tanpa rasa balas kasih itu menarik rambut Luna yang hanya sebatas bahu.

"Argh...." Luna menggeram kesakitan, kulit kepalanya terasa panas seolah seluruh rambutnya akan tercabut.

Namun, Luna masih berusaha menahan rasa sakit itu dengan memejamkan mata. Luna masih berusaha melindungi Bintang dengan menariknya agar tetap bersembunyi di balik dadanya. Bintang tidak boleh melihat kekerasan seperti ini, hanya itu yang terlintas dalam pikiran Luna.

"Bawa anak ini pergi, dia bisa jadi jaminan," perintah laki-laki itu, meminta pada kedua temannya untuk membawa Bintang.

"Jangan menyentuhnya, dia tidak ada hubungannya dengan aku!" cegah Luna, berteriak dan meronta. Hingga tangan laki-laki itu terlepas dari rambutnya.

Luna memeluk Bintang semakin erat. Sedangkan para rentenir itu tampak tidak peduli, mereka berusaha mengambil Bintang dari Luna.

"Kau pikir, kami bodoh? Kami mendengarnya memanggilmu Mama," bentak laki-laki itu, ia memaksa untuk mengambil Bintang. Namun Luna semakin mengeratkan pelukannya. Bagaimanapun, Bintang tidak boleh ada di tangan para rentenir itu. Mereka tidak akan segan melukai Bintang, dan bisa saja melakukan kemungkinan lainnya yang beresiko lebih besar.

"Kau benar-benar pandai melawan, baiklah! Kau sendiri yang menginginkan kami untuk bertindak kasar padamu!"

Detik berikutnya, Luna tidak bisa lagi menyentuh Bintang. Ia sudah ada dalam gendongan laki-laki itu. "Mama! Mama Luna!" Bintang berteriak histeris dan menangis.

Luna yang melihat itu, kembali berusaha melawan. Namun, ia hanya bisa merasakan tubuhnya yang melayang sebelum akhirnya jatuh ke lantai.

"Argh...." Luna menggeram kesakitan, memegang bagian belakang tubuhnya. Tulang belakang Luna terasa seperti akan patah.

"Mama... Mama!" Ditengah-tengah rasa sakitnya, Luna mendengar suara Bintang yang menangis dan berteriak memanggilnya, terdengar semakin jauh. Hal itu kembali menyadarkan Luna, ia tidak peduli dengan rasa sakit pada tubuhnya, Luna harus mengambil Bintang dari tangan mereka.

Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, Luna berusaha untuk berdiri. Mengejar para rentenir yang sudah berjalan menjauh. Luna harus melakukan sesuatu agar mereka tidak membawa Bintang.

Luna kemudian mengambil sebuah kursi kayu yang sudah patah, ia menggunakan itu untuk memukul salah satu dari tiga laki-laki itu. Hingga laki-laki yang menggendong Bintang itu menurunkannya.

"Bintang, cepat pergi dari sini!" Hanya itu yang bisa dikatakan Luna. Sebelum akhirnya ia merasakan benda keras yang menghantam wajahnya.

Tidak hanya sampai disitu, seluruh tubuh Luna terasa remuk dengan pukulan bertubi-tubi yang diterimanya. Rasa sakit menjalar ke seluruh tubuhnya, hingga pengelihatan Luna terasa mulai samar dan gelap. Luna tidak lagi tahu apa yang terjadi, iaa kehilangan kesadarannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status