"Hei, kau mau kemana!"
"Berhenti di sana, atau aku akan membunuhmu!"Seorang perempuan tampak gemetaran, ia tidak punya pilihan lain selain berlari. Melihat tiga laki-laki menyeramkan itu mengejarnya."Tuhan, aku mohon. Selamatkan aku." Sembari berlari, ia terus berdoa. Langkah kaki yang saling bersahutan diiringi teriakan yang memintanya berhenti terdengar semakin dekat di belakangnya, jika dia tertangkap maka habislah riwayatnya.Luna, seorang perawat yang bekerja di rumah sakit swasta yang sangat terkenal. Harus berurusan dengan para rentenir karena hutang yang ditinggalkan orang tuanya.Dengan gerakan cepat, Luna berlari menaiki tangga yang terhubung menuju rooftop. Bersembunyi di sana, di balik tumpukan kursi kayu yang sudah tidak terpakai.Detak jantungnya masih memburu, semakin kencang memompa saat mendengar derap langkah kaki yang mendekat. Luna bahkan memejamkan mata dan memanjatkan doa, berharap ia tidak ditemukan."Mama?""Ha?" Luna cukup terkejut, keringat dingin bahkan menguap dari dalam tubuhnya.Namun, ia akhirnya bisa bernapas lega saat membuka mata, karena yang ada di hadapannya adalah seorang anak perempuan yang masih menggunakan baju pasien khas rumah sakit. Wajahnya terlihat pucat."Oh, hai," sapa Luna, masih berusaha mengatur deru napasnya yang memburu, hingga ia kembali dikejutkan dengan sebuah pelukan. Anak perempuan yang kiranya berusia empat tahun itu tiba-tiba memeluk Luna erat.Luna tidak menolak, hanya membalas pelukan dari anak perempuan itu, sembari mengatur deru napasnya. "Apa kamu sedang mencari Mamamu?" tanya Luna kemudian, setelah mereka tidak lagi saling memeluk."Kamu bukan Mama aku?" tanya balik anak perempuan itu dengan polosnya, matanya mengerjap lucu."Bukan! Aku bukan Mama kamu, aku belum memiliki anak." Luna membantah dengan cepat sembari menjauhkan tubuhnya.Bagaimana bisa Luna memiliki anak, bahkan saat ini usia Luna baru 26 tahun. Dan yang lebih penting untuk diketahui, Luna belum menikah. Lalu, anak siapa yang ada di hadapannya ini? Luna tidak mengenalnya."Jadi, siapa Mamaku?" Anak itu tampak kecewa. Ia menunduk, memainkan jari-jemarinya."Aku juga tidak tahu," jawab Luna, mengangkat bahunya tanda tak tahu.Masih memandangi anak perempuan yang berdiri di depannya. Ada kesedihan yang ia tunjukkan. Membuat Luna menarik simpati dalam dirinya, "Nama kamu siapa?" tanya Luna sembari menarik anak perempuan itu untuk lebih dekat dengannya."Nama aku, Bintang," jawabnya, masih enggan untuk melihat ke arah Luna."Kalau nama aku, Luna. Kamu bisa memanggilku kak Luna, oke!" seru Luna yang juga memperkenalkan diri, "tenang saja, aku akan membantumu mencari Mama kamu," ujar Luna lagi, saat menangkap gurat sedih yang tergambar jelas di wajah Bintang."Aku tidak memiliki Mama, aku hanya memiliki Papa," ujar Bintang, kali ini ia menatap Luna dengan binar matanya yang bulat.Luna kemudian diam, berusaha menangkap apa yang dimaksud oleh Bintang. Jika tidak memiliki Mama, lalu untuk apa dia mencari Mamanya sampai mengira Luna adalah sang Mama."Bukannya tadi Bintang mencari Mama?" tanya Luna, ragu. Masih belum paham yang sebenarnya. Ia baru saja tercekat nyaris tidak bisa bernapas karena dikejar para rentenir, dan tiba-tiba ada seorang anak perempuan yang menghampiri dan memanggil dirinya Mama."Aku tidak mencari Mama, tapi aku menginginkan Mama Luna untuk menjadi Mamaku," pinta Bintang yang berhasil membuat Luna melotot. Yang benar saja. Dan juga, Luna sudah memintanya untuk memanggil kakak, tapi Bintang malah memanggil dengan sebutan Mama."Kenapa aku?" tanya Luna, menunjuk dirinya sendiri."Karena Mama Luna bisa berlari kencang menaiki tangga, seperti di film-film," ujar Bintang, antusias. Ia menatap Luna dengan wajah polosnya, matanya bahkan berkedip-kedip dengan senyuman yang begitu manis, sangat menggemaskan.Luna mengerti sekarang, sepertinya Bintang melihatnya saat berlari tadi. Dan karena itu, Bintang mengikutinya sampai di sini.Masih asik mengobrol dengan Bintang yang bersikeras memanggilnya Mama, Luna tidak menyadari kehadiran tiga orang laki-laki yang memandangnya dengan senyum miring. Para rentenir yang tadi mengejarnya."Kau berada di sini rupanya." Suara yang terdengar berat itu, mampu membuat Luna mematung di tempatnya.Luna merasa darahnya berhenti mengalir. Dengan napas tertahan, Luna menoleh dengan kaku. Dan, pandangan mata mereka bertemu."Jangan mendekat!" teriak Luna, menarik Bintang agar berlindung di belakangnya."Kenapa? Kau mau lari kemana lagi?" tanya salah satu dari tiga laki-laki itu, melihat Luna yang berusaha mundur dengan sebuah tangan kecil yang berada dalam genggamannya."Jangan mendekat!" Sekali lagi Luna berteriak. Dengan napas memburu, Luna berhenti mundur. Ia sudah sampai di bagian pinggir.Luna melihat sekitarnya, salah satu dari tiga rentenir itu berdiri di dekat pintu. Sedangkan dua orang lagi sudah semakin dekat dari tempat Luna berdiri. Luna sudah tidak bisa lagi bergerak, selangkah lagi ia mundur, maka Luna akan jatuh ke bawah."Mama, mereka siapa?" Mendengar suara Bintang yang ketakutan, membuat Luna tersadar kalau ia tidak sedang sendiri sekarang.Luna menoleh untuk melihat Bintang, ia tidak mungkin berpikiran pendek dan melompat dari atas sini saat Bintang sedang bersamanya. Luna harus menemukan cara lain, setidaknya Bintang tidak akan diganggu oleh para rentenir itu, cukup Luna saja."Jangan melihat mereka," bisik Luna. Berjongkok di hadapan Bintang, mensejajarkan tinggi tubuhnya. Luna lalu menarik Bintang agar bersembunyi dalam pelukannya."Jadi, kau sudah memiliki anak," ujar laki-laki itu, derap langkahnya yang pelan semakin mendekati Luna.Luna hanya bisa memejamkan mata, memeluk Bintang semakin erat. Sudah pasrah atas apa yang akan terjadi, namun sebisa mungkin ia berusaha melindungi Bintang dalam dekapannya. Apa pun yang terjadi, Bintang tidak boleh sampai terluka."Aku sudah memberimu peringatan bukan, segera bayar utang kamu bulan ini!""Akan tetapi, kau malah memilih jalan yang rumit, mencoba bermain-main dengan kami? Ha!" Laki-laki tanpa rasa balas kasih itu menarik rambut Luna yang hanya sebatas bahu."Argh...." Luna menggeram kesakitan, kulit kepalanya terasa panas seolah seluruh rambutnya akan tercabut.Namun, Luna masih berusaha menahan rasa sakit itu dengan memejamkan mata. Luna masih berusaha melindungi Bintang dengan menariknya agar tetap bersembunyi di balik dadanya. Bintang tidak boleh melihat kekerasan seperti ini, hanya itu yang terlintas dalam pikiran Luna."Bawa anak ini pergi, dia bisa jadi jaminan," perintah laki-laki itu, meminta pada kedua temannya untuk membawa Bintang."Jangan menyentuhnya, dia tidak ada hubungannya dengan aku!" cegah Luna, berteriak dan meronta. Hingga tangan laki-laki itu terlepas dari rambutnya.Luna memeluk Bintang semakin erat. Sedangkan para rentenir itu tampak tidak peduli, mereka berusaha mengambil Bintang dari Luna."Kau pikir, kami bodoh? Kami mendengarnya memanggilmu Mama," bentak laki-laki itu, ia memaksa untuk mengambil Bintang. Namun Luna semakin mengeratkan pelukannya. Bagaimanapun, Bintang tidak boleh ada di tangan para rentenir itu. Mereka tidak akan segan melukai Bintang, dan bisa saja melakukan kemungkinan lainnya yang beresiko lebih besar."Kau benar-benar pandai melawan, baiklah! Kau sendiri yang menginginkan kami untuk bertindak kasar padamu!"Detik berikutnya, Luna tidak bisa lagi menyentuh Bintang. Ia sudah ada dalam gendongan laki-laki itu. "Mama! Mama Luna!" Bintang berteriak histeris dan menangis.Luna yang melihat itu, kembali berusaha melawan. Namun, ia hanya bisa merasakan tubuhnya yang melayang sebelum akhirnya jatuh ke lantai."Argh...." Luna menggeram kesakitan, memegang bagian belakang tubuhnya. Tulang belakang Luna terasa seperti akan patah."Mama... Mama!" Ditengah-tengah rasa sakitnya, Luna mendengar suara Bintang yang menangis dan berteriak memanggilnya, terdengar semakin jauh. Hal itu kembali menyadarkan Luna, ia tidak peduli dengan rasa sakit pada tubuhnya, Luna harus mengambil Bintang dari tangan mereka.Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, Luna berusaha untuk berdiri. Mengejar para rentenir yang sudah berjalan menjauh. Luna harus melakukan sesuatu agar mereka tidak membawa Bintang.Luna kemudian mengambil sebuah kursi kayu yang sudah patah, ia menggunakan itu untuk memukul salah satu dari tiga laki-laki itu. Hingga laki-laki yang menggendong Bintang itu menurunkannya."Bintang, cepat pergi dari sini!" Hanya itu yang bisa dikatakan Luna. Sebelum akhirnya ia merasakan benda keras yang menghantam wajahnya.Tidak hanya sampai disitu, seluruh tubuh Luna terasa remuk dengan pukulan bertubi-tubi yang diterimanya. Rasa sakit menjalar ke seluruh tubuhnya, hingga pengelihatan Luna terasa mulai samar dan gelap. Luna tidak lagi tahu apa yang terjadi, iaa kehilangan kesadarannya.Baru saja matahari terbit, jelas bersinar sang surya, saat itu berjalanlah seorang perempuan, berdiri di ujung tangga di atas sana. Pandangannya mengarah ke bawah, melihat kesibukan orang-orang yang begitu ramai.Setiap sudut ruangan telah dihiasi dengan bunga mekar yang begitu segar, mengeluarkan aroma harum yang menyerbak ke penjuru rumah. Ribuan hiasan berkilau layaknya permata yang menyejukkan mata. Sorot lampu bercahaya keemasan menyinari setiap ruang. "Sayang, mengapa berdiri di sini, hm?" Dengan lembut, melingkarkan tangannya di perut sang istri. Dagunya bertumpu pada bagian pundak, membuat pipi mereka saling bersentuhan."Brian, kamu meninggalkan Bara sendirian?" tanya Luna, menoleh untuk melihat wajah sang suami yang masih diselimuti rasa kantuk."Ada Bintang yang menemaninya, sayang. Bara juga belum bangun. Sekarang jawab pertanyaan aku, mengapa berdiri di sini?" tanya balik Brian yang masih menuntut jawaban atas pertanyaannya.
"Mengapa tidak pernah mengatakan padaku, bahwa Bibi Megan yang selama ini mengancam kamu?" sesal Brian, menyayangkan sikap Luna yang menyembunyikan kejahatan Bibi Megan selama ini. Sehingga Brian tetap berpikir kalau Bibi Megan adalah orang yang sangat baik."Maaf, Bibi Megan mengancam aku. Dan, aku tidak ingin kehilangan rumah itu, karena hanya itulah satu-satunya peninggalan orang tuaku," cicit Luna, turut merasa bersalah."Jadi kamu rela menukar aku dengan rumah panggung itu?" tanya Brian yang berpura-pura merajuk, namun sebenarnya ia hanya bergurau saja.Luna tertawa, beberapa hari ini Brian sering mengungkit-ungkit kalau Luna rela menukar suaminya demi harta. Hal itu membuat Luna merasa geli sendiri, apalagi mengingat wajah Brian yang seolah begitu kesal saat mengatakan itu. Seolah Brian tidak memiliki harga sedikit pun jika dibandingkan dengan rumah panggung peninggalan orang tua Luna."Bukan seperti itu, sayang." Luna mengusap wajah Brian y
"Jadi, sebenarnya Adrian menyadari perasaan Sely, tapi dia memilih acuh dan pura-pura tidak tahu?" tanya Luna, masih tidak menyangka."Hm," jawab Brian bergumam, ia semakin erat memeluk perut Luna sembari melabuhkan beberapa kecupan.Saat sebelum tidur, Brian lebih sering mensejajarkan tubuhnya tepat di depan perut Luna, agar ia lebih muda mengusap-usap perut Luna saat tiba-tiba Luna merasa keram. Sebelum itu, Brian juga selalu menyempatkan diri untuk memberi pijatan di seluruh tubuh Luna, karena Luna yang hampir setiap saat mengeluh karena merasa pegal pada seluruh tubuhnya."Sayang, jawab yang benar. Jangan hm, hm, saja," protes Luna sembari meminta Brian untuk menatapnya."Iya, sayang. Adrian tahu kalau Sely suka sama dia.""Terus, kenapa dia diam saja? Mengapa tidak mengungkapkan perasaannya? Atau, jangan bilang Adrian menunggu Sely yang mengungkapkan perasaan lebih dulu." Luna tidak habis pikir jika memang Adrian melakukan itu.
"Seperti yang saya duga, Anda yang akan telat."Brian berpura-pura tidak mendengar apa yang dikatakan oleh Adrian. Brian baru keluar dari kamar utama setelah selesai mandi, dan ternyata sudah banyak orang yang menunggunya."Kau seperti tidak tahu saja, orang yang lagi melepas rindu itu seperti apa," balas Dokter Rio yang juga berada di sana."Memangnya, Anda tahu?" balas Adrian yang balik bertanya."Sepertinya, kau juga tidak tahu."Meski hubungan Adrian dan Dokter Rio sudah tidak seburuk dulu, namun yang sekarang tidak bisa juga disimpulkan sebagai hubungan yang terjalin dengan baik. Karena mereka belum bisa mengobrol dengan santai, dan lebih sering berdebat."Mengapa malah kalian yang jadi berisik!" tegur Sely saat Adrian dan juga Dokter Rio masih juga berdebat, "kalian tidak dipanggil ke sini untuk memperdebatkan hal yang tidak jelas!"Adrian dan Dokter Rio sontak menutup rapat mulut mereka. Namun, mereka saling melem
Luna masih berdiri di tempatnya, meragukan pengelihatannya atas sambutan yang baru saja ia dapatkan saat turun dari mobil. Luna bahkan merasa kalau kesadarannya belum sepenuhnya terkumpul."Selamat datang kembali, sayang." Brian memeluk Luna dari belakang, melingkarkan tangan di perut besar Luna, mengusapnya pelan."Selamat datang di rumah, Baby," bisik Brian.Namun, Luna masih juga diam. Ia hanya berfokus pada sosok anak kecil yang begitu ia rindukan, Bintang. Dia ada di sana, menyambut Luna dengan sebuah buket bunga yang jauh lebih besar dari tubuhnya."Mama…." lirih Bintang, berjalan dengan pelan menghampiri Luna dengan membawa buket bunga besar itu."Mama…." Luna tak sanggup lagi, ia melepaskan diri dari Brian, merentangkan tangan, menunggu Bintang datang dalam dekapannya."Mama kemana saja? Bintang menunggu Mama, Bintang rindu dengan Mama, Bintang hanya ingin Mama Luna, bukan Bibi Sely. Maafkan Bintang, Mama." Bint
Ucapan permohonan maaf dan juga pelaksanaan sangsi atas pelanggan hukum adat yang telah dilakukan oleh Luna dan Baim, berlangsung dengan lancar. Penanaman seratus pohon tanaman selesai hanya dalam sekejap, karena dilakukan oleh puluhan orang pengawal gabungan milik Brian dan juga Baim."Terima kasih, sudah menjaga Luna disaat aku tidak ada di sampingnya," ucap Brian."Hm, aku harap kau tidak melakukan itu lagi. Atau kau akan benar-benar kehilangan Luna selamanya!""Sekarang, Luna adalah adikku. Jadi, jangan mencoba untuk menyakitinya, atau kau tidak akan bertemu lagi dengannya!"Brian hanya tersenyum, karena tanpa Baim mengancam seperti itu pun, Brian tidak akan pernah menyakiti Luna. Brian tidak akan pernah melepas Luna dari genggamannya."Aku dengar, kau sudah menikah. Apakah itu pernikahan yang sengaja tidak kau ungkap ke publik?"Brian cukup tahu dengan Baim sebagai sesama rekan kerja, jadi seharusnya Brian mendapatkan undangan atas pernikahan Baim. Namun, Brian bahkan tidak perna