Aldiano bersama Zarah, duduk di kursi rumah sakit Sehat Sehati Hospital, menunggu panggilan. Tertulis di muka pintu "Dr. Martin Nicholas Sp.Bs" Terlihat pandangan Aldiano kosong dalam pikirannya sendiri. Dia bagai orang yang sedang tersesat di suatu tempat. Walau luka fisik sudah membaik, dan tulang yang patah pun sudah pulih, tapi otaknya seperti ada kabut tipis yang menutupi pikirannya. "Pasien Rehan!" panggil suster keluar dari ruang praktek dokter. "Pasien Rehan!" Tapi Aldiano terdiam. Zarah segera menarik lengan Aldiano. "Ayo Rehan, udah dipanggil tuh." Pria itu bangkit pelan melangkah masuk ke ruang dokter bersama Zarah. Dokter Martin menyambutnya dengan senyum ramah. "Bagaimana kabarnya Bapak Aldiano? Ini rujukan dari dokter Kelwin dari rumah sakit Vista Hospital," ucap dokter Martin sambil membuka berkas medis pasien. "Seperti biasa Dok. Belum ada perubahan," Zarah yang menjawab. "Iya, Dok. Apa lagi kalau saya memandang diri saya sedang di cermin. Saya seolah melihat or
Malam menunjukkan pukul 7 malam. Suasana di dalam kantor mulai terlihat sepi. Hanya terdengar suara dengung pendingin ruangan. Nadine berdiri dari kursinya melangkah keluar ruangan."Pak Rusdi sudah pulang Pak?" tanya Nadine ke Pak Brata, security yang masih lembur menunggu Nadine pulang."Iya Bu, tinggal saya saja sambil nunggu ibu selesai.""Baik, sekarang Bapak sudah boleh pulang. Tolong semua di periksa lagi ya, Pak. Ini uang rokok buat Bapak," ucap Nadine memberikan dua lembar ratusan ribu."Oh iya, terima kasih Bu. Kalau begitu saya permisi, mau cek ke dalam lagi," jawab Pak Brata meninggalkan Nadine.Wanita itu meraih ponselnya yang berdering."Halo Catalina, aku baru aja selesai kerja.""Nadine, aku pikir kamu gak jadi. Oke, aku tunggu di sini yah. Kamu hati-hati di jalan," suara Catalina di seberang telpon."Iya, kamu tunggu aja. Aku udah mau jalan kok."Nadine menutup sambungan telpon dan melangkah keluar kantor menuruni anak tangga sambil memainkan anak kunci mobil di tanga
Drrrrt Drrrrrt Drrrrrt!Suara dering ponsel Mengusik ketenangan pagi di kamar Nadine. Selimut masih membungkus tubuh wanita itu yang masih malas untuk bergerak. Ia menggeliat sebentar sambil menguap. Tangannya meraih ponsel yang terus berdering lantang."Halo," sapa Nadine serak, suaranya masih khas bangun tidur."Hei, Nadine. Kamu masih tidur yah? Ini aku Catalina. Bangun, bangun! Udah pagi loh. Hahaha!"Suara ceria dari seorang wanita membuatnya beranjak bangun. Matanya dengan cepat membesar."Catalina? Pagi sekali kamu telpon aku? Ada berita penting kah?""Aku cuma mau telepon kamu aja Nad, nanti siang ketemuan yuk. Kamu kerja nggak?""Ya, kerja dong. Kalau siang aku nggak bisa. Bagaimana kalau malam?""Oke kalau gitu, siapa takut. Aku tunggu ya jam 7 malam di restauran aku kemarin,""Oke, see you."Sekali lagi Nadine menggeliat masih bermalas-malasan. "Di penjara, mana bisa aku tidur nyenyak. Dikit-dikit berisik, dikit-dikit dibangunin ama sipir. Huh," gerutunya sambil bangkit, da
"Tapi kami akan menikah sebentar lagi." lanjut Erlan."Oooh, CLBK yah? Selamat ya. Hahaha!" Catalina tertawa terbahak.Terlihat wajah-wajah orang tua Nadine yang tidak suka dengan pembicaraan itu. Nadine paham akan situasi ini."Kamu itu apaan sih Er? Siapa juga yang mau nikah sama kamu?""Udah, udah. Sekarang kita pulang dulu yah. Sebentar papa ke kasir dulu,""Eits ... Nggak usah Om. Anggap aja ini persahabatan kita. Nanti kapan-kapan aku yang minta traktir sama om. Hehehe," tolak Catalina dengan halus."Wah wah wah, kita jadi bikin repot kamu kalau gitu," lanjut Stev merasa tidak enak hati."Ya gak apa kok Om. Kita ini kan sahabat baru. Salam buat keluarga Om semuanya di rumah.""Oke, kalau gitu Om mengucapkan terima kasih. Salam juga buat keluarga kamu di rumah.""Terima kasih ya Nak." tambah Pamela."Catalina, nanti sering-sering hubungi aku ya, kami pulang dulu," lanjut Nadine memeluk sahabat barunya.Mereka meninggalkan restauran itu melangkah masuk ke dalam mobil."Om, Tante,
"Al! Aldiano!" seru Nadine berlari mengejar mobil yang sudah jalan ke jalan raya. "Al, tunggu aku Al," Akhirnya Nadine menangis. Iya histeris memanggil nama Aldiano. "Kenapa kamu selalu tinggalin aku ... " Stev menarik lengan Nadine, mengajaknya kembali masuk ke dalam restoran. Akhirnya mereka kembali duduk. Beberapa pertanyaan keluar dari mulut Pamela. "Kamu tadi lihat apa sayang? Nggak mungkin kan kamu lihat Aldiano. Kamu kan tahu sendiri, Aldiano sudah ditetapkan meninggal." "Jadi kamu nggak perlu menghalu. Dia gak mungkin kembali lagi ke kita." lanjut Pamela mencoba untuk menenangkan hati Nadine. "Udah ah. Mending kita makan lagi. Mama belum selesai makannya. Tapi Nadine Masih terkesiap. Dia diam terpaku, nafasnya tersengal-sengal. "Gak mungkin aku salah. Mata aku belum lamur Ma.,Mata aku masih bagus? "Mama tahu perasaan kamu kehilangan Aldiano. Tapi nggak seperti ini juga. Aldiano sudah nggak ada, kamu harus ikhlas," ucap Pamela mengusap punggung Nadine yang mulai menang
Di ruang gerbang rumah tahanan wanita, Pamela dan Steve sudah menunggu sejak tadi. Mata mereka berkaca-kaca dengan rasa haru dan tak sabar untuk Nadine keluar dari gerbang itu. Setelah Nadine keluar, Stev dan Pamela langsung memberikan tangan untuknya dipeluk. "Mama!" ucap Nadine memeluk sang ibu. "Papa," berganti Nadine memeluk sang ayah. "Nadine anakku," jerit Pamela menumpahkan kerinduan yang tertahan dalam dirinya, selama Nadine di penjara. Stev mendekap Nadine erat, dirinya mencoba untuk tegar. Walau air mata tak dapat lagi bisa terbendung. "Jangan tinggalin Papa lagi sayang." Akhirnya pecah juga tangis Stev, disusul Pamela. Rasa haru dan bahagia yang begitu meluap. Mereka semua berpelukan. Hari menjelang siang dengan terik yang memantul dan menyengat. Langit cerah seakan menyambut kebahagiaan mereka. Tak banyak kata yang mereka ucap. Hanya kelegaan yang tersisa siang itu. Masalah sudah terselesaikan. Mata Pamela terlihat sembab, karena tangis dalam doa yang setiap hari