Duaaarrr! Serasa suara petir mencetus di udara. Jantung Nadine seolah berhenti sesaat. Wajahnya pucat. Ia memandang Alena tidak percaya. "Ma—Mama ngomong apa? Ma—Mama jangan ngaco Ma!" ucap Nadine memandang sang ibu tanpa kedip. Tangis Alena mulai terhenti, nafasnya mulai teratur. "Kamu memang bukan anak Mama, sayang." "Saat itu kamu masih belajar merangkak. Ditengah jalan itu kamu sendirian. Lama Mama perhatikan kamu, karena Mama gemas lihat kamu yang lucu. Entah siapa yang buang kamu." Alena mengatur nafasnya. Lalu melanjutkan. "Setengah jam kamu disana, gak ada orang tua yang menghampiri kamu. Karena semakin lama, kamu semakin merangkak ke tengah jalan, jadinya Mama khawatir kamu tertabrak kendaraan. Lalu Mama bawa kamu pulang." Alena melihat Nadine masih terkesima diam tak bergerak. Nadine merasakan dadanya sesak, seolah sulit untuk bernafas.Matanya masih berkaca-kaca. Alena menggenggam tangannya. "Itulah sebabnya, Mama mengurus kamu sendirian, tanpa seorang ayah. Ma
Sepanjang perjalanan bersama Calista, Nadine tidak banyak kata yang terucap. Ia masih terkesima oleh tawaran kerja Stev. Hatinya selalu bertanya. "Apakah dia mampu" Tidak terasa, mobil sudah sampai di depan rumah. Baru saja Nadine ingin membuka pintu mobil, namun Calista sudah lebih dulu membukakan pintu itu untuknya. "Silahkan, Nona," kata Calista menyilakan Nadine turun dari mobil. "Terima kasih Calista, lain kali gak usah seperti ini. Aku jadi merasa tidak nyaman dan gugup, diperlakukan seperti putri." ucap Nadine sambil mengumbarkan senyumnya. "Maaf, Nona, ini memang tugas saya. Oh iya, tunggu sebentar," Calista melangkah ke bagasi, mengambil bungkusan berisi gaun yang diberikan Pamela di pesta pernikahan tadi. Nadine membelalak kaget. "ini baju mahal yang tidak main-main harganya. Baju ini ratusan juta. Aku gak bisa menerimanya." "Maaf, Nona, ini sudah perintah Ibu Pamela, karena waktu itu, Ibu Pamela sudah merancang khusus untuk Nona." jawab Calista. "Nggak, saya nggak bi
"Nadine, Ibu tahu, apa yang kamu alami selama ini. Pernikahan suamimu bersama wanita lain, itu sangat menyakitkan." Ucapan Pamela seperti tamparan lembut yang mengena di hatinya. Rumah tangga yang tidak pernah ia harapkan. Kalau saja ia tahu Erlan akan bersikap dingin, dan hanya melihat perawan atau tidaknya, tak mungkin ia mau menikah bersama pria bernama Erlan. . "I—ibu tahu dari mana?" tanya Nadine terbata. "Ibu selalu memperhatikanmu dari jauh Nadine." Sebuah restauran mewah berhiaskan lampu-lampu kristal saling bergantungan. Restauran milik Pamela ini biasa dikunjungi oleh orang-orang tertentu,termasuk artis mau pun pejabat-pejabat tinggi. Saat ini Pamela dan Stev menemani Nadine makan malam selesai acara pernikahan sang suami bersama wanita lain. "Nadine," panggil Stev. "saya juga sudah tahu apa yang kamu alami selama ini. Suami kamu yang dingin, menuding kamu gak perawan. Apa semua itu benar?" "Dokter—dokter tau darimana?" "Jangan panggil saya dokter. Itu akan m
"Liat aja itu! Dia datang seperti ingin merusak acara kita!" ujar Delia penuh kebencian. Matanya melirik tajam ke Nadine. Erlan menggeleng sambil mengangkat satu tangannya. "Stop. Nadine datang hanya memberi selamat, bahkan tidak melakukan apa-apa. Bukankah memang seharusnya dia datang kan?" "Tapi ... tapi kamu menatapnya seperti itu Erlan! Sepertinya kamu mengaguminya!" sanggah Delia sambil hatinya bergumam sendiri. 'Sial! Dapat gaun mahal dari mana dia?' Erlan tertawa terkekeh. "Pastinya aku mengagumi istri-istriku nantinya." Nadine berdiri di samping Erlan. Kini sosok lelaki itu bagaikan seorang raja di apit kedua ratu. Tidak ada rasa sesal di hati Nadine. Kini ia sudah serahkan suaminya ke wanita lain. Delia menggamit tangan Erlan semakin erat. Seolah tidak mau ada kekalahan pada dirinya. Tekatnya tidak akan merubah apa pun. Ia akan tetap pergi dari kehidupan Erlan, bila sudah waktunya. Maka di wajah Nadine terlihat cerah, tidak menyimpan beban apa pun.Kata-kata Pamela mem
Dia datang bukan sebagai mempelai wanita. Tapi dia datang untuk mengucapkan selamat Pada kedua mempelai. Wajahnya penuh kharisma mampu menyedot perhatian para pengunjung. "kira-kira wanita itu siapa ya dia. Dia lebih cantik dari mempelai wanita." "Yah, pakaiannya sederhana, natural. Gak seperti pengantin wanita itu, menjurus norak. Tapi ini? Wanita ini benar-benar memikat. Kulitnya bening dan halus. Wajahnya bersinar." ujar salah satu pengunjung "Ma? Ma? I—itu kan, Kak Nadine," gumam Sandra terpana. "Ke—kenapa dia jadi seperti itu?" Rubia masih belum berkedip. Begitupun dengan Erlan, matanya terpaku hanya ke sosok wanita itu. Ia terkesiap memandang kecantikan yang luar biasa. Penuh aura yang memancar. Bibirnya bergerak sendiri menyebut nama. "Nadine ... Cantik luar biasa." Delia mendengar ucapan Erlan yang tanpa sengaja itu. "Tadi bilang, aku yang paling cantik tak terkalahkan. Tp sekarang malah dia yang kau bilang luar biasa. Dasar lelaki labil!" gerutunya. Erlan tidak mem
Di salon khusus make-up pengantin, Delia tengah dirias oleh dua orang waria, khusus make up pengantin yang sudah profesional. Dengan riasan yang natural memperlihatkan keanggunan wajah Delia. Di depan cerminan Erlan memandang tak berkedip. Menjadikannya terkagum-kagum. "Kamu—kamu terlihat cantik sekali hari ini sayang. Aku gak sangka, kalau kamu secantik ini," decak Erlan memandang Delia dari atas ke bawah. "Hari ini kamu benar-benar seperti putri raja." Salah seorang waria memandang Erlan dengan senyum bangga. "Siapa dulu yang dandanin putri dari kayangan ini. Eke kan bekas istri raja juga. Cuma sayangnya udah ditendang karena berselingkuh Bo!" Delia tertawa renyah dengan hati berbunga-bunga. "Erlan ... Erlan ... Kamu membuat aku terharu. Iya, bener juga sih. Mas yang make-up aku ini bekas istri raja. udah gak perawan lagi yah?" "Eeh, enak aja. Eke masih perawan tau! Jangan panggil Mas, panggil Eke Nona. Hi!" sahut waria itu sambil jalan berlenggak-lenggok meninggalkan mereka