Drrrrt! Drrrrt! Drrrrrt!Suara getar pada ponsel Nadine menjadikannya menatap layar itu sebentar. Tertulis nama Pamela."Halo, selamat sore Bu.""Selamat sore Nadine. Bagaimana kabarmu hari ini di kantor? Baik-baik aja kan? Nggak ada masalah?""Hari ini tidak ada masalah Bu. Sebagian sudah saya pahami, termasuk penyiapan dokumen dan jadwal rapat dengan para pihak pimpinan dan external. Semoga minggu ini sudah bisa saya pahami semuanya," jawab Nadine sangat hati-hati."Bagus kalau begitu. Semoga kamu cepat pahami semuanya," ujar Pamela merasa senang mendengar suara Nadine."Kamu tunggu si lobi kantor. Calista akan mengantar kamu ke restauran seafood mandala. Kami tunggu disana yah. Aku ingin mengundang kamu makan bersama," lanjut Pamela sebelum menutup sambungan telponnya.Nadine menatap layar ponselnya beberapa saat. Ia Mencoba memahami beberapa hari ini yang terasa begitu aneh dengan sikap Pamela dan Stev suaminya, yang terasa agak berlebihan memanjakan dirinya.'Mungkin karena aku
Mobil Alphard berwarna hitam perlahan berhenti Di pelataran gedung pencakar langit. Mobil-mobil mewah pun terlihat terparkir di tempat yang khusus.Calista dengan setelan jas hitam turun dari mobil, membuka pintu penumpang dengan rasa hormat. Nadine yang kini berpakaian rapih terlihat penuh kharisma, bergegas keluar dari mobil."Silakan nona," ucap Calista mempersilahkan Nadine turun."Terima kasih Calista," jawab Nadine dengan senyum Lesung pipitnya.Suara sepatu high heels tinggi menyentuh permukaan lantai marmer berwarna abu kehitaman mengkilap. Ia melangkah masuk ke dalam gedung yang dijaga kedua security yang pernah menahannya, yaitu Pak Riko dan Pak Deny.Melihat Nadin melewatinya, kedua security itu menunduk hormat."Selamat pagi Bu Nadine," suara mereka berbarengan."Yah, pagi juga bapak-bapak."Sosok Nadine yang kini menjadi pusat perhatian para karyawan lainnya. Mereka semua menaruh rasa hormat dan menunduk saat berpapasan.Beberapa karyawan secara serempak mengucapkan sela
'Sial! Baju kerjanya sudah menyamai aku. Cih! Kamu pikir, kamu bisa mengalahkan aku Nadine? Baru karyawan aja udah sombong! Tunggu aja," gumam hati Dela di meja makan. Hatinya panas melihat pakaian yang dikenakan Nadine pagi ini. Pagi itu Mentari baru saja menampakkan sinarnya di balik jendela. dimana mereka duduk di ruang makan sambil menunggu sarapan yang akan Nadine Dan Sandra hidangkan. Aroma bubur ayam dengan irisan bawang goreng, menguar di ruangan dapur, bercampur aroma melati teh panas, dan kopi tercium harum. Terdengar suara denting mangkuk dan sendok sibuk saling beradu. Nadine dan Sandra menyiapkan sarapan pagi. Delia membuka percakapan di meja makan. "Ma, ada yang mau aku bicarakan, sambil kita makan." *Mau bicara apa Del? Yaudah, kita sambil makan aja yah," ujar Rubia. Terdengar suara langkah kaki Nadine dan Sandra dari arah dapur melangkah ke ruang makan, sambil membawa sarapan bubur ayam bertaburkan daun bawang dan bawang goreng. Suasana pagi yang terasa hangat.
Rubia menarik Sandra untuk duduk di tepi ranjang. Rubia tersenyum licik. Sedangkan Sandra bingung, kenapa sang mama membawanya ke kamar ini. Wajah Rubia memperlihatkan senyum miringnya. Ia melirik kalender yang terpampang di dinding, menghitung hari, kapan Nadine akan menerima gajih. Sandra memandang wajah mamanya tanpa kedip penuh tanya. "Ma, sebetulnya mama mau ngapain sih?" "Bulan depan, si Nadine gajian kan?" bisik Rubia pelan. "Emangnya kenapa kalau dia gajian Ma? Mama mau minta?" "Dasar bodoh!" telunjuk Rubia menuding ke kening Sandra, hingga kepala Sandra mendongak ke belakang. Rubia menyipitkan matanya, pikiran busuknya yang begitu saja melintas di kepalanya untuk menguras uang Nadine. "Kita akan menguras gajih pertamanya, dan kalau bisa seterusnya selama dia masih bekerja disana. Kalau udah gak kerja, ya,, dia harus jadi babu lagi disini," gumam Rubia pelan. "Caranya Ma?" tanya Sandra memiringkan kepalanya. "Kamu dengar kan tadi! Alena bukan ibu kandungnya.
"Mantuku yang cantik ini rupanya kelayapan terus yah! Bikin sial aja kamu lama-lama disini!" hardik Rubia. Langkah Nadine disambut celoteh dan tuduhan Rubia dari ambang pintu. Tatapan tajam menelusuri Nadine dari atas ke bawah untuk mencari cela dan mencari kesalahan Nadine. Hanya wajah sinis penuh kecurigaan dibalik wajahnya yang membuat hati Nadine merasa teriris. "Aku tadi melamar kerja Ma. Jadinya aku ke toko pakaian dulu buat kerja besok," jawab Nadine pelan. "Kerja apa? Palingan kerja jadi pembantu aja udah sombong. Ada acara beli baju segala. Sedangkan kamu aja belum bisa ganti gaun Mama yang hangus!" Mata Rubia melirik tangan Nadine yang menenteng beberapa kantong Pakaian dan sepatu, serta asesoris untuk keperluan besok di tempat kerjanya yang baru. "Ma, apa Mama belum cek saldo di ATM Mama? Maaf, tadi aku gak sempat kasih tahu. Coba aja Mama cek sekarang. Aku udah transfer ke Mama 10 juta." "Apa? Kamu jangan bercanda yah. Mana mungkin kamu bisa ganti uang segitu dalam
"DNA siapa ini?" Pamela membolak-balikkan amplop warna putih itu. Dorongan rasa penasaran mengalahkan segalanya untuk membuka amplop menarik isinya. Tangannya gemetar saat membaca isi tulisan di dalam kertas itu. Selembar kertas yang mampu menggetarkan tangannya. Matanya membulat saat membaca tulisan yang tertera nama Stev Kenrick di kolom pertama. Lalu nama kedua adalah: Nadine Soraya Nania. "Apa mungkin Papa ada anak dari perempuan lain? Apa Nadine anak dari selingkuhan Papa?" "Karena anak kami yang hilang bernama Natasya Samatha Nania. Bukan Nadine Soraya Nania. Tapi, kenapa di belakang nama ini sama-sama ada Nania?" Jantungnya berdetak keras saat ia membaca sebuah kalimat: Kecocokan DNA 99.99โ . Subjek Stev Kenrick adalah ayah biologis dari anak bernama Nadine Soraya Nania. Mata Pamela mulai berkaca-kaca. "Atau Nadine adalah anakku? Tapi kenapa Papa menyembunyikan hal ini sama aku?" Pamela mulai menangis terduduk lemas di kursi sofa. Ia menangis keras dengan tangan gem