Bab 6 Layani Aku
Sarapan? Di kamar? Sepuluh sampai tiga puluh menit? Astaga, apa yang ingin mereka lakukan di kamar. Pikiran Gita sudah melanglang buana. Tubuhnya meremang, mengetahui keadaan sesungguhnya dunia luar.
Sejauh ini, dia hanya bergaul dengan Toni dan Ela tentunya yang lurus-lurus saja. Bukankah berteman itu bisa dengan siapapun, hanya saja berteman dengan orang yang baik atau buruk ada peluang kita mengikuti perangainya. Perlu selektif dalam memilih teman yang bisa menjadikan kita lebih baik atau justru semakin buruk.
Bergegas ke dapur, Gita tak mau berkutat dengan prasangka buruk. Melintasi kamar yang tertutup pintunya, terdengar jelas suara desahan wanita dan pria. Entah apa yang mereka lakukan di dalam, Gita hanya meneguk ludahnya seraya meraba tubuhnya yang merinding kaku.
"Astaghfirullah. Apa mereka melakukan itu? Revan menganggapku adik, mungkin suatu saat aku akan menegurnya, tidak sekarang, bisa-bisa aku diusir dari sini. Selama aku dekat dengannya yang sudah membantuku, aku akan berusaha mengajaknya bertaubat."
Sebaik-baik manusia adalah yang bertaubat dan memohon ampun kepada Allah atas kesalahan yang dilakukan. Sehingga tidak ada dosa yang tidak diampuni Allah sebesar apapun itu. Karena Allah merupakan Maha Pengampun kepada siapa saja umatNya yang bertaubat. Bertaubat dalam artian tidak akan mengulangi lagi kesalahannya dan bersungguh-sungguh untuk kembali ke jalan yang diridhoi Allah.
Setengah jam berlalu, bahkan lebih dari yang dijanjikan Revan untuk Gita menunggu. Selama itu, Gita sudah selesai berperang dengan spatula dan teflon hingga tersaji beberapa menu makanan di meja. Revan dan Melia keluar dari kamar yang pintunya sempat tertutup. Tampak rambut basah menghiasi kepala dua insan yang sedang di mabuk asmara. Apa yang mereka lakukan sudah mengabaikan dosa yang harus dipertanggung jawabkan.
Revan melihat Laras mengenakan celemek yang biasa dipakai ARTnya. Senyum tersungging di bibirnya, lebih tepatnya dia menahan untuk tidak tertawa.
"Duduk dulu, Mel!"
Revan menggeser kursi bersebelahan dengan Melia.
"Sepertinya masakanmu lezat, Ras."
"Coba saja dulu! Semoga enak."
Senyum terlukis di wajah Laras, sementara wanita yang di samping Revan tampak cemburu dengan pujian yang diberikan tuan rumah untuk Laras.
Drrt,
Dering ponsel terdengar memaksa Revan kembali ke kamar.
"Halo. Gimana?"
"Barangnya ketemu, Pak."
"Bawa ke rumah Bos Ardi sekalian kita ketemu di sana saja!"
"Siap, Pak!"
"Ras, barang-barangmu sudah ketemu," teriak Revan dari arah kamarnya
"Benarkah? Alhamdulillah. Siapa yang menemukan, Van?"
"Anak buahnya Ardi."
"Oh, terima kasih banyak, ya."
"Nantilah, terima kasih sama Ardi."
"Kalau masih butuh barang-barang lainnya biar ditemani Melia belanja. Iya kan, Mel?"
Melia menampakkan wajah tak suka dengan keakraban pacarnya dengan wanita lain yang jauh lebih muda darinya.
"Ayolah, Mel! Anggap saja dia calon adik iparmu."
"Iya, iya," jawab Melia seraya memutar bola matanya jengah.
Gita mencoba tersenyum meski terpaksa.
*****
"Ini Pak barangnya."
"Terima kasih. Mana bosmu?" Revan menyerahkan tas milik Gita yang diterima oleh sang empunya dengan suka cita.
"Aku di sini. Mana orang yang mau ditampung? Mel, kamu nggak cemburu siapa tahu itu simpanan Revan," cibir Ardi.
"Sembarangan. Ini kenalkan Laras! Ras, ini Ardi calon majikanmu."
"Laras." Gita mencoba mengulurkan tangan, tetapi tidak mendapat balasan.
Hanya deheman yang diberikan hingga memaksa Gita menarik kembali tangannya ke pangkuan. Malu bercampur aduk dengan takut melihat aura dingin yang ditunjukkan calon majikannya. Memilih menundukkan wajahnya, Gita takut melihat mimik majikannya. Tampan iya, memiliki rahang tegas juga badan atletis pastilah dia rajin berolahraga.
"Astaghfirullah, jaga pandangan Gita," batinnya.
"Karena kamu sudah menyerahkan wanita ini untukku berarti aku berhak melakukan apa saja padanya, kan?" seringai licik ditunjukkan Ardi pada Revan.
"Terserah kamu," ucap singkat Revan membuat Gita tercengang.
"Tapi, Van," protes Gita seraya menautkan jari jemari di pangkuannya. Namun Revan cuma menganggukkan kepala meyakinkan Gita aman tinggal di rumah Ardi.
"Layani aku dengan baik, kamu akan mendapat bayaran yang pantas!" Ardi menatap tajam mata indah Gita, membuat gadis manis itu tersentak.
"Layani?"
Bab 137 EndingSakha sudah seperti buka puasa. Sekian purnama tidak menyentuh istrinya, kerinduan pun berada di puncaknya. "Wajah Mas masih sakit, ini. Aku obatin, ya?""Nggak perlu, Rahma. Aku butuh obat rindu.""Mas!"Rahma sudah tidak bisa mengelak, ia pun merasakan rindu yang menggebu. Keduanya melewati malam panjang ditemani rembulan yang sinarnya menyusup dari celah gorden. Sentuhan lembut Sakha menyapa Rahma membuat hati wanita itu mengembang. Seulas senyum terukir di bibir merahnya."Tenang, Nak, Abi mau mengunjungimu."Sakha memperlakukan istrinya dengan lembut walau di dalam sana sudah menahan gair*h yang memuncak. Ia tidak ingin membuat trauma istrinya yang sedang hamil besar.Satu jam berbagi peluh membuat keduanya kelelahan. Sakha memberikan kecupan hangat di kening Rahma. Hingga wanita itu memejamkan mata menikmati ketulusan suaminya."Terima kasih, Sayang.""Terima kasih juga, Mas."Waktu kian berlalu, detik tergerus oleh menit hingga menit berganti menjadi jam. Purnama
Bab 136 Rindu "Percuma, Arga. Kakakmu dari dulu sudah begitu," imbuh Pak Ardi ketus."Ya Allah, Pa, Arga. Ini salah paham," lirih Sakha yang merasakan tubuhnya sudah lunglai."Apa?! Astaghfirullah, ini pasti salah paham.""Pa, Arga, tunggu!" teriakan Sakha tidak digubris dua lelaki beda generasi itu. Pak Ardi dan Arga sudah masuk mobil meninggalkan kediaman untuk menemui Rahma yang terbaring di rumah sakit."Astaga, Mas Sakha kenapa?" Dari dalam rumah keluar satpam yang sedari tadi dicari Sakha."Bapak kemana saja? Muka saya sudah babak belur kayak maling, nih," dengkus Sakha sambil menahan nyeri akbitan tamparan papanya dan juga pukulan Sakha."Ayo, Pak. Kita ke dalam dulu. Bi, Bibi. Tolong ambilkan air kompres untuk Pak Sakha!" "Hah, Mas Sakha kenapa?""Jangan banyak omong, cepat ambilkan."Bibi ART pun mengangguk. Gegas ia ke dapur mengambil air kompres."Maaf, Mas. Tadi saya membereskan kamar Mbak Rahma sama bibi." Satpam mengucap dengan sedikit takut membuat Sakha penasaran."Me
Bab 135 PulangPenerbangan Padang-Jakarta akhirnya pesawat mendarat di bandara Soekarno Hatta. Sakha memang sengaja belum mengabari orang rumah tepat hari apa pulangnya. Ia harus menyiapkan keperluan Cantika dan neneknya di rumah sakit ternama di Jakarta. Setelahnya, Toni yang akan menemani Cantika untuk proses operasi mata neneknya."Pak Toni tolong Cantika ditemani sampai keperluannya tidak kurang satupun," ucao Sakha sambil menyenderkan punggung di sofa tunggu bandara. Mereka masih menunggu bagasi."Siap, Pak. Oya, Pak Sakha yakin tidak perlu ditemani pulang sampau rumah terlebih dulu?" tanya Toni basa-basi."Ckkk, bukankah Pak Toni senang langsung bisa menemani Cantika?" Sakha justru balik bertanya membuat Toni terkesiap."Nanti kalau Cantika bingung di kota ini, Pak Toni yang repot, kan? Gadis itu nggak ada duanya,"ucap Sakha terkekeh."Dia gadis yang pintar, Pak. Nggak mungkin nyasar di kota ini," balas Toni sambil tersenyum."Pak Toni nggak takut Cantika nyasar, tapi takut dia k
Bab 134 Tuntas"Terima kasih atas kerja samanya, Pak Sakha."Seorang pimpinan petugas kepolisian menjabat tangan serta mengucap terima kasih pada Sakha di ruang kerjanya. Sebab Sakha telah membantu petugas kepolisian untuk menegakkan keadilan. Tuntas sudah tugas Sakha di kota ini."Kalau begitu, saya pamit dulu, Pak. Saya harus menemui warga untuk m3nyampaikan hak-haknya,"ucap Sakha yang diangguki petugas. Sakha kembali menaiki mobilnya yang disopiri Toni menuju kediaman Pak Cokro. Di rumah orang terhormat di kampungnya itu telah berkumpul banyak warga. Ada juga karyawan Sakha yang sudah lebih dulu sampai di sana. Sementara itu, Cantika absen karena harus menemani neneknya melakukan diagnosis oleh dokter di rumah sakit."Kita sudah sampai, Pak." Toni menoleh lalu menggelengkan kepalanya. Ia tahu betul Sakha dangat kelelahan beberapa hari terakhir. Sebab anak bosnya itu kejar target melumpuhkan musuh ayahnya. Beruntung Cantika bisa diajak kerja sama, pun Pak Cokro dengan senang hati mem
Bab 133 Tertangkap TanganSenja menampakkan warna jingga yang indah di cakrawala. Cantika segera pulang ke rumahnya karena sang nenek pasti lama menunggu. Seharusnya, ia pulang siang hari, tetapi demi membantu pihak keamanan untuk menggrebek Robert, kepulangannya molor."Nek, nek." Cantika mendapati neneknya tiduran di kamar. Gadis itu mendekat lalu mengusap lembut wajah sang nenek. Setitik bulir bening menetes membasahi pipi mulusnya. wanita ini telah merawatnya sejak kecil. Cantika yatim piatu, entah di mana orang tuanya kini iapun tidak tahu. Kata Sang nenek orang tuanya telah meninggal. Tapi sunggu misterius baginya."Ika. Kamu sudah pulang?""Iya, Nek. Ika mau siapin baju buat kita ke rumah sakit. Nenek akan diobati dokter di sana biar bisa melihat lagi."Ucapan Cantika tersendat karena isakan kecil menyusul."Bukannya tadi siang kamu sudah pulang?""Hah, enggak. Ika barusan pulang dari bekerja."Cantika sedikit heran, apa ada yang datang ke rumah. Kenapa neneknya merasa ia sudah
Bab 132 Mencuri barangSakha merencanakan strategi untuk menangkap Robert beserta anak buahnya. Dia telah mengumpulkan bukti-bukti dibantu oleh Pak Cokro dan Cantika. Bekerja sama dengan pihak berwajib, Sakha ingin pekerjaan di proyek pembangunan jalan tol berjalan lancar. Ia ingin segera pulang sebelum istrinya melahirkan. Janji di awal hanya pergi satu dua bulan. Hingga kini kehamilan Rahma terhitung masuk trimester tiga.Semalam ia menelpon istrinya."Sayang, maafkan aku baru sempat menelpon. Pekerjaan di sini sungguh menyita waktu. Sinyal juga susah karena lokasi di tengah hutan.""Ia Mas. Aku tahu, yang penting kamu sehat dan baik-baik saja di sana. Aku percaya Mas melakukan kerja keras di sana. Ada Pak Toni yang menemani, aku pun lega.""Iya, Sayang. Selesai proyek di sini, aku segera kembali ke Jakarta. Doakan tidak sampai melewatkan kelahiran anak kita, ya.""Iya, Mas.""Jam segini kok belum tidur, Sayang?""Hmm, akhir-akhir ini aku susah tidur, Mas. Nggak tahu, pikiran selalu