Share

Bab 11 - Siapa yang Masak?

Author: Anidania
last update Last Updated: 2025-08-25 23:30:04

“Mbak ... aku boleh masak nggak?” tanyaku hati-hati, aku memutuskan melangkah ke dapur ketika bosan berada di kamar, sementara aku sudah membersikan diriku dan mengganti baju dengan baju yang disiapkan oleh Sus Rini.

Seisi dapur sontak menoleh ke arahku dan menghentikan akivitas mereka. Tatapan mereka seolah menelanjangiku dari ujung kepala sampai kaki, ekspresi kaget jelas terlihat di wajahnya. Aku bisa menebak apa yang mereka pikirkan—mungkin mengira aku adalah Nyonya Aruna yang sudah lama tiada?

“Lho ... kok mirip banget, ya ...” salah seorang berbisik, tak sadar jika suaranya terdengar olehku.

Aku mengibaskan tanganku cepat, menepis pikiran liar yang ersemayam di benaknya. “Bukan, bukan ... aku bukan beliau. Namaku Safira, dan ... aku nggak ada hubungannya sama Nyonya Aruna,” jelaku pada mereka.

Mereka saling pandang satu sama lain, seolah ragu dengan penjelasanku. Beberapa di antaranya bahkan langsung menundukkan kepalanya lagi, pura-pura sibuk dengan aktivitasnya.

“Ehm ... maaf, Mbak. Nggak bisa kalo mau masak, takut nanti Tuan marah kalo tau orang lain yang masak,” tolak salah satu di antara mereka dengan sungkan.

Aku menghela napas kecil, lalu tersenyum kikuk, masih mencari solusi, sebab sudah satu jam aku berada di kamar dan rasanya sangat membosankan. Apalagi untu aku yang sudah terbiasa mengerjakan pekerjaan rumah.

“Aku ngerti, kok, tapi ... aku bosen banget di kamar, Mbak. Kalian di sini aja ngawasin aku kalo kalian takut aku mau ngapa-ngapain. Kasih tau mana aja yang nggak boleh aku pake, biar aman dan sama-sama enak. Aku cuma pengen masak aja, sih, soalnya udah biasa masak tiap hari,” jelasku mencoba bernegosisasi dengannya.

Sejenak, hanya terdengar bunyi pisau yang bertemu dengan talenan. Aku menatap mereka, lama, menunggu jawaban pasti yang akan mereka berikan padaku.

“Yasudah, Mbak ... kalo gitu, nggak papa silahkan masak. Tapi kami tetap di sini, ya, ngawasin,” putus seorang wanita paruh baya dengan tersenym lembut.

Wajahku langsung berbinar, dan aku tak bisa menyembunyikan rasa bahagiaku. “Makasih ... beneran, makasih banget,” ujarku menangkupkan kedua tanganku.

Aku memberanikan diri melangkah mendekat ke arah meja, lalu meraih celemek yang terlipat di atasnya, dan memakainya dengan segera. Setelah itu aku mendekat ke arah mereka yang masih menyiapkan bahan-bahan masakan yang terlihat begiitu beraneka macam.

Aku duduk di salah satu kursi, dengan memangku kedua tanganku dan menatap mereka dalam. “Kalo boleh tau ... makanan favorit Kenzo apa, ya, Mbak? Aku pengen masakin buat dia.”

 “Kenzo akhir-akhir ini lagi suka banget sama sop ayam bening. Apalagi kalo ada jagung manis sama wortelnya. Coba Mbak masakin itu, deh ... pasti lahap banget makannya.”

Aku menunduk sebentar, lalu tersenyum samar. “Kalo gitu ... aku mau coba masakin sop ayam bening, ya. Mudah-mudahan rasanya nggak jauh beda sama buatan kalian,” ujarku penuh semangat. “Boleh ya ... kalian dampingin aku di sini. Kalo ada yang salah atau aku salah sentuh sesuatu, langsung bilang aja.”

Entah berapa lama waktu berlalu, semua menu makanan sudah matang dan siap untuk dihidangkan.

“Hmm ... sudah, Mbak. Wangi banget,” puji salah seorang pekerja dapur sambil tersenyum.

Aku ikut tersenyum lega mendengarnya. “Akhirnya selesai juga,” ujarku sambil mematikan kompor. Lalu menatap ayam goreng, sate taichan, cah kangkung, sop bening dan beberapa lauk lainnya tertata dengan rapi dan mulai dipindahkan ke meja makan.

Aku melepas celemek dan menatap mereka penuh haru. “Makasih, ya ... kalian udah mau nemenin aku. Rasanya kayak lagi masak bareng keluarga gini,” ucapku dengan tulus.

Tak lama kemudian, semua hidangan sudah tersaji rapi di meja makan. Sop ayam bening mengepul harum, ayam goreng renyah tersusun cantik, cah kangkung masih segar dengan warna hijaunya, dan sate taichan yang menggoda dengan bumbu khasnya.

Aku berdiri agak jauh, menatap hasil masakan yang sudah tersaji sambil menahan napas. Rasanya campur aduk—lega sekaligus canggung, lalu dengan perlahan, aku melangkahkan kakiku menuju kamar mandi yang ada di dapur ini.

“Mommy! Aku mau makan sama mommy!” teriak Kenzo lantang begitu aku keluar dari kamar mandi.

Aku menoleh, dan mendapatinya yang tengah berdiri di kursi makan, lalu tatapanku berganti dengan menatap Tuan Raynard sekilas, seolah meminta pertimbangan darinya. Namun, pria itu tak kunjung mengeluarkan suaranya, sementara aku merasa tak enak  jika aku harus bergabung bersama mereka.

“Mommy!” teriak Kenzo, seolah mengembalikan kesadaranku.

Dengan langkah yang ragu, aku mendekatakn diriku perlahan, sesekali meremas jemariku menghilangkan kegugupan.

“Aku mau disuapin Mommy aja, Sus,” ujarnya cadel pada Sus Rini.

Sus Rini terlihat menghembuskan napas panjang. “Makan sendiri aja, ya?” tawarnya sungkan.

Namun, bocah kecil itu justru menggelengkan kepalanya, menolak permintaan sang pengasuh. Aku yang suah berdiri di sampingnya, segera menyadari raut wajah tak enak itu, dan berangsur mengambil piring miliknya.

“Mau makan yang mana dulu?” tanyaku singkat, suara nyaris bergetar karena sungkan.

Bocah itu menoleh, lalu menatapku dengan wajah ceria. “Sop ayam ... yang ada jagungnya itu, Mommy.”

Aku menyendokkan sop itu ke mangkuk kecil, lalu menyodorkan ke arahnya. “Ini ... coba dimakan sendiri, ya,” ulangku sesuai dengan perintah Sus Rini.

Kenzo menggeleng dengan cepat, wajahnya semakin merajuk, dan senyumnya luntur begitu saja. “Disuapin Mommy ...,” katanya pelan.

Aku kembali terdiam, bingung harus bagaimana. “Tapi ... kamu kan sudah besar,” ujarku mencoba menolaknya dengan halus.

“Kalau dia maunya disuapi, biarkan saja,” ujar Raynard dengan suara berat.

Aku spontan menoleh ke arahnya. Raynard sudah duduk di seberang Kenzo, tubuhnya tegak dan tatapannya lurus padaku.

Kenzo tersenyum lebar seakan ia telah memenangkan sebuah pertandingan. “Nah, kan, Mommy? Daddy bilang nggak apa-apa. Ayo, Mommy,” pinta Kenzo dengan antusias.

Aku menelan ludah kasar, lalu akhirnya menyuapkan sesuap sop ke mulut kecil itu. Kenzo langsung mengunyah lahap, tapi aku tetap menundukkan kepalaku sedikit, berusaha tidak terlalu menatap anak itu terlalu lama. Ada rasa hangat, tapi juga canggung, seolah aku sedang mengisi tempat yang bukan milikku.

“Siapa yang masak semua ini?” tanya Raynard di sela-sela kunyahannya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri yang Kau Doakan Cepat Mati, Kini Jadi Istri Atasanmu   Bab 15 - Putus Kerja

    Aku menunduk kepala makin dalam, mencoba mencerna kata-katanya, sementara nafasku berhembus tak beraturan selaras dengan rasa tenang yang tak bisa kumiliki.“Kau tidak berhutang budi pada mereka,” ujar Raynard dengan tegas. “Kau membutuhkan pekerjaan, sementara mereka butuh pekerja—sederhana. Tidak ada yang perlu kau sesali dengan keputusan yang akan kau ambil.”Aku mengangkat kepalaku sedikit, menatapnya dengan penuh keraguan. “Tapi ... bukankah itu keterlaluan, Tuan? Saya merasa seperti orang yang ... tidak tahu diri,” cicitku mengeluarkan keresahan.Rahang Raynard mengeras begitu ia mendengar ucapanku, lalu ia menggeleng dengan pelan. “Bukan kau yang tidak tahu diri, Safira. Saya yang tidak akan membiarkan seseorang yang kubutuhkan ... terbuang sia-sia.” Tangannya bergerak membuka laci meja dan mengeluarkan sebuah map berwarna hitam, terdengar begitu misterius.“Saya sudah menyiapkan kontrak untukmu,” ucapnya singkat.Aku menatap map itu dengan ragu, lalu menatap pria itu sejenak

  • Istri yang Kau Doakan Cepat Mati, Kini Jadi Istri Atasanmu   Bab 14 - Tawaran Kontrak

    Tubuhku langsung menegang begitu mendengar ucapannya, refleks aku menatap wajahnya dan membuat sendok di tanganku hampir terlepas. “D-dengan saya, Tuan?” tanyaku tergagap.Raynard hanya mengangguk sekali. “Ya. Denganmu.”Aku menganggukkan kepala cepat, berusaha menyembunyikan rasa gugup yang jelas terpampang nyata di wajahku. “B-baik, Tuan,” sahutku lirih.Begitu kami semua selesai menyantap makanan, Kenzo buru-buru berlari kecil ke ruang keluarga sambil membawa mainannya dan berteriak memanggil Sus Rini. Tersisa aku dan Raynard yang sama-sama dilanda rasa canggung, tanganku bergerak ikut merapikan piring, tapi sebelum membawanya ke dapur, Raynard kembali bersuara.“Letakkan saja. Biar orang rumah yang membereskan,” ujarnya singkat.Aku terdiam sejenak, kemudian menunduk patuh. “Baik, Tuan ....”“Sekarang ikut saya.”Aku mengangguk sekali lagi, kini langkah kakinya terdengar mantap menuju ke lantai atas, sementara aku masih menatap punggungnya yang begitu tegap.“Ehm,” dehamnya membua

  • Istri yang Kau Doakan Cepat Mati, Kini Jadi Istri Atasanmu   Bab 13 - Jangan Ulangi Lagi

    “Mulai sekarang, makan sendiri,” ujarnya datar, tapi terdengar tegas. “Biar Monty-mu itu bisa makan juga,” tambahnya terdengar ketus.Aku terperangah, sendok di tanganku sampai berhenti di udara karena rasa terkejut yang tak bisa aku tahan. Rasanya sulit membedakan apakah nada suaranya sebuah perintah, atau justru sebagai sindiran. Sementara Kenzo hanya terdiam beberapa detik, matanya melirikku seolah meminta perlindungan.“Ta-tapi ... Daddy, aku kan suka disuapin sama Monty ...,” gumam Kenzo dengan suara kecil.Tetapi, tatapan Raynard makin terlihat tajam seolah ia tak mengingkan anaknya itu membantah. “Kenzo,” hanya satu kata yang terucap memang, tapi nadanya cukup untuk membuat bocah itu meringkuk ke arahku. Perlahan, ia meraih tanganku yang masih tergeletak di atas meja, menggenggamnya erat seolah mencari perlindungan.Aku kembali membeku, mataku tak berani menatap Raynard yang jelas-jelas menyadari tindakan anaknya itu. Jantungku berdegup keras, ada rasa takut sekaligus bingung t

  • Istri yang Kau Doakan Cepat Mati, Kini Jadi Istri Atasanmu   Bab 12 - Mommy Aunty

    Aku menatapnya sungkan, lalu berdeham pelan. “S-saya ...,” lirihku dengan ragu.Raynard menoleh ke arahku dan menatapku tajam. Tatapan yang dalam itu membuatku refleks menundukkan kepala dengan cepat, seakan takut akan ada amarah yang meledak sewaktu-waktu. Beberapa detik berlalu dalam keheningan dan Raynard kembali fokus pada piring di hadapannya, hingga aku akhirnya menghembuskan napas dan memberanikan diri menundukkan kepala sedikit ke arah Raynard.“Maaf, Tuan ... jika saya lancang, dan tidak meminta izin terlebih dahulu ketika ingin ke dapur,” pintaku dengan suara lirih.Raynard mengangkat wajahnya lagi, lalu menatapku lekat dengan ekspresi yang tak terbaca. Jantungku semakin berdebar, aku buru-buru menunduk makin dalam, seakan ingin menghilang dari sorot matanya yang terkesan menelanjangi kesalahanku.Tapi kemudian ... hanya satu anggukan kecil yang ia berikan, sebelum kembali menunduk dan menikmati makanannya.Aku sempat melirik sekilas dari ekor mataku, lalu cepat-cepat menund

  • Istri yang Kau Doakan Cepat Mati, Kini Jadi Istri Atasanmu   Bab 11 - Siapa yang Masak?

    “Mbak ... aku boleh masak nggak?” tanyaku hati-hati, aku memutuskan melangkah ke dapur ketika bosan berada di kamar, sementara aku sudah membersikan diriku dan mengganti baju dengan baju yang disiapkan oleh Sus Rini.Seisi dapur sontak menoleh ke arahku dan menghentikan akivitas mereka. Tatapan mereka seolah menelanjangiku dari ujung kepala sampai kaki, ekspresi kaget jelas terlihat di wajahnya. Aku bisa menebak apa yang mereka pikirkan—mungkin mengira aku adalah Nyonya Aruna yang sudah lama tiada?“Lho ... kok mirip banget, ya ...” salah seorang berbisik, tak sadar jika suaranya terdengar olehku.Aku mengibaskan tanganku cepat, menepis pikiran liar yang ersemayam di benaknya. “Bukan, bukan ... aku bukan beliau. Namaku Safira, dan ... aku nggak ada hubungannya sama Nyonya Aruna,” jelaku pada mereka.Mereka saling pandang satu sama lain, seolah ragu dengan penjelasanku. Beberapa di antaranya bahkan langsung menundukkan kepalanya lagi, pura-pura sibuk dengan aktivitasnya.“Ehm ... maaf,

  • Istri yang Kau Doakan Cepat Mati, Kini Jadi Istri Atasanmu   Bab 10 - Kalian Punya Masa Lalu yang Sama

    “Aruna …” aku kembali menyebut nama itu pelan, hampir seperti bisikan doa untuknya.Suster Rini mengangguk kecil. Matanya menatapku lama, lalu menggeleng tipis seolah tengah menimbang sesuatu. “Saya, boleh nanya sesuatu?”Aku menoleh dengan alis yang berkerut. “Iya, Sus … apa ya?”“Kalau boleh tahu, kamu aslinya dari mana? Maksudnya, asal-usulmu, gitu. Soalnya … aku masih kepikiran dari pas pertama ngeliat kamu, wajahmu mirip banget sama Nyonya Aruna ... kayak bukan cuma sekadar mirip biasa. Rasanya kayak … ada hubungannya, ditambah Kenzo yang langsung lengket sama kamu padahal belum pernah ketemu kan?”Nafasku tercekat. Pertanyaan itu membuat tenggorokanku kering seketika, bibirku sempat terbuka, tapi kata-kata tak kunjung keluar, aku menelan ludah dengan susah payah.Melihat reaksiku, Suster Rini buru-buru tersenyum tipis, mencoba meredakan suasana. “Maaf ya kalo aku kepo. Soalnya selama ini aku yang paling sering sama Kenzo, dan sekarang ngeliat dia bisa secepat ini deket sama kamu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status