Masuk“Mbak ... aku boleh masak nggak?” tanyaku hati-hati, aku memutuskan melangkah ke dapur ketika bosan berada di kamar, sementara aku sudah membersikan diriku dan mengganti baju dengan baju yang disiapkan oleh Sus Rini.
Seisi dapur sontak menoleh ke arahku dan menghentikan akivitas mereka. Tatapan mereka seolah menelanjangiku dari ujung kepala sampai kaki, ekspresi kaget jelas terlihat di wajahnya. Aku bisa menebak apa yang mereka pikirkan—mungkin mengira aku adalah Nyonya Aruna yang sudah lama tiada?
“Lho ... kok mirip banget, ya ...” salah seorang berbisik, tak sadar jika suaranya terdengar olehku.
Aku mengibaskan tanganku cepat, menepis pikiran liar yang ersemayam di benaknya. “Bukan, bukan ... aku bukan beliau. Namaku Safira, dan ... aku nggak ada hubungannya sama Nyonya Aruna,” jelaku pada mereka.
Mereka saling pandang satu sama lain, seolah ragu dengan penjelasanku. Beberapa di antaranya bahkan langsung menundukkan kepalanya lagi, pura-pura sibuk dengan aktivitasnya.
“Ehm ... maaf, Mbak. Nggak bisa kalo mau masak, takut nanti Tuan marah kalo tau orang lain yang masak,” tolak salah satu di antara mereka dengan sungkan.
Aku menghela napas kecil, lalu tersenyum kikuk, masih mencari solusi, sebab sudah satu jam aku berada di kamar dan rasanya sangat membosankan. Apalagi untu aku yang sudah terbiasa mengerjakan pekerjaan rumah.
“Aku ngerti, kok, tapi ... aku bosen banget di kamar, Mbak. Kalian di sini aja ngawasin aku kalo kalian takut aku mau ngapa-ngapain. Kasih tau mana aja yang nggak boleh aku pake, biar aman dan sama-sama enak. Aku cuma pengen masak aja, sih, soalnya udah biasa masak tiap hari,” jelasku mencoba bernegosisasi dengannya.
Sejenak, hanya terdengar bunyi pisau yang bertemu dengan talenan. Aku menatap mereka, lama, menunggu jawaban pasti yang akan mereka berikan padaku.
“Yasudah, Mbak ... kalo gitu, nggak papa silahkan masak. Tapi kami tetap di sini, ya, ngawasin,” putus seorang wanita paruh baya dengan tersenym lembut.
Wajahku langsung berbinar, dan aku tak bisa menyembunyikan rasa bahagiaku. “Makasih ... beneran, makasih banget,” ujarku menangkupkan kedua tanganku.
Aku memberanikan diri melangkah mendekat ke arah meja, lalu meraih celemek yang terlipat di atasnya, dan memakainya dengan segera. Setelah itu aku mendekat ke arah mereka yang masih menyiapkan bahan-bahan masakan yang terlihat begiitu beraneka macam.
Aku duduk di salah satu kursi, dengan memangku kedua tanganku dan menatap mereka dalam. “Kalo boleh tau ... makanan favorit Kenzo apa, ya, Mbak? Aku pengen masakin buat dia.”
“Kenzo akhir-akhir ini lagi suka banget sama sop ayam bening. Apalagi kalo ada jagung manis sama wortelnya. Coba Mbak masakin itu, deh ... pasti lahap banget makannya.”
Aku menunduk sebentar, lalu tersenyum samar. “Kalo gitu ... aku mau coba masakin sop ayam bening, ya. Mudah-mudahan rasanya nggak jauh beda sama buatan kalian,” ujarku penuh semangat. “Boleh ya ... kalian dampingin aku di sini. Kalo ada yang salah atau aku salah sentuh sesuatu, langsung bilang aja.”
Entah berapa lama waktu berlalu, semua menu makanan sudah matang dan siap untuk dihidangkan.
“Hmm ... sudah, Mbak. Wangi banget,” puji salah seorang pekerja dapur sambil tersenyum.
Aku ikut tersenyum lega mendengarnya. “Akhirnya selesai juga,” ujarku sambil mematikan kompor. Lalu menatap ayam goreng, sate taichan, cah kangkung, sop bening dan beberapa lauk lainnya tertata dengan rapi dan mulai dipindahkan ke meja makan.
Aku melepas celemek dan menatap mereka penuh haru. “Makasih, ya ... kalian udah mau nemenin aku. Rasanya kayak lagi masak bareng keluarga gini,” ucapku dengan tulus.
Tak lama kemudian, semua hidangan sudah tersaji rapi di meja makan. Sop ayam bening mengepul harum, ayam goreng renyah tersusun cantik, cah kangkung masih segar dengan warna hijaunya, dan sate taichan yang menggoda dengan bumbu khasnya.
Aku berdiri agak jauh, menatap hasil masakan yang sudah tersaji sambil menahan napas. Rasanya campur aduk—lega sekaligus canggung, lalu dengan perlahan, aku melangkahkan kakiku menuju kamar mandi yang ada di dapur ini.
“Mommy! Aku mau makan sama mommy!” teriak Kenzo lantang begitu aku keluar dari kamar mandi.
Aku menoleh, dan mendapatinya yang tengah berdiri di kursi makan, lalu tatapanku berganti dengan menatap Tuan Raynard sekilas, seolah meminta pertimbangan darinya. Namun, pria itu tak kunjung mengeluarkan suaranya, sementara aku merasa tak enak jika aku harus bergabung bersama mereka.
“Mommy!” teriak Kenzo, seolah mengembalikan kesadaranku.
Dengan langkah yang ragu, aku mendekatakn diriku perlahan, sesekali meremas jemariku menghilangkan kegugupan.
“Aku mau disuapin Mommy aja, Sus,” ujarnya cadel pada Sus Rini.
Sus Rini terlihat menghembuskan napas panjang. “Makan sendiri aja, ya?” tawarnya sungkan.
Namun, bocah kecil itu justru menggelengkan kepalanya, menolak permintaan sang pengasuh. Aku yang suah berdiri di sampingnya, segera menyadari raut wajah tak enak itu, dan berangsur mengambil piring miliknya.
“Mau makan yang mana dulu?” tanyaku singkat, suara nyaris bergetar karena sungkan.
Bocah itu menoleh, lalu menatapku dengan wajah ceria. “Sop ayam ... yang ada jagungnya itu, Mommy.”
Aku menyendokkan sop itu ke mangkuk kecil, lalu menyodorkan ke arahnya. “Ini ... coba dimakan sendiri, ya,” ulangku sesuai dengan perintah Sus Rini.
Kenzo menggeleng dengan cepat, wajahnya semakin merajuk, dan senyumnya luntur begitu saja. “Disuapin Mommy ...,” katanya pelan.
Aku kembali terdiam, bingung harus bagaimana. “Tapi ... kamu kan sudah besar,” ujarku mencoba menolaknya dengan halus.
“Kalau dia maunya disuapi, biarkan saja,” ujar Raynard dengan suara berat.
Aku spontan menoleh ke arahnya. Raynard sudah duduk di seberang Kenzo, tubuhnya tegak dan tatapannya lurus padaku.
Kenzo tersenyum lebar seakan ia telah memenangkan sebuah pertandingan. “Nah, kan, Mommy? Daddy bilang nggak apa-apa. Ayo, Mommy,” pinta Kenzo dengan antusias.
Aku menelan ludah kasar, lalu akhirnya menyuapkan sesuap sop ke mulut kecil itu. Kenzo langsung mengunyah lahap, tapi aku tetap menundukkan kepalaku sedikit, berusaha tidak terlalu menatap anak itu terlalu lama. Ada rasa hangat, tapi juga canggung, seolah aku sedang mengisi tempat yang bukan milikku.
“Siapa yang masak semua ini?” tanya Raynard di sela-sela kunyahannya.
“Jangan sampai dia merasa kehilangan sosok ayah, meskipun saya nggak ada di sini,” ucapnya singkat setelah menimbang beberapa saat.Aku menelan ludahku sendiri, mencoba menyembunyikan debaran di dadaku yang semakin keras. “Baik, Tuan. Saya akan berusaha,” janjiku, menganggukkan kepalaku sekali.Dengan satu helaan napas panjang, Raynard melangkah keluar, tannpa kata perpisahan sedikitpun untuk ... ya, Kenzo. Pintu tertutup dengan pelan, meninggalkan keheningan yang langsung memenuhi seisi ruangan. Tatapanku tertoleh pada Kenzo yang masih menatap pintu dengan wajah yang semakin sendu, membuat mobil-mobilannya terhimpit erat dalam genggamannya.Bocah kecil itu akhirnya menoleh padaku, dengan mata yang terus menahan kepedihan. “Monty ... Daddy pulang lagi kan?” tanyanya polos, suaranya yang lirih membuat hatiku seolah diremas oleh rasa sakit yang tak terhingga.Aku berjongkok, menyejajarkan badanku dengannya, menangkup pipinya dengan lembut seraya menganggukkan kepalaku pelan. “Iya, Sayan
Pagi hari kembali menyapa, menampakkan cahaya matahari yang menembus melalui tipis tirai di jendela kamar. Aku baru saja selesai merapikan tempat tidur ketika suara langkah kecil terdengar dari luar kamarku. Pintu kamar terbuka dengan perlahan membuatku menoleh, di ambang pintu, menampakan wajah Kenzo yang masih setengah mengantuk, rambutnya berantakan, dan boneka kecilnya tergenggam erat di tangan mungilnya.“Monty ...,” panggilnya pelan sambil menyeret langkahnya masuk.Aku memaksakan senyum, walaupun masih terkejut dengan kedatangannya, lalu buru-buru berjongkok dan merentangkan tangan untuk menyambutnya. “Kenzo, udah bangun? Kenapa nggak sama Sus Rini?” tanyaku mengusap rambutnya.Bocah itu menggelengkan kepala, sementara matanya kembali berkaca-kaca. “Aku nggak mau pergi kalau Monty nggak ikut ...,” ujarnya dengan lirih.Aku kembali terdiam, hatiku tercekat melihat wajah mungil itu yang selalu menunjukkan ketulusan. “Kenzo ... kan semalem kamu udah janji sama Monty kalau kamu mau
Raynard menyipitkan matanya dan menatapku dari spion kecil, lalu menggelengkakn kepala. “Kalau kau tidak pantas, saya tidak akan pernah menawari kontrak itu. Kau hanya harus belajar untuk percaya ... entah pada dirimu, atau pada saya, dan orang lain.”Deg. Ada sesuatu yang menohok tepat di dadaku, kata ‘percaya’ yang selama ini aku sematkan pada keluargaku ... namun pada kenyataannya, mereka mengkhianatiku dengan rasa sakit yang luar biasa. Aku buru-buru memalingkan wajahku, berusaha menyembunyikan perasaan yang membuncah entah apa namanya.Tak lama kemudian keadaan mobil menjadi hening sampai pada akhirnya mobil berhenti tepat di halaman rumah. Aku buru-buru meraih tas kecilku dan menyelempangkan di pundak, sementara satu tanganku meraih tangan Kenzo untuk kugenggam, aku bersiap membuka pintu, tapi belum sempat aku membkanya, pintu di sampingku sudah lebih dulu terbuka dari luar membuatku sedikit terlonjak. Raynard berdiri di sana, dengan badan yang tegap dan tatapan dingin, tapi tan
“Pak Bayu,” panggil Raynard datar begitu melihat Pak Bayu memasuki ruangan yang sama seperti kemarin. “Saya yang membawa Safira ke sini. Mulai hari ini, dia tidak lagi bekerja di mall ini. Saya akan menyelesaikan semua urusannya dengan pihak Anda.”Pak Bayu tampak terperanjat, menoleh ke arahku dengan wajah kaget bercampur bingung. “S-Safira? Maksudnya ... kamu berhenti kerja?” tanyanya setengah tak percaya.Aku hanya bisa menundukkan kepalaku, dan jemariku meremas tangan kecil Kenzo lebih erat. Aku tak ingin mengatakan apapun, sungguh, aku tak ingin membuat masalah yang lebih buruk.“Kalau perlu, saya akan menebus kontraknya. Yang penting, mulai sekarang Safira bekerja di rumah saya,” jelas Raynard sekali lagi.Pak Bayu menatapku lekat-lekat, lalu buru-buru berbalik menatap Raynard. “Maaf Pak, tapi—Safira baru saja kami terima kemarin. Dia bahkan belum bekerja sehari penuh, kalau tiba-tiba langsung diambil begini ...,” jelas Pak Bayu terpotong, suaranya terdengar berat, lebih seperti
Aku menunduk kepala makin dalam, mencoba mencerna kata-katanya, sementara nafasku berhembus tak beraturan selaras dengan rasa tenang yang tak bisa kumiliki.“Kau tidak berhutang budi pada mereka,” ujar Raynard dengan tegas. “Kau membutuhkan pekerjaan, sementara mereka butuh pekerja—sederhana. Tidak ada yang perlu kau sesali dengan keputusan yang akan kau ambil.”Aku mengangkat kepalaku sedikit, menatapnya dengan penuh keraguan. “Tapi ... bukankah itu keterlaluan, Tuan? Saya merasa seperti orang yang ... tidak tahu diri,” cicitku mengeluarkan keresahan.Rahang Raynard mengeras begitu ia mendengar ucapanku, lalu ia menggeleng dengan pelan. “Bukan kau yang tidak tahu diri, Safira. Saya yang tidak akan membiarkan seseorang yang kubutuhkan ... terbuang sia-sia.” Tangannya bergerak membuka laci meja dan mengeluarkan sebuah map berwarna hitam, terdengar begitu misterius.“Saya sudah menyiapkan kontrak untukmu,” ucapnya singkat.Aku menatap map itu dengan ragu, lalu menatap pria itu sejenak
Tubuhku langsung menegang begitu mendengar ucapannya, refleks aku menatap wajahnya dan membuat sendok di tanganku hampir terlepas. “D-dengan saya, Tuan?” tanyaku tergagap.Raynard hanya mengangguk sekali. “Ya. Denganmu.”Aku menganggukkan kepala cepat, berusaha menyembunyikan rasa gugup yang jelas terpampang nyata di wajahku. “B-baik, Tuan,” sahutku lirih.Begitu kami semua selesai menyantap makanan, Kenzo buru-buru berlari kecil ke ruang keluarga sambil membawa mainannya dan berteriak memanggil Sus Rini. Tersisa aku dan Raynard yang sama-sama dilanda rasa canggung, tanganku bergerak ikut merapikan piring, tapi sebelum membawanya ke dapur, Raynard kembali bersuara.“Letakkan saja. Biar orang rumah yang membereskan,” ujarnya singkat.Aku terdiam sejenak, kemudian menunduk patuh. “Baik, Tuan ....”“Sekarang ikut saya.”Aku mengangguk sekali lagi, kini langkah kakinya terdengar mantap menuju ke lantai atas, sementara aku masih menatap punggungnya yang begitu tegap.“Ehm,” dehamnya membua







