Share

PERNIKAHAN TAK BERGUNA

***

“Makan malam dulu, Mas,” ramah sang istri ketika melihat suaminya sudah terbangun dari pengaruh minuman keras.

Deren membisu. Sedangkan tangannya sibuk memijat-mijat kepala di atas sofa ruang keluarga.

Melihat suaminya mendesis tak nyaman, Zeva beralih dari dapur dan mendekat ke arah Deren untuk menawarkan bantuan.

Saat tubuhnya bersiap untuk mengusap kepala, Deren berteriak lantang ingin menolak.

“Jangan menyentuhku!” bentaknya.

Seketika dada Zeva terasa seperti tertusuk duri. Seribu perhatian yang ingin ia tunjukkan selalu dibalas dengan bantahan.

Sekali lagi, semua yang seperti ini bukanlah kali pertama bagi Zeva. Rasa sakit yang ia terima juga masih sama rasanya. Bahkan suara lantang itu juga sudah berulang kali melukai gendang telinga. Namun, sekalipun Zeva tidak pernah berniat untuk membantah sebagai seorang istri.

“Tadi aku masak sop buntut kesukaan Mas Deren. Aku ambilkan ya, Mas?” lembutnya tetap menunjukkan bakti.

Deren menggeleng dengan yakin. Bukannya memberikan tanggapan, ia malah melontarkan pertanyaan lain. “Di mana Alana?”

Zeva mengernyitkan dahi tak mengerti. Kalimat yang ia dengar bukanlah bagian dari jawaban yang ia harapkan.

Jika memang benar, perempuan yang membawa suaminya pulang adalah siapa yang Deren cari.

“Dia sudah pulang, Mas,” terang Zeva beranjak dari posisinya menuju dapur untuk menghidangkan makanan.

“Ck! Mengapa tidak membangunkanku?” kesal Deren sembari berjalan ke arah meja makan.

Zeva menutup mulut.

Dengan penuh paksa, ia tersenyum kecil saat menyodorkan semangkuk makanan lengkap dengan air minum.

Meskipun Deren selalu bersikap kasar kepada istrinya, perempuan itu akan tetap luluh ketika melihat sang suami menikmati makanan yang ia hidangkan. Zeva terkadang melihat Deren seperti anak kecil yang perlu dibujuk jika sedang merajuk. Hanya saja, perlakuan dan prasangka baik yang Zeva tunjukkan tidak pernah dianggap ada oleh sang suami.

Melihat kondisi Deren sudah semakin tenang, Zeva memberanikan diri untuk membahas sesuatu yang sudah lama ia tahan.

“Aku ingin mencari pekerjaan lain, Mas.” Zeva memulai percakapan sembari duduk berhadapan dengan Deren.

Laki-laki itu sibuk mengunyah makanan tanpa menghiraukan orang lain. Sesekali leher jenjangnya meneguk air minum untuk meluruhkan daging yang menyangkut di tenggorokan.

Zeva sudah bersikap cukup sabar selama ini. Pekerjaan lain yang ia maksud adalah terlepas dari aktivitas hina menjual diri. Ia sering kali tak tahan jika harus melayani orang lain, sedangkan suaminya sendiri tidak pernah mau memberinya nafkah batin. Seolah pekerjaan hina itu tertutupi ole status Zeva yang sudah sah menjadi istri Deren, namun hanya sebatas dokumen tertulis yang tidak akan pernah lebih dari itu.

PRAK! Deren meletakkan gelas minumnya dengan hentakan keras di atas meja.

“Memang ada apa dengan pekerjaanmu yang sekarang?” ketus Deren membuang muka dari pandangan Zeva.

“Itu bukanlah sesuatu yang harus aku lakukan, Mas,”

“Lalu harus dengan apa hutang-hutang bapakmu bisa terlunasi, hah?” sahut Deren seolah menentang apa yang istrinya keluhkan.

“Jika kau merasa terbebani, maki saja almarhum bapakmu itu!” sambung Deren penuh murka.

Zeva hanya mampu terdiam memejamkan mata. Seluruh jemarinya mengepal menahan kalimat kasar yang terus menghantam.

Entah siapa yang harus disalahkan sekarang. Jika bukan karena almarhum sang bapak yang berhutang kepada Deren untuk berjudi, mungkin nasib Zeva tidak semenyedihkan ini. Atau mungkin jika Zeva memiliki keberanian untuk melawan, kemalangan yang ia rasakan tidak harus berlanjut hingga satu tahun lamanya.

“Mas, Zeva berjanji akan mengusahakan semua uang-uang itu dengan usaha lain,” ucapnya diselimuti tangis.

Sekarang Zeva sudah tak lagi mampu menahan semuanya. Pemberontakan yang pernah Zeva lakukan tidak juga membuahkan hasil. Sekalipun jika Zeva harus menggunakan cara memelas seperti ini, Deren bukan lawan yang mudah untuk dipengaruhi.

Perempuan itu segera menarik tangan suaminya ketika Deren hendak pergi meninggalkan Zeva.

“Zeva janji untuk melunasi hutang-hutang itu dalam waktu dekat, Mas. Tapi Zeva mohon, biarkan Zeva menjalani kehidupan selayaknya seorang istri,”

“Arrgghhh!” pekik sang istri ketika tangan kiri Deren berbalik menahan tangan Zeva di belakang punggung.

Sedang tangan kanannya mengangkat dagu perempuan itu dengan kasar. “Tangisanmu tidak akan pernah membuatku menyetujui apa yang kau kicaukan. Selama dengan caraku kau masih bisa menghasilkan uang, maka diamlah dan terima saja takdir burukmu.” Tegas Deren dengan tatapan tajam penuh geram sembari melepas genggamannya.

Deren berlalu meninggalkan Zeva yang terjatuh ke lantai. Perempuan malang itu menangis tersedu-sedu memegangi pergelangan tangan yang memerah. Bukannya mengurangi luka, Zeva malah menambah rasa sakit dari ucapan kasar suaminya.

“Lantas dengan cara apa aku bisa menghentikan semua ini?” lirih Zeva tak berdaya.

***

Jam sudah menunjukkan pukul dua pagi. Zeva merapikan baju kering yang sudah selesai dilipat ke dalam almari. Melihat tubuh Deren terbaring pulas di atas ranjang, membuat Zeva sejenak melupakan rasa sakit yang selalu Deren beri kepadanya.

Langkah kaki itu berpaling mendekati tempat tidur. Zeva memperhatikan dahi Deren penuh dengan air keringat. Tangan kanannya kemudian mengusap lembut bagian atas kepala untuk menepikan titik titik air yang mungkin akan mengganggu kepulasan Deren.

Zeva termenung. Mengingat bahwa usia pernikahannya sudah berjalan satu tahun lebih. Selama itu pula, Zeva tidak pernah merasakan nafkah batin dari suaminya sendiri.

Terkadang Zeva sangat mendambakan malam itu tiba. Namun, ia segera menyadari bahwa suaminya tidak pernah mengharapkan malam itu akan terjadi.

“Bagaimana jika aku yang memulai kenikmatan itu, Mas?” lirih Zeva dengan kekehan kecil membayangkan bahwa dirinya dengan berani menggoda Deren untuk melakukan malam pertama yang tidak pernah mereka lakukan.

“Diamlah. Suaramu mengganggu tidurku,” ucap Deren masih dengan mata tertutup.

Mendengar suaminya menjawab apa yang ia ucapkan, membuat Zeva terkejut dan tertawa kecil. Pria itu tak benar-benar tidur rupanya. Mungkin karena efek dari minuman yang belum sepenuhnya menghilang.

Zeva dengan sengaja menidurkan tubunya tepat di sebelah Deren dan menghadap tepat di hadapannya. Laki-laki itu asik memejamkan mata tanpa menyadari jika istrinya kini tengah menggoda.

“Terkadang aku menginginkan sentuhan yang belum pernah kamu berikan, Mas,” bisiknya sembari mengusap punggung laki-laki yang sedari tadi berbaring dengan posisi tubuh miring.

Jarang sekali Zeva memiliki kesempatan bisa sedekat itu dengan Deren. Biasanya, Deren meminta Zeva untuk tidur di kamar lain. Namun, kali ini pengaruh minuman itu membuat Deren tak lagi mampu mengeluarkan tenaga.

“Mas,” lembut Zeva dengan nada menggoda.

“Hentikan kelakuanmu! Jangan pernah mengira bahwa aku menganggapmu sebagai seorang istri,” kata Deren menegaskan kembali bahwa ia tidak pernah melihat Zeva sebagai pasangan hidupnya.

“Kau tahu? Bagiku pernikahan ini tidak lebih dari sebuah drama menjijikkan demi pelunasan hutang keluargamu,” sambungnya membuat Zeva semakin terpukul.

Keberanian yang beberapa waktu lalu Zeva dapatkan, seketika menjadi rasa sakit yang kembali menghantam tanpa ampun. Meskipun bukan luka fisik yang ia terima, namun luka batin akan selalu membekas.

Tangisan demi tangisan terus keluar tanpa diminta dan Zeva tak lagi terbaring di sebalah sang suami.

***

BRAK!

Terdengar suara hantaman keras dari tangan Deren yang meletakkan secarik kertas di atas meja makan. Zeva yang tengah menyantap sarapan paginya hanya melirik dan memilih untuk acuh. Itu sudah menjadi rutinitas bagi Zeva jika sang suami meminta dirinya untuk kembali melayani hasrat orang lain.

“Dia adalah atasanku,” ucap Deren ketika mengambil roti isi yang sudah disiapkan ole Zeva.

“Pastikan jika kamu melayani sepenuh hati dengan durasi yang lama,” lanjutnya berucap santai.

Zeva hanya melamun. Perkataan Deren semalam masih terdengar jelas di telinganya.

Pantas jika Deren tak pernah merasa risih atau bahkan tak terima jika banyak rekan kerjanya yang ingin mencicipi tubuh sang istri. Zeva baru mendengar dari mulut Deren sendiri bahwa pernikahan mereka hanyalah sebuah ikatan menjijikkan bagi Deren. Yang berarti, Zeva tidak akan pernah mendapatkan hak itu sebagai seorang istri.

Selesai menyantap sarapan lengkap dengan susu coklat, Deren meraih tas kerjanya dan bergegas ke arah pintu rumah.

Sebelum tubuhnya benar-benar meninggalkan Zeva sendirian, “Datanglah sekitar pukul enam malam. Pastikan jika pria bodoh itu menikmati tubuhmu tanpa sisa,” katanya sembari mengenakan sepatu.

“Apakah kamu tidak pernah merasa marah jika aku harus tidur bersama orang lain, Mas?” sahut Zeva menanyakan belas kasihan sang suami.

Deren hanya tertawa kecil. “Sekalipun jika kau harus tidur dengan banyak orang dalam satu hari, aku tidak akan pernah peduli dengan hal itu.”

“Lantas mengapa aku harus bertahan dengan semua ini?” Zeva berteriak tak kuasa menahan hinaan yang bertubi-tubi ia terima.

Mendengar jeritan itu, Deren langsung mendekat ke arah Zeva dengan tatapan benci. Tangan kanannya diarahkan untuk meraih dagu Zeva dengan hentakan kasar. “Jika soal itu, tanyakan saja pada dirimu sendiri. Mengapa kau masih sudi bertahan dengan pria mengerikan sepertiku?”

Zeva menangis. “Lalu apa gunanya pernikahan ini, Mas?”

“Tidak ada!” bentak Deren melempar Zeva hingga menubruk meja makan.

“Dan setidaknya jadilah berguna dengan melakukan pekerjaan itu,” sambung Deren yang kini telah benar-benar pergi meninggalkan sang istri.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status