Share

Istri yang Kau Selingkuhi Ternyata Anak Pewaris
Istri yang Kau Selingkuhi Ternyata Anak Pewaris
Penulis: Tifa Nurfa

Bab 1. Bekas Cupang di Leher suamiku

"Hari ini lembur lagi Mas?" tanyaku pada Mas Adrian yang tengah bersiap pagi ini hendak berangkat kerja.

"Iya Sayang, Mas pergi dulu ya, malam kalau kamu ngantuk, tidur aja nggak usah nunggu Mas pulang, kan Mas bawa kunci." Mas Adrian mengecup lembut pucuk kepalaku, dan beranjak hendak keluar rumah.

"Tak bisakah kamu izin untuk tidak lembur hari ini Mas, aku juga butuh waktu kamu Mas! Sabtu Minggu kemarin juga kan Mas lembur," sungutku.

"Nisa! Harusnya kamu itu bersyukur aku masih bisa kerja bahkan bisa ambil lembur untuk memenuhi kebutuhan kita, kamu lihat orang-orang di luar sana yang masih kebingungan mencari pekerjaan kesana kemari!"

"Tapi Mas–"

"Sudahlah Anisa! Kamu jangan manja! Toh juga aku perginya untuk kerja, bukan untuk keluyuran yang nggak jelas. Harusnya kamu semangatin suamimu ini sebelum keluar rumah menjemput rezeki, bukan malah sebaliknya," ucap Mas Adrian sedikit kesal.

"Hm, iya Mas. Maaf pagi-pagi sudah membuatmu kesal."

"Ya sudah, Mas berangkat dulu! Kamu baik-baik di rumah." Aku meraih punggung tangannya, sebelum Mas Adrian keluar rumah.

"Hati-hati Mas!"

"Udah di kasih enak di rumah tak perlu ikut kerja, masih juga maunya ini itu." Masih kudengar jelas Mas Adrian menggerutu sambil berlalu.

Aku hanya bisa menghela napas berat. Bukan maksudku seperti itu, aku hanya rindu kebersamaan bersama suamiku. Karena Mas Adrian selalu pulang malam, sampai di rumah jam sembilan kadang jam sepuluh malam, tak jarang aku ketiduran saat menungguinya pulang.

Weekend pun sama ia mengambil lembur  dan pulang sore hari, dan sepulang bekerja pun di rumah hanya sibuk dengan ponselnya.

Ada kesedihan dalam hati ini, beberapa bulan terakhir ini Mas Adrian hampir setiap hari bekerja lembur, tapi uang bulanan yang ia berikan untukku tak berubah, tak lebih dari dua juta rupiah yang ia berikan padaku untuk membayar biaya sewa rumah ini, listrik, air dan kebutuhan dapur. 

Mas Adrian selalu bilang sebagian uangnya sudah ia transfer untuk ibunya dan biaya kuliah Dania adiknya, karena kini Dania sudah menginjak semester akhir dan ia butuh banyak biaya untuk kuliahnya. Aku tak masalah selama itu masih hal yang wajar. Wajar seorang kakak membantu membiayai pendidikan adiknya. Wajar seorang anak membantu perekonomian ibunya terlebih anak laki-laki.

Aku Anisa Andara Putri, hidup seatap dengan suamiku tapi aku merindukannya, rindu akan waktu untuk bersama seperti dulu. Apa aku egois? Atau aku berlebihan? Padahal suamiku capek-capek bekerja bahkan dengan mengambil lembur demi untuk mendapatkan uang lebih.

Aku menatap sendu kepergian Mas Adrian. 

Dering ponsel panggilan masuk seolah menarikku dari lamunan. Tertera nama Dania di layar pipihku.

"Hallo Assalamualaikum Mbak Nisa!"

"Wa'alaikumusalam, Nia."

"Ehm ini Mbak, maaf aku mau nanya ke Mbak Nisa kenapa Mas Adrian sampai tanggal segini belum transfer ke Ibu ya Mbak? Dari kemarin ibu nanyain, mau nanya ke Mas Adrian tapi HP nya nggak bisa di hubungi terus, jadi terpaksa aku nanya ke Mbak Nisa."

Degh!

Belum transfer ke Ibu. Bukankah ini sudah pertengahan bulan, biasanya Mas Adrian langsung mentransfer sebagian gajinya pas tanggal gajian akhir bulan.

"Oh emang belum di transfer ya Ni! Nanti Mbak tanyain ya kalau Mas Adrian pulang kerja, Apa mungkin Dia lupa, nanti Mbak tanyain ya!" jawabku berusaha setenang mungkin.

Pasalnya akhir bulan kemarin jelas-jelas saat Mas Adrian memberiku uang bulanan, dia bilang sebagian uangnya sudah di transfer ke rekening ibunya.

"Iya Mbak, makasih ya Mbak. Maaf selalu merepotkan Mas Adrian dan Mbak Nisa."

"Nggak apa-apa Nia. Kamu rajin-rajin ya kuliahnya, biar lulus nanti jadi orang sukses," ucapku tulus.

"Iya Mbak. Ya udah ya, Dania mau siap-siap ke kampus, Assalamualaikum."

Panggilan berakhir. Menyisakan tanya di dalam dada, kemana sebenarnya sebagian uang gajinya Mas Adrian kalau tidak di kirimkan untuk Ibu. Padahal Mas Adrian lembur setiap hari, pasti gajinya juga bukan lagi gaji UMR yang diterima, tapi lebih dari itu.

Apa Mas Adrian punya hutang? 

Ah sepertinya tidak, Mas Adrian selalu bilang padaku jika ada sangkutan hutang dengan orang lain.

Biarlah nanti aku aku cari tau, sekarang aku harus bersiap untuk ke rumah Bu Salma.

Seperti biasa setelah pekerjaan rumah selesai, jam sembilan pagi aku pergi ke rumah Bu Salma untuk membantunya membuat kue. Ya, itu sambilan yang bisa aku kerjakan.

Upah dari Bu Salma bisa kusisihkan untuk dana darurat. Karena uang bulanan dari Mas Adrian bisa dibilang sangat pas-pasan bahkan terkadang kurang jika tiba-tiba ada kebutuhan mendesak.

*

"Sudah pulang Mas?" tanyaku pada Mas Adrian yang baru saja masuk rumah. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam.

"Iya. Kamu belum tidur?"

"Aku nunggu kamu Mas. Kita makan yuk, aku sudah masakin makanan kesukaan kamu," ajakku.

"Mas sudah makan. Mas mau langsung tidur. Capek," jawabnya sambil berlalu ke kamar. 

Tapi tunggu! Ada yang berbeda saat aku tatap wajah Mas Adrian. Terlihat segar.

Aku yang mengekor dibelakangnya mencium aroma segar dari tubuh suamiku.

"Mas tunggu! Mas sudah mandi? Rambutmu juga basah," Aku menatap lekat ke arahnya.

"Oh, ehm ini. Iya tadi setelah selesai bekerja Mas merasa gerah, jadi mandi sekalian di sana." Mas Adrian menjawab tanpa menatapku. Sedikit gugup, itu yang aku tangkap dari gelagatnya.

"Haruskah kamu juga keramas di kamar mandi pabrik Mas?" tanyaku penuh selidik. Wangi sampo juga tercium di rambut basahnya.

Aku juga pernah bekerja di pabrik produksi, jarang sekali ada karyawan yang sampai mandi di sana. Selain waktu istirahat yang singkat juga di rasa ribet mandi di sana tanpa adanya sabun, handuk, dan lainya.

"Iya. Tadi di line kipas anginnya mati jadi panas banget makanya mandi sekalian pas pekerjaan selesai sambil nunggu bel pulang." Kali ini Mas Adrian menjawab dengan santai disertai dengan senyum.

Aku masih bergeming, rasanya aneh aja. Atau mungkin di pabrik tempatnya bekerja memang berbeda dengan pabrik tempatku bekerja dulu.

Aku menatapnya lekat. Netra ini melihat seperti bekas kissmark di leher sebelah kanan.

"Heh Kenapa? Kamu nggak percaya sama suamimu? Sudahlah Nisa! Mas pulang kerja itu capek masih juga kamu berpikir yang tidak-tidak!" sentak Mas Adrian yang melihatku masih terdiam, seolah tahu isi pikiranku yang tak mempercayainya.

"Mas! Ini apa?" tanyaku seraya menyentuh sebuah titik merah. Ah bukan titik ini lebih panjang kemerahan.

"Ah, oh ini? Ekhem ini mungkin gigitan nyamuk," sebait senyum muncul dibibirnya.

"Gigitan nyamuk? Kurasa gigitan nyamuk bukan seperti ini Mas. Ini seperti ...."

"Nisa! Sudahlah. Mas capek, mau istirahat ya! Kamu jangan mikir yang aneh-aneh." Mas Adrian menepis kasar tanganku yang hendak menyentuh lehernya.

Aku terkejut.

Jelas itu bukan gigitan nyamuk. Itu seperti bekas cupang. Padahal kami tidak melakukan hubungan suami istri selama hampir seminggu ini. Lalu bekas cupang itu milik siapa?

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Tri Wahyuni
kmu cpt selidikin Adryan diem2 g mungkin kerja sampe sabtu dn minggu juga kerja lembur .masa g ada waktu tuk istri nya d rmh dh setiap hr nya pulang mlm ...
goodnovel comment avatar
EXA Gaming
naise story
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status