Aku menatap lekat ke arah Intan yang tampak sedang berpikir.
"Tunggu! Maksud kamu Vivi Anggraini kan?" Aku mengangguk. Karena itu memang nama lengkap Vivi."Bukankah Vivi itu pacarnya Rendi.""Rendi?""Iya. Rendi teman kita waktu SMA dulu, inget nggak? Rendi yang dulu pernah suka sama kamu tapi kamu tolak itu."Aku terdiam. Mencoba memutar ingatanku beberapa tahun lalu saat aku masih sekolah. Aku ingat sekarang, ya! Rendi yang dulu pernah mengutarakan cinta padaku, bahkan ia mengatakan itu di depan kelas, tentu membuatku malu sekaligus terharu atas aksinya.Namun aku menolak halus perasaannya. Meski sejujurnya waktu itu aku pun menyukainya. Tapi aku sadar diri, aku hanya seorang anak yatim-piatu, hidup menumpang di rumah Tante Ranti. Tante Ranti masih mau menyekolahkan aku sampai SMA saja aku sudah sangat bersyukur. Jadi aku tak ingin banyak tingkah dengan menjalin hubungan atau berpacaran semasa sekolah.Fokusku hanya untuk belajar. Aku tak ingin tanteku kecewa.Tanpa sadar aku tersenyum. Geli sendiri mengingat itu."Heh! Malah nostalgia! Sudah ingat?" tanya Intan menepuk lenganku."Iya aku ingat. Tapi aku tak tau menahu hubungan antara Vivi dengan Rendi.""Ah Payah. Kamu nggak pernah buka grup alumni sih! Aku liat foto profil Rendi itu berdua dengan Vivi, nempel banget juga di fotonya, berarti kan mereka pacaran," cerocos Intan."Aku nggak peduli itu Intan! Yang jelas sekarang Vivi menjadi duri dalam rumah tanggaku, aku nggak nyangka Dia tega sama aku."Intan menepuk pelan pundakku."Sabar Nisa. Kamu jangan lemah. Mana dong Anisa Andara Putri sahabatku yang sangat periang, bahkan pecicilan. Kok jadi lembek dan cengeng gini sih!" decihnya."Kamu belum menikah Intan, jadi kamu nggak ngerasain gimana sakitnya," ucapku sesegukan."Iya, iya, aku paham. Aku memang belum menikah, aku mungkin nggak ngerasain gimana sakitnya, tapi kamu juga harus ingat, mau kamu nangis darah sekalipun apa itu akan merubah keadaan? Enggak kan?"Sejenak kami sama-sama terdiam."Oke. Untuk sekarang kamu boleh menangis sepuasnya, sampai kamu merasa lega. Tapi ingat setelah itu kamu harus bangkit, kamu harus kuat, kamu harus tunjukkan pada mereka Adrian dan Vivi bahwa kamu tidak lemah. Kamu tetap akan jadi pemenangnya. Yah?!"Intan berkata dengan tegas. Aku menatapnya. Sebait senyum tulus terbit di wajah ayunya, kemudian aku memeluknya.Benar apa yang intan katakan aku harus kuat, aku nggak boleh lemah."Aku yakin kamu bisa melewati ini Nis!" ucap Intan lagi."Makasih Tan. Kamu bantu aku ya!""Pasti. Pasti itu, apapun itu kamu perlu bantuan aku, aku pasti siap. Apa sih yang nggak buat kamu, kamu itu udah seperti saudaraku Nis. Udah dong, hapus air matanya, mana sahabatku yang bawel dan selalu ceria." Intan mengusap lembut air mata yang seolah tak habisnya.Aku beruntung punya sahabat seperti Intan, kami memang sangat dekat seperti saudara.Aku mengangguk.Tak terasa adzan Maghrib berkumandang, aku dan Intan pun bergegas melakukan kewajiban tiga rakaat.Aku duduk di atas sajadah, menengadahkan tangan. Melangitkan doa meminta kekuatan atas ujian yang terasa begitu berat dan menyakitkan. Aku tak tahu seperti apa nasib rumah tanggaku kedepannya. Saat ini rasanya aku tak sanggup untuk pulang ke rumah, aku tak siap bertemu dengan laki-laki itu. Laki-laki yang namanya selalu kusebut dalam doa dan sujudku.Laki-laki yang di saat tidur dalam damainya selalu kupandangi wajah tampannya. Ia yang selalu membuatku merasa beruntung telah memilikinya.Aku salah terlalu berharap pada Mas Adrian. Ternyata benar. Berharap pada manusia hanya akan berakhir kecewa. Memang benar sebaik-baiknya berharap hanya pada Sang Khaliq pemilik semesta ini.Kian deras air mata mengalir membasahi pipi. Mungkin ini teguran dari Allah karena aku lebih mencintai makhluknya dari pada-Nya. Mungkin ini ujian untukku lebih kuat lagi melangkah menapaki kehidupan ini. Mungkin setelah ini akan ada hikmah yang indah untukku.Aku terus berusaha ber-muhasabah diri serta berhusnudzon pada sang Pemilik jiwa dan raga ini. Walau sebenarnya hati ini terus bertanya mengapa? Mengapa Dia begitu tega? Apa dosaku? Mengapa rasanya sesakit ini Tuhan ....Setelah puas menumpahkan segalanya. Aku bersujud. Bersimpuh. Memohon ampun atas segala dosa yang pernah aku lakukan hingga Allah mengujiku seperti ini.Aku pejamkan mata ini. Menarik napas dalam-dalam menghembuskannya perlahan. Beberapa kali kulakukan itu seraya mensugesti diri bahwa semuanya akan baik-baik saja. Dan aku pasti kuat melewati ini."Nis! Yuk makan dulu!" panggil Intan yang sudah berdiri diambang pintu ruang musalla rumah ini. Aku menoleh, dan berusaha menarik senyum kearahnya. Intan pun menghela napas lega sambil tersenyum."Ehm Tan, aku boleh nginep di sini kan untuk beberapa hari?" tanyaku saat kami sudah di meja makan."Ya elah Nis, pake nanya lagi. Kayak sama siapa, dari waktu sekolah juga kan kamu sering nginep di sini! Pake nanya lagi," cibir Intan sambil memasukkan makanan ke mulutnya."Ya, aku kan nggak enak sudah lama juga kan sejak kita lulus SMA aku udah jarang main kemari.""Nisa ... Dari waktu kita SMA sampai sekarang kita tetap sahabat. Aku selalu ada untuk kamu. Ingat itu." Aku tersenyum mendengarnya.Hatiku menghangat, terimakasih ya Allah telah menghadirkan sahabat sebaik Intan."Woi! Makan! Jangan bengong. Biar kamu tetap sehat, kuat. Kuat menghadapi kenyataan. Eh!"Aku merengut pura-pura merajuk. Intan memang ceplas-ceplos, tapi memang benar apa yang dikatakan. Aku memang harus kuat jangan sampai aku sakit karena terlalu memikirkan kedua manusia laknat itu."Eh. Eh! Canda Nis! Maaf, Jangan marah dong."Aku pun tersenyum melihat mimik wajah Intan yang merasa bersalah."Iya nggak apa-apa! Makasih banyak ya Tan, kamu emang sahabat terbaik." Aku acungkan dua jempol untuknya."Iya. Yuk makan nanti baru kita pikirkan langkah kita ke depan untuk menghadapi Vivi." Aku mengangguk.Kami pun melanjutkan makan nasi dengan sop iga yang tadi di pesan Intan melalui aplikasi hijau.*Aku terbaring sendiri di kamar Intan. Intan sengaja memberiku ruang untuk sendiri, ia memilih untuk tidur di kamar orangtuanya. Kupejamkan mata yang begitu terasa berat, karena sembab selama berjam-jam menangis. Di saat aku pejamkan mata, bayangan kejadian sore tadi berkelebat.Astaghfirullah! Aku hela napas panjang dan kembali tidur, namun tak bisa. Yang ada justru gemuruh rasa marah bercokol di dalam dada ini.Aku bangkit dan mulai berpikir langkah apa sebaiknya yang harus kuambil?"Untuk sekarang kamu boleh menangis sepuasnya, sampai kamu merasa lega. Tapi ingat setelah itu kamu harus bangkit, kamu harus kuat, kamu harus tunjukkan pada mereka Adrian dan Vivi bahwa kamu tidak lemah. Kamu tetap akan jadi pemenangnya."Kata-kata Intan kembali terngiang-ngiang di telingaku. Aku memang harus kuat. Aku tak ingin mereka tertawa diatas penderitaanku. Tak kubiarkan mereka menang setelah mencabik-cabik hati ini.Aku harus tunjukkan pada mereka aku tidak lemah. Akan kubuat kau menyesal telah membuangku Mas!Tekadku kuat. Akan kubuat perhitungan dengan Mas Adrian. Untuk melanjutkan pernikahan ini rasanya aku tak sanggup. Tapi aku harus bagaimana? Aku terus berpikir keras.Jujur aku masih cinta dengan Mas Adrian, tapi apa mau di kata. Hati ini nyatanya tak bisa terima atas apa yang sudah ia lakukan terhadapku.Hampir menjelang subuh mata ini tak bisa terpejam sedikit pun.Aku harus bertindak, aku tak terima diperlakukan seperti ini oleh Mas Adrian. Entah setan dari mana yang merasuki pikiranku, yang ada sekarang aku tak rela melihat mereka bahagia di atas penderitaanku. Biarlah orang mau berkata aku ini jahat atau apa. Aku tak peduli.Aku akan buat perhitungan denganmu Mas?Tok! Tok! Tok!"Nisa! Apa Kau sudah bangun?" Suara Intan mengagetkanku. Kulihat jam yang tergantung di dinding ternyata sudah hampir jam tujuh pagi."Iya Tan!" sahutku kemudian membuka pintu kamar.Ternyata Intan sudah rapi dengan pakaian kerjanya."Kamu sudah mau berangkat?""Sebentar lagi. Ayo, sarapan dulu," ajaknya.Kami berjalan ke ruang makan. "Nis, selama aku kerja, kamu di rumah ini bersama Bik Mirna nggak apa-apa kan!" Intan berkata sambil menyuap nasi goreng ke mulutnya."Ehm, hari ini aku pulang aja ke rumah, Tan." "Apa? Kamu yakin?"Sejenak aku terdiam. Karena sebenarnya di dalam hati ini juga masih ragu, apakah aku sanggup bertemu dengan dia hari ini. Namun akal sehatku masih bekerja dengan baik, ini kenyataan, mau tak mau, siap tidak siap, aku harus menghadapi ini."Insya Allah aku yakin, Tan!" jawabku kemudian. Aku ingin buat perhitungan dengan Mas Adrian. Meski aku sendiri tak yakin dengan langkah yang akan kuambil ini."Nisa! Kalau kamu mau di sini dulu beberapa har
"Kamu yakin, apapun yang kumau akan kamu lakukan Mas?" tanyaku dan Mas Adrian mengangguk cepat. Bersamaan dengan senyum mengembang di bibirnya, namun ada gurat gelisah juga tergambar diwajahnya.Aku paham Mas Adrian sampai memohon untuk aku tetap bertahan pasti karena Ibu, ia tahu sedekat apa aku dengan ibunya. Aku tahu perpisahanku dengannya pasti akan membuat Ibu syok. Mas Adrian pasti khawatir akan kesehatan ibunya. Ibu punya riwayat jantung dan bisa kambuh sewaktu-waktu jika ada hal yang membuatnya syok."Aku mau kau meninggalkan Vivi," ucapku.Mas Adrian melebarkan pupil matanya. Bibirnya terbuka untuk beberapa detik.Aku menatap lekat kearahnya. Bisa kusimpulkan Ia teramat berat memenuhi permintaanku, hatiku seperti teriris. Nyeri melihat Mas Adrian nyatanya begitu berat melepas pelakor itu. Meski ia belum mengatakannya."Ehm, Nis! Begini, maafkan Mas. Nanti Mas akan bicara dengan Vivi," jawabnya gugup.Aku menggeleng tak percaya."Kenapa? Berat melepaskan Vivi?" Aku tersenyum k
Yes. Akhirnya berhasil terbuka. Dengan langkah cepat aku masuk ke kamar mandi membawa ponsel Mas Adrian.Jemariku langsung membuka aplikasi berwarna hijau bergambar gagang telepon. Chat paling atas terulis nama Vie dengan emoticon bentuk hati disampingnya. Sekali lagi aku menghirup napas dalam-dalam. Menyiapkan hati sebelum membuka apa saja isi chat mereka.Ada banyak sekali chat mereka. [Makasih ya Mas udah beliin yang aku mau.] Sebuah isi chat diiringi foto Vivi tegah memperlihatkan leher jenjangnya mengenakan kalung. Bagus banget. Ucapku dalam hati di iringi rasa nyeri di dada ini. Aku bahkan belum pernah dibelikan kalung sebagus itu oleh Mas Adrian. Satu-satunya kalung yang ia berikan adalah saat pernikahan kami, itupun sudah kujual untuk membayar sewa rumah ini. Waktu itu Mas Adrian lagi nganggur.[Sama-sama Sayang! Untuk kamu memang selalu bisa memuaskanku.] Balasan chat dari Mas Adrian seketika membuatku bergidik.[Aku pasti akan selalu menyenangkan hatimu Mas.][Untuk di at
"Mama selalu saja membela dia! Aku yang anak Mama bukan dia!" teriak Vivi.Dia? Dia siapa yang dia maksud. Aku menunda untuk masuk ke dalam rumah, tampak mereka tengah bersitegang di ruang tengah tapi suaranya jelas terdengar hingga ke teras rumah."Vi! Kamu ini memang sudah keterlaluan! Nisa itu Mbakmu! Mama bukan membela Dia! Tapi kamu memang salah!" seru Tante Ranti.Itu artinya Tante Ranti sudah tahu tentang hubungan mereka lalu mengapa Tante Ranti mengijinkan mereka Vivi menikah dengan Mas Adrian, sedangkan jelas Mas Adrian itu masih suamiku. "Sudahlah Ma! Ini sudah terjadi, dan memang Mas Adrian lebih milih aku kok daripada Mbak Nisa. Apalagi sekarang udah ada calon anaknya di dalam sini."Degh! Anak? Itu artinya Vivi sedang hamil anaknya Mas Adrian? Astaghfirullah!Sakit sekali rasanya, di saat pernikahan kami sudah berjalan hingga tiga tahun lamanya, Allah belum menitipkan anak di rahimku, tapi dengan Vivi Allah langsung memberinya keturunan. Aku merasa ini tidak adil Ya T
"Apa ini maksudnya Tan? Selimut siapa ini?" tanyaku."Itu selimut milikmu saat kau masih bayi."Sebuah selimut bayi bahanya bagus tebal, halus, lembut, berwarna pink, ada gambar beruang kecil di ujungnya, serta di balik selimutnya pun ada bordiran nama bertuliskan 'Anisa Andara Putri Hadiwijaya'Hadiwijaya adalah nama Bapakku.Kubuka kotak persegi panjang itu, mata ini membeliak ketika tahu isinya. Sebuah kalung silver dengan liontin berbentuk hati. Di tengah ada sebuah batu safir kecil kebiruan, yang diapit oleh tiga buah permata. Cantik sekali. Berkilau, melihatnya saja aku bisa menebak jika ini bukan barang murah."Ta–Tante, apa maksudnya ini Tan?" Aku tergagap, ini bagus sekali. Baru kali ini aku melihat kalung seindah ini."Itu milikmu Sayang, selama ini Tante menyimpannya, sekarang Tante pikir, sudah saatnya kamu sendiri yang menyimpannya. Dulu sewaktu ibumu sakit, dia menitipkan ini untuk diberikan padamu saat Kau dewasa. Dan sekarang saatnya.""Tan, ini bagus sekali." Aku mas
Deru suara motor terdengar di halaman rumah ini, semakin lama suaranya semakin kecil dan menjauh. Sepertinya Mas Adrian pergi entah mau kemana, mungkin ia menemui Vivi.Pelan kubuka pintu kamar ini. Benar saja ia telah pergi, aku menyingkap gorden jendela, motor yang tadi sore terparkir di halaman telah tiada.Hati ini gerimis mendapati kenyataan ini, tak kupungkiri hati ini sakit saat tahu suamiku kini punya tempat singgah selain aku, selain rumah ini.Kuhabiskan waktu malam ini dalam kesunyian, hanya televisi yang menemani, itu pun tidak sepenuhnya ku lihat, hanya sekedar untuk mengisi suara di rumah ini agar tak sepi.Aku membuka lemari baju dan menyimpan selimut bayi pemberian Tante Ranti tadi siang. Sekali lagi aku mengamati kalung ini, begitu cantik aku ingin sekali memakainya.Aku pun menyematkan di leherku, dan menatap diri di pantulan cermin. Cantik.Dering ponsel mengagetkanku yang masih mematut diri di depan cermin.Ibu mertua memanggil."Hallo Assalamualaikum Bu," ucapku
"Mas berangkat dulu, Nis. Assalamualaikum!" seru Mas Adrian dengan tergesa."Wa'alaikumusalam."Rambut yang biasanya klimis itu terlihat acak-acakan, seragam yang biasanya licin itu kini begitu kusut. Aku hanya menggeleng menatap kepergiannya dengan motor matic yang semakin lama semakin menjauh.Semua telah berubah Mas, karena kamu sendiri yang telah merubahnya. Aku tak akan jadi seperti ini kepadamu kalau kau tak mencurangi aku. Seperti biasa usai sarapan pagi aku bersiap untuk ke rumah Bu Salma. Tak enak juga sudah tak datang dua hari ini. Bagaimanapun juga beliau yang banyak membantuku saat aku sering kekurangan.Aku berjalan kaki sekitar sepuluh menit untuk sampai ke rumah Bu Salma."Assalamualaikum Bu Salma. Aku langsung masuk ke rumahnya melalui pintu belakang yang langsung area dapur rumah besar itu. "Wa'alaikumusalam Nis, akhirnya kamu datang hari ini Nis, yuk sini sarapan!" sahut Bu Salma dari ruang makan. Beliau sedang sarapan."Sudah Bu, saya tadi sudah sarapan sebelum
Hingga menjelang magrib Mas Adrian belum juga pulang. Akhirnya selepas magrib ibu meminta Dania untuk menjemputnya di rumahku."Nanti kalau Adrian sudah ada di rumah kabarin ibu ya, Nis. Sekarang Ibu mau siap-siap dulu sebentar lagi Dania datang jemput." "Iya Bu."Selang beberapa menit suara motor terdengar memasuki halaman rumah. Bukan Dania melainkan Mas Adrian."I–ibu, di sini?" Mas Adrian langsung menyambut punggung tangan ibunya"Ya. Nunggu kamu pulang!""Hah, oh. Ada apa Bu, tumben biasanya kalau ada apa-apa Ibu tinggal telpon aja bilang sama Adrian." Mas Adrian menjatuhkan bobotnya di sofa samping ibunya."Siapa itu tadi yang angkat telepon Ibu?" tanya ibu dengan raut wajah serius."Siapa, apa maksudnya Bu?" Mas Adrian balik bertanya.Sepertinya Mas Adrian tidak tahu jika tadi sore ibu sempat menelponnya tapi Vivi yang mengangkatnya.Aku hanya diam jadi pendengar yang baik, sepertinya akan ada perdebatan antara ibu dan anak ini."Jangan pura-pura nggak tahu kamu, Adrian! Jelas