Share

Bab 7. Sahabat Baik

Aku menatap lekat ke arah Intan yang tampak sedang berpikir.

"Tunggu! Maksud kamu Vivi Anggraini kan?" Aku mengangguk. Karena itu memang nama lengkap Vivi.

"Bukankah Vivi itu pacarnya Rendi."

"Rendi?"

"Iya. Rendi teman kita waktu SMA dulu, inget nggak? Rendi yang dulu pernah suka sama kamu tapi kamu tolak itu."

Aku terdiam. Mencoba memutar ingatanku beberapa tahun lalu saat aku masih sekolah. Aku ingat sekarang, ya! Rendi yang dulu pernah mengutarakan cinta padaku, bahkan ia mengatakan itu di depan kelas, tentu membuatku malu sekaligus terharu atas aksinya.

Namun aku menolak halus perasaannya. Meski sejujurnya waktu itu aku pun menyukainya. Tapi aku sadar diri, aku hanya seorang anak yatim-piatu, hidup menumpang di rumah Tante Ranti. Tante Ranti masih mau menyekolahkan aku sampai SMA saja aku sudah sangat bersyukur. Jadi aku tak ingin banyak tingkah dengan menjalin hubungan atau berpacaran semasa sekolah.

Fokusku hanya untuk belajar. Aku tak ingin tanteku kecewa.

Tanpa sadar aku tersenyum. Geli sendiri mengingat itu.

"Heh! Malah nostalgia! Sudah ingat?" tanya Intan menepuk lenganku.

"Iya aku ingat. Tapi aku tak tau menahu hubungan antara Vivi dengan Rendi."

"Ah Payah. Kamu nggak pernah buka grup alumni sih! Aku liat foto profil Rendi itu berdua dengan Vivi, nempel banget juga di fotonya, berarti kan mereka pacaran," cerocos Intan.

"Aku nggak peduli itu Intan! Yang jelas sekarang Vivi menjadi duri dalam rumah tanggaku, aku nggak nyangka Dia tega sama aku."

Intan menepuk pelan pundakku.

"Sabar Nisa. Kamu jangan lemah. Mana dong Anisa Andara Putri sahabatku yang sangat periang, bahkan pecicilan. Kok jadi lembek dan cengeng gini sih!" decihnya.

"Kamu belum menikah Intan, jadi kamu nggak ngerasain gimana sakitnya," ucapku sesegukan.

"Iya, iya, aku paham. Aku memang belum menikah, aku mungkin nggak ngerasain gimana sakitnya, tapi kamu juga harus ingat, mau kamu nangis darah sekalipun apa itu akan merubah keadaan? Enggak kan?"

Sejenak kami sama-sama terdiam.

"Oke. Untuk sekarang kamu boleh menangis sepuasnya, sampai kamu merasa lega. Tapi ingat setelah itu kamu harus bangkit, kamu harus kuat, kamu harus tunjukkan pada mereka Adrian dan Vivi bahwa kamu tidak lemah. Kamu tetap akan jadi pemenangnya. Yah?!"

Intan berkata dengan tegas. Aku menatapnya. Sebait senyum tulus terbit di wajah ayunya, kemudian aku memeluknya.

Benar apa yang intan katakan aku harus kuat, aku nggak boleh lemah.

"Aku yakin kamu bisa melewati ini Nis!" ucap Intan lagi.

"Makasih Tan. Kamu bantu aku ya!"

"Pasti. Pasti itu, apapun itu kamu perlu bantuan aku, aku pasti siap. Apa sih yang nggak buat kamu, kamu itu udah seperti saudaraku Nis. Udah dong, hapus air matanya, mana sahabatku yang bawel dan selalu ceria." Intan mengusap lembut air mata yang seolah tak habisnya.

Aku beruntung punya sahabat seperti Intan, kami memang sangat dekat seperti saudara.

Aku mengangguk.

Tak terasa adzan Maghrib berkumandang, aku dan Intan pun bergegas melakukan kewajiban tiga rakaat.

Aku duduk di atas sajadah, menengadahkan tangan. Melangitkan doa meminta kekuatan atas ujian yang terasa begitu berat dan menyakitkan. Aku tak tahu seperti apa nasib rumah tanggaku kedepannya. Saat ini rasanya aku tak sanggup untuk pulang ke rumah, aku tak siap bertemu dengan laki-laki itu. Laki-laki yang namanya selalu kusebut dalam doa dan sujudku.

Laki-laki yang di saat tidur dalam damainya selalu kupandangi wajah tampannya. Ia yang selalu membuatku merasa beruntung telah memilikinya.

Aku salah terlalu berharap pada Mas Adrian. Ternyata benar. Berharap pada manusia hanya akan berakhir kecewa. Memang benar sebaik-baiknya berharap hanya pada Sang Khaliq pemilik semesta ini.

Kian deras air mata mengalir membasahi pipi. Mungkin ini teguran dari Allah karena aku lebih mencintai makhluknya dari pada-Nya. Mungkin ini ujian untukku lebih kuat lagi melangkah menapaki kehidupan ini. Mungkin setelah ini akan ada hikmah yang indah untukku.

Aku terus berusaha ber-muhasabah diri serta berhusnudzon pada sang Pemilik jiwa dan raga ini. Walau sebenarnya hati ini terus bertanya mengapa? Mengapa Dia begitu tega? Apa dosaku? Mengapa rasanya sesakit ini Tuhan ....

Setelah puas menumpahkan segalanya. Aku bersujud. Bersimpuh. Memohon ampun atas segala dosa yang pernah aku lakukan hingga Allah mengujiku seperti ini.

Aku pejamkan mata ini. Menarik napas dalam-dalam menghembuskannya perlahan. Beberapa kali kulakukan itu seraya mensugesti diri bahwa semuanya akan baik-baik saja. Dan aku pasti kuat melewati ini.

"Nis! Yuk makan dulu!" panggil Intan yang sudah berdiri diambang pintu ruang musalla rumah ini. Aku menoleh, dan berusaha menarik senyum kearahnya. Intan pun menghela napas lega sambil tersenyum.

"Ehm Tan, aku boleh nginep di sini kan untuk beberapa hari?" tanyaku saat kami sudah di meja makan.

"Ya elah Nis, pake nanya lagi. Kayak sama siapa, dari waktu sekolah juga kan kamu sering nginep di sini! Pake nanya lagi," cibir Intan sambil memasukkan makanan ke mulutnya.

"Ya, aku kan nggak enak sudah lama juga kan sejak kita lulus SMA aku udah jarang main kemari."

"Nisa ... Dari waktu kita SMA sampai sekarang kita tetap sahabat. Aku selalu ada untuk kamu. Ingat itu." Aku tersenyum mendengarnya.

Hatiku menghangat, terimakasih ya Allah telah menghadirkan sahabat sebaik Intan.

"Woi! Makan! Jangan bengong. Biar kamu tetap sehat, kuat. Kuat menghadapi kenyataan. Eh!"

Aku merengut pura-pura merajuk. Intan memang ceplas-ceplos, tapi memang benar apa yang dikatakan. Aku memang harus kuat jangan sampai aku sakit karena terlalu memikirkan kedua manusia laknat itu.

"Eh. Eh! Canda Nis! Maaf, Jangan marah dong."

Aku pun tersenyum melihat mimik wajah Intan yang merasa bersalah.

"Iya nggak apa-apa! Makasih banyak ya Tan, kamu emang sahabat terbaik." Aku acungkan dua jempol untuknya.

"Iya. Yuk makan nanti baru kita pikirkan langkah kita ke depan untuk menghadapi Vivi." Aku mengangguk.

Kami pun melanjutkan makan nasi dengan sop iga yang tadi di pesan Intan melalui aplikasi hijau.

*

Aku terbaring sendiri di kamar Intan. Intan sengaja memberiku ruang untuk sendiri, ia memilih untuk tidur di kamar orangtuanya. Kupejamkan mata yang begitu terasa berat, karena sembab selama berjam-jam menangis. Di saat aku pejamkan mata, bayangan kejadian sore tadi berkelebat.

Astaghfirullah! Aku hela napas panjang dan kembali tidur, namun tak bisa. Yang ada justru gemuruh rasa marah bercokol di dalam dada ini.

Aku bangkit dan mulai berpikir langkah apa sebaiknya yang harus kuambil?

"Untuk sekarang kamu boleh menangis sepuasnya, sampai kamu merasa lega. Tapi ingat setelah itu kamu harus bangkit, kamu harus kuat, kamu harus tunjukkan pada mereka Adrian dan Vivi bahwa kamu tidak lemah. Kamu tetap akan jadi pemenangnya."

Kata-kata Intan kembali terngiang-ngiang di telingaku. Aku memang harus kuat. Aku tak ingin mereka tertawa diatas penderitaanku. Tak kubiarkan mereka menang setelah mencabik-cabik hati ini.

Aku harus tunjukkan pada mereka aku tidak lemah. Akan kubuat kau menyesal telah membuangku Mas!

Tekadku kuat. Akan kubuat perhitungan dengan Mas Adrian. Untuk melanjutkan pernikahan ini rasanya aku tak sanggup. Tapi aku harus bagaimana? Aku terus berpikir keras.

Jujur aku masih cinta dengan Mas Adrian, tapi apa mau di kata. Hati ini nyatanya tak bisa terima atas apa yang sudah ia lakukan terhadapku.

Hampir menjelang subuh mata ini tak bisa terpejam sedikit pun.

Aku harus bertindak, aku tak terima diperlakukan seperti ini oleh Mas Adrian. Entah setan dari mana yang merasuki pikiranku, yang ada sekarang aku tak rela melihat mereka bahagia di atas penderitaanku. Biarlah orang mau berkata aku ini jahat atau apa. Aku tak peduli.

Aku akan buat perhitungan denganmu Mas?

Komen (8)
goodnovel comment avatar
Deni Rositayani
siip harus tegar dan tegas
goodnovel comment avatar
Dewi Nuraini
teruuus thoor
goodnovel comment avatar
Tri Wahyuni
bener Nisa kmu hrs tegar dn kmu jangan mau laki ngelanjutin sama laki2 yg dh berxina dgn perempuan lain dh kmu buang aja k tong sampah .tapi kmu laporin dia k kantor nya biar dia d pecat ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status