Ucapan sang pria kembali membuat Feyana terkejut. Apa maksud pria itu? Apakah dia mengenal suaminya? Namun entah mengapa, bukannya seharusnya tersinggung, Feyana justru hanya bisa terdiam.
“Tidak perlu khawatir, saya gak akan berbuat apa-apa. Saya hanya ditugaskan untuk mengantar Nona pulang dengan selamat.”
Meskipun memiliki suara tegas, pria itu terdengar lembut di telinga Feyana, membuatnya seakan disuntik kepercayaan oleh sang pria. Feyana berpikir bahwa mungkin pria itu adalah suruhan Randy atau mungkin ayah mertuanya yang punya sedikit hati nurani. Feyana akhirnya menurut dan ia diantar menaiki mobil.
Di perjalanan tak ada obrolan sama sekali dan musik atau radio pun tak diputar, membuat keheningan kentara di dalam mobil.
“Namamu siapa? Dan kalau boleh tahu, yang mengirimmu ayah mertua atau suamiku? Biar aku tidak salah tebak berterima kasih pada mereka,” kata Feyana membuka topik bicara.
“Nona terlalu naif jika berpikir salah satu dari mereka mengutus saya. Lagipula, mengapa hanya mereka yang ada di pikiranmu, Nona?” sahut pria itu terdengar tidak senang.
Feyana menatapnya dari kaca spion depan namun raut wajah pria itu hanya datar. “Apa maksudmu?” tanyanya tak mengerti.
Pria itu hanya diam tak menyahut lagi. Mobil pun tiba di samping rumah mewah yang merupakan kediaman keluarga besar suaminya Feyana. Feyana kebingungan ketika pria itu tidak membawa mobilnya langsung masuk ke dalam.
Saat Feyana mengucapkan terima kasih ketika sudah keluar mobil, pria itu menurunkan separuh kaca jendelanya untuk kemudian menyahut datar, “Nama saya David, dan saya bukanlah suruhan mereka. Sampai bertemu kembali, Nona Feyana.” Setelahnya mobil melaju cukup kencang membiarkan Feyana yang masih tercenung di tempatnya.
Sungguh Feyana semakin dibuat bingung oleh pria tampan bernama David itu. Mengapa dia memanggilnya Nona? Dan mengapa dia mengatakan sampai bertemu kembali?
“Hei, ngapain kamu disitu!?” seru Rena saat dirinya akan berangkat kerja namun mendapati sang ipar berdiri seperti patung di depan gerbang bukannya segera masuk.
“Dengar-dengar dirimu di rumah sakit. Kenapa sudah pulang?” sindir Rena sambil membuka kaca mobilnya.
Feyana berlari mendekati mobil dan tersenyum ramah menyambut adik iparnya itu. “Aku tidak ingin berlama-lama di rumah sakit, Ren. Di sana rasanya tidak enak sekali. Dirimu atau yang lain pun juga tak perlu repot harus bolak-balik menjengukku di rumah sakit jika begini.”
Tawa Rena begitu renyah setelah mendengar ucapan iparnya yang terlalu polos itu. “Siapa juga yang sudi menjengukmu? Bahkan tak ada yang sadar atau peduli mau dirimu sakit atau mati.”
Feyana begitu tertohok dengan celaan Rena yang menurutnya keterlaluan. Tak ingin terus mendapat hinaan sang adik ipar, Feyana memilih berjalan masuk ke dalam dengan wajah murungnya.
Di ruang tamu, ia ditegur oleh mertuanya yang sedang santai makan buah sambil menonton televisi. “Loh, sudah bisa pulang sendiri? Kirain kamu bakal bengong di sana sampai Randy mau datang.”
Feyana meringis mendengarnya lalu menyahut kecut. “Karena aku tidak mau membuat kalian kesulitan menjemputku, Mah. Oh iya, Mas Randy ada di kamarnya, ‘kan?”
Anne hanya menggidikkan bahu tak acuh dan melanjutkan memakan buahnya. Tak ada rasa cemas atau peduli dengan kondisi Feyana yang terlihat masih pucat.
Feyana hanya mampu menghela nafas dan memasuki kamarnya dan sang suami. Harapan terakhirnya, mendapati Randy menunggu kepulangannya, atau menyiapkan hadiah untuk menyambutnya. Namun, semua angannya menguap begitu saja ketika ia mendengar suara desahan dari dalam kamar.
Tangan Feyana bergetar ketika menyentuh kenop pintu. Ingin rasanya untuk tidak melanjutkan rasa penasaran atas suara yang ia dengar, dan memilih putar arah untuk pergi. Namun, sesuatu di benak Feyana berontak. Ia harus menghadapinya. Ia yakin ini tidak seperti yang ia duga.
Suara desahan itu makin menjadi ketika Feyana memutar kenopnya dan membuka lebar daun pintu. Terpampang jelas adegan menjijikkan yang melukai matanya. Feyana berteriak marah, tak terima dengan apa yang ia lihat di depan matanya sekarang. “MAS RANDY!!”
Feyana masuk dengan kepalan di tangannya, lalu menjambak rambut wanita yang tengah duduk di atas perut Randy. Wanita seksi tanpa sehelai benang menutupi tubuhnya itu terlihat kaget dengan kedatangan Feyana. Ia memekik kesakitan ketika rambutnya dijambak. Tubuhnya dihempaskan ke lantai yang dingin dan membuatnya ikut berteriak kesal. “HEI, KAMU ITU SIAPA?!”
Lampu kamar dinyalakan sehingga keadaan temaram berubah terang benderang. Kini, Feyana bisa makin jelas melihat betapa berantakannya kamar yang ia gunakan tidur bersama suaminya. Pakaian berserakan di mana-mana, tak terkecuali dalaman wanita itu dan suaminya. Feyana memungutnya dan melempar pakaian itu ke wajah wanita yang masih ada di lantai.
“Pakai bajumu, dasar jalang!” bentaknya.
Namun, tak lama kemudian tubuhnya malah ditarik oleh Randy untuk diseret keluar kamar. Randy mendorong tubuh Feyana ke luar, berkacak pinggang dengan hanya memakai boxer. “Kamu tak berhak marah padaku! Kita tak lagi punya ikatan apapun, Fey. Aku sudah menalakmu dan kita resmi bercerai, camkan itu!”
Feyana menggeleng tidak terima. Ia tak pernah setuju bercerai dari Randy sampai kapanpun. Lalu, bagaimana bisa suaminya itu malah membawa wanita lain dan bersetubuh di kamarnya?
“Aku ada di rumah sakit, dan kamu malah sibuk menggila bersama wanita lain di kamar kita? Di mana hati nuranimu? Aku bahkan tadi kesulitan untuk bisa pulang. Kamu bahkan tak memikirkanku sama sekali, hah?” raung Feyana sambil memukul dadanya yang terasa sesak.
Ia menangis tersedu dan berusaha bangun, meskipun dirinya akui kakinya seperti tak mampu digunakan berdiri. Sekuat tenaga ia mendekati Randy dan menarik pundaknya untuk mendekatkan wajah mereka.
“Bagaimana dengan janji sehidup semati kita? Kamu menjanjikan akan selalu menjadi suami terbaik untukku, Mas.”
Randy tersenyum miring. “Itu dulu, sekarang sudah tidak. Kamu harusnya sadar bahwa cinta ada masanya akan habis.”
Feyana menangis sesegukan dan memundurkan tubuhnya. Ia tak menyangka bahwa Randy akan mengatakan hal seperti itu.
Anne datang karena keributan di lantai atas. Ia menghela nafas ketika melihat Feyana yang menangis, dan Randy hanya diam menatap istrinya di ambang pintu.
“Mah, Mas Randy mengkhianatiku. Dia, dia melakukan seks dengan wanita lain di kamar kita. Aku sungguh tak menyangka Mas Randy melakukan itu, padahal aku masih di rumah sakit. Mah, tolong sadarkan Mas Randy.” Feyana berhambur mengadu pada Anne yang tampak tak acuh.
Anne mendorong bahu Feyana dengan telunjuknya agar menjauh. “Lalu? Bukankah Randy begitu karena salahmu? Kamu yang tak becus melayaninya dan tak segera hamil.”
Mata Feyana membola mendengar ucapan mertuanya. Bagaimana bisa itu menjadi alasan bagi suaminya untuk selingkuh?
“Mah? Kenapa berkata begitu padaku? Aku juga mau hamil, tapi—,”
“Tapi kamu mandul. Iya, kan?” sanggah Anne dengan suara meninggi.
“Sean, ayo cepat keluar! Nanti terlambat ke sekolah, loh,” panggil Feyana yang sudah rapi berdiri di samping mobilnya. Ia beberapa kali melihat jam tangannya sambil berdecak resah karena rapat di kantornya akan dimulai sebentar lagi.Sean tampak keluar dari rumah dengan tas ransel yang hanya disampirkan di satu lengannya seraya berlari tergesa-gesa mendekati ibunya yang tampak kesal.Feyana melipat kedua tangan di dada sambil memicingkan mata ketika putranya itu berdiri di hadapannya. Bukannya merasa bersalah, Sean malah meringis menunjukkan deretan gigi rapinya itu, bermaksud membuat ibunya terbuai. Namun Feyana hanya diam melihatinya yang kemudian tampak salah tingkah.“Iya, maafkan aku, Mah. Tadi Sean bangunnya telat jadi terlambat begini. Sekarang, ayo berangkat keburu mamah ikutan telat ke kantornya!” elak Sean terdengar jujur.Feyana menjitak pelan kepala Sean sambil mendengus, “Makanya jangan begadang cuman untuk main game terus! Kamu pikir mamah gak tau kalau tiap malam kamu it
“Maaf, tapi kami sepakat untuk tidak menjawab pertanyaan tersebut. Bisakah, Anda menghargai privasi keluarga kami?!” sahut David menatap lurus dengan rahang yang mengeras pada wartawan itu.Wartawan yang mengajukan pertanyaan tampak gugup. Ia menatap ke arah teman-temannya yang sesama wartawan untuk minta bantuan, tapi tak ada satupun yang menghiraukannya. Mereka semua tentu tak mau berurusan dengan keluarga David yang akan merusak karier mereka dalam bidang ini. Tamat sudah riwayat wartawan wanita ini.David menyuruh seorang sekuriti yang berdiri tak jauh darinya. Hanya dengan jari telunjuknya, sekuriti itu mendekatinya dan mendengar bisikan David dengan baik. Sesuai perintah yang baru saja ia dapat dari atasannya, sekuriti itu berjalan mengendap lewat pintu belakang untuk membawa wartawan wanita tadi pergi meninggalkan ruangan.David kemudian memandang Feyana lalu memberinya anggukan meyakinkan bahwa semuanya akan aman.“Aku harap ini jadi pembelajaran bagi kalian semua untuk berhat
Feyana memandang nanar pada timbunan tanah yang ber-nisankan nama Sabrina. Air matanya terus bergulir meski sudah berulang kali diusap oleh suaminya yang berada di sampingnya. Kedua tangan Feyana sibuk menggendong Sean yang sedari tadi menangis. Sepertinya, bocah kecil ini menyadari bahwa ibunya sudah takkan lagi ada di dunia ini untuk menemaninya.Sayangnya Norma dan Imelda tidak bisa ikut ke pemakaman karena situasi mereka yang masih menjadi tahanan. Tentu saja ketika mendengar kabar kematian Sabrina dan kenyataan soal penyakitnya itu dari Feyana, mereka berdua sangat terpukul. Keduanya tak menyangka Sabrina tega menutupi kebenaran yang amat menyakitkan itu hanya agar tak membuat mereka khawatir.“Fey, ayo pulang. Kasihan Sean jika terus di sini, apalagi langit mulai mendung.” David mengajak Feyana pulang karena mereka sudah sangat lama di sana. Dirinya kasihan melihat wajah sembab istrinya dan tangisan pilu Sean yang tak kunjung reda.Feyana inginnya masih tetap di sana, namun meli
“Aku tak tahu pada siapa harus menitipkan Sean. Aku hanya percaya padamu, Fey.”Ucapan Sabrina itu terus-menerus terlintas di kepala Feyana. Ia pun berjalan tanpa minat ketika keluar dari rumah sakit, bahkan dia tak mengacuhkan David yang sedari tadi menatapnya penasaran. David ingin bertanya apa yang Feyana bicarakan dengan Sabrina sampai membuatnya tak fokus seperti sekarang, tapi melihat ratapan suram di mata Feyana membuatnya mengurungkan niat bertanya.“Fey, biar aku antar ke kantor aja, gak usah bawa mobil. Biar nanti si Joshua aku suruh ambil mobilmu di sini,” sergah David tidak yakin dengan Feyana yang kurang fokus ketika nanti menyetir di jalan.Feyana menggeleng dan ingin tetap menyetir sendiri, namun David mencegahnya dengan mengambil kunci mobilnya lalu menggandengnya agar masuk ke mobil David.“Aku tidak mau ambil risiko kamu kenapa-napa kalau tetap memaksa menyetir sendiri. Kita langsung menuju kantormu saja, aku antar,” tegas David tanpa boleh dibantah.Ketika sudah dud
Sabrina menatap nanar pada Feyana yang diam kaku tak berkutik setelah mendengar permintaannya yang terdengar gila. Sabrina akui dia tak memiliki siapapun yang bisa dipercayainya, bahkan keluarga saja sudah tak punya. Dirinya hanya memiliki Sean yang terpaksa dititipkannya di panti asuhan selama ia menjalani proses hukuman penjara.“Hanya kamu yang terlintas di pikiranku, Fey. Aku tentu takkan rela berikan hak asuh Sean pada ayahnya, si Leon. Bahkan pria itu saja tak tahu bahwa dia memiliki putra.”“Apa kamu sudah memikirkan keputusanmu itu matang-matang? Aku bukan beralasan mau menolak, tapi tanggung-jawab ini terlalu besar. Apa kamu seyakin ini padaku? Dan mau sampai kapan kamu menutupi kebenaran bahwa Sean adalah darah dagingnya Leon? Tidak ada yang bisa menutupi rahasia selamanya, Na.”Feyana mengusap air mata yang merembes di pipi Sabrina dengan sebelah tangan yang tidak digenggam oleh Sabrina. Baru kali ini ia melihat kesedihan teramat dalam di wajah Sabrina yang tergambar jelas.
Feyana pagi-pagi sudah gaduh tak karuan, membuat suaminya yang masih nyenyak bergelung di selimut merasa terusik. Sambil memperhatikan Feyana bolak-balik di kamar, David menegurnya perlahan.“Ada apa panik banget, sih? Gak biasanya kamu begini.’”Feyana hanya menoleh sekilas pada suaminya yang masih bersantai di kasur. Ia menjelaskan dengan sekedarnya kalau mendapat kabar jika Sabrina, salah satu temannya yang ada di sel penjara waktu itu sekarang sedang menjalani perawatan di rumah sakit, bahkan sampai harus opname.“Kalau sampai opname begitu, berarti sakitnya serius. Aku mau ke sana untuk melihat kondisinya. Semoga saja Sabrina tidak apa-apa,” lontar Feyana lalu menyabet tasnya yang ada gantungan.“Aku berangkat dulu, ya. Bye!” ujarnya sambil menyempatkan diri memberikan ciuman selamat pagi untuk David.David menghela napas salut pada Feyana yang tampak sangat peduli pada temannya yang satu sel dengannya itu. Bahkan sejak keluar dari penjara dirinya membuat jadwal rutin untuk menje