Feyana tercekat dengan ucapan pedas mertuanya. Tak mampu lagi dirinya menyahut dan memilih berlari keluar dari rumah. Ia sempat menoleh ke belakang, berharap akan ada salah satu dari mereka mengejarnya, menghentikannya dan menghiburnya. Namun ia menelan ludah ketika yang didapati malah mertua dan suaminya tersenyum menatap kepergiannya.
Feyana tak tahu tujuannya. Ia hanya ingin berlari dan terus berlari menjauh. Tak terasa hari mulai petang dan ia sudah sampai di atas jembatan layang. Mendung gelap menyelimuti langit, dan tak lama kemudian hujan deras turun membasahinya.
Tubuh Feyana menggigil ditambah rasa sedih di hati membuatnya hilang akal. Ia melepas sendal dan menaiki pembatas jembatan. Kedua tangannya merentang dan seolah siap jika angin kencang menghempaskannya untuk jatuh ke air yang ada di bawah sana.
“JANGAN GILA! MENJAUH DARI SANA!” pekik seseorang dari kejauhan.
Feyana sama sekali tak berminat mendengarkannya. Matanya menutup dan bersiap untuk terjun.
“Sudah kubilang jangan gila dan menjauh. Kenapa sulit sekali mendengarkanku, hah?” bentak orang itu lagi. Ia mendesah nafas lega karena tepat waktu memegangi pinggang Feyana.
Feyana melirik wajah orang itu. “David, untuk apa kamu di sini? Dan bisakah lepaskan aku? Aku hanya ingin mengakhiri semuanya. Tak ada lagi hal yang perlu kupertahankan,” pintanya dengan suara lemah.
David menggeleng keras. Ia menggendong Feyana untuk masuk ke dalam mobilnya. Tak peduli hujan yang membasahi pakaiannya, atau Feyana yang berontak.
David memasangkan sabuk pengaman dengan paksa ke tubuh Feyana. Masuk ke sisi mobil lainnya dengan cepat, lalu mengebut membelah jalanan yang sepi.
“Kenapa menghentikanku untuk mati?” sentak Feyana murka.
Ia berusaha membuka pintu mobil untuk keluar. Tak peduli jika dia akan terpental dan merasakan kerasnya aspal, apalagi mati karena tindakannya itu akan jauh lebih baik. Di pikiran Feyana hanya ingin menghentikan suara-suara yang memenuhi otaknya, mengatakan bahwa ia tak berguna sehingga suaminya bisa berkhianat.
David gesit menekan tombol lock agar Feyana tidak keluar. Sebelah tangannya ia gunakan mencekal lengan Feyana, mengeratkannya dan menyuruh sang empu menatap ke arahnya.
Wajah David mengeras dan itu cukup membuat Feyana tertegun dan berhenti berontak. “Jika kamu bertindak hal bodoh seperti tadi, aku takkan segan mengikatmu.”
Ancaman David sukses membuat Feyana ketakutan. Kini, Feyana hanya diam mendekam di kursi sebelah David. Pria itu berubah sangat menakutkan di matanya. Meski tampan, David terlalu tegas dan kaku yang membuatnya segan.
David tak ambil pusing dan makin menginjak gas untuk segera sampai di tujuan. Butuh 15 menit untuknya tiba di sebuah hunian yang begitu mewah layaknya istana keraton. Ia memasuki halaman rumah itu dan menghentikan mobilnya tepat di depan pintu utama.
David turun lebih dahulu dan membukakan pintu untuk Feyana. Wanita itu hanya mengerut di kursinya, menggeleng dan mengatakan tidak untuk masuk ke dalam.
“Aku tidak suka di sini. Antarkan aku kembali ke jembatan tadi!” rengeknya menggelengkan kepala.
David mempererat cekalan di pergelangan tangan Feyana, kembali memaksanya mengikuti apa yang ia perintahkan. Feyana terpaksa keluar dari mobil dan memohon agar David tidak membawanya masuk.
“Kamu tidak tahu kenapa aku membenci tempat ini. Jadi, biarkan aku pergi!” pinta Feyana dengan tatapan memohon.
“Ayahmu sudah menunggumu, Nona Feyana. Jadi, berhenti bertindak pengecut, dan hadapi orangtuamu!” balas David dengan suara beratnya.
Feyana melemas mendengar penuturan David. Ketika ia berusaha lepas dan ingin melarikan diri, sosok yang selama ini dihindari malah menunjukkan diri.
Ayahnya keluar dari rumah dan berdiri tegap di depan. Berjalan menuruni tangga dan mendekatinya yang masih di halaman rumah yang luas itu. Hujan sudah lama berhenti, digantikan hembusan angin yang cukup kencang.
Wajah Feyana membeku. Pandangannya berpendar gelisah berusaha tak bersitatap dengan ayahnya. Tangannya masih berusaha melepas cekalan David, yang tak kunjung berhasil.
“Feyana, ayah merindukanmu, Nak. Kenapa—kenapa baru sekarang kamu mau kembali?” ucap ayahnya penuh haru yang langsung memeluk Feyana.
Cekalan tangan David terlepas. Namun, Feyana sudah tak berdaya di pelukan ayahnya. Ia hanya menangis, rindu dengan pelukan hangat sang ayah yang disayanginya.
“Maafkan Feyana, Ayah.” Feyana membalas pelukan meski terlihat agak segan.
*****
Feyana banyak diam dan hanya sesekali menyahuti ucapan ayahnya. Ia dan ayahnya sedang di ruang makan, ditemani oleh David yang duduk di bersebelahan dengannya.
Pakaian basah Feyana sudah diganti dengan gaun sutra yang hangat, dan tentu saja yang mahal harganya. Feyana ingat gaun yang dipakainya hanya sekali dikenakan waktu acara ulang tahunnya beberapa waktu silam.
“Sebaiknya kamu istirahat, Fey. Besok kita lanjutkan lagi mengobrolnya,” ucap ayahnya yang memergoki Feyana menguap beberapa kali.
Feyana tersenyum tipis dan berdiri dari kursinya. Ia menatap sekilas David yang tampak sibuk menuang wine ke gelasnya dan gelas milik ayahnya. Keduanya pasti akan mengobrol serius setelah dirinya pergi.
Feyana tidak ambil pusing dan menaiki tangga menuju kamarnya. Ia menghempaskan tubuh ke kasur empuk yang sudah lama tidak dirasakannya. Menghirup aroma harum yang menguar dari ranjang yang sudah menemaninya sejak kecil. Tak terasa mata Feyana berat dan menutup damai. Ia tertidur begitu pulasnya.
Di sisi lain, tepatnya ruang makan yang diisi dua orang pria, kini suasananya terlihat lebih mendalam. Hanya ada keheningan hingga beberapa saat kemudian.
“Terima kasih sudah memenuhi janjimu. Kamu membawa Feyana kembali ke rumah,” ungkap Erik—ayah Feyana—tersenyum tipis.
David menenggak wine miliknya dalam sekali teguk. Tersenyum menyeringai dan menuangkan kembali wine ke dalam gelasnya yang kosong. “Sekarang biar kutagih janji yang Anda berikan.”
“Sean, ayo cepat keluar! Nanti terlambat ke sekolah, loh,” panggil Feyana yang sudah rapi berdiri di samping mobilnya. Ia beberapa kali melihat jam tangannya sambil berdecak resah karena rapat di kantornya akan dimulai sebentar lagi.Sean tampak keluar dari rumah dengan tas ransel yang hanya disampirkan di satu lengannya seraya berlari tergesa-gesa mendekati ibunya yang tampak kesal.Feyana melipat kedua tangan di dada sambil memicingkan mata ketika putranya itu berdiri di hadapannya. Bukannya merasa bersalah, Sean malah meringis menunjukkan deretan gigi rapinya itu, bermaksud membuat ibunya terbuai. Namun Feyana hanya diam melihatinya yang kemudian tampak salah tingkah.“Iya, maafkan aku, Mah. Tadi Sean bangunnya telat jadi terlambat begini. Sekarang, ayo berangkat keburu mamah ikutan telat ke kantornya!” elak Sean terdengar jujur.Feyana menjitak pelan kepala Sean sambil mendengus, “Makanya jangan begadang cuman untuk main game terus! Kamu pikir mamah gak tau kalau tiap malam kamu it
“Maaf, tapi kami sepakat untuk tidak menjawab pertanyaan tersebut. Bisakah, Anda menghargai privasi keluarga kami?!” sahut David menatap lurus dengan rahang yang mengeras pada wartawan itu.Wartawan yang mengajukan pertanyaan tampak gugup. Ia menatap ke arah teman-temannya yang sesama wartawan untuk minta bantuan, tapi tak ada satupun yang menghiraukannya. Mereka semua tentu tak mau berurusan dengan keluarga David yang akan merusak karier mereka dalam bidang ini. Tamat sudah riwayat wartawan wanita ini.David menyuruh seorang sekuriti yang berdiri tak jauh darinya. Hanya dengan jari telunjuknya, sekuriti itu mendekatinya dan mendengar bisikan David dengan baik. Sesuai perintah yang baru saja ia dapat dari atasannya, sekuriti itu berjalan mengendap lewat pintu belakang untuk membawa wartawan wanita tadi pergi meninggalkan ruangan.David kemudian memandang Feyana lalu memberinya anggukan meyakinkan bahwa semuanya akan aman.“Aku harap ini jadi pembelajaran bagi kalian semua untuk berhat
Feyana memandang nanar pada timbunan tanah yang ber-nisankan nama Sabrina. Air matanya terus bergulir meski sudah berulang kali diusap oleh suaminya yang berada di sampingnya. Kedua tangan Feyana sibuk menggendong Sean yang sedari tadi menangis. Sepertinya, bocah kecil ini menyadari bahwa ibunya sudah takkan lagi ada di dunia ini untuk menemaninya.Sayangnya Norma dan Imelda tidak bisa ikut ke pemakaman karena situasi mereka yang masih menjadi tahanan. Tentu saja ketika mendengar kabar kematian Sabrina dan kenyataan soal penyakitnya itu dari Feyana, mereka berdua sangat terpukul. Keduanya tak menyangka Sabrina tega menutupi kebenaran yang amat menyakitkan itu hanya agar tak membuat mereka khawatir.“Fey, ayo pulang. Kasihan Sean jika terus di sini, apalagi langit mulai mendung.” David mengajak Feyana pulang karena mereka sudah sangat lama di sana. Dirinya kasihan melihat wajah sembab istrinya dan tangisan pilu Sean yang tak kunjung reda.Feyana inginnya masih tetap di sana, namun meli
“Aku tak tahu pada siapa harus menitipkan Sean. Aku hanya percaya padamu, Fey.”Ucapan Sabrina itu terus-menerus terlintas di kepala Feyana. Ia pun berjalan tanpa minat ketika keluar dari rumah sakit, bahkan dia tak mengacuhkan David yang sedari tadi menatapnya penasaran. David ingin bertanya apa yang Feyana bicarakan dengan Sabrina sampai membuatnya tak fokus seperti sekarang, tapi melihat ratapan suram di mata Feyana membuatnya mengurungkan niat bertanya.“Fey, biar aku antar ke kantor aja, gak usah bawa mobil. Biar nanti si Joshua aku suruh ambil mobilmu di sini,” sergah David tidak yakin dengan Feyana yang kurang fokus ketika nanti menyetir di jalan.Feyana menggeleng dan ingin tetap menyetir sendiri, namun David mencegahnya dengan mengambil kunci mobilnya lalu menggandengnya agar masuk ke mobil David.“Aku tidak mau ambil risiko kamu kenapa-napa kalau tetap memaksa menyetir sendiri. Kita langsung menuju kantormu saja, aku antar,” tegas David tanpa boleh dibantah.Ketika sudah dud
Sabrina menatap nanar pada Feyana yang diam kaku tak berkutik setelah mendengar permintaannya yang terdengar gila. Sabrina akui dia tak memiliki siapapun yang bisa dipercayainya, bahkan keluarga saja sudah tak punya. Dirinya hanya memiliki Sean yang terpaksa dititipkannya di panti asuhan selama ia menjalani proses hukuman penjara.“Hanya kamu yang terlintas di pikiranku, Fey. Aku tentu takkan rela berikan hak asuh Sean pada ayahnya, si Leon. Bahkan pria itu saja tak tahu bahwa dia memiliki putra.”“Apa kamu sudah memikirkan keputusanmu itu matang-matang? Aku bukan beralasan mau menolak, tapi tanggung-jawab ini terlalu besar. Apa kamu seyakin ini padaku? Dan mau sampai kapan kamu menutupi kebenaran bahwa Sean adalah darah dagingnya Leon? Tidak ada yang bisa menutupi rahasia selamanya, Na.”Feyana mengusap air mata yang merembes di pipi Sabrina dengan sebelah tangan yang tidak digenggam oleh Sabrina. Baru kali ini ia melihat kesedihan teramat dalam di wajah Sabrina yang tergambar jelas.
Feyana pagi-pagi sudah gaduh tak karuan, membuat suaminya yang masih nyenyak bergelung di selimut merasa terusik. Sambil memperhatikan Feyana bolak-balik di kamar, David menegurnya perlahan.“Ada apa panik banget, sih? Gak biasanya kamu begini.’”Feyana hanya menoleh sekilas pada suaminya yang masih bersantai di kasur. Ia menjelaskan dengan sekedarnya kalau mendapat kabar jika Sabrina, salah satu temannya yang ada di sel penjara waktu itu sekarang sedang menjalani perawatan di rumah sakit, bahkan sampai harus opname.“Kalau sampai opname begitu, berarti sakitnya serius. Aku mau ke sana untuk melihat kondisinya. Semoga saja Sabrina tidak apa-apa,” lontar Feyana lalu menyabet tasnya yang ada gantungan.“Aku berangkat dulu, ya. Bye!” ujarnya sambil menyempatkan diri memberikan ciuman selamat pagi untuk David.David menghela napas salut pada Feyana yang tampak sangat peduli pada temannya yang satu sel dengannya itu. Bahkan sejak keluar dari penjara dirinya membuat jadwal rutin untuk menje