Feyana bangun pagi dengan tubuh yang jauh lebih segar dari semalam. Ia menguap lalu duduk di kasurnya. Memanggil seorang pembantu yang tak menunggu waktu lama langsung masuk kamar, melayaninya dengan sepenuh hati.
“Siapkan air hangat untukku mandi. Aku akan berendam dengan bunga mawar pagi ini,” ucap Feyana tanpa segan.
Pembantu mengangguk paham lalu undur diri memasuki kamar mandi untuk menyiapkannya. Feyana kembali memanggil seorang pembantu di luar kamarnya, meminta disiapkan pakaiannya.
Feyana berendam di bath-up dan santai ketika dipijat dengan lembut oleh pembantunya. Ia pasti akan rileks setelah mandi, lalu pergi menemui ayahnya.
Dengan langkah kaki ringan, ia menuruni anakan tangga. Kakinya berhenti melangkah ketika melihat ayahnya dan David sedang berbincang.
“Kalian sedang membicarakan apa?” tegur Feyana penasaran. Ketika dirinya kembali melangkah, David malah berdiri.
“Persiapkan dirimu, Nona Feyana! Oh iya, Tuan Erik, saya pamit undur diri kalau begitu,” celetuk David menyempatkan diri menepuk pundak Feyana.
Erik segera bangkit dengan tatapan nyalang, tertuju lurus pada punggung David yang melangkah keluar rumahnya. Kedua tangan Erik terkepal menahan kekalutan, menahan diri untuk tidak lepas kendali menghajarnya.
Feyana yang melihat ayahnya tampak kesal pada David, mencoba mempertanyakannya. Namun ayahnya hanya diam dan kembali ke kursi sambil memegangi leher
“Ayah, apa yang kalian bicarakan?” Lagi, Feyana mempertanyakan hal yang sama, namun mendapat gelengan tanpa jawaban.
Feyana ikut duduk di samping ayahnya, mengurut lehernya untuk membantu agar rileks. Ayahnya mendesah nafas berat, lalu memegang tangan Feyana untuk ia genggam erat-erat.
“Apa David membuat ayah tidak nyaman?” celetuk Feyana hanya menebak asal, namun ayahnya malah menganggukkan kepala.
“Feyana, apa dirimu bersedia jika menikah dengan David? Ayah tahu, pertanyaan ini sebaiknya jangan kukatakan di saat-saat seperti sekarang, mengingat kondisimu belum stabil. Tapi ayah hanya ingin bertanya, apa pendapatmu tentang David? Di luar dari dia membuat ayah kesal, dia cukup kompeten untuk segala hal.”
Feyana terhenyak mendengarnya. Ia memundurkan duduk memberi jarak lebih jauh dari ayahnya. Menatap sangsi ketika ayahnya menghela nafas lelah.
“Maafkan ayah sudah bertanya hal sensitif begini. Lupakan apa yang ayah katakan barusan! Ayah sudah cukup tenang, akhirnya kamu sudah kembali ke sisiku. Cukup itu, dan ayah hanya perlu itu,” ungkap Erik lalu mengelus pucuk kepala Feyana dengan lembut.
Senyum Feyana kembali muncul bersamaan dengan senyum samar ayahnya. Keduanya melanjutkan mengobrol beberapa hal ringan, sambil mengenang kenangan silam yang tak terlupakan.
*****
Malam harinya, Feyana dikejutkan oleh kedatangan David dengan kedua orangtuanya. Mereka datang membawa banyak seserahan dan tiba-tiba semuanya mendadak ramai. Feyana hanya diam mematung di atas balkon kamarnya.
David mendatangi kamarnya lalu berdiri di sebelah Feyana. Feyana tak berminat menyapa atau tak acuh dengan kehadiran David yang mengganggu waktu sendirinya.
“Sebenarnya apa yang kamu perbuat? Kenapa ayahku mau menjodohkanku denganmu? Kamu tahu sendiri, aku bukan lagi perawan. Bahkan pernikahanku baru kandas beberapa waktu lalu,” lontar Feyana setelah diamnya hampir 5 menit.
David tersenyum ketika mendengar pertanyaan yang dilempar padanya. Haruskah ia jawab dan jelaskan semuanya?
“Karena dirimu Feyana Charletta, wanita yang sejak kecil sangat kukagumi dan kudambakan untuk bisa kumiliki.”
David menghadap ke arah Feyana, menatap matanya lekat-lekat, lalu membubuhkan kecupan ringan yang membuat wanita di depannya mematung kaku.
Feyana menyentuh bibirnya dengan kikuk. “Ap–a yang barusan kamu lakukan? Kenapa menciumku tiba-tiba?”
David mencubit gemas pucuk hidung Feyana lalu bercelatuk, “Kamu sungguh tidak mengingatku, Fey?”
“Maksudmu? Memang siapa dirimu?” tanya Feyana bingung.
David menghembuskan nafas, berusaha menunjukkan senyumannya meski terlihat lelah. Ia saja selama ini selalu mengingat Feyana, tetapi wanita ini bahkan tidak ingat soal dirinya sama sekali. Feyana sungguh keterlaluan.
“Tidak ingat pada anak lelaki yang dulu suka menempel padamu kemana-mana? Di saat banyak anak lain mengucilkannya, hanya kamu yang mau berteman dengan anak lelaki itu.” David berusaha memberi petunjuk agar Feyana bisa ingat masa lalu mereka.
Kening Feyana mengerut sambil mengingat-ingat kenangan itu. Sebersit kejadian samar bergantian memenuhi otaknya, berebut untuk keluar lebih dulu. Hingga akhirnya mata Feyana sukses membola kaget ketika mengingatnya.
“Kamu anak laki-laki cupu itu? Astaga, mana mungkin. Kalian terlihat sangat berbeda, sungguh,” ungkapnya tak percaya.
David tersenyum bangga. Ia menyigar surai rambutnya dan menunjukkan jidat penuh pesona miliknya. “Akhirnya bisa mengingatku. Bagaimana? Apa aku terlalu tampan sampai kamu sulit mempercayai bahwa bocah ingusan itu sekarang menjadi pria sekeren ini?” ucapnya dengan sombong.
Feyana tertawa mendengarnya. Tak disangka bocah yang dulu penakut dan malu pada segala hal, berubah sangat berbanding terbalik. Pria di depannya ini, sekarang terlihat penuh keberanian dan pesonanya yang tak main-main. Feyana akui, David memang keren.
“Lalu, sekarang jelaskan kepadaku, kenapa kamu tiba-tiba ingin menikahiku?” tuding Feyana yang sudah berubah mimik wajahnya.
“Sudah kubilang sebelumnya, bahwa aku sejak lama ingin memilikimu, hanya untukku saja. Aku jatuh cinta padamu sejak kita masih kecil dulu, dan rasaku ini semakin membuncah ketika aku menemukanmu lagi.”
David menangkup wajah Feyana dengan tangannya, lalu mengelus lembut pipinya. Ia sudah lama mendambakan hal ini, memegang dan menyentuh wajah Feyana dengan tangannya sendiri. Feyana diam saja, membiarkan David bebas berkelana memegangi wajahnya, hingga berhenti cukup lama di bibirnya.
“Aku ingin memakan bibirmu, rasanya itu sudah seperti candu bagiku. Bolehkah aku melakukannya?” lontar David pelan dengan suara maskulinnya.
“Sean, ayo cepat keluar! Nanti terlambat ke sekolah, loh,” panggil Feyana yang sudah rapi berdiri di samping mobilnya. Ia beberapa kali melihat jam tangannya sambil berdecak resah karena rapat di kantornya akan dimulai sebentar lagi.Sean tampak keluar dari rumah dengan tas ransel yang hanya disampirkan di satu lengannya seraya berlari tergesa-gesa mendekati ibunya yang tampak kesal.Feyana melipat kedua tangan di dada sambil memicingkan mata ketika putranya itu berdiri di hadapannya. Bukannya merasa bersalah, Sean malah meringis menunjukkan deretan gigi rapinya itu, bermaksud membuat ibunya terbuai. Namun Feyana hanya diam melihatinya yang kemudian tampak salah tingkah.“Iya, maafkan aku, Mah. Tadi Sean bangunnya telat jadi terlambat begini. Sekarang, ayo berangkat keburu mamah ikutan telat ke kantornya!” elak Sean terdengar jujur.Feyana menjitak pelan kepala Sean sambil mendengus, “Makanya jangan begadang cuman untuk main game terus! Kamu pikir mamah gak tau kalau tiap malam kamu it
“Maaf, tapi kami sepakat untuk tidak menjawab pertanyaan tersebut. Bisakah, Anda menghargai privasi keluarga kami?!” sahut David menatap lurus dengan rahang yang mengeras pada wartawan itu.Wartawan yang mengajukan pertanyaan tampak gugup. Ia menatap ke arah teman-temannya yang sesama wartawan untuk minta bantuan, tapi tak ada satupun yang menghiraukannya. Mereka semua tentu tak mau berurusan dengan keluarga David yang akan merusak karier mereka dalam bidang ini. Tamat sudah riwayat wartawan wanita ini.David menyuruh seorang sekuriti yang berdiri tak jauh darinya. Hanya dengan jari telunjuknya, sekuriti itu mendekatinya dan mendengar bisikan David dengan baik. Sesuai perintah yang baru saja ia dapat dari atasannya, sekuriti itu berjalan mengendap lewat pintu belakang untuk membawa wartawan wanita tadi pergi meninggalkan ruangan.David kemudian memandang Feyana lalu memberinya anggukan meyakinkan bahwa semuanya akan aman.“Aku harap ini jadi pembelajaran bagi kalian semua untuk berhat
Feyana memandang nanar pada timbunan tanah yang ber-nisankan nama Sabrina. Air matanya terus bergulir meski sudah berulang kali diusap oleh suaminya yang berada di sampingnya. Kedua tangan Feyana sibuk menggendong Sean yang sedari tadi menangis. Sepertinya, bocah kecil ini menyadari bahwa ibunya sudah takkan lagi ada di dunia ini untuk menemaninya.Sayangnya Norma dan Imelda tidak bisa ikut ke pemakaman karena situasi mereka yang masih menjadi tahanan. Tentu saja ketika mendengar kabar kematian Sabrina dan kenyataan soal penyakitnya itu dari Feyana, mereka berdua sangat terpukul. Keduanya tak menyangka Sabrina tega menutupi kebenaran yang amat menyakitkan itu hanya agar tak membuat mereka khawatir.“Fey, ayo pulang. Kasihan Sean jika terus di sini, apalagi langit mulai mendung.” David mengajak Feyana pulang karena mereka sudah sangat lama di sana. Dirinya kasihan melihat wajah sembab istrinya dan tangisan pilu Sean yang tak kunjung reda.Feyana inginnya masih tetap di sana, namun meli
“Aku tak tahu pada siapa harus menitipkan Sean. Aku hanya percaya padamu, Fey.”Ucapan Sabrina itu terus-menerus terlintas di kepala Feyana. Ia pun berjalan tanpa minat ketika keluar dari rumah sakit, bahkan dia tak mengacuhkan David yang sedari tadi menatapnya penasaran. David ingin bertanya apa yang Feyana bicarakan dengan Sabrina sampai membuatnya tak fokus seperti sekarang, tapi melihat ratapan suram di mata Feyana membuatnya mengurungkan niat bertanya.“Fey, biar aku antar ke kantor aja, gak usah bawa mobil. Biar nanti si Joshua aku suruh ambil mobilmu di sini,” sergah David tidak yakin dengan Feyana yang kurang fokus ketika nanti menyetir di jalan.Feyana menggeleng dan ingin tetap menyetir sendiri, namun David mencegahnya dengan mengambil kunci mobilnya lalu menggandengnya agar masuk ke mobil David.“Aku tidak mau ambil risiko kamu kenapa-napa kalau tetap memaksa menyetir sendiri. Kita langsung menuju kantormu saja, aku antar,” tegas David tanpa boleh dibantah.Ketika sudah dud
Sabrina menatap nanar pada Feyana yang diam kaku tak berkutik setelah mendengar permintaannya yang terdengar gila. Sabrina akui dia tak memiliki siapapun yang bisa dipercayainya, bahkan keluarga saja sudah tak punya. Dirinya hanya memiliki Sean yang terpaksa dititipkannya di panti asuhan selama ia menjalani proses hukuman penjara.“Hanya kamu yang terlintas di pikiranku, Fey. Aku tentu takkan rela berikan hak asuh Sean pada ayahnya, si Leon. Bahkan pria itu saja tak tahu bahwa dia memiliki putra.”“Apa kamu sudah memikirkan keputusanmu itu matang-matang? Aku bukan beralasan mau menolak, tapi tanggung-jawab ini terlalu besar. Apa kamu seyakin ini padaku? Dan mau sampai kapan kamu menutupi kebenaran bahwa Sean adalah darah dagingnya Leon? Tidak ada yang bisa menutupi rahasia selamanya, Na.”Feyana mengusap air mata yang merembes di pipi Sabrina dengan sebelah tangan yang tidak digenggam oleh Sabrina. Baru kali ini ia melihat kesedihan teramat dalam di wajah Sabrina yang tergambar jelas.
Feyana pagi-pagi sudah gaduh tak karuan, membuat suaminya yang masih nyenyak bergelung di selimut merasa terusik. Sambil memperhatikan Feyana bolak-balik di kamar, David menegurnya perlahan.“Ada apa panik banget, sih? Gak biasanya kamu begini.’”Feyana hanya menoleh sekilas pada suaminya yang masih bersantai di kasur. Ia menjelaskan dengan sekedarnya kalau mendapat kabar jika Sabrina, salah satu temannya yang ada di sel penjara waktu itu sekarang sedang menjalani perawatan di rumah sakit, bahkan sampai harus opname.“Kalau sampai opname begitu, berarti sakitnya serius. Aku mau ke sana untuk melihat kondisinya. Semoga saja Sabrina tidak apa-apa,” lontar Feyana lalu menyabet tasnya yang ada gantungan.“Aku berangkat dulu, ya. Bye!” ujarnya sambil menyempatkan diri memberikan ciuman selamat pagi untuk David.David menghela napas salut pada Feyana yang tampak sangat peduli pada temannya yang satu sel dengannya itu. Bahkan sejak keluar dari penjara dirinya membuat jadwal rutin untuk menje