Share

Hari Pertama Sang Nona Muda

“Pak Reswara tidak bisa berkomunikasi dengan normal, karena kondisinya. Kami selalu mengusahakan perawatan terbaik untuk beliau,” jelas Widura penuh wibawa. Pria itu memiliki pembawaan yang sangat tenang dan terlihat cermat. 

“Memangnya, ayahku sakit apa?” tanya Laila penasaran.

“Pak Reswara mengalami komplikasi. Sejak Nona menghilang, situasi di rumah ini menjadi tidak menyenangkan lagi. Ditambah dengan kondisi mendiang ibu Anda yang juga begitu terpukul. Semuanya menjadi semakin buruk,” terang Widura. Pria paruh baya dengan kemeja lengan pendek itu terdiam sejenak, sambil memperhatikan Reswara yang tak berdaya.

Sesaat kemudian, Widura mengalihkan perhatian kepada Laila. “Sebaiknya, kita biarkan Pak Reswara beristirahat.” Pria paruh baya itu mengajak Laila keluar dari kamar. 

Sebelum beranjak dari sana, Laila menyempatkan diri mengecup punggung tangan sang ayah.

“Mari, Nona.” Widura mengisyaratkan agar Laila mengikutinya. Dia mengajak Laila melihat seluk-beluk rumah megah itu, hingga mereka tiba di ruang kerja. Widura mempersilakan Laila masuk ke sana. 

“Sejak Pak Reswara sakit parah, hanya saya yang sering masuk kemari. Kebetulan, Pak Adnan memiliki ruang kerja sendiri di rumah ini,” jelas Widura. Asisten kepercayaan Reswara tersebut mengambil beberapa dokumen, kemudian menyerahkannya kepada Laila yang tak memahami untuk apa pria itu melakukan demikian. “Silakan Nona periksa.”

Laila membuka salah satu dokumen tadi. Dia membacanya. Namun, meski telah dicermati, nyatanya Laila tak bisa memahami setiap rangkaian kata yang tertera di sana. “Apa ini?” tanya Laila seraya mengernyitkan kening. 

“Itu adalah laporan terbaru, dari perusahaan tambang yang dikelola oleh Pak Adnan. Seperti yang telah diketahui, bahwa Pak Reswara memiliki beberapa perusahaan yang bergerak di sektor berbeda. Untuk sektor pertambangan, dipercayakan kepada Pak Adnan selaku adik kandung Pak Reswara. Sementara, untuk perusahaan property, kebetulan saya yang menjadi wakil dari ayah Anda. Begitu juga dengan pabrik yang sudah sangat ternama di negara ini. First  Fish Tuna (F2T).”

Mendengar nama pabrik pengolahan ikan tersebut, seketika pikiran Laila tertuju kepada Aries. Namun, dengan segera Laila menepiskannya. 

“Lalu, untuk apa Pak Widura menunjukkan ini semua kepada saya, jika ketiga sektor tadi sudah ada yang memegang?” tanya Laila polos.

Widura tersenyum simpul. “Saya dan Pak Adnan hanya perwakilan, karena yang paling berhak adalah Nona Athalia. Itulah mengapa Anda harus mulai mempelajari semuanya dari sekarang,” jelas pria itu. 

Laila terkesiap. Dia hanya bisa ternganga. Wanita muda itu bingung harus berkata apa. 

“Saya tahu bahwa Nona baru datang kemari dan pasti butuh adaptasi terlebih dulu. Akan tetapi, sudah terlalu lama ada kekosongan. Walaupun Pak Reswara masih hidup, tapi kondisi beliau sudah tidak memungkinkan lagi untuk menangani segala urusan perusahaan. Karena itulah, saya gencar mencari keberadaan Nona, meski peluangnya hanya beberapa persen. Beruntung, karena detektif swasta yang disewa Pak Adnan akhirnya bisa menemukan jejak Suratman,” terang Widura.

Mendengar nama Suratman, seketika hati Laila seperti teriris. Namun, lagi-lagi dia harus menepiskan perasaan itu. 

“Lalu, saya harus bagaimana? Terus terang, saya tidak paham dengan segala hal yang berkaitan dengan urusan perusahaan,” ujar Laila. 

Widura kembali tersenyum. “Jangan khawatir. Kalau begitu, saya akan menyiapkan guru pembimbing untuk Nona. Nona bisa belajar di rumah secara privat. Selain itu, saya juga akan memberikan arahan-arahan yang bisa Nona ikuti nanti.” 

“Benarkah, Pak?” Laila tak percaya dengan apa yang didengarnya. 

“Nona adalah pewaris tunggal kerajaan bisnis milik Pak Reswara Hadyan. Sebagai orang kepercayaan ayah Anda, sudah menjadi tanggung jawab saya untuk menjaga kelangsungannya,” ucap Widura yakin. 

Laila mengangguk. Wanita cantik berambut panjang itu tersenyum lembut. “Terima kasih banyak atas loyalitas Pak Widura terhadap ayah saya. Beliau tidak salah memilih Anda sebagai orang kepercayaan.” 

Setelah perbincangan dengan Widura di ruang kerja, Laila kembali ke kamarnya. Di rumah itu, dia tak perlu lagi memikirkan segudang pekerjaan rumah tangga. Semua sudah ada yang mengatur. 

Laila tertegun saat dirinya baru memasuki kamar. Dia mendapati seorang gadis dengan rambut kuncir kuda, yang tengah merapikan setumpuk pakaian di kasur. “Kamu siapa?” tanya Laila penuh selidik. 

Gadis itu seketika menoleh. “Ah, Nona,” ucapnya dengan raut terkejut. “Sa-saya Dara. Saya ditunjuk Bu Mayang, untuk menjadi asisten pribadi Nona saat di rumah. Jadi, kalau Nona butuh apa-apa, bisa langsung bilang ke saya,” jelas gadis bermata belo tadi ramah. 

“Oh, baiklah. Terima kasih.” 

“Ah, tidak. Nona tidak perlu berterima kasih sama saya.” Dara mengalihkan perhatiannya pada tumpukan baju di atas kasur. “Saya akan menata pakaian baru ini dulu. Permisi.” Dara mengambil sebagian dari tumpukan baju tadi. Dia melangkah ke arah pintu, yang merupakan walk in closet. 

“Memangnya, itu baju siapa?” tanya Laila, yang membuat Dara langsung menoleh. 

“Ini baju baru punya Anda, Nona. Bu Mayang sengaja membelinya dari butik langganan beliau,” jawab Dara diiringi senyum. Dia bergegas masuk ke ruang pakaian di dalam kamar Laila. 

Laila terdiam sejenak, sebelum memutuskan keluar kamar. Niatnya adalah hendak menemui Mayang. Wanita itu ingin mengucapkan terima kasih kepada sang tante. 

Kebetulan, Mayang tengah berada di ruang bersantai. Istri Adnan tersebut sedang asyik membaca majalah. Tanpa ragu, Laila segera menghampirinya. 

“Tante,” sapa Laila ramah. 

“Hey, Sayang. Kamu sudah sarapan belum? Tadi, Tante tidak melihat kamu di meja makan.” Mayang menutup majalah yang sedang dirinya baca. 

Laila duduk di sebelah Mayang, dengan posisi setengah menghadap kepada wanita itu. “Terima kasih untuk baju-baju baru yang Tante belikan untukku,” ucapnya. 

“Astaga, Laila. Itu bukan apa-apa. Lagi pula, Tante lihat kamu memang butuh baju baru.” Mayang tersenyum lembut. “Nanti, ada guru kepribadian yang akan mengajari kamu tentang … um … intinya, dia akan membimbingmu tentang bagaimana cara duduk dan … kamu pasti sudah paham maksud Tante.” 

“Iya, Tante. Terima kasih. Pak Widura bilang, bahwa aku memang harus belajar beradaptasi di sini.” 

Mayang mengangguk diiringi senyum. 

“Ya, sudah. Kalau begitu, aku mau ke kamar lagi. Aku harus mencoba baju-baju baru yang Tante belikan tadi.” Laila berdiri dari duduknya. Dia berlalu meninggalkan Mayang. 

Tadinya, Laila akan langsung ke kamar. Entah mengapa, tiba-tiba dia ingin melihat halaman samping kediaman mewah sang ayah. Laila memutuskan ke sana terlebih dulu. Wanita itu melangkah tenang. Namun, saat hampir mencapai pintu menuju beranda samping, Laila memelankan langkah. Dia mendengar percakapan hangat antara pria dan wanita.

Laila berdiri beberapa saat di dekat pintu. Dari sana, dia melihat ada koridor panjang yang tak tahu menuju ke mana. Di koridor itu, Laila melihat Marinka tengah berciuman mesra dengan seorang pria yang dirinya kenal. 

“Pramoedya?” 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Fatmahany Bassayban
baru baca diawal ceritanya sudah menarik sekali,jadi penasaran kelanjutan ceritanya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status