“Lepaskan! Anda benar-benar tidak sopan!” sergah Laila. Dia harus kembali berjibaku, demi menyingkirkan cengkraman Pramoedya dari pergelangan tangannya. Laila bahkan sampai memukul-mukul lengan pria tampan berdarah Belanda tersebut.
Anehnya, Pramoedya tak merasa terganggu. Dia justru seperti menikmati, saat melihat Laila yang bersusah-payah melepaskan diri darinya. Pramoedya tersenyum nakal. Dia tak juga melepaskan cengkramannya.
“Anda ini benar-benar pengganggu!” Laila terdengar semakin kesal.
Namun, makin marah Laila, Pramoedya justru terlihat semakin senang. “Bisa diam tidak?” Pramoedya menarik tangan Laila yang tengah digenggamnya, hingga wanita cantik itu mendekat. “Sudah kubilang bahwa aku ingin bicara serius.”
“Perusahaan tambang?” ulang Laila seraya menautkan alis. “Kenapa harus ke sana?” tanya wanita dengan midi dress lengan pendek tersebut.“Karena aku tertarik. Itu saja,” jawab Pramoedya simpel. “Aku sudah beberapa kali mengajukan proposal kerja sama. Namun, entah mengapa Pak Widura selalu menolak dengan berbagai alasan. Kurasa, dia memang tidak menyukaiku. Karena itulah, orang kepercayaan ayahmu tersebut tak menghendaki jika aku bergabung di sana,” terang pria tampan, yang hari itu mengenakan T-Shirt lengan panjang berwarna merah hati.“Kenapa kamu berpikir bahwa Pak Widura tidak menyukaimu?” Laila memasang raut penasaran yang terlihat sangat polos. Dia seperti telah lupa, dengan rasa kesalnya terhadap Pramoedya.Pramoedya mengembuskan napa
Pramoedya terpaku sejenak, sebelum kembali menguasai diri. Si pemilik mata hazel tadi menggeleng, sebagai bantahan atas tuduhan yang dialamatkan padanya. “Mana mungkin,” sanggah pria itu. “Pikir saja sendiri, bagaimana caraku menyusupkan mata-mata ke dalam rumah seorang konglomerat tersohor seperti Keluarga Hadyan. Itu sama saja dengan bunuh diri,” kilahnya.“Jika memang seperti itu, lalu bagaimana kamu bisa memperoleh segala jenis informasi penting seperti yang kamu sebutkan tadi?” Laila masih terkesan menaruh curiga. Dia yakin bahwa Pramoedya merupakan pria yang cerdas, dan menguasai segala trik dalam bisnis. Termasuk cara kotor sekalipun“Anggap saja itu rahasia perusahaan. Aku tidak harus menjabarkan secara detail, karena yang terpenting adalah hasil akhir. Kamu mendapat keuntungan, begitu juga dengan diriku. Seperti yang sudah kubilang sebelumnya. Simbiosis mutualisme.”“Ah, omong kosong,&rdq
Marinka mendengkus kesal. Sambil merajuk, dia menghadapkan tubuh kepada Mayang. “Apa menurut Mama aku kalah cantik dibanding Laila?” Pertanyaan yang terdengar sangat kekanak-kanakan, terlontar dari bibirnya.“Ya ampun.” Mayang tidak berniat menjawab. Dia hanya berdecak pelan seraya menggelengkan kepala. Tanpa mengatakan apa pun, wanita paruh baya itu berlalu dari hadapan putrinya.Melihat sikap sang ibu yang terkesan tak peduli, membuat kekesalan dalam diri Marinka kian memuncak. “Mama!” panggilnya. Marinka menghentak-hentakkan kaki ke lantai. Dia bergegas menyusul Mayang yang sudah berlalu dari koridor.“Jika Mama terus bersikap begini, maka aku akan bertindak sendiri!” gertak Marinka seraya menyejajari langkah Mayang menuju kamar.
“Apa? Bagaimana kondisinya sekarang?” Paras cantik Laila terlihat tegang, setelah mendengar kabar mengejutkan dari Widura. “Baiklah. Aku akan segera ke sana.” Laila mengakhiri sambungan telepon. Dia menatap Elang yang terlihat penasaran.“Ada apa?” tanya Elang ikut khawatir.“Ayah … dia ….”Belum sempat Laila melanjutkan kata-katanya, Pramoedya lebih dulu meraih pergelangan wanita cantik itu. “Biar kuantar pulang.” Tanpa berpamitan terlebih dulu kepada Elang, dia langsung menuntun Laila menuju mobilnya terparkir.“Lepas! Kamu benar-benar tidak sopan!” protes Laila tegas.“Kamu mau tetap di sini menunggu mobil derek datang?” balas Pramoedya. “Masuk!” Dia menyuruh Laila ke dalam mobil. Nada bicaranya memang pelan, tapi terdengar cukup tegas.“Tapi, aku ….” Laila sempat menoleh kepada Ela
“Apa perlu saya selidiki, Pak?” tawar Damar pelan.“Jangan dulu. Kita tidak boleh gegabah. Jangan sampai Laila justru berpikir negatif tentang saya.” Pramoedya terus mengarahkan perhatiannya kepada Elang, yang lagi-lagi memperlihat sikap manis serta perhatian kepada Laila. Sesuatu yang dirasa semakin mengusik relung hati Pramoedya.Pria tampan itu mengalihkan perhatian ke arah lain. Sial! Pandangannya justru tertuju kepada Marinka, yang tengah berjalan mendekat. “Ck!” Pramoedya terlihat tak suka. Dia menggaruk pelipis, saat Marinka sudah berdiri di hadapannya.“Bisa bicara sebentar?” tanya Marinka serius.“Tidak,” jawab Pramoedya singkat. Tanpa basa-basi sedikit pun.
Kartika langsung terbelalak mendengar ucapan Laila. Seketika, bayangan indah tentang segala kemewahan yang sudah menari-nari di pelupuk, menjadi hilang tanpa sisa. Kartika melotot tajam. “Apa maksud kamu, La? Kamu mau menjadikan ibu mertuamu sebagai pembantu?” protes ibunda Aries tersebut tak terima. Menerima protes keras yang Kartika layangkan, tak membuat Laila menjadi takut. Wanita muda pewaris harta kekayaan melimpah dari Reswara Hadyan itu, justru tersenyum puas penuh kemenangan. Laila melipat kedua tangan di dada, dengan dagu sedikit terangkat. “Siapa yang jadi menantu Ibu?” Nada pertanyaannya terdengar ketus. “Asal Ibu tahu! Aku dan Mas Aries sudah resmi bercerai.” Laila mengeluarkan surat cerai yang sudah Aries tanda-tangani tadi. Dia menunjukkannya kepada Kartika. “Lihat ini, Bu. Aku bukan lagi menantumu. Jadi, tidak ada kewajiban bagiku harus memperlakukanmu dengan cara seperti apa.” Laila tersenyum puas. “Dasar menantu kurang ajar! Saya mau pulang saja!” Kartika membalik
Ucapan Pramoedya sepertinya tak memerlukan jawaban dari Widura, karena Laila lebih dulu keluar dari kendaraan. Sejenak, wanita cantik itu terpaku menatap pria yang tengah memandang ke arahnya. Sejak kepergian Reswara, baru kali ini mereka kembali bertemu.Senyuman kalem terlukis di bibir Pramoedya. Pria berdarah Belanda itu melangkah gagah ke arah di mana Laila berdiri. “Semoga kamu tidak sedang sibuk,” ucapnya tanpa melepaskan tatapan, dari paras cantik wanita yang kini telah resmi menyandang status janda.“Aku baru pulang dari pabrik. Apa ada sesuatu yang penting?” tanya Laila, yang berusaha keras menepiskan debaran aneh dalam dada. Sesuatu yang selalu terjadi, setiap kali dirinya berhadapan langsung dengan Pramoedya.“Bisakah kita bicara empat mata saja?” Pramoedya
“Kalian!” Sepasang mata Marinka terbelalak lebar, mendapati adegan yang pasti akan menjadi mimpi buruk baginya. Wanita muda itu menatap tajam Laila, lalu beralih kepada Pramoedya. “Apa yang kalian lakukan?” “Marinka … aku … kami ….” Laila tampak serba salah. Dia sampai kebingungan harus berkata apa.Lain halnya dengan Pramoedya. Pria tampan dengan T-Shirt lengan panjang itu tetap terlihat tenang. Tak ada rasa bersalah sedikit pun dari raut wajahnya. Pria tampan bermata hazel tersebut bahkan tampak senang, karena Marinka memergoki apa yang dia lakukan bersama Laila. “Kalian berdua benar-benar keterlaluan!” Suara Marinka meninggi. Menandakan kemarahan luar biasa dalam diri, yang akan segera meluap ke permukaan. Dia membalikkan badan, bermaksud hendak pergi dari sana. “Tunggu, Rin!” cegah Laila cukup nyaring, seraya berlari keluar. Laila berusaha menyusul sepupunya yang beranjak dari sana.Sementara, Pramoedya hanya tersenyum simpul. “Ratu drama,” gumamnya, sambil melangkah keluar. D