Share

Wanita Penghibur Istimewa

Keesokan harinya, Aries kembali membawa Laila ke tempat Lucy. Dia disambut oleh seorang wanita, yang kemarin mengantar Laila ke dalam mobil milik Wira.

“Hai, Sel,” sapa Aries. Lagi-lagi, sikapnya terlihat sangat hangat dan akrab. “Carikan tamu lagi untuk istriku,” bisiknya. 

“Jam segini? Astaga, Ries.” Si wanita berdecak pelan. Sebelum dirinya kembali bicara kepada pria itu, dering panggilan lebih dulu masuk. “Ya, madam?” sapanya, kemudian manggut-manggut. Sesaat kemudian, panggilan berakhir. 

“Kebetulan sekali, Ries. Bule kaya itu sepertinya tertarik sama istri kamu,” ujar wanita tadi.

“Bukannya itu bagus, Sel? Aku lagi butuh uang banyak sekarang,” ujar Aries. 

“Ya, sudah. Sebentar lagi, ajudannya datang buat jemput istri kamu.” 

Sesuai dengan yang wanita itu katakan, Damar tiba sekitar sepuluh menit kemudian.

Laila yang tak ingin banyak membantah, ketika wanita tadi mengantarnya ke dekat mobil. Setelah itu, anak buah germo bernama Lucy tersebut kembali masuk. Dia meninggalkan Laila yang berdiri kikuk. 

“Siang, Mbak,” sapa Damar sopan. 

“Siang, Mas,” balas Laila tak kalah sopan. 

“Silakan masuk. Pak Pram sudah menunggu di dalam,” ucap Damar seraya membuka pintu mobil.

Seketika, Laila terpaku. Napasnya seakan tercekat di tenggorokan, saat melihat pria tampan yang telah memberinya uang tujuh juta, ada di dalam mobil sedan mewah tadi. 

“Masuklah, Laila,” suruh pria yang memperkenalkan diri dengan nama Wira. Akan tetapi, Damar justru memanggilnya dengan sebutan Pak Pram. 

Ragu. Laila melangkah semakin mendekat, lalu masuk. Setelah itu, barulah Damar menutup pintu. Dia bergegas ke belakang kemudi. 

Laila duduk terdiam di jok belakang bersama pria berwajah bule tadi. Dia tahu bahwa pria itu terus memperhatikannya. Namun, Laila pura-pura tak peduli. Wanita cantik dengan pakaian sederhana tersebut, menatap lurus ke depan. 

“Apa kita akan langsung ke apartemen, Pak?” tanya Damar. 

“Ya,” jawab pria bermata hazel itu. 

Beberapa saat kemudian, sedan hitam yang Damar kendarai telah tiba di tempat tujuan. Laila kembali dibawa ke ruang apartemen mewah, yang membuatnya harus rela melepaskan kehormatan serta harga diri, sebagai wanita yang memegang adat ketimuran. Kali ini, hal serupa mungkin akan terulang kembali. 

“Selamat datang, Laila. Meskipun kamu mengatakan bahwa kita tidak akan bertemu lagi, tapi aku memiliki kuasa. Akulah yang menentukan.” Sang pemilik tempat itu berdiri di hadapan Laila. Menatap lekat, seakan tengah menikmati kecantikan yang baru dilihatnya. 

“Siapa nama Anda sebenarnya?” tanya Laila, membalas tatapan pria tampan tadi.

“Aku tidak pernah menyebutkan nama asli kepada wanita penghibur manapun. Kamu mendapat pengecualian. Namaku Pramoedya Ekawira van Holst,” ucap pria itu, sambil menyentuh bibir Laila menggunakan ibu jari.

“van Holst?” Laila mengernyitkan kening. 

“Ya. Itu merupakan nama belakang ayahku. Dia berasal dari Belanda. Sedangkan, ibuku adalah wanita pribumi sepertimu,” ucap pria bernama asli Pramoedya tadi, kemudian mencium Laila.

Kali ini, Laila tidak menolak. Dia berusaha menikmati apa yang dilakukannya. Jika Aries memanfaatkan dirinya demi kepentingan sendiri, maka Laila pun bisa bekerja sambil bersenang-senang. Walaupun, di sisi lain dia harus menanggalkan segala norma tentang adat ketimuran. 

Amarah dan sakit hati bercampur menjadi satu. Perasaan terhina serta tak berdaya, membuat Laila mencoba mencari jalan lain demi mengobati diri. Dia sudah terlanjur jatuh dan menjadi murahan. Tak gunanya lagi mempertahankan apa yang menjadi ideologinya. Terlebih, yang dia hadapi kali ini adalah pria setampan Pramoedya. 

“Berapa yang kamu inginkan untuk kencan kita kali ini?” tanya Pramoedya dengan suara beratnya. Pelan dan dalam, tapi terdengar jelas di telinga Laila. 

Hanya dengan mendengar suara serta helaan napasnya, angan dalam diri Laila seketika memberontak. Pikiran nakal mulai bertahta, dan memenuhi benak wanita dua puluh lima tahun tersebut. Laila memejamkan mata sejenak, demi mengembalikan segala akal sehat yang mulai tergoda rayuan setan. Bisik penuh keindahan memaksanya menunjukkan sisi liar, yang selama ini tersembunyi di balik segala keluguan. 

“Dua puluh juta,” jawab Laila tanpa ragu. Lagi-lagi, angka itu yang keluar dari bibirnya. 

“Dua puluh juta?” ulang Pramoedya diiringi senyum kalem. “Aku bisa mendapatkan uang sebanyak itu hanya dalam beberapa menit. Tak masalah jika kubagi sedikit denganmu," ujarnya.

“Sungguh?” Sepasang mata Laila berbinar. Dia tak percaya, bahwa Pramoedya bersedia memberikan yang dirinya pinta.

Pramoedya tidak menjawab dengan kata-kata. Pria itu kembali memamerkan senyumnya yang menawan. “Kamu sudah tahu apa saja persyaratannya,” ucap sang pemilik ruang apartemen super mewah tersebut. Dia mengajak Laila ke kamar. “Temani aku mandi,” pintanya bernada perintah.

Laila tak bisa menolak. Wanita itu pasrah, ketika Pramoedya melucuti seluruh pakaiannya, lalu menuntun ke kamar mandi. Mereka masuk ke shower box. Laila melakukan sedikit ritual di dalam sana, demi memanjakan bule tampan kaya raya tadi.

“Aku suka saat kamu melakukan ini,” ucap Pramoedya, dengan helaan napas berat. Sesaat kemudian, pria itu membantu Laila bangkit.

“Bagaimana jika kuberi lebih?” tawar Pramoedya, saat mereka berdiri di bawah guyuran air dari shower.

“Apa imbalannya?” tanya Laila. 

“Kamu sudah tahu,” jawab pria bermata hazel tadi seraya mengangkat tubuh Laila, lalu menyandarkannya ke dinding. Ciuman mesra menjadi pembuka, babak kedua percintaan panas yang kembali terulang. 

Menjelang petang, Pramoedya mengakhiri kencan akhir pekannya bersama Laila. Dia mengantar wanita itu pulang. Bagi seseorang yang berasal dari kalangan atas seperti dirinya, ini adalah pertama kali mengunjungi kawasan padat penduduk dengan jalan cukup sempit. 

“Kamu tinggal di sini?” tanya Pramoedya, seraya menatap aneh kepada Laila. 

Laila mengangguk. “Aku tinggal di rumah mertua. Sebelum menikah, aku bahkan hidup di panti asuhan,” jawab Laila. Sepertinya, dia sudah mulai menemukan kenyamanan dalam diri Pramoedya. 

Pramoedya menggumam pelan. Dia tak tahu harus menanggapi bagaimana. 

“Setelah mengantar uang ini, apakah aku boleh ikut dengan Anda?” tanya Laila ragu.

“Apa maksudmu ikut denganku?” Pramoedya menaikkan sebelah alisnya, karena tak mengerti.

“Tadi, Anda bilang bahwa aku mendapat pengecualian. Kupikir, itu berlaku untuk hal lain juga,” ucap Laila lesu.

Pramoedya tersenyum simpul. “Laila, Laila,” ucapnya diiringi decakan pelan. “Aku sudah membayarmu. Artinya, kebersamaan kita berakhir setelah transaksi selesai. Jika aku memberimu pengecualian, itu karena aku menghendakinya. Bukan berarti lebih,” jelas Pramoedya penuh wibawa. 

Laila merasa tertampar dengan ucapan pria tampan itu. Seharusnya, dia sadar diri sejak awal. “Maaf,”  ucap Laila seraya meremas tali tas. Dia membuka pintu mobil, kemudian bergegas keluar tanpa menoleh lagi. Wanita itu merasa malu dan teramat bodoh.

“Dari mana, Nak? Apa yang ada dalam tas itu?” Pertanyaan tadi seketika membuat Laila tersadar. Dia mendapati Suratman, sudah berdiri di teras rumah.

Comments (4)
goodnovel comment avatar
Hanifa Maulani
aku suka novelnya
goodnovel comment avatar
Komalasari
Jangan diculik ya, kak
goodnovel comment avatar
Akun Cadangan
Suka dengan tokoh Pramoedya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status