Laila tertegun sejenak. “Kupikir, Bapak belum pulang,” ucapnya, seraya berusaha menyembunyikan rasa gugup dengan tersenyum.
“Bapak baru datang. Pak Wisnu pulang lebih cepat dari Kuala Lumpur.” Suratman menatap penuh selidik kepada Laila. “Itu apa, La?” tanyanya lagi.
Laila berusaha menetralkan rasa gugupnya terlebih dulu. Barulah dia menghampiri Suratman. “Ini … ini pakaian bekas. Bu Narti menyuruhku ke rumahnya. Dia memberikan beberapa baju yang masih layak pakai,” jelas Laila berbohong.
Seketika, raut wajah Suratman berubah sendu. Terenyuh hatinya mendengar ucapan Laila. “Apa Aries tidak pernah memberimu uang untuk beli baju baru?”
Laila menggeleng pelan. Boro-boro membelikan baju baru, Aries justru tega menjualnya demi mendapatkan uang.
“Apa Bapak mau kopi?” tanya Laila, mengalihkan topik pembicaraan.
Belum sempat Suratman menjawab, Aries lebih dulu muncul. Dia khawatir, jika Laila berkata jujur kepada sang ayah. “Sudah pulang, La. Ayo, aku butuh bantuanmu.” Tanpa menunggu jawaban sang istri, dia langsung menariknya masuk.
Setelah berada di kamar, Aries menutup pintu rapat-rapat. “Jangan sampai ibu tahu, kalau kamu pulang bawa uang. Bisa-bisa, dia mengambil seenaknya seperti kemarin,” bisik pria itu.
Laila memberikan tas yang dijinjingnya tanpa banyak bicara. Sikapnya membuat Aries sedikit heran.
“Berapa jumlah uang ini?” tanya Aries setelah membuka resleting tas tadi.
“Hari ini dia sangat baik. Pria itu bahkan menyebutkan nama lengkap. Sesuatu yang katanya tidak pernah dilakukan pada wanita bayaran manapun, yang pernah kencan dengannya,” ucap Laila menerawang. Entah sadar atau tidak, karena dia memberikan jawaban yang tak sesuai dengan pertanyaan.
Sesaat kemudian, Laila tersenyum kecil. “Kami mandi bersama. Dia ….” Angannya kembali pada adegan dalam shower box bersama Pramoedya. Laila terus tersenyum, sehingga membuat Aries kian heran.
Senja mulai datang menyelimuti kota. Suasana memang belum terlalu gelap. Namun, matahari sudah tak terlihat lagi.
Laila kembali ke teras menghampiri Suratman. “Mau kubuatkan kopi, Pak?” tawarnya.
Suratman menoleh. “Nanti saja, La. Bapak baru selesai ngasih makan si Pajero,” sahut pria itu, seraya kembali mengarahkan perhatian pada burung Murai dalam sangkar.
Laila tersenyum lembut. Jika Suratman ada di rumah, hatinya merasa tenang dan seperti terlindungi. Kartika apalagi Aries, tak berani melawan ayah dua anak tersebut. “Bagaimana pekerjaan Bapak?”
Suratman menoleh, lalu duduk di sebelah Laila. “Rasanya, Bapak tidak sanggup lagi kalau harus kerja jadi satpam,” ucap pria paruh baya tersebut, dengan tatapan menerawang pada langit yang mulai gelap.
“Jadi, Bapak mau berhenti kerja?”
“Entahlah. Kalau Bapak berhenti kerja, kasihan Aries harus menanggung beban sendirian. Cicilan rumah ke bank masih ada sisa beberapa juta lagi,” jawabnya bimbang.
“Kalau begitu, Bapak berhenti kerja saja. Biar aku ….” Laila terdiam, karena melihat ada empat orang datang ke sana. Seorang pria dengan wanita seusia Kartika, yang ditemani dua pria lain berjaket kulit. Laila langsung berdiri. Dia mengira bahwa orang-orang itu pasti datang untuk menagih utang.
Begitu juga dengan Suratman. Pria itu sangat terkejut. Dia bahkan terlihat gelisah.
“Akhirnya, kami menemukan alamat ini,” ucap pria dengan T-Shirt Polo merah marun “Apa kabar, Suratman? Masih ingat saya dan Mayang?”
“A-i-iya, Pak. Kabar saya … kabar saya sangat ba-baik,” jawab Suratman tergagap. “Sa-saya ti-tidak mungkin lupa kepada Pak Adnan dan Bu Mayang,” ucap Suratman lagi, berusaha kembali tenang.
“Baguslah,” ujar pria bernama Adnan tadi. Dia menoleh sekilas kepada wanita di sebelahnya.
“Langsung saja, Pa. Aku tidak mau berlama-lama di tempat seperti ini,” bisik wanita itu. Dia adalah Mayang, istri Adnan.
Adnan menatap lekat Suratman. Pria dengan rambut yang tersisir rapi ke belakang tersebut mengembuskan napas pendek. “Baiklah, Suratman. Saya rasa, kamu pasti sudah tahu maksud kedatangan kami kemari. Tidak perlu banyak basa-basi. Katakan sekarang juga, di mana kamu menyembunyikan Athalia?” tegas dan penuh penekanan, pertanyaan yang Adnan layangkan kepada Suratman.
Suratman menjadi agak limbung. Untung saja, dia masih dapat menahan keseimbangan tubuh. Pria itu menoleh kepada Laila, yang tak mengerti maksud Adnan.
Namun, Adnan sepertinya paham akan makna dari tatapan Suratman terhadap Laila. Dia mendekat, lalu mengamati kalung yang Laila kenakan. “Athalia,” ucapnya.
“Athalia?” ulang Laila seraya mengernyitkan kening. “Tidak, Pak. Anda salah. Nama saya Laila,” bantahnya. Dia merasa risi, karena Adnan terus mengamati kalung yang dirinya kenakan.
“Lihat ini, Ma.” Adnan tak memedulikan bantahan Laila. Dia memberi isyarat agar Mayang ikut memeriksa kalung yang Laila kenakan.
Mayang segera mendekat. Sesaat kemudian, wanita dengan penampilan elegan tersebut menatap tak percaya kepada sang suami. “Ya, Tuhan! Dia memang Athalia, Pa! Keponakan kita!” Mayang langsung memeluk Laila. “Setelah belasan tahun mencari, akhirnya kami menemukanmu,” ucapnya penuh haru.
“Maaf, tapi saya tidak mengerti maksud Anda.” Laila berusaha melepaskan pelukan Mayang.
Mayang akhirnya melepaskan pelukan dari Laila. Dia menyeka air mata, lalu kembali ke dekat Adnan. Sorot mata wanita itu sangat tajam, terarah kepada Suratman yang tampak serba salah. “Tangkap dia sekarang juga!” tunjuknya. Membuat Suratman seketika tersentak.
Tak hanya Suratman. Kartika dan Aries yang baru muncul di teras juga ikut terkejut. Kartika langsung naik pitam. Dia berjalan ke hadapan Mayang, seakan hendak menantang berkelahi wanita itu. “Heh, Bu! Jangan mentang-mentang Anda orang kaya, sehingga bisa seenaknya! Atas dasar apa Anda ingin menangkap suami saya?”
“Bu, tenanglah.” Aries segera menarik mundur Kartika, meski wanita paruh baya itu menolak. Dia ingin menjambak rambut Mayang terlebih dulu.
“Istrimu benar-benar kurang ajar dan tak tahu tata krama, Suratman!” Mayang menunjukkan rasa tak suka atas sikap Kartika.
“Anda yang tidak tahu tata krama! Datang ke rumah orang tanpa permisi. Seenaknya mau nangkap suami saya! Memangnya Anda berdua ini siapa? Presiden? Menteri? Cuih!” Kartika meludah ke samping, karena terlalu emosi.
Menyaksikan keributan itu, kedua pria berjaket kulit tadi langsung mengambil tindakan. Salah satu dari mereka melangkah maju, bermaksud melerai pertengkaran yang berlangsung. “Bisakah kita membicarakan ini secara baik-baik? Sekarang sudah malam. Rasanya tak etis membuat keributan yang dapat menimbulkan ketidaknyamanan bagi warga sekitar,” sarannya. Dia menoleh sekilas pada tetangga Suratman, yang dengan tenang menonton keributan tersebut.
“Kita bisa bicara di dalam.” Aries mengarahkan tangan ke dalam rumah.
Mereka setuju. Termasuk Kartika, yang terus menyeringai kepada Mayang dan Adnan.
“Begini. Saya Iptu Bachtiar dari Polsek Metro. Pihak kami mendapat laporan dari Pak Adnan, bahwa dia sudah menemukan keponakan yang hilang karena dibawa lari oleh satpam di kediaman Keluarga Hadyan. Orang itu adalah Bapak Suratman Sudrajat,” jelas sang petugas
“Apa? Itu tidak mungkin!” protes Kartika, kembali naik pitam.
“Tenanglah, Bu,” cegah Aries. Dia yang sangat mengenal watak Kartika, langsung menarik mundur wanita paruh baya itu. Aries bahkan sampai harus memegangi kedua lengan sang ibu, yang kembali hilang kendali. “Kami datang kemari untuk meminta keterangan secara langsung dari Pak Suratman sendiri. Akan tetapi, tentu saja tidak di sini. Jadi, kami sarankan agar Pak Suratman bisa ikut ke kantor secara baik-baik. Mari bekerja sama, agar kasus ini bisa terkuak dengan jelas,” ucap sang petugas lagi baik-baik.“Suami saya orang baik, Pak polisi! Dia tidak mungkin menculik anak orang! Lagi pula, selama ini dia sangat menyayangi Laila!” sanggah Kartika berapi-api, sambil terus menunjuk-nunjuk kepada petugas polisi tadi. Sesaat kemudian, Kartika mengalihkan perhatian kepada Adnan dan Mayang. “Anda berdua ini sebenarnya siapa? Kenapa main tuduh saja terhadap suami saya! Lagi pula, Laila itu yatim piatu! Dia anak panti asuhan. Mana ada ….”“Laila keponakan kami yang dinyatakan hilang, saat berusia d
“Pak Reswara tidak bisa berkomunikasi dengan normal, karena kondisinya. Kami selalu mengusahakan perawatan terbaik untuk beliau,” jelas Widura penuh wibawa. Pria itu memiliki pembawaan yang sangat tenang dan terlihat cermat. “Memangnya, ayahku sakit apa?” tanya Laila penasaran. “Pak Reswara mengalami komplikasi. Sejak Nona menghilang, situasi di rumah ini menjadi tidak menyenangkan lagi. Ditambah dengan kondisi mendiang ibu Anda yang juga begitu terpukul. Semuanya menjadi semakin buruk,” terang Widura. Pria paruh baya dengan kemeja lengan pendek itu terdiam sejenak, sambil memperhatikan Reswara yang tak berdaya. Sesaat kemudian, Widura mengalihkan perhatian kepada Laila. “Sebaiknya, kita biarkan Pak Reswara beristirahat.” Pria paruh baya itu mengajak Laila keluar dari kamar. Sebelum beranjak dari sana, Laila menyempatkan diri mengecup punggung tangan sang ayah. “Mari, Nona.” Widura mengisyaratkan agar Laila mengikutinya. Dia mengajak Laila melihat seluk-beluk rumah megah itu, hi
Laila memalingkan wajah, karena tak nyaman melihat adegan seperti itu. Terlebih, yang menjadi ‘lawan main’ Marinka adalah Pramoedya.Segala kekaguman yang pernah Laila rasakan terhadap pria berdarah Belanda itu, seketika sirna dari hatinya. Laila sadar, bahwa Pramoedya pasti akan lebih memilih wanita seperti Marinka yang cantik dan berpenampilan modis serta modern. Selain itu, Marinka juga tentunya berpendidikan tinggi. Pramoedya yang sudah menghentikan pertautannya dengan Marinka, menoleh ke arah Laila yang segera berlalu ke beranda samping. “Siapa dia?” tanya pria tampan bermata hazel tersebut. “Dia Athalia. Sepupuku yang baru kembali ke rumah ini,” jawab Marinka tak acuh. Dari cara dan sikapnya saat membicarakan Laila, tampak jelas bahwa putri pasangan Mayang dan Adnan tersebut tidak menyukai kehadirannya di sana. “Athalia?” ulang Pramoedya seraya menaikkan sebelah alisnya. Marinka hanya mengangguk. “Jangan macam-macam. Aku tidak akan memaafkanmu, bila sampai kamu ketahuan m
Laila mendelik sembari tersenyum puas. “Hantaman itu tidak seberapa, dan tak akan membuat Anda jadi hilang kejantanan,” cibir wanita cantik tadi sinis. Dia mendorong tubuh Pramoedya. Pria tampan tersebut masih meringis menahan rasa ngilu, di bagian ‘pusat tata surya’ yang Laila hantam dengan lutut.“Kamu ….” Pramoedya tampak begitu gemas. Tangannya bergerak cepat meraih pergelangan Laila, lalu menarik dan kembali menyandarkan wanita itu ke dinding. Kali ini, pria berdarah Belanda tersebut lebih berhati-hati, dalam mengantisipasi hal buruk yang mungkin akan Laila lakukan lagi terhadap dirinya.“Lepaskan aku!” Laila mencoba berontak. Namun, tenaga Pramoedya terlalu kuat untuk dilawan.“Bisa diam tidak? Kalau kamu terus berontak, jangan sala
“Apa? Jangan mengada-ada kamu!” Marinka melotot tajam. Nada bicaranya pun terdengar jauh lebih tidak bersahabat dibanding sebelumnya.“Mana mungkin saya berani bicara bohong sama Non Marinka. Bisa-bisa, nanti saya malah dipecat dari sini,” bantah Lena meyakinkan. Tampaknya, dia sudah terbiasa dengan sikap ketus wanita muda itu.“Apa yang mereka berdua lakukan di sana?” tanya Marinka bernada mendesak. Raut wajahnya sudah terlihat tak karuan, karena tidak sabar atas berita yang akan Lena sampaikan.Lena terdiam sejenak, sebelum mulai bercerita. “Saya memang tidak bisa mendengar jelas apa yang mereka bicarakan. Namun, saya melihat Pak Pram memperlakukan Non Laila, seolah-olah mereka sudah saling mengenal sejak lama,” tutur Lena dengan gaya bicara, yang mencerminkan seberapa licik dirinya.“Perlakuan seperti apa maksudmu?” Rasa penasaran dalam diri Marinka kian bertambah. Berp
Di kediaman Keluarga Hadyan, semua orang tengah sibuk mempersiapkan pesta yang diselenggarakan untuk penyambutan Laila. Sementara, Laila sendiri tengah memanjakan diri di salon kecantikan dengan ditemani Mayang dan Dara. Namun, tentunya Dara hanya menjadi penonton dua wanita dari keluarga kaya tadi. “Kapan-kapan, Tante akan mengajak kamu ke klinik kecantikan langganan Tante. Siapa tahu, kamu ingin konsultasi dengan dokter ahli,” ucap Mayang, seraya menoleh sekilas kepada Laila yang tengah menjalani perawatan kuku. “Tentu, Tante. Aku mau,” balas Laila senang. Dia mengarahkan pandangan ke cermin. Menatap perubahan yang telah membuat wanita muda itu menjadi semakin cantik. Laila merasa puas. Meski dia pernah merasa hancur dan merasa begitu rendah, tapi kali ini harga dirinya kembali terangkat berkali lipat. “Terima kasih, Tuhan,” ucap Laila pelan, saat dirinya sudah kembali ke rumah. Wanita cantik berambut panjang itu duduk di dekat tempat tidur, di mana sang ayah terbaring lemah. La
Pramoedya tersenyum kalem. Terlebih, saat Laila menoleh ke arahnya sambil tersenyum manis. Pria itu sudah sangat percaya diri. Dia bersiap hendak berjalan menghampiri wanita cantik dengan maxi dress satin model v neck warna silver, yang berdiri beberapa langkah di hadapannya. Namun, Pramoedya langsung terpaku, saat menyadari bahwa perhatian Laila ternyata bukan tertuju padanya.Adalah Elang, pria yang lebih dulu menghampiri Laila. Mereka bersalaman dan saling melempar senyum. Keduanya juga tampak berbincang sebentar, sebelum Adnan membuka acara itu.“Terima kasih atas kesediaan saudara-saudara semua, yang telah meluangkan waktu untuk menghadiri pesta kecil-kecilan ini. Saya atas nama perwakilan dari Keluarga Hadyan. Kebetulan, karena kakak saya Reswara Hadyan saat ini masih terbaring sakit. Sehingga, tidak memungkinkan bagi beliau untuk ikut serta dan menyambut anda sekalian di sini.” Adnan membuka pesta itu dengan sapaan hangat dan agak formal.
“Kerja sama seperti apa maksud Anda, Pak Pramoedya?” tanya Laila.Pramoedya menggumam pelan. Pria tampan dengan setelan jas rapi tadi kembali tersenyum. “Bagaimana jika kita bahas sambil makan malam berdua?” tawarnya tanpa ada beban sama sekali.“Maaf, tapi dalam beberapa hari ini aku benar-benar sibuk. Ada banyak hal yang harus dipelajari dan …. ah, Pak Elang.” Laila langsung mengalihkan perhatian kepada Elang, yang datang menghampiri mereka. “Saya harap Anda menikmati pesta ini,” ucap Laila ramah dan penuh senyum. Sangat berbeda dengan sikapnya terhadap Pramoedya.“Tentu saja. Ini pesta yang luar biasa,” balas Elang. Dia menoleh kepada Pramoedya yang terlihat kurang nyaman, karena merasa terganggu. “Pak Pramoedya?” sap