"Itu tidak akan terjadi, Bu! Aku tidak akan mengkhianati istriku!"
Rasa lega berpendar dalam hati Alana. Ia yakin jika Kevin tidak akan melakukan itu. Ia sangat percaya jika Kevin setia seperti komitmennya dari awal menikah. "Kamu perlu generasi penerus perusahaan, Kevin!" Suara Yuni meninggi. Alana menarik napas dalam-dalam. Jadi, Yuni ingin cucu laki-laki untuk meneruskan perusahaan? Ah, bukankah di zaman sekarang ini kaum hawa juga memiliki kedudukan yang sama dengan kaum adam? Dimana perempuan juga bisa memimpin sebuah perusahaan, bahkan sebuah negara, pikir Alana. Alana mendengar suara langkah Kevin mendekat. Alana mengatur napas agar emosinya stabil dan berlaga seperti orang yang baru saja datang. "Loh, Mas belum berangkat?" tanya Alana. "Ini mau, Sayang. Ngomong-ngomong, kenapa kamu ke mari, hem? Alana tersenyum sambil mengelus perutnya. "Aku lapar, Mas." "Biar Mas siapain, ya?" Kevin berbalik, tetapi Alana mencegahnya. "Tidak usah, Mas. Jemput anak-anak saja. Kasian, takutnya mereka sudah menunggu." Kevin pun pergi setelah mencubit gemas kedua pipi Alana yang terlihat cuby. Jika saja belum saatnya menjemput putrinya pulang sekolah, sudah pasti Kevin yang menyiapkan. Walaupun jarak rumah dan sekolah cukup dekat, baik Kevin maupun Alana tidak ingin jika anak-anaknya sampai menunggu. Apalagi di zaman sekarang banyak kejadian penculikan anak. Mereka tidak akan membiarkan Liana dan Ilana pulang jalan kaki. Alana mengembuskan napas kasar. Ia melangkah pelan menuju ruang makan. Rupanya Yuni tengah menatap Alana. Keduanya beradu pandang sekilas sampai akhirnya Yuni berpaling muka. "Ibu sudah makan?" tanya Alana ramah. "Belum! Gimana, sih, kamu ini? Ada mertua datang itu disambut. Bikin masakan yang enak, kek!" Alana mencoba tersenyum meski terasa sulit. "Maaf, Bu. Perutku masih terasa sakit. Belum kuat untuk angkat yang berat dan gerak saja masih sulit." Yuni melotot. "Makanya, lahiran itu lewat jalan lahir! Lagipula Ibu hanya nyuruh kamu masak, bukan angkat besi!" Yuni beranjak meninggalkan Alana yang tengah berdiri mematung. Di hati yang terdalam, Alana merasakan sakit. Namun, ia hanya bisa mengelus dada. Alana harus bersabar, tidak boleh stres karena akan berpengaruh pada ASI-nya. Untuk putri ketiganya ini, Alana ingin menyusui sampai tuntas juga. Alana bergegas membuka tudung saji. Di sana ada beberapa lembar roti tawar saja. Tidak ada menu lain, karena Kevin meminta berganti menu setiap waktunya. Jadi, setiap memasak hanya secukupnya untuk keluarga, asisten rumah tangga, sopir, juga tukang kebun saja. Bukan pelit, tetapi Kevin sangat marah jika ada makanan sisa. "Mau Bibi siapin, Bu?" tanya Sumi yang baru saja datang dari berbelanja. "Atau mau Bibi masakin? Ibu mau apa?" Alana tersenyum. "Tidak usah, Bi. Bibi masak saja untuk makan siang nanti. Bibi tau, kan, masakan favorit Bu Yuni?" Sumi mengangguk, lalu menyebutkan beberapa menu favorit Yuni. Setelah dibenarkan oleh Alana, Sumi bersiap memasak. Alana mengambil dua lembar roti, lalu meninggalkan ruang makan dan menolak untuk Sumi papah. Terdengar suara deru mesin mobil Kevin di luar. Alana yang hendak masuk kamar mengurungkan niatnya. Daun pintu terbuka lebar dan tampaklah Liana dan Ilana. Liana yang memasuki usia delapan tahun dan Ilana enam tahun berjalan saling bergandengan. Mereka seperti kembar. Alana tersenyum melihatnya. Namun, seketika senyum itu pudar saat menyaksikan interaksi putrinya dengan Yuni. "Itu Nenek, kan, Pi?" tanya Liana kepada Kevin. Kevin mengangguk sambil tersenyum. "Nenek?!" seru Liana dan Ilana, lalu memeluk Yuni yang sedang bermain ponsel di ruang tamu. Gadis kecil polos itu senang sang nenek datang, karena selama ini mereka tahu sosok Yuni hanya sebatas foto dan video call saja. "Aduuuuh, apa, sih? Badan kalian bau, ganti baju dulu, sana!" Yuni melepas pelukan keduanya. Liana dan Ilana menarik diri dengan bibir cemberut. Sambil menunduk, keduanya meminta maaf dan pergi kemudian. Hati Alana memanas. Bisakah sikap Yuni biasa saja jika di depan anak-anak? Jika benci dirinya, cukuplah tunjukkan pada dirinya saja. Ah, Alana lupa, jika Yuni tak menginginkan mereka yang berjenis kelamin perempuan. "Maafkan tingkah mereka, Bu. Mereka lakukan itu karena kangen sama neneknya," ucap Kevin. Yuni hanya mengangkat kedua pundaknya saja, lalu kembali fokus pada ponselnya. Kevin menghela napas, lalu melangkah cepat menyusul kedua putrinya. Bruk! Ilana terjatuh, lalu menangis. Alana menghampiri putrinya itu yang sedang dibangunkan oleh Kevin. "Makanya, punya anak itu laki-laki! Gak cengeng!" seru Yuni. Alana hanya bisa menggeleng pelan. Alana meminta Kevin untuk menggendong Ilana ke kamar utama. Sedang dirinya menuntun Liana. Di kamar, Kevin mendudukan Liana dan Ilana di tepi ranjang. Alana pun bertekuk lutut tepat di hadapan mereka. "Jangan nangis!" Alanan mengusap air mata yang menetes di pipi gembul Ilana. "Masih sakit?" Ilana mengangguk sebagai jawaban. Gadis kecil itu merasa sakit hati karena bentakan Yuni ditambah lagi terjatuh. Selama ini, Alana maupun Kevin tidak pernah membentak. "Maafin nenek, ya? Nenek baru saja dateng. Jadi masih capek," tutur Alana pelan dan berharap kedua putrinya mengerti. Liana maupun Ilana mengangguk sebagai jawaban. Alana meminta kedua putrinya untuk berganti pakaian di kamar mereka. Sebelumnya Alana meminta agar Liana juga Ilana meminta maaf kepada Yuni. Kepergian Liana dan Ilana dari kamar menyisakan Alana yang duduk termenung sambil menatap baby Alina. Tak ada lagi rasa lapar. Dua lembar roti yang ia bawa tadi disimpannya di atas piring bekas camilan di atas nakas. "Maafkan Ibu, ya?" Kevin merangkul Alana dan membawa kepala sang istri agar bersandar padanya. Kevin tahu betul bagaimana perasaan istrinya itu. Alana diam membisu. Dalam hatinya meracau. Belum satu hari saja suasana rumah tidak ramah untuk anak-anaknya, bagaimana kedepannya? Alana mendongak. Ia bertanya memastikan perihal permintaan Yuni agar Kevin mencari wanita lain yang bisa melahirkan anak laki-laki. Kevin memeluk erat Alana. Dikecupnya pucuk kepala sang istri dengan sayang. "Tidak, Sayang, tidak! Itu tidak akan pernah terjadi. Mas janji! Mas akan coba bicara sama ibu. Mas yakin ibu akan mengerti dan memang harus mengerti. Dan Ibu harus menerima takdir Tuhan." Suasana hening. Tiba-tiba saja ... "Kevin!" teriak Yuni yang terdengar menggelegar sampai-sampai baby Alina terbangun dan menangis. Bukan hanya tangisan Alina, tetapi tangisan Liana juga Ilana menggema. Alana terperanjat dengan kedua mata terbelalak. "Apa yang terjadi?!"Keesokan harinya Kevin memutuskan untuk kembali ke Jakarta. "Di mana anak-anak?" tanya Kevin kepada Alana saat dirinya hendak menaiki mobil Fadli. "Mereka tidak ingin berpamitan dengan Papinya?"Alana tersenyum miring. "Rasanya tidak. Bukankah semalam mereka berpesan agar hati-hati di jalan pagi ini?"Kevin terdiam. Ya, Alana benar. Semalam Kevin sempat mengobrol dengan Liana dan Ilana. Keduanya bereaksi di luar dugaan, terlebih-lebih Ilana. Biasanya gadis itu terlihat sangat peduli, tetapi semalam ia acuh tak acuh. Liana dan Ilana hanya mengangguk dan mengatakan agar Kevin cepat sembuh saja. Merasa janggal? Tentu saja. Akan tetapi, Kevin memilih diam karena ia masih berpura-pura hilang ingatan. Kevin bergegas masuk dan meminta Fadli untuk segera meninggalkan kediaman Alana. Alana. Wanita berparas cantik itu hanya diam terpaku melihat kepergian mobil Fadli. Ada rasa sakit, rasa sesal, sekaligus rasa kecewa dalam dada. Kevin dalam genggamannya, mengapa dibiarkan pergi begitu saja? A
Hari demi hari Kevin lalui dengan rasa bahagia. Bagaimana tidak? Sandiwara pingsannya waktu lalu membuat dirinya diperhatikan oleh Alana. Perhatian dan sikap Alana yang lembut mampu membawa ingatan Kevin ke masa dahulu. Masa sebelum hadirnya Melani. Seperti pagi ini. "Istirahatlah!" ucap Alana lembut setelah memberikan Kevin sebutir tablet berupa vitamin. "Tunggu!" Kevin mencekal lengan Alana saat wanita itu hendak pergi. Alana menoleh. "Ada apa?"Bukannya jawaban yang di dapat, Alana dibuat terkejut karena Kevin mengecup punggung tangannya. Kecupan lembut Kevin mampu membuat hatinya berdesir. Cepat-cepat Alana menarik tangannya. "Ma-Mas perlu apa?"Kevin tersenyum. Senyuman manis yang sudah sekian lama tak terlihat oleh Alana. Alana berdehem dan berpaling muka. Jangan! Jangan sampai ia terbuai dengan senyuman itu. 'Ingat Alana, Mas Kevin hilang ingatan. Jika saja ingatannya sudah kembali, kamu dan anak-anakmu tetap menjadi urutan kesekian di hatinya'. Alana bermonolog dalam hatiny
Alana mendorong tubuh Kevin sekuat tenaga. Berhasil, pria itu terdorong dari tubuhnya. Alana segera bangkit sambil mengusap bibirnya. Ia merasa jijik karena bibir Kevin meluncur bebas di sana. Namun, alih-alih segera pergi dari sana, Alana dikejutkan dengan Kevin yang tertelungkup di lantai. "Mas Kevin?" sapa Alana, "Mas?"Alana membatin. "Apa dia pingsan?" Alana berjongkok untuk memastikan. Sambil menepuk-nepuk pundak Kevin, Alana terus memanggil nama pria itu. Akan tetapi, nihil. Kevin tak kunjung bangun. "Bi? Bi Sumi!" teriak Alana panik. Tidak berselang lama Sumi datang. "Iya, Bu, ada ap --ya Tuhan, Bapak kenapa?" Sumi tak kalah panik. "Gak tau, Bi. Tolong bantu angkat, Bi!"Kini, Kevin sudah terbaring di kasur. Rupanya ia pingsan. Setelah tadi Alana menciumkan wewangian, Kevin sadarkan diri. Alana menghela napas lega. Pantas saja ketika Kevin menindih tubuhnya terasa sangat berat, ternyata Kevin pingsan. Menurutnya pingsan Kevin sangat menyebalkan. Bagaimana bisa bibir Ke
Dua hari setelah Alana tahu sebuah kebenaran tentang Melani, akhirnya pagi ini ia akan mengambil keputusan. Alana meminta Fadli untuk datang. Apalagi kalau bukan untuk merepotkan dokter itu lagi. "Ada apa?" tanya Fadli saat duduk di teras. "Kapan ada waktu senggang?""Kebetulan hari ini. Ada apa?""Tolong antar Mas Kevin ke Jakarta.""Jadi, sudah mengambil keputusan?"Alana mengangguk. Hatinya sudah yakin jika berpisah dengan Kevin adalah jalan terbaik. Ia tidak mau Liana terus-menerus bersikap dingin terhadapnya. Niat hati datang ke desa untuk memperbaiki mental putrinya. Akan tetapi, karena ulah Alana sendiri yang merawat Kevin justru memperburuk keadaan. "Apa kamu bersedia aku bikin repot lagi?""Tentu saja. Selama aku mampu, aku akan membantumu. Apa pun itu!"Alana tersenyum, lalu memberikan secarik kertas bertuliskan alamat rumah Kevin yang sudah ia siapkan sedari malam. "Tapi, tolong ... jangan katakan kepada siapapun, baik itu mertuaku atau Melani kalau aku yang menolong M
Alana pun bercerita kepada Fadli jika dokter kandungannya menceritakan hal yang sama. Bahkan Melani berkonsultasi kepada hampir semua dokter kandungan yang ada di Jakarta dan hasilnya sama. Ia mandul. Alana berdecak lidah. "Ya, aku baru ingat! Bahkan ruangan dokterku waktu itu sangat berantakan dan dokumen atas nama Melani berceceran di lantai.""Dan kita semua mendapat perlakuan sama dari si Melani itu," tutur Fadli. "Tapi, sepertinya aku yang lebih apes. Kena lemparan vas bunga. Untung hanya lebam saja. Kalau sampai keningku robek, aku seret dia ke kantor polisi," lanjutnya dengan kesal mengingat itu. Alana terkekeh-kekeh. "Kenapa Melani yang kita temui menyebalkan, ya?"Fadli terkekeh-kekeh. "He'em. Wanita itu sangat frustasi.""Kabarnya, dia mau hamil biar bisa menikah sama mantannya. Mau nebus kesalahannya di masa lalu gitu, deh, pokoknya," lanjut Fadli. Deg! Alana terdiam, membatin. Ceritanya sama persis dengan Melani, si mantan pacar Kevin. Ah, ataubhanya kebetulan saja?L
Sudah hampir satu bulan Kevin berada di desa. Secara fisik sudah terlihat bugar. Hanya saja, ingatannya belumlah pulih. Kini, pria itu tinggal serumah bersama Alana dengan kamar yang berbeda. Hampir setiap hari pula Fadli datang melihat kondisi pria itu. Seperti pagi ini, Fadli sudah siap mengantar Kevin untuk melakukan chek-up ke rumah sakit. "Sudah siap?" tanya Fadli. "Siap, Om Dokter!" jawab Liana dan Ilana kompak. Dua gadis kecil itu ikut bersama sekalian berangkat sekolah. Mobil pun melaju meninggalkan kediaman Alana. Tiba di sekolah, Liana dan Ilana segera turun setelah berpamitan kepada ibu dan sang pemilik mobil. Tak lupa, kecupan hangat dari Ilana untuk Kevin. Hanya Ilana saja, sedangkan Liana langsung bergegas turun. Ya, gadis itu tak hanya bersikap dingin kepada Kevin saja, tetapi kepada Alana karena sudah membawa Kevin tinggal bersama. Ia merasa keberatan. Perjalanan dilanjutkan, sampai akhirnya tiba di rumah sakit. Tak perlu menunggu lama, karena Fadli sudah membua
Malam itu Kevin sudah dipindahkan ke Puskesmas. Untungnya ada satu ruangan kosong sehingga tidak mengganggu aktivitas Puskesmas setiap harinya. "Sudah malam. Kalian pulanglah!" titah Fadli kepada Alana. "Kasian anak-anak.""Baiklah. Kami pulang dulu."Fadli mengangguk, lalu mengantar mereka sampai teras. "Dadah, Om!" Liana melambaikan tangan. Fadli membalas lambaian tangan Liana. "Dadah, Kakak!""Besok ketemu lagi, ya, Om?" timpal Ilana. "Iya, Ila cantik!"Fadli menutup pintu belakang setelah ia memasangkan sabuk pengaman pada kursi bayi Alina dan mobil pun melaju meninggalkan Puskesmas. Fadli bergegas ke dalam, menemui Kevin. "Anda mengenal istri saya, Pak Dokter?" tanya Kevin. Sambil memasang cairan infus baru Fadli menjawab, "Kami teman semasa SMA.""Apa Anda tau tentang kehidupan rumah tangga kami?"Fadli yang sedang mengatur aliran cairan infus seketika menoleh, lalu melanjutkan kembali aktivitasnya. "Kenapa Anda diam, Dokter? Istriku tadi mengatakan kami sedang proses ce
Alana sedikit membentak Liana yang membuat gadis itu marah dan meninggalkan kamar begitu saja. Fadli. Dokter tampan itu langsung mengikuti Liana yang ternyata sedang duduk di teras. "Anak cantik gak boleh marah. Nanti cantiknya ilang, loh!" goda Fadli. Liana yang cemberut sambil melipat kedua tangannya di dada seketika menoleh. "Bukan urusan Om!"Fadli tersenyum. Ya, memang bukan urusannya. Ia memang terlalu kepo urusan orang. Ah, bukan ... Fadli tidak menganggap Alana orang lain sehingga apa pun yang terjadi dengannya ia selalu ingin tahu. Fadli ingin membalas kebaikan Alana tempo dulu. Kali ini saatnya, pikirnya. "Jadi, gak mau cerita sama Om, nih?" Fadli mencolek dagu Liana. "Jangan colek-colek aku, ya, Om?! Emangnya aku gadis apaan?"Fadli melongo, lalu tertawa terbahak-bahak sampai terpingkal-pingkal. "Hahahahah ... ya ampun ... ya ampun ...." Tawa Fadli mulai berhenti. "Kamu itu persis Mami kamu ternyata, ya?"Fadli mengembuskan napas kasar, lalu berdiri. "Ya udah kalo gak
Sore harinya, setelah Alana meminta paksa pulang Kevin, ia menemui rukun tetangga setempat yang tak jauh dari rumah. Ia menanyakan tentang keberadaan pelayanan kesehatan di desa tempatnya tinggal. Pasalnya, Alana akan menggunakan jasanya untuk merawat Kevin. "Ada dokter, Bu. Tapi hanya dokter kandungan. Itu pun baru praktek di sini beberapa bulan yang lalu.""Oh, begitu ya, Pak. Sebetulnya tidak masalah. Saya hanya perlu bantuan beliau untuk memasang dan lepas infus saja.""Loh, kenapa tidak dibawa ke rumah sakit saja, Bu?"Alana tersenyum canggung. "Sempat dirawat, Pak. Tapi, selain rumah sakit yang cukup jauh, saya juga punya tiga putri. Jadi, tidak mungkin untuk bulak-balik rumah sakit," dalih Alana. "Kalau boleh tau puskesmasnya di mana, ya, Pak?" lanjut Alana. Pria itu menjawab jika Puskesmas berada di ujung jalan pesawahan. Alana pun bergegas pulang dan akan ke sana menggunakan mobil agar menghemat waktu. "Mami mau ke mana lagi?" tanya Ilana saat melihat Alana menyambar kunc