Kevin meminta Alana menunggu di kamar untuk menenangkan Alina. Sesekali matanya mengedar ke arah pintu berharap Kevin cepat kembali.
"Apa yang terjadi?!" tanya Alana saat pintu kamar baru saja terbuka. Tampak Kevin menuntun Liana juga Ilana yang masih sesenggukan. Liana dan Ilana berlari memeluk kaki Alana. "Ada apa?" tanya Alana lagi. Kevin mengembuskan napas kasar. Pria berusia tiga puluh lima tahun itu mengempaskan tubunnya di sofa. Kevin mengatakan jika Yuni memukul bokong dan menjewer telinga Liana dan Ilana karena mereka sudah menumpahkan segelas teh ke ponsel Yuni. Deg! Seketika hati Alana terasa berkedut. Sakit. "Teh?" Alana balik bertanya dengan kening mengkerut dan kedua mata yang berkaca-kaca. "Yah .... Mereka membawakan segelas teh untuk ibu sebagai permintaan maaf." Alana terdiam sesaat. Andai saja tadi ia tidak menyuruh putrinya untuk meminta maaf, maka hal itu tidak akan terjadi. Walaupun demikian, Alana merasa bangga dan terharu atas usaha Liana dan Ilana dengan caranya meminta maaf. Memang Alana selalu mengajarkan kepada putrinya agar selalu meminta maaf jika saja mereka berbuat salah atau mungkin ada orang yang tidak nyaman dengan tingkah mereka. Alana memastikan Alina sudah tertidur lelap. Direbahkannya lagi bayi mungil itu ke tempat tidurnya. Wanita berusia dua puluh sembilan tahun itu bertekuk lutut menyejajarkan tinggi dengan Liana juga Ilana. Diciumnya pipi keduanya bergantian, lalu dipeluk. Tanpa kedua putrinya tahu, Alana mengusap air matanya. "Maafin Mami, ya, Sayang?" ucap Alana pelan. Alana melerai pelukan. Bibirnya melengkungkan senyum dengan memperlihatkan barisan giginya. "Mami enggak marah?" tanya Liana. Alana menggeleng. "Mami tidak marah. Hanya saja, lain kali hati-hati. Oke?" Alana mencolek hidung Liana dan Ilana. "Senyum, dong!" Alana menggelitik Liana dan Ilana bergantian. Alana mencoba menghibur kedua putrinya. Tawa pun menggema. Kini, tak ada lagi raut sedih dari wajah Liana dan Ilana. Oeek! Baby Alina terusik. "Eh!" Alana menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan seolah-olah kaget. Sikap Alana tentu saja membuat Liana dan Ilana terkekeh-kekeh sambil turut menutup mulut. "Baby Lina mau ikutan, Mi," celetuk Ilana sambil terkekeh-kekeh. Alana menganggukan kepalanya cepat. "Kalian mau main sama Mami?" tanya Alana. "Aku mau main sama Kak Ana aja di kamar," kata Ilana berbisik karena takut adik bayinya kembali terbangun. "Iya, ayok!" Liana menuntun adiknya meninggalkan kamar dengan tawa yang terdengar renyah. Alana mengembuskan napas kasar, lalu berdiri mematung sambil memegang box bayi. Kevin yang memerhatikan dari jauh segera menghampiri. Pria itu memeluk Alana dari belakang. "Sayang ...." "Ibumu keterlaluan, Mas," ucap Alana yang terkesan dingin. "Ana dan Ila pasti tidak sengaja melakukannya." Kevin mengeratkan pelukannya. "Mas tau. Maaf, ya? Mas janji, itu tidak akan terulang lagi." Alana tidak ingin bicara lagi. Ia memilih merebahkan diri di kasur. Tak terasa jam makan siang tiba. Alana yang kemarin menikmati makanan siang di kamar, siang itu memilih di ruang makan. Selain untuk menghargai Yuni, ia harus mengawasi Liana dan Ilana karena khawatir mereka kembali membuat Yuni marah. Suasana ruang makan siang itu sangat berbeda. Tak terdengar celoteh Liana maupun Ilana. Piring pun sudah terisi nasi lengkap dengan lauk-pauk favorit masing-masing. Kevin'lah yang meminta kepada Sumi agar disiapkan terlebih dahulu. Bukan tak beralasan, Kevin tidak ingin Alana melayani semua orang dengan keadaannya yang belum pulih. "Vin? Gantiin ponsel Ibu!" ucap Yuni di tengah makan siang. "Ibu mau Falcon Supernova iPhone 6 Pink Diamond itu loh!" Alana yang sedang mengunyah seketika terdiam, lalu menatap Kevin. Yang ditatap hanya tersenyum yang berhasil menoreh tanya dalam benak Alana. Tidak salah? "Iya, Bu," ucap Kevin. Alana terhenyak. Nasi yang sudah dikunyah lembut pun terasa sulit ditelan. Apa ia tidak salah dengar? "Yeeeaah!" Yuni bersorak. "Makasih, Sa--" "Tapi, aku jual dulu perusahaan peninggalan ayah," ucap Kevin cepat dan santai. Alana mengulum bibirnya, menahan tawa melihat mimik Yuni yang sudah dipastikan kecewa. Jelas saja suaminya berkata demikian, karena harga benda itu mencapai $48,5 juta. Selain desainnya yang mewah, bahannya pun terbuat dari emas, dihiasi berlian dan dilapisi platinum. "Kamu ini, Vin. Udah angkat Ibu tinggi-tinggi, lalu kamu banting. Sakit, Vin!" seloroh Yuni dengan jengkel. "Maaf, Bu. Untuk saat ini aku belum bisa belikan. Ibu tau sendiri kalo perusahaan kita merintis lagi dari awal." "Kalau keinginan ini tidak bisa kamu kabulkan, paling tidak cu-" "Itu tidak bisa juga, Bu!" potong Kevin tegas. Pria itu tahu ke mana arah Yuni bicara. Alana menghirup udara banyak-banyak. Sungguh obrolan yang akan berujung perdebatan panjang atau mungkin malah akan terus berseteru. "Sayang? Makannya udah?" tanya Alana kepada Liana dan Ilana. Keduanya mengangguk dan menjawab kompak. "Sudah, Mi." "Ya, sudah, sana ke kamar tidur siang ya?" Liana dan Ilana mengangguk patuh, lalu pergi. Sepeninggal Liana dan Ilana, Alana merasakan suhu ruang makan terasa panas. Padahal, ada air conditoner di sana. Tampak Kevin masih anteng mengunyah nasi yang tinggal beberapa suap lagi. Alana melirik ke arah Yuni. Wanita berusia enam puluh satu tahun itu tengah menatap tajam putranya. Alana menunduk kembali menyuap nasi yang tinggal satu sendok lagi. "Alana?" panggil Yuni ramah. Alana lantas menoleh. "Iya, Bu." Kedua mata mereka bertemu sampai akhirnya Yuni menggeser kursi yang diduduki dan beranjak menghampiri sambil tersenyum. Senyum yang sudah lama tidak Alana dapatkan. Yuni mengusap pundak Alana. Seketika hati sang empu pundak merasa menghangat. "Kalau tidak mampu beri Ibu cucu laki-laki, katakan sekarang. Biar Ibu yang carikan calon rahim yang siap dibuahi suamimu!" Yuni pun pergi meninggalkan Alanan yang diam mematung. Tak lama tubuhnya lunglai, matanya berkunang dan ... Bruk! Alana jatuh pingsan.Keesokan harinya Kevin memutuskan untuk kembali ke Jakarta. "Di mana anak-anak?" tanya Kevin kepada Alana saat dirinya hendak menaiki mobil Fadli. "Mereka tidak ingin berpamitan dengan Papinya?"Alana tersenyum miring. "Rasanya tidak. Bukankah semalam mereka berpesan agar hati-hati di jalan pagi ini?"Kevin terdiam. Ya, Alana benar. Semalam Kevin sempat mengobrol dengan Liana dan Ilana. Keduanya bereaksi di luar dugaan, terlebih-lebih Ilana. Biasanya gadis itu terlihat sangat peduli, tetapi semalam ia acuh tak acuh. Liana dan Ilana hanya mengangguk dan mengatakan agar Kevin cepat sembuh saja. Merasa janggal? Tentu saja. Akan tetapi, Kevin memilih diam karena ia masih berpura-pura hilang ingatan. Kevin bergegas masuk dan meminta Fadli untuk segera meninggalkan kediaman Alana. Alana. Wanita berparas cantik itu hanya diam terpaku melihat kepergian mobil Fadli. Ada rasa sakit, rasa sesal, sekaligus rasa kecewa dalam dada. Kevin dalam genggamannya, mengapa dibiarkan pergi begitu saja? A
Hari demi hari Kevin lalui dengan rasa bahagia. Bagaimana tidak? Sandiwara pingsannya waktu lalu membuat dirinya diperhatikan oleh Alana. Perhatian dan sikap Alana yang lembut mampu membawa ingatan Kevin ke masa dahulu. Masa sebelum hadirnya Melani. Seperti pagi ini. "Istirahatlah!" ucap Alana lembut setelah memberikan Kevin sebutir tablet berupa vitamin. "Tunggu!" Kevin mencekal lengan Alana saat wanita itu hendak pergi. Alana menoleh. "Ada apa?"Bukannya jawaban yang di dapat, Alana dibuat terkejut karena Kevin mengecup punggung tangannya. Kecupan lembut Kevin mampu membuat hatinya berdesir. Cepat-cepat Alana menarik tangannya. "Ma-Mas perlu apa?"Kevin tersenyum. Senyuman manis yang sudah sekian lama tak terlihat oleh Alana. Alana berdehem dan berpaling muka. Jangan! Jangan sampai ia terbuai dengan senyuman itu. 'Ingat Alana, Mas Kevin hilang ingatan. Jika saja ingatannya sudah kembali, kamu dan anak-anakmu tetap menjadi urutan kesekian di hatinya'. Alana bermonolog dalam hatiny
Alana mendorong tubuh Kevin sekuat tenaga. Berhasil, pria itu terdorong dari tubuhnya. Alana segera bangkit sambil mengusap bibirnya. Ia merasa jijik karena bibir Kevin meluncur bebas di sana. Namun, alih-alih segera pergi dari sana, Alana dikejutkan dengan Kevin yang tertelungkup di lantai. "Mas Kevin?" sapa Alana, "Mas?"Alana membatin. "Apa dia pingsan?" Alana berjongkok untuk memastikan. Sambil menepuk-nepuk pundak Kevin, Alana terus memanggil nama pria itu. Akan tetapi, nihil. Kevin tak kunjung bangun. "Bi? Bi Sumi!" teriak Alana panik. Tidak berselang lama Sumi datang. "Iya, Bu, ada ap --ya Tuhan, Bapak kenapa?" Sumi tak kalah panik. "Gak tau, Bi. Tolong bantu angkat, Bi!"Kini, Kevin sudah terbaring di kasur. Rupanya ia pingsan. Setelah tadi Alana menciumkan wewangian, Kevin sadarkan diri. Alana menghela napas lega. Pantas saja ketika Kevin menindih tubuhnya terasa sangat berat, ternyata Kevin pingsan. Menurutnya pingsan Kevin sangat menyebalkan. Bagaimana bisa bibir Ke
Dua hari setelah Alana tahu sebuah kebenaran tentang Melani, akhirnya pagi ini ia akan mengambil keputusan. Alana meminta Fadli untuk datang. Apalagi kalau bukan untuk merepotkan dokter itu lagi. "Ada apa?" tanya Fadli saat duduk di teras. "Kapan ada waktu senggang?""Kebetulan hari ini. Ada apa?""Tolong antar Mas Kevin ke Jakarta.""Jadi, sudah mengambil keputusan?"Alana mengangguk. Hatinya sudah yakin jika berpisah dengan Kevin adalah jalan terbaik. Ia tidak mau Liana terus-menerus bersikap dingin terhadapnya. Niat hati datang ke desa untuk memperbaiki mental putrinya. Akan tetapi, karena ulah Alana sendiri yang merawat Kevin justru memperburuk keadaan. "Apa kamu bersedia aku bikin repot lagi?""Tentu saja. Selama aku mampu, aku akan membantumu. Apa pun itu!"Alana tersenyum, lalu memberikan secarik kertas bertuliskan alamat rumah Kevin yang sudah ia siapkan sedari malam. "Tapi, tolong ... jangan katakan kepada siapapun, baik itu mertuaku atau Melani kalau aku yang menolong M
Alana pun bercerita kepada Fadli jika dokter kandungannya menceritakan hal yang sama. Bahkan Melani berkonsultasi kepada hampir semua dokter kandungan yang ada di Jakarta dan hasilnya sama. Ia mandul. Alana berdecak lidah. "Ya, aku baru ingat! Bahkan ruangan dokterku waktu itu sangat berantakan dan dokumen atas nama Melani berceceran di lantai.""Dan kita semua mendapat perlakuan sama dari si Melani itu," tutur Fadli. "Tapi, sepertinya aku yang lebih apes. Kena lemparan vas bunga. Untung hanya lebam saja. Kalau sampai keningku robek, aku seret dia ke kantor polisi," lanjutnya dengan kesal mengingat itu. Alana terkekeh-kekeh. "Kenapa Melani yang kita temui menyebalkan, ya?"Fadli terkekeh-kekeh. "He'em. Wanita itu sangat frustasi.""Kabarnya, dia mau hamil biar bisa menikah sama mantannya. Mau nebus kesalahannya di masa lalu gitu, deh, pokoknya," lanjut Fadli. Deg! Alana terdiam, membatin. Ceritanya sama persis dengan Melani, si mantan pacar Kevin. Ah, ataubhanya kebetulan saja?L
Sudah hampir satu bulan Kevin berada di desa. Secara fisik sudah terlihat bugar. Hanya saja, ingatannya belumlah pulih. Kini, pria itu tinggal serumah bersama Alana dengan kamar yang berbeda. Hampir setiap hari pula Fadli datang melihat kondisi pria itu. Seperti pagi ini, Fadli sudah siap mengantar Kevin untuk melakukan chek-up ke rumah sakit. "Sudah siap?" tanya Fadli. "Siap, Om Dokter!" jawab Liana dan Ilana kompak. Dua gadis kecil itu ikut bersama sekalian berangkat sekolah. Mobil pun melaju meninggalkan kediaman Alana. Tiba di sekolah, Liana dan Ilana segera turun setelah berpamitan kepada ibu dan sang pemilik mobil. Tak lupa, kecupan hangat dari Ilana untuk Kevin. Hanya Ilana saja, sedangkan Liana langsung bergegas turun. Ya, gadis itu tak hanya bersikap dingin kepada Kevin saja, tetapi kepada Alana karena sudah membawa Kevin tinggal bersama. Ia merasa keberatan. Perjalanan dilanjutkan, sampai akhirnya tiba di rumah sakit. Tak perlu menunggu lama, karena Fadli sudah membua
Malam itu Kevin sudah dipindahkan ke Puskesmas. Untungnya ada satu ruangan kosong sehingga tidak mengganggu aktivitas Puskesmas setiap harinya. "Sudah malam. Kalian pulanglah!" titah Fadli kepada Alana. "Kasian anak-anak.""Baiklah. Kami pulang dulu."Fadli mengangguk, lalu mengantar mereka sampai teras. "Dadah, Om!" Liana melambaikan tangan. Fadli membalas lambaian tangan Liana. "Dadah, Kakak!""Besok ketemu lagi, ya, Om?" timpal Ilana. "Iya, Ila cantik!"Fadli menutup pintu belakang setelah ia memasangkan sabuk pengaman pada kursi bayi Alina dan mobil pun melaju meninggalkan Puskesmas. Fadli bergegas ke dalam, menemui Kevin. "Anda mengenal istri saya, Pak Dokter?" tanya Kevin. Sambil memasang cairan infus baru Fadli menjawab, "Kami teman semasa SMA.""Apa Anda tau tentang kehidupan rumah tangga kami?"Fadli yang sedang mengatur aliran cairan infus seketika menoleh, lalu melanjutkan kembali aktivitasnya. "Kenapa Anda diam, Dokter? Istriku tadi mengatakan kami sedang proses ce
Alana sedikit membentak Liana yang membuat gadis itu marah dan meninggalkan kamar begitu saja. Fadli. Dokter tampan itu langsung mengikuti Liana yang ternyata sedang duduk di teras. "Anak cantik gak boleh marah. Nanti cantiknya ilang, loh!" goda Fadli. Liana yang cemberut sambil melipat kedua tangannya di dada seketika menoleh. "Bukan urusan Om!"Fadli tersenyum. Ya, memang bukan urusannya. Ia memang terlalu kepo urusan orang. Ah, bukan ... Fadli tidak menganggap Alana orang lain sehingga apa pun yang terjadi dengannya ia selalu ingin tahu. Fadli ingin membalas kebaikan Alana tempo dulu. Kali ini saatnya, pikirnya. "Jadi, gak mau cerita sama Om, nih?" Fadli mencolek dagu Liana. "Jangan colek-colek aku, ya, Om?! Emangnya aku gadis apaan?"Fadli melongo, lalu tertawa terbahak-bahak sampai terpingkal-pingkal. "Hahahahah ... ya ampun ... ya ampun ...." Tawa Fadli mulai berhenti. "Kamu itu persis Mami kamu ternyata, ya?"Fadli mengembuskan napas kasar, lalu berdiri. "Ya udah kalo gak
Sore harinya, setelah Alana meminta paksa pulang Kevin, ia menemui rukun tetangga setempat yang tak jauh dari rumah. Ia menanyakan tentang keberadaan pelayanan kesehatan di desa tempatnya tinggal. Pasalnya, Alana akan menggunakan jasanya untuk merawat Kevin. "Ada dokter, Bu. Tapi hanya dokter kandungan. Itu pun baru praktek di sini beberapa bulan yang lalu.""Oh, begitu ya, Pak. Sebetulnya tidak masalah. Saya hanya perlu bantuan beliau untuk memasang dan lepas infus saja.""Loh, kenapa tidak dibawa ke rumah sakit saja, Bu?"Alana tersenyum canggung. "Sempat dirawat, Pak. Tapi, selain rumah sakit yang cukup jauh, saya juga punya tiga putri. Jadi, tidak mungkin untuk bulak-balik rumah sakit," dalih Alana. "Kalau boleh tau puskesmasnya di mana, ya, Pak?" lanjut Alana. Pria itu menjawab jika Puskesmas berada di ujung jalan pesawahan. Alana pun bergegas pulang dan akan ke sana menggunakan mobil agar menghemat waktu. "Mami mau ke mana lagi?" tanya Ilana saat melihat Alana menyambar kunc