Suara klakson mobil dan motor mulai bersahutan karena ulah nekat Hendra, menarik perhatian Alya yang tadinya tak mendengar panggilan Hendra. Seketika wajah Alya memucat, dia belum siap bertemu Hendra setelah talak yang diucapkan padanya beberapa waktu lalu.
Alya mengedarkan pandangan ke segala arah, mencari tempat persembunyian. Jantungnya berdegup kencang, bukan karena merasakan getaran cinta yang masih tersisa, tapi karena rasa takut yang muncul begitu saja. Akan tetapi, langkah lebar Hendra membuat lelaki itu dalam sekejap berada di depannya. “Mau ke mana kamu?! Dasar wanita nggak tau diri!” Hendra memaki dengan suara lantang, tak peduli saat ini berada di jalanan. “Kamu mau apa lagi, Mas?” tanya Alya. “Ikut aku pulang! Kamu jangan nggak tahu diri dengan melupakan kewajibanmu!” seru Hendra. “Kewajiban apa yang kamu minta? Bukankah kamu sudah menjatuhkan talak padaku?” Alya menatap tajam ke arah Hendra yang kini nampak kebingungan harus menjawab apa. “Ya– tetap aja kamu harus mengurus Naya! Kam–” Suara klakson mobil kembali terdengar, diikuti teriakan pengemudi dari seberang jalan. Hendra menoleh dengan cepat, menepuk jidat karena lalai. “Heiii! Singkirkan mobilnya!” “Tabrak aja tabrak!” Suara para pengemudi yang tidak sabar terus bersahutan. Hendra bergegas menyeberang, tidak mau terjadi hal buruk pada mobil yang belum lama dia beli. Baru beberapa langkah, dia menoleh ke arah Alya lagi. “Tunggu di sini! Aku belum selesai bicara!” kata Hendra. Alya hanya melihat punggung Hendra berjalan menjauh. Dia ingin segera kabur dari sana, tapi sebuah kejadian membuatnya tinggal sementara waktu. Hendra terjatuh akibat bersenggolan dengan motor yang mengambil jalur mobil, padahal dia sudah hampir sampai di mobilnya sendiri. Situasi begitu kacau, tapi Alya masih bisa mendengar panggilan Hendra yang memintanya untuk datang ke sana. Akan tetapi, Alya tidak mau menanggapinya. Meski belum sah secara hukum, tapi Hendra bukan lagi suaminya. Dia tidak ada kewajiban untuk mengikuti perintahnya. Alya melangkah pergi, tapi bingung harus ke mana. Dia belum menemukan tempat tinggal, kalau pun harus kembali ke rumah orang tuanya, itu sangat jauh dari tempat kerja. Sangat tidak efektif mengingat jam kerjanya pun tidak teratur. Tubuhnya sudah mulai lelah melangkah. Dia duduk di depan sebuah bangunan kosong pinggir jalan, menelepon sahabatnya, berharap mendapatkan informasi kos. Namun, sebelum panggilan itu tersambung, sebuah mobil mewah berhenti di depannya. Tidak lama keluar seorang wanita tua yang pernah ditolongnya, Bu Titik. “Kenapa kamu kabur dari rumah sakit? Apa kepalamu sudah mendingan?” tanya Bu Titik. Alya tersenyum kaku. “Saya sudah nggak apa-apa kok, Bu.” “Hahhh, kamu membuatku khawatir saja. Di mana rumahmu? Aku anterin pulang.” “Itu–” Alya tampak ragu mengatakannya. Tidak mungkin juga menjelaskan tentang keadaannya sekarang pada orang yang baru ditemui. Bu Titik menyadari ada yang salah dengan Alya. “Gimana kalau kita makan dulu?” “Baiklah.” — Hendra meringis kesakitan. Kakinya keseleo akibat kesenggol motor tadi. Beruntung tidak ada luka serius saat diperiksa di rumah sakit. Dia turun dari mobil dengan sedikit pincang. Keadaan itu membuat Bu Lastri panik dan segera berlari mendekat. “Kamu kenapa?” Bu Lastri memapah putranya masuk rumah. “Tadi aku habis ngejar Alya, tapi malah kesenggol motor,” jawab Hendra. “Alya lagi Alya lagi! Dia itu emang pembawa sial! Lagian ngapain kamu ngejar dia?” “Minta pertanggungjawabannya lah, Bu. Gimanapun juga Naya ‘kan harus dia urus,” jawab Hendra. Bu Lastri mengiyakan ucapan Hendra. Baginya, tak peduli apa status Alya, Naya tetaplah tanggungan ibunya. Obrolan tersebut terdengar oleh Naya yang sedang menonton televisi. Entah apa yang kini dipikirkan oleh Naya, dia memilih masuk ke kamar, seolah tidak mau tahu kelanjutan obrolan ayah dan neneknya. Namun, langkah kecil Naya terlihat oleh Hendra yang segera memanggilnya. Dengan sangat terpaksa, Naya berbalik dan menghampiri sang ayah. “Iya, Yah?” Naya melihat kaki Hendra sekilas. “Apa itu sakit?” “Nggak kok, besok juga sembuh. Ini masih jam segini, kamu udah ngantuk?” tanya Hendra. “Aku mau belajar.” “Anak pinter,” kata Hendra. “Ya udah, gih!” “Iya!” Naya tersenyum dan melangkah pergi. Gadis kecil tersebut sempat mengambil kue yang berada di kulkas. Perutnya lapar, tapi tidak ada makanan di meja. Dia pikir ayahnya pulang membawa makan malam, nyatanya malah tidak. Naya duduk di kursi dan mulai menata buku-buku sekolah yang berantakan di meja. Dulu tidak pernah seperti ini karena ibunya selalu mengecek kondisi kamar secara berkala, memastikan semua tertata rapi dan juga bersih. Dia menatap foto Alya yang berada di bingkai foto, foto keluarga dengan formasi masih lengkap bersama sang kakek. Terdengar suara berisik di luar, Naya mengabaikannya. Dia berpikir itu hanyalah suara kucing atau tikus seperti biasa. Akan tetapi, suara itu makin jelas, mata Naya terpaku pada jendela kamarnya. Untuk beberapa saat suara itu hilang, tapi tiba-tiba jendelanya terbuka. Muncul seseorang memakai baju serba hitam dengan wajah yang tertutup masker. Sontak Naya berteriak takut, ingin berlari, tapi kakinya tersandung kursi. “Tidaakkk! Kamu siapa? Ayahhhh!” pekik Naya. Hendra tak kalah terkejutnya mendengar teriakan Naya. Dengan langkah pincang, dia berusaha menuju kamar secepat mungkin. “Naya! Kamu kenapa, Nay?!” teriak Hendra. “Ayah segera datang! Ibuuu! Naya, Bu!” Hendra merutuki kakinya yang tidak bisa diajak kerja sama. Pun begitu, dia tak menyerah hingga akhirnya sampai di depan pintu kamar Naya. Sebelum tangannya meraih gagang pintu, terdengar lagi teriakan Naya. “Tidakkk! Pergi dari sini!”Seorang wanita asing tiba-tiba menyelinap masuk di antara kerumunan. Gerak-geriknya mencurigakan. Di tangannya berkilat sesuatu — sebilah pisau.Semua terjadi begitu cepat. Wanita itu menyerbu ke arah Alya dengan ekspresi penuh kebencian.Sebelum Alya sempat bergerak, seseorang lebih dulu menerjangnya.Seorang lelaki memakai baju serba hitam berdiri di depan Alya, menjadikan tubuhnya sebagai pelindung. Membiarkan pisau tajam bersarang di perutnya. Tak lama, lelaki itu jatuh. Teriakan panik menggema di udara.Alya membalik tubuhnya dan mendapati sosok itu — Hendra.Pisau itu masih menancap di tubuh Hendra, darah mengalir deras dari lukanya. Matanya menatap Alya dengan ekspresi lega, meski tubuhnya mulai melemah.“Kamu wanita nggak tahu diri! Kamu harus mat–!” Wanita tadi menarik rambut Alya, tapi segera diatasi Alex.“Amankan wanita ini! Laporkan pada pihak berwajib!” seru Alex pada bagian keamanan setelah berhasil melumpuhkan wanita tadi.Pesta berubah menjadi kekacauan. Orang-orang
Beberapa hari kemudian, setelah kondisi Naya dinyatakan cukup stabil oleh dokter, Alya mengurus proses pemulangan putrinya. Bu Titik yang selalu menunjukkan perhatian tulus, mengusulkan sesuatu."Naya tinggal di rumah kami dulu, ya? Biar kami bisa bantu jagain juga. Kamu pasti capek," ujar Bu Titik sambil membelai pipi Naya dengan sayang.Alex yang berdiri di sampingnya turut membujuk dengan senyuman lembut. "Anggap aja kayak rumah sendiri. Kita ini udah kayak keluarga."Alya tersenyum kecil, sungkan menolak kebaikan mereka. Dan untuk sementara dia setuju.Rumah Alex memang cukup besar, hangat dan juga nyaman. Ditambah dengan segala sesuatu yang serba ada, membuat rumah tersebut bak istana dengan berbagai fasilitas tersedia. Belum lagi Bu Titik memperlakukan Naya seperti cucunya sendiri, membelikan mainan, pakaian baru, bahkan menyiapkan makanan kesukaan.Namun, seiring berjalannya waktu, Alya merasa ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Bukan karena perlakuan buruk — justru sebalik
Hendra diam saja saat tangan Alya mendarat di pipi. Dia menerima apa pun yang akan dilakukan Alya–sadar kalau semua ini terjadi karena kesalahannya."Naya–anak sekecil itu … harusnya dilindungi! Bukan disiksa!" teriak Alya, telunjuknya nyaris menyentuh dada Hendra. "Tapi kamu malah sibuk dengan duniamu sendiri! Kamu … kamu udah milih perempuan itu buat jadi ibu Naya, tapi apa?! Dia malah nyiksa Naya!"Tubuh Hendra sedikit bergetar. Suaranya nyaris tak terdengar saat berusaha bicara, "Maaf, a-aku nggak tahu, Al.”"Kamu nggak tahu?!" Alya nyaris tertawa karena marah. "Kamu menutup mata! Kamu membiarkan Naya terluka! Dan sekarang? Sekarang kamu mau apa? Minta maaf? Kamu pikir dengan minta maaf semua selesai? Kamu pikir luka di tubuh Naya bisa hilang gitu aja dengan permintaan maafmu yang konyol itu?”Hendra tidak menjawab. Dia hanya menunduk lebih dalam, seolah menerima semua tuduhan itu tanpa perlawanan. Diam-diam, dalam hati kecilnya, dia tahu semua kata-kata Alya benar. Dia telah gaga
Di sisi lain, Alya merasakan sesuatu hal yang buruk telah terjadi, tapi tidak tahu apa. Moodnya jadi gampang berubah membuat Bu Titik merasa khawatir.“Kamu kenapa, Alya?”“Aku nggak tau, Bu. Feelingku nggak enak aja,” jawab Alya.Bu Titik menghela napas panjang. Dia berjalan mendekat dan mengusap rambut Alya penuh sayang. Tentu bukan tanpa alasan dia berlaku demikian. Sejak awal dia ingin Alya menjadi menantunya dan berharap itu akan menjadi kenyataan.Kini, jalan sudah terbuka lebar. Status Alya sudah jelas dan seharusnya bukan masalah jika Alya mulai membuka hati untuk orang lain, khususnya untuk Alex. Hanya saja, dia tidak yakin putranya yang pernah patah hati itu bisa diandalkan atau tidak, terlebih Bu Titik belum memastikan apakah Alex tertarik pada Alya atau tidak. “Mungkin kamu cuma kecapekan aja karena belakangan ini sibuk terus,” kata Bu Titik. “Gimana kalau besok kita pergi ke luar kota untuk refreshing?”“Itu–” Alya tampak ragu, terlebih di pikirannya ada Naya.“Kamu berh
Naya terus menangis hingga kelelahan. Sayangnya, Hendra tidak mengetahui bagaimana kondisi putrinya karena terlalu frustasi memikirkan keuangan yang membengkak. Pulang dari bekerja, lelaki itu langsung mengurung diri di kamar dan tidak keluar lagi–seolah tak ingin bertemu dengan siapapun di rumah. *** Restoran Alya semakin berkembang, setiap meja hampir selalu terisi, dan pesanan datang tanpa henti. Alya sibuk memantau operasional, memastikan semuanya berjalan lancar. Tapi di tengah kesibukan itu, pikirannya tetap tidak bisa lepas dari satu nama—Naya. Sudah beberapa hari tidak bertemu dan Alya mulai merasakan rindu yang menyakitkan. Dia ingin tahu bagaimana keadaan putrinya, apakah Naya baik-baik saja? Saat Alya tengah berdiri di dekat kasir, seorang pelayan datang dengan wajah sedikit ragu. “Bu Alya, ada tamu yang ingin bertemu.” Alya mengerutkan kening. "Siapa?" “Seorang wanita, katanya penting. Waktu saya tanya namanya siapa malah marah-marah karena nggak kenal sama di
Hendra masih berdiri terpaku di tengah ruangan dengan tangan mengepal. Napasnya memburu, pikirannya berputar tanpa arah. Dia baru saja menyaksikan ibunya menjadi bahan tertawaan di media sosial, seorang wanita tua yang ditipu habis-habisan oleh kekasih online yang bahkan belum pernah dia temui secara langsung.Ini semua serasa tidak masuk akal baginya.Uang puluhan juta yang dikirimkan Bu Lastri ke lelaki asing itu bukan hanya berasal dari rekening pribadinya, tapi juga dari kartu kredit yang Hendra berikan. Wajar jika kini, kartu kredit itu tidak bisa digunakan lagi karena menyentuh limit maksimal.Dunia Hendra semakin gelap. Dia tidak tahu bagaimana cara menjelaskan ini kepada bank nanti. Dia harus segera mencari cara agar masalah ini tidak semakin membesar.Namun, sebelum dia bisa berpikir lebih jauh, ponselnya berbunyi.Sebuah panggilan masuk–dari bank.Dengan tangan gemetar, Hendra mengangkat telepon. Suara seorang pegawai bank menyapanya dengan nada sop
“Gimana?” Bu Lastri memamerkan kartu yang kini ada di tangannya.“Good job!” Andin mengacungkan jempolnya dengan senyum puas. “Emang paling bisa kamu tuh cari cara. Kirain selama ini Hendra udah kasih hampir semua uang gajinya, ternyata enggak. Emang dasar anak itu perhitungan banget!” kata Bu Lastri.Andin menatap Bu Lastri lekat. Tidak sia-sia usahanya selama ini dalam mendekati Bu Lastri. Rasanya, dia tak perlu status sebagai istri kalau semua orang di rumah bisa dikendalikan seperti ini.Setelah hari itu, Hendra tidak lagi mendapat tuntutan menikah. Semua berjalan normal–hampir sama ketika ada Alya di sana. Rumah rapi, makanan tersedia di jam makan, dan yang jelas wajah tiga wanita beda usia di rumah terlihat lebih nyaman dipandang. Hendra merasa hidupnya jauh lebih tenang sekarang.Kuncinya benar-benar di uang. Itulah anggapan Hendra saat ini. Namun, hal itu tidak berlangsung lama karena hal yang tidak diinginkan akhirnya terjadi.---Hendra duduk di ruang kerjanya dengan ekspre
“Hen–dra? Ka-kamu kok belum tidur?” tanya Bu Lastri dengan suara tergagap. Dia mencengkram bajunya dengan kuat.Hendra berjalan dengan langkah lebar, merampas ponsel yang ada di genggaman ibunya. Panggilan video yang sempat terdengar tadi sudah berakhir. Dia menatap tajam ke arah ibunya dan dengan suara lantang bertanya, “Apa yang sedang Ibu lakukan?!”“Ibu nggak ngapa-ngapain, cuma–”“Cuma apa, Bu?! Jawab!”Hendra terus menatap sang ibu. Tanpa sadar air matanya menetes. Dia bukan orang bodoh. Dia tahu apa yang sedang diperbuat oleh ibunya. Entah kenapa dia yang merasa malu. Dia bukan mau menyalahkan ibunya, tapi malah teringat dengan kesalahan yang dia perbuat sendiri. Hanya saja, dia tidak tahu alasan dari sang ibu melakukan hal tersebut. Setelah terjadi pembicaraan serius yang cukup lama, akhirnya Bu Lastri mengaku tidak sadar melakukan hal yang melanggar norma tersebut. Dia terbuai rayuan lelaki yang dikenalnya melalui media sosial. Jelas Hendra kalap. Dia mengambil kuasa atas
Alya berdiri di depan pintu, menatap punggung kecil Naya yang berjalan menuju mobil Hendra. Hatinya terasa berat. Baru saja dia kembali merasakan kehangatan bersama putrinya, tapi waktu sudah memaksanya untuk merelakan perpisahan lagi.Naya tidak menoleh. Tidak ada lambaian tangan atau sekadar senyum perpisahan. Hanya punggung kecil yang menjauh, masuk ke dalam mobil, lalu pergi begitu saja.Alya menghela napas panjang, berusaha menenangkan dadanya yang sesak. Namun, matanya tetap terpaku pada jalan yang kini kosong, berharap keajaiban terjadi—bahwa mobil itu akan berbalik dan membawa Naya kembali ke pelukannya–tapi, tidak.Keajaiban itu tidak datang.“Jangan berdiri di situ terlalu lama.” Suara Alex terdengar dari belakang, datar seperti biasa. Baju formal sudah melekat sempurna di tubuh tingginya. “Dia pasti akan kembali lagi nanti.”Alya menoleh, menatap Alex yang kini bersandar di dinding dengan tangan terlipat di dada. Pria itu tampak tenang, tapi Alya tahu, meski dingin, Alex se