Menjelang maghrib, aku baru tiba di rumah karena aku memilih menyendiri di taman untuk waktu yang cukup lama, setelah pertemuanku dengan Pak Cokro tadi. Hal itu pula yang menyebabkan aku pulang terlambat. Aku tahu, suamiku dan keluarganya pasti kesal atas keterlambatanku ini. Bisa dilihat berapa banyak panggilan masuk dan pesan singkat di ponselku.
Aku mendecih saat memeriksa ponsel di perjalanan tadi. Tanpa adanya aku di rumah, mereka semua akan kelaparan. Rumah pasti sudah sangat berantakan. Rania dan Ibu mertuaku tidak tahu bersih-bersih sama sekali. Padahal sebelumnya mereka bukan dari keluarga kaya.“ZIVA, DARI MANA AJA KAMU?!”Hhh! Sungguh, teriakan Mas Athar sangat memekakan telinga. Aku mendengus pelan sambil menatapnya dengan datar. Kuperhatikan penampilannya kali ini yang tampak acak-acakan. Tidak terlihat rapi seperti biasanya. Wajahnya juga kelihatan stres dan tertekan. Mungkinkah Pak Cokro sempat menegurnya tadi?“KALAU SUAMI NANYA ITU DIJAWAB!”Aku mendecak kesal. “Aku habis keluar, ada urusan. Nggak usah pakai teriak-teriak. Aku nggak tuli, Mas.”“Lancang kamu ya sekarang! Udah berani keluar tanpa izin suami! Kamu itu harusnya di rumah aja, beresin rumah sama siapin makanan! Bukan malah keluyuran nggak jelas!” teriaknya lagi sampai membuatku kesal sendiri. “Kamu jangan coba-coba nyuruh Mama sama Rania beresin rumah ya! Mereka bukan pembantu!”“CUKUP, MAS!”Aku menjeda kalimatku untuk beberapa saat. Berusaha menetralkan gemuruh yang ada di hatiku. “Kamu bisa bilang Mama sama Rania bukan pembantu. Tapi, kamu perlakuin istri kamu sendiri layaknya pembantu, Mas. Harusnya kamu sadar itu!” ucapku.“Kamu itu istriku! Wajar kalau kamu berbakti sama aku dan keluargaku! Itu cara yang pantas untuk balas budi ke suami!”Aku mendecih. Bisa-bisanya dia berkata seperti itu. Memang benar, istri harus berbakti pada suami. Tetapi, bukan berarti aku harus melayani mereka layaknya pembantu. Semua pekerjaan rumah dibebankan padaku. Bahkan Ibu mertuaku sendiri saja menyebutku sebagai pembantu di depan para tetanggaku.Saat masih sibuk dengan pikiranku, kurasakan kepalaku seperti ditoyor oleh seseorang. Aku menoleh ke arah samping kiri, dan ternyata yang melakukan itu adalah suami dari adik iparku, Rania. Sialan!“Heh, Mbak! Kamu itu harus nurut sama Mas Athar. Dia udah kerja keras supaya kamu bisa makan. Masa disuruh beresin rumah sama masak aja perhitungan. Jadi istri itu harus cekatan. Jangan menye-menye,” ucap Nino, suaminya Rania.“Dengerin tuh kata-kata Nino,” sahut Mas Athar. “Jadi istri kok menye-menye. Nggak usah berharap dijadikan ratu di rumah ini. Kamu itu cuma gembel. Bentar lagi posisi kamu bakal diganti sama Lusi.”Aku menatap dua pria itu dengan sinis. “Kita lihat aja nanti, siapa yang bakal jadi gembel beneran. Aku kasih saran nih buat kalian berdua, jangan terlalu percaya diri jadi manusia. Karena kalau udah jatuh, sakitnya bukan main. Permisi.”“Ziva!”Aku mengabaikan panggilan Mas Athar. Aku terus melenggang pergi menuju kamar. Dan sesampainya di kamar, aku mengunci pintu dan mulai duduk di lantai dekat nakas. Aku menangis untuk kesekian kalinya.“Jahat banget kamu, Mas. Dasar suami berengsek!” Aku berteriak sendiri untuk melampiaskan kekesalanku pada Mas Athar dan keluarganya. “Punya adik ipar juga nggak tahu diri!”Drrtt! Saat masih sibuk menangis, ponselku berdering. Ada panggilan masuk dari Pak Cokro. Aku langsung menghapus air mataku dan mengatur suaraku agar terdengar normal. Kuterima panggilan tersebut dengan hati-hati.“Halo, assalamualaikum, Pak,” ucapku.‘Waalaikumsalam. Kamu udah di rumah?’ Itu pertanyaan yang sering diajukan Pak Cokro, sejak aku kerja dengannya.“Alhamdulillah udah, Pak,” jawabku.‘Alhamdulillah. Udah punya keputusan belum soal tawaran saya tadi?’Aku menarik napas dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Mungkin memang benar yang dikatakan Pak Cokro. Ini adalah kesempatan emas. Tidak boleh kusia-siakan. Aku harus bergerak cepat jika ingin membalaskan dendamku pada Mas Athar dan keluarganya.Dengan mengucap bismillah, aku pun berkata, “Bismillah. Saya mau terima tawaran Bapak. Bapak benar, saya nggak boleh lewatkan kesempatan ini.”‘Syukurlah. Kalau gitu, besok pagi kamu harus udah tiba di kantor. Jangan sampai terlambat karena akan ada perkenalan lagi nantinya. Saya juga mau lihat gimana reaksi suami kamu itu.’“Baik, Pak. Saya pastikan besok nggak akan telat,” ucapku penuh semangat. Aku benar-benar bersemangat sekali sekarang. Aku harus menghilangkan rasa sedihku dan fokus untuk mengejar karir yang sempat tertunda.‘Oke. Saya akan kirim sopir pribadi dan mobil untuk kamu. Harus diterima dan jangan pernah sungkan terima bantuan dari saya.’“Masya Allah, makasih banyak ya, Pak,” ucapku takjub.‘Iya, Ziva. Ya udah, kamu istirahat. Besok pagi, mobil sama sopir pribadi udah stay di depan rumah kamu. Saya tutup dulu ya. Assalamualaikum.’“Baik, Pak. Waalaikumsalam.”Bip! Panggilan pun berakhir. Aku bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan menunaikan salat maghrib.POV: ZIVAHari ini adalah hari terpenting dalam hidupku. Aku akan bertunangan dengan Nathan—pria yang tak pernah kuharapkan untuk datang dalam kehidupanku. Pria yang tak pernah bertemu denganku sebelumnya, tapi selalu mengerti bagaimana kondisiku. Selalu mempunyai cara bagaimana membuatku tersenyum bahagia.Dan ini adalah hari ke-tujuh setelah Athar ditahan. Sesekali, aku masih merasa takut—takut dia hadir kembali disaat aku sudah memulai hidup bahagia bersama Nathan. Namun, rasa takut itu selalu disingkirkan oleh rasa bahagia yang diciptakan Nathan.Hingga akhirnya, aku mampu untuk berdiri kembali—di depan cermin sambil memutar tubuhku yang terbalut dress berwarna pastel—senada dengan hijabku.“Kamu cantik banget.” Ucapan itu datang dari seseorang yang tadinya sangat membenciku—Alma.“Kamu juga cantik,” balasku sambil tersenyum menatap pantulan dirinya di cerminku. “Kapan kamu nyusul?”“Ntar aja deh
Seminggu setelah acara tahunan itu, Athar mendadak hilang. Tak tahu dimana keberadaannya sekarang. Ia kabur disaat semua tamu menghujatnya tanpa henti. Bahkan ia tega mendorong Rahma hingga kepalanya membentur lantai podium.Ziva segera membawa Rahma ke rumah sakit karena mengalami pendarahan hebat. Sementara Nathan berusaha mengejar Athar, namun tak berhasil.Kini, Nathan menemani Ziva menjaga Rahma di rumah sakit. Rahma masih dalam kondisi kritis—sudah seminggu tak sadarkan diri.“Aku takut, Nat,” ucap Ziva pelan.Nathan menggenggam tangan Ziva—lembut. “Takut kenapa, Zi?”“Aku takut, Athar bakal ngelakuin hal lain lagi. Aku tahu gimana sifat dia. Dia nggak bakal nyerah sampai semua keinginannya tercapai.”“Kamu tenang aja ya. Masalah itu biar Alma yang urus. Dia lagi cari tuh orang,” ujar Nathan—berusaha menenangkan.Ziva menatap mata Nathan—sayu dan penuh ketakutan. “Semoga Alma bisa
“Kita mau kemana, Al?”“Udah ngikut aja,” jawab Alma.Sore ini, Alma mengajak Athar untuk bertemu. Awalnya mereka bertemu di kafe, namun di tengah pembicaraan, Alma mengatakan bahwa dirinya mempunyai sebuah kejutan untuk Athar. Tentu hal itu membuat Athar senang—apalagi Alma sampai menutup matanya dengan kain.Athar berjalan pelan—dituntun oleh Alma. Mereka memasuki sebuah gedung megah, menjulang tinggi—bak istana. Di sana sudah sangat ramai. Ternyata ini adalah acara tahunan yang selalu diadakan oleh Alma dan orang tuanya, dan di tahun ini, Athar diajak untuk pertama kalinya.“Oke, kita udah sampai,” ucap Alma—cukup antusias.Semua mata memandang ke arah mereka. Dengan cepat Alma membuka penutup mata Athar. Mata itu mengerjap beberapa kali untuk menetralkan penglihatannya. Setelah itu, ia tampak terkejut.Athar menatap Alma yang berdiri di sampingnya. “Ini acara apa, Al?”“Ini acara tahunan sekaligus acara… pertunangan kita,” jawab Alma dengan senyum misterius. “Aku sengaja adain pes
Malam itu, Alma tampak gelisah. Ia mondar-mandir di dalam kamar, seperti sedang berperang dengan pikirannya sendiri. Tatapannya tak lepas dari layar ponsel yang berkali-kali menyala lalu kembali padam. Sesekali, ia mendesis pelan—seolah kesal pada dirinya sendiri.Beberapa menit berlalu. Alma akhirnya duduk di tepi ranjang, masih memandangi layar ponsel yang kini gelap. Ia termenung cukup lama sebelum akhirnya membuka kunci dan masuk ke aplikasi WhatsApp.Ia membuka kontak Ziva, lalu mengetik: “Ziva, aku mau bicara. Penting.”Namun, sebelum sempat mengirim, pesan itu ia hapus. Alma merasa janggal. Mengapa pikirannya terus dipenuhi bayangan masa lalu Athar dan Ziva? Perasaan itu semakin mengganggunya.“Aku memang benci sama Ziva… tapi aku juga nggak bisa pura-pura cuek soal masa lalunya Athar. Aku cuma pengin tahu, apa sebenarnya motif dia. Soalnya niat banget kayaknya mau jatuhin Ziva,” gumam Alma pada dirinya sendiri.
Alma mengunci layar ponselnya dengan wajah murung. Jemarinya menggenggam cangkir kopi yang sudah dingin, tapi tak sedikit pun ia berniat meneguknya. Matanya menatap kosong ke arah jendela kafe, namun pikirannya tertuju pada satu sosok—Ziva. Perempuan itu. Lagi-lagi perempuan itu yang berhasil membalikkan semua keadaan.Kursi di depannya ditarik dengan kasar. Alma menoleh dengan kesal, hanya untuk mendapati Athar yang duduk dengan wajah sumringah seperti biasa. Pria itu tampak santai, mengenakan kemeja putih bersih dengan jas abu-abu yang jelas-jelas bukan miliknya. Wangi parfum murahan yang menyengat membuat Alma mengernyitkan hidung.“Aku lihat, kamu mengirimkan pesan darurat. Ada apa?” tanya Athar sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi.Alma memelototinya. “Kamu serius tanya begitu? Apa kamu benar-benar nggak sadar kalau semua rencana kita berantakan?”Athar tertawa pelan. “Berantakan? Itu tidak mungkin. Rencana kali ini pasti
Hari-hari setelah acara amal itu terasa lebih sunyi bagi Ziva. Meski dari luar ia tetap tersenyum dan bekerja seperti biasa, hatinya penuh dengan tanya yang belum menemukan jawaban. Surat yang ia terima dan tuduhan penyalahgunaan dana di tempat kerjanya dulu bukan kebetulan. Itu serangan terstruktur, dan ia tak ingin diam saja kali ini.Nathan menyadari perubahan Ziva. Ia mendekati Ziva di ruangannya, membawa dua gelas kopi dan selembar berkas.“Ini laporan internal dari yayasan tempat kamu bekerja,” katanya sambil meletakkan berkas itu di meja. “Aku punya teman di sana. Aku minta bantuannya.”Ziva menatap berkas itu dengan ragu, lalu membuka halaman demi halaman. Matanya membulat saat melihat cap yang tertempel di pojok kiri bawah.“Ini salinan palsu,” gumamnya. “Dokumen ini... ini bukan format yang biasa kami pakai. Dan... tanda tangan ketua yayasan, ini bukan tanda tangannya.”Nathan mengangguk. “Aku juga curig