"Jangan menjawab! Aku gak lagi becanda!"
Benar dugaan Aida. Reiko memang marah besar. Tapi salahkah dia? Memang di mana ada spa cuma seperempat jam?
"Kamu tahu, aku banyak pekerjaan yang belum selesaikan! Karena pernikahan sial itu pekerjaanku jadi terbengkalai," desis Reiko lagi sebelum sempat Aida menjawab. "Dan kamu buang waktuku sampai seperempat jam kaya orang bodoh nungguin begini!" Reiko sudah bicara lagi.
Segitu juga Aida tadi sudah terburu-buru. Tapi tetap saja ini terlalu lama untuk Reiko. Pria itu menggerutu dan marah. Aida yakin dibutuhkan waktu lebih lama untuk membersihkan riasan wajah pengantin.
Seperempat jam waktu yang digunakannya seakan berdasar. Karena Aida juga harus membuka pakaiannya dari kain jarik, kebaya, dan pernak pernik lainnya.
Mungkin ibu-ibu tahu, sudah sangat cepat bukan membersihkan wajah dan melepaskan kebaya pengantin dalam waktu seperempat jam?
"Kenapa diam saja?"
Tapi Rika yang notabene sering memakai jarik dengan atasan kebaya, dia bahkan tak berniat untuk meluruskan pikiran putranya dan nampak senang Aida kena omel saat sepintas Aida meliriknya.
"Ayo cepat!"
Aida tak diberi waktu menjawab. Pria itu bicara cepat-cepat dan sepertinya memang terburu-buru.
'Ada saja yang membuatnya ngomel sih. Apa orang kota sukanya serba cepet-cepet ya? Ish, time is money bener-bener berlaku di Jakarta, kah? Sampai dia pergi dari rumah kaya gak perlu pamitan ke orang tuanya!'
Saat ini bahkan Reiko tidak lagi menunggunya dan sudah membuat langkah lebar menuju ke pintu rumah.
Terpaksa Aida mengikutinya sambil berlari kecil setelah tadi menundukkan kepala di hadapan keluarga Reiko yang masih memberikan mimik wajah mengejeknya. Aida tidak sempat untuk bersalaman. Lagi pula mereka juga sepertinya tidak hanya akan menghinakannya jika dia melakukan itu.
"Ngapain kamu?"
"Mau masuk mobil."
Reiko yang baru mau membuka pintu pengemudi, dia terpaksa diam dan bertanya saat Aida membuka pintu kabin belakang di seberangnya.
"Jangan duduk di belakang. Apa kamu kepengen aku dianggap supir?" dan jawaban Aida membuat Reiko protes berat.
"Duduk di samping driver."
Reiko menginstrupsi dan membuat Aida terpaksa duduk di tempat yang diinginkan suaminya itu. Sama seperti saat turun pesawat tadi mereka duduk di mobil pengantin memang hanya berdua, tanpa supir.
Reiko bukan typical pria yang suka pakai supir.
Tapi meski duduk bersebelahan, suasana kabin mobil itu hening dan dingin tanpa suara.
'Harusnya aku mulai sadar ada yang aneh saat di pesawat jet pribadi. Mereka semua sibuk dengan handphone masing-masing dan tak menyapaku. Begitu juga dengan dia yang meski cuma berdua, tetap tak menyapaku saat menuju rumah orang tuanya. Huh, kenapa saat itu khayalanku malah berpikir tentang canggung di malam pertama?'
Aida mengumpat dirinya sendiri, saat mobil melaju keluar dari kediaman keluarga Endra Adiwijaya. Pikiran Aida mulai menarik benang merahnya yang membuatnya merasa bodoh karena keluguannya.
'Tapi bukankah lebih baik begini? Aku pun juga tidak ada yang ingin dibicarakan dengannya, kan?' pikir Aida yang lebih memilih untuk mengamati pemandangan kota Jakarta karena orang di sampingnya, memang seperti supir online yang tak mengenalnya, tak juga mengajaknya bicara.
Maklumlah, Aida tidak dibesarkan di kota seperti Jakarta. Aida tinggal di daerah Jawa Tengah, Kendal, sekitar delapan puluh kilo-an dari Kudus, tempat tinggal Romo Adiwijaya, kakek Reiko.
Pertemuan Aida dengan Adiwijaya juga, itupun karena kakek Reiko sering mensurvei sendiri cengkeh yang diperlukan untuk kebutuhan pabriknya. Dan Laksono, almarhum ayah Aida selalu menjamunya di rumah mereka. Adiwijaya adalah kostumer penting yang selalu memborong hasil panen kebun cengkeh Laksono dan bahkan membeli kebun cengkeh itu ketika keluarga Aida butuh uang untuk biaya pengobatan Laksono.
Romo Adiwijaya juga yang selalu datang menjenguk ayah Aida dan membantu biaya pengobatan saat uang mereka sudah tak lagi tersisa.
'Kalau bukan karena kebaikan Romo dan hutang budi keluargaku, ibu juga gak akan menjodohkanku. Tapi ya sudahlah, nikmatin aja pemandangan ini!'
Aida adalah anak desa yang jarang sekali melihat gedung pencakar langit yang saat ini menjadi pemandangan mengagumkan di luar kaca jendela mobil.
Aida sesekalinya pergi ke kota besar seperti Surabaya semata-mata hanya untuk berobat dan menemani ayah dan kakaknya dulu berobat. Pengobatan di Surabaya dirasa lebih murah daripada di Jakarta tapi juga tak kalah dengan Jakarta, sehingga dipilih oleh ibu Aida.
Dan ini baru pertama kalinya Aida menginjakkan kaki dan berkeliling dengan mobil di ibu kota Indonesia.
'Lingga, Arum dan Lestari pasti senang melihat pemandangan seperti ini. Tapi sayang kami nggak bisa liat ini semua bareng sekarang. Mungkin nanti pas ibu anter Lingga sekolah pilot di Tangerang, kali ya? Tapi apa aku akan diizinkan untuk bertemu mereka, ya?'
Memikirkan patung robot tanpa hati di sampingnya, Aida tak terlalu berharap banyak bisa bertemu keluarganya.
'Semoga lima tahun cepat berlalu. Aku pasti merindukan kalian semua. Lingga, Arum, Lestari dan Ibu.'
Aida jajdi kepikiran tentang keluarganya. Seumur-umur Aida belum pernah jauh dari keluarga dan selalu sharing baik kebahagiaan dan kesedihannya dengan anggota keluarga. Ini pertama kalinya dia meninggalkan rumah dan sekalinya keluar, Aida sudah tak lagi menjadi tanggungjawab keluarganya. Justru masuk ke kehidupan yang 180 derajat berbeda dan menuntutnya menjadi gadis yang harus mampu bertahan dalam hidup yang keras.
"Keluarkan kopermu. Dan ikuti aku, jangan teralu dekat! Jaga jarakmu. Berjalan agak di belakangku."
"Baik Pak, saya paham."
Untung Reiko menyadarkan dari lamunan Aida tentang keluarganya. Kalau tidak, Aida mungkin akan menangis mengingat rindu pada keluarganya.
"Ingat, jangan sampai ada yang menduga kamu istriku!"
"Siap Pak." dan ini kata-kata Aida setelah membuka seatbelt dan satu tangannya yang lain membuka pintu mobil.
Tentu saja Aida mengerti karena memang sudah jelas pembicaraan di rumah Endra kalau Reiko punya kekasih dan tak mau sampai dianggap memiliki hubungan khusus dengannya.
Pria itu kini sudah berjalan lebih dulu tanpa mempedulikan Aida yang agak kesulitan dengan badannya yang kecil menarik kopernya yang tentu saja berat karena berisi barang-barang penting Aida. Tangan kanan dan kirinya menarik koper dengan satu tas yang dimasukkan ke lengannya dan backpack di punggungnya juga berat.
'Benar-benar tidak punya hati. Mungkin nanti di apartemennya aku akan disuruh tinggal di kamar pembantu kali ya? Supaya bisa menghayati bahan membuat novel Pembantu Berstatus Istri?'
Tak salah jika Aida berpikir begini. Melihat perlakuan Reiko seperti ini, sudah jelas bukan kalau Aida memang dianggap sebagai pembantu? Saran novel Istri yang dinikahi hanya untuk menjadi pembantu. Ini menggelikan untuk pikiran Aida sendiri.
Tapi apa benar begitu?
'Huuuuh ... apartemen apa istana ini?'
Di saat pintu apartemen dibuka dan netra Aida menyapu pandangan berhasil mengirimkan gambar visual ke neuron saraf otak, jelas itu membuat gadis mungil itu terperangah.
"Kamu bisa menggunakan kamar ini." Reiko menunjukkan sesuatu yang membuat Aida speechless.
"Ingat! Jaga kebersihan semua ruangan di rumah ini. Terutama di natural area, pastikan tanaman di sana diberikan air yang cukup. Sudah ada panduan bagaimana menutrisi mereka dengan membaca petunjuknya. Aku sengaja menaruh buku di standing stand jelas sekali runtutan apa yang boleh dan tidak dilakukan untuk tanaman di sana." Reiko bicara sambil menunjuk seperti papan penyangga buku menu yang ada di luar restoran. Tapi ini ada di nature space-nya.
Sehingga sebelum orang berjalan ke dalamnya, mereka bisa membaca sama konsepnya seperti orang yang penasaran menu di resto bisa mengecek dulu dan memutuskan mau tetap masuk atau tidak. Kalau ini, memutuskan apa yang harus dilakukan untuk kebersihan Nature Space-nya.
"Baik Pak."
"Baca yang benar! Aku sudah mengecek teliti penjelasan di sana untuk meminimalisasi supaya siapapun yang membersihkan rumah ini bisa tahu apa yang harus mereka lakukan dan jangan sampai ada tanaman yang mati. Aku tidak suka tanamanku kering. Ngerti?"
"Mengerti Pak. Terus ada petunjuk lain di rumah ini?" sindir Aida menyikapi gaya perfeksionis Reiko.
"Gak ada. Untuk ruangan di lantai dua semuanya itu adalah area pribadiku. Tak perlu cuci pakaianku. Laundry akan datang satu atau dua hari sekali. Cukup berikan ke mereka keranjang pakaian kotor yang sudah aku pisahkan. Kamu taruh pakaian dari mereka ke ruang pakaianku ikuti pola di sana menyusun bajunya. Hanya pakaianku yang di laundry. Cuci bajumu sendiri di mesin cuci, jangan nyampur dengaku. Mengerti?"
"Hmmm. Kapan saya boleh bersihkan ruang pribadi Anda?" tanya Aida lagi yang tak menyangka dirinya akan dijelaskan se-detail ini.
"Kamu boleh membersihkan saat aku tidak ada di rumah juga. Tapi tentu saja hanya untuk membersihkan ruangan di sana, bukan mengacak-acak barang pribadiku. Dan perlu kamu ingat, semua ruangan dipantau dengan CCTV."
'Aku sebenarnya ingin mengatakan dia cukup dermawan dengan memberikan kamar tidur yang nyaman. Tapi rasanya aku juga tidak bisa memaafkannya menjadikanku pelayan setelah dia mengikatku dengan pernikahan. Ya ampuuuun, kalau bukan karena keluargaku butuh uang, tidak akan aku menerima semua hinaan ini,' pekik di dalam hati Aida sambil dia mengangguk paham.
"Apa ada pertanyaan lain?”
Tentu saja Aida kembali mengangguk.
"Anda tadi mengatakan kalau semua ruangan di apartemen Anda dipantau CCTV."
"Hmm, makanya jangan macam-macam!" sinis Reiko.
"Saya belum selesai pak!" seru Aida yang melanjutkan bicara. "Lalu apa kamar yang saya tempati juga termasuk dalam pantauan Anda, pak Reiko?"
Ngebul dan berasap kepala Reiko mendengar ucapan Aida yang tak disangkanya. Hingga wajahnya yang bersih, putih, cukup terawat sebagai pria metroseksual itu memerah menahan marah dan Reiko yang emosi, menjawab tanpa berpikir panjang:
"Apa kamu berpikir dirimu tanpa dua yang kenyal di dadamu itu cukup menarik sehingga aku harus mengintipmu mandi, hmmm?"
"Biar kubantu. Dan biarkan Reizo menenangkan dirinya dulu."Dan tiba-tiba seseorang datang, padahal tadi dia tidak ada di sana."Tuan Rafael mohon bantuannya."Dokter Juna dan Rafael akhirnya yang menggali sedangkan Reizo sendiri dalam kondisi dia yang tidak tenang. Irsyad menunggu mayat dengan terus saja bertasbih. Dia tidak meninggalkan Aida, meski dia juga tidak menyentuhnya. Hanya memastikan selalu terdengar tasbih dan sholawat di dekat mayit."Allahu Akbar."Dan tiba-tiba saja dokter Juna meninggikan suaranya. Dia kaget betul dengan apa yang dilihat nya sekarang."Raizo berdiri di sini. Atau kau duduk di sini dan teruslah tasbih. Kasihan Aida."Irsyad terpaksa menarik Reizo untuk mendekat pada Aida, sedangkan dirinya cepat-cepat menuju ke liang lahat.Subhanallah, air matanya ingin tumpah sedangkan dokter Juna juga kebingungan."Bahkan bekas daerah-darahnya juga sudah hilang. Kulitnya kembali seperti semula. Tapi dia tidak bernyawa.""Dia mirip seperti Reizo, tapi dia pucat.""Iy
"Aku tahu. Kau jangan banyak bicara!”"Ya sudah, mulailah Reizo, atau lebih baik kau suruh saja Irsyad yang melakukannya kalau memang kau tidak sanggup.""Aw … ehm ... Irsyad, kau saja yang lakukan. Aku tidak bisa."Sudah seperti yang dipikirkan oleh Irsyad, karena memang saat ini pria itu sedang benar-benar terpukul. Apa yang terjadi pada pikirannya, tapi sungguh dia memang merasa marah dan campur aduk yang tak jelas."Allahu Akbar Allahu Akbar."Dan suara lantunan azan yang begitu merdu itu pun tidak bisa membuat pria itu fokus.Aku tidak bisa menyelamatkanmu dulu dan itu semua karena aku datang terlambat. Tapi kini aku juga tidak bisa menyelamatkan istrimu, karena kemarahanku padanya. Aku meninggalkannya dan aku pikir memang dua rekanku menjaganya. Aku tidak buru-buru mencarinya. Ini semua salahku. Mungkin memang aku tidak pantas untuk menjaganya? Dan sebenarnya apa perasaanku padanya? Kenapa aku seperti makin lama makin ingin tahu tentang dirinya? Tapi kenapa dia begitu bodoh? Ken
"Innalillahi wa innalillahi roji'un."Irsyad yang lebih dulu menyadari tentang kepergian seseorang yang sangat dicintainya.Tak tahulah dia harus bagaimana. Tangannya masih menjahit bekas luka saat tadi mengeluarkan bayi. Dan matanya kini basah dengan air mata yang berusaha untuk ditahan olehnya."Hey, bangun! Jangan main-main! Buka matamu!" Tapi lain Irsyad, lain juga pria yang ada di samping Aida yang tadi diberikan oleh Aida rambutnya yang memang rontok. “Bangun! Buka matamu!" Pria itu kembali memaksa."Reizo, kau memintanya bagaimanapun, dia tidak akan bangun. Lukanya terlanjur parah. Lambungnya tersayat, asam lambung di lambungnya menyebar di tubuhnya dan kau tahu? Asam lambung itu sangat berbahaya. Dia bisa melukai dan membakar organ lainnya. Ditambah lagi… lihat ini. Beruntung Aida melahirkan bayinya lebih cepat. Aku tidak tahu kalau ditunda lagi, mungkin bayi-bayi itu juga akan terkena masalah dengan sel kankernya. Pertumbuhan tidak normal dan kau bisa lihat sendiri."Memang a
"Aida."Mereka semua kaget melihat ada beling yang menancap di tubuh Aida dari belakang dan tembus ke depan. Wanita itu pun agak kesulitan untuk bicara."Kau."Leo sudah memegang senjatanya untuk menembak orang di belakang Aida."Kau tidak akan pernah bisa mendapatkan kami. Chip itu sudah kami bawa."Tapi Alexander yang terluka parah, dia juga bisa menggunakan transportasi. Dan Alexander kloningan yang ada di belakang Aida sudah mengambil chip itu. Di saat yang bersamaan, Alexander yang terluka menghilang lalu dia mendekat pada Alexander yang baru keluar dari kapsul lalu membawa pria itu pergi. Sisa sembilan kapsul lagi yang kacanya pecah sekarang.DOOR DOOR DOOR!Makanya Leo yang sudah memegang senjata cepat-cepat mengarahkan senjatanya ke kepala mereka."Aida!” Dan kini Dokter Juna dengan cepat berusaha untuk masuk mengambil Aida."Cepat bawa dia ke rumah sakit!”Rafael yang bicara, lalu dia menatap Jo dan Leo, dia sudah mengaktifkan peledaknya.“Kita harus cari atau semua orang di
"Ah tidak. Aku hanya mendengar cerita dari Alan.”"Dan Alan." Kini Alexander menunjuk pada Aida dengan senyum kecut di bibirnya. "Kalau bukan karena ada pengkhianat seperti dirinya, aku pasti menang dari Rafael," ujarnya lagi dan kini dia menekankan sambil berjalan mendekat pada Aida."Bisakah kau berdiri diam di sana dan tidak mendekat padaku? Aku risih jika bukan suamiku dekat padaku.""Dan kau tahu? Aku menyukaimu. Kau bisa hidup damai denganku dan bekerja denganku. Untuk menjadi suamimu aku juga tidak masalah. Karena kau adalah wanita yang menarik. Hanya saja, aku harus tekankan padamu keselamatanmu itu bergantung pada keloyalanmu padaku dan aku tidak suka pengkhianatan.""Ehm, kenapa kau menyimpan gudang senjata di apartemen suamiku?""Oh, kau membicarakan senjata di lemari yang baru kebuka?”Aida tak mau Alexander mendekat lagi sehingga dia kembali menanyakan sesuatu untuk mendistraksinya.Tipe orang yang suka show of. Aku harus membuatnya menceritakan semua hal. Ini adalah cara
"Terlalu jauh kalau harus membunuhmu. Aku tidak bisa melawanmu karena sekarang aku juga sedang mengandung. Tapi coba keluarkan dulu saja masnya supaya kau tidak membuang waktuku lebih lama berdiri.""Ah … kau pasti lelah. Kau ingin duduk?” tanyanya lagi.“Kau tunggu di sini! Biar kuambilkan kursi dari ruang kerja suamimu supaya kau bisa duduk.”Dia cukup baik juga. Bisik hati Aida lagi. Sesuatu yang membuat dirinya juga penasaran.Ada sisi baiknya. Apakah ini dari gen yang dimiliki oleh ayahnya Tuan Rafael? Dan ada sisi buruknya, apakah ini dari gen yang dimiliki oleh temannya Tuan Rafael? Karena dia memiliki gabungan gen yang berbeda.Aida tak peduli larangan Alexander untuk mengambil sesuatu dari ruang kerja suaminya, tapi dia sempat mendekat pada tempat emas dan mengambil sesuatu dari sana. Sesuatu yang diselipkan di balik kerudungnya. Di tempat yang tidak bisa terlihat oleh siapa pun tentu saja."Kau duduklah di sini!”"Terima kasih." Aida menjawab dengan ucapan sesantai itu dan d