Share

SEPEREMPAT JAM

"Wah, kalau begitu dia harus memanggilku dan Rukma dengan sebutan nona juga dong, mas Reiko? Hehehe."

 

Itu adalah suara Retisalya Adiwijaya, adik Reiko. Reti adalah kakak Rukmasara Adiwijaya. Usia Reti sama seperti Aida. Sedangkan Rukma, setingkat di atas Arum, adik Aida.

 

Sebelum tiba di rumah Endra, kedua putrinya ini memang terlihat pendiam sama seperti Reiko. Paras mereka yang ayu lebih mirip dengan Rika, serta kulit mereka yang kuning langsat membuat keduanya terlihat anggun, sangat Indonesia dan terkesan ramah. Suara mereka tak kalah lembut dan merdu, seperti Rita saat bicara. Sungguh melenakan Aida saat bertemu dan bicara dengan mereka sebelum pernikahan.

'Tapi itu semua sama saja, hanya kedok. Iblis semua isinya di rumah ini!'

 

Aida sudah tak terkejut juga medengar cemoohan dari keduanya. Justru dia menunggu apalagi bully-an yang akan diperolehnya.

 

"Ini bukan waktunya bercanda Reti. Mas sedang buru-buru. Dan kamu Aida, cepat lakukan apa yang aku perintahkan."

 

Tapi justru Reiko yang menghentikan aksi mereka sambil menatap ke jam tangannya. Dia tak berniat membela Aida. Memang terlihat tak ingin buang waktu saja.

 

"Baik. Tapi saya harus ngambil koper dulu di mobil."

 

Barang-barang Aida memang masih ada di dalam bagasi mobil pengantin. Tapi kalau membongkar itu semua, Reiko harus merelakan waktunya terbuang beberapa menit. Dia mengetuk-ngetuk kaca jam tangannya dengan tatapan tak setuju pada Aida

 

Sehingga

 

"Mbak Parmi, kamu kan pakai jilbab dan ukuran tubuhmu juga hampir mirip dengannya. Pinjamkan bajumu padanya."

 

"Eh, jadi pelayan di sini tau?" celetuk Aida refleks yang tak menyangka kalau perjanjian itu juga diketahui pekerja di rumah itu. 

 

"Ya iyalah. Kalau ga tahu, ga mungkin papa ngomong di ruang tengah gini."

 

"Maklum aja, dia pasti nyangka di rumah ini bakalan dianggap nyonya Reiko Adiwijaya, mbak Reti," tambah Rukma ikut nyeletuk "Makanya dipertegas harusnya kalo pelayan semua pada tau dan ga akan ada yang berani ngadu sama kakek kita. Lagian, rumah ini punya aturan sendiri, beda sama rumah kakek di Kudus."

 

Ini baru hari pertama Aida masuk ke dalam keluarga Reiko, tapi entah sudah berapa kali dia mendapatkan penghinaan. Sekarang salah satunya. Alih-alih meminta kedua adiknya untuk meminjamkan baju, Reiko lebih memilih untuk meminta pada pembantunya dan tak ada pertolongan dari siapapun ketika Rukma yang usianya masih enam belas tahunan menyindirnya begitu.

 

"Hahaha."

 

Bahkan tak ada yang peduli mengingatkan soal manner saat dua gadis muda itu tertawa lepas. Rika justru senyum-senyum puas di saat kedua anak gadisnya memerah wajahnya dengan suara gelegar yang membuat telinga Aida terasa sangat terganggu.

 

"Mbak Parmi, jangan diem aja dong! Aku diburu waktu nih!"

 

"Ba-baik den Reiko."

 

Mbak Parmi sendiri juga kebingungan sebetulnya. Dia sungguh tak menyangka dengan permintaan Reiko yang menurutnya tak pantas. Tapi Parmi tidak mau mendapatkan masalah. 

 

"Ayo Non." Dia pun mengajak Aida menuju ke kamarnya

 

"Mbak, panggil aja Aida, dia juga diwajibin manggil aku non Rukma kok! Dia se-level ama kamu. Eh di bawah levelmu kayaknya, soalnya pelayan baru!"

 

"Hahaha!"

 

Ada tawa tersisa yang masih di dengar Aida ketika dia sudah mengangguk dan memilih mengikuti Parmi. 

 

Baru hari pertama aja begini, huh! Sabar Aida, masih ada lima tahun lagi!

 

Lagi-lagi ujian kesabaran untuknya. Aida tahu ini tak mudah. Tapi tetap, dia punya impian, tujuan, sebuah hasrat terbesar dalam hidupnya untuk diwujudkan. 

 

"Maaf Non, kamarnya saya kecil."

 

Makanya Aida tak berbalik arah untuk meremas mulut Rukma. Dia tetap mengikuti Parmi sampai ke pintu kamar ART itu dan tersenyum ramah menanggapi pernyataan Parmi.

 

"Mbak Parmi, panggil aku Aida aja, aku bukan non Aida dan aku cuma gadis desa dari Kendal yang melihat kamar mbak Parmi ini ndak jauh beda dari kamar di rumahku, bahkan lebih bagus karena kamarnya ada kamar mandinya sendiri. hehehe," justru Aida mengkoreksi Parmi seperti ini. 

 

Aida menanggapi santai. Dia tak meninggi dan memang seorang yang santun. Membuat Parmi jadi makin tak enak.

 

"Tetep aja, Non. Saya gak bisa panggil begitu. Silakan cuci muka di kamar mandinya Non. Ini pembersih wajah dan sebentar saya siapkan bajunya, supaya den Reiko gak marah kalo kelamaan."

 

Parmi sebetulnya berempati dengan Aida. Dia dan seluruh karyawan di rumah itu sudah di briefing Endra sesaat setelah Aida dan Reiko masuk ke kamar tadi menyelesaikan perjanjian.

 

Tapi tetap, Parmi hanya ART dan dia bekerja untuk keluarga Endra. Makanya tak mau membuat juragannya marah. Dia cepat-cepat menyelesaikan desk job-nya mencari baju untuk Aida setelah wanita itu masuk ke kamar mandi.

 

"Ini baju yang saya punya dan yang terbaik Non."

 

"Aduh mbak, ndak usah baju yang terbaik. Baju yang biasa aja yang penting pakai kerudung. Yang sama kayak mbak Parmi pakai aja, baju sehari-hari."

 

"Tapi Non?"

 

"Udah, ndak apa-apa! Kalau aku pakai baju terbaik mbak Parmi, yakin aku mbak Parmi bisa diceramahi dan dipotong gaji!" 

 

Candaan Aida ini membuat wajah Parmi meringis. Dia jelas tahu semua itu bisa jadi nyata melihat tak ada satupun juragannya yang menyukai Aida di rumah itu. Tapi karena tak enak, meski ngeri Parmi tetap menawarkan bajunya yang terbaik itu. 

 

"Waduh, mbak Parmi, aku ndak bisa pakai yang ini," tapi tetap tak mudah membujuk Aida.

 

"Gimana kalau mbak Parmi izinin aku sendiri yang pilih bajunya?"

 

"Hmmm.. silakan Non."

 

Setelah berpikir sepersekian detik, mbak Parmi akhirnya setuju dengan saran dari Aida.

 

"Maaf ya mbak, aku ndak sopan ni pilih-pilih di lemari mbak Parmi."

 

"Saya yang minta maaf Non, baju saya jelek-jelek semua, baju orang kampung."

 

"Sama, mbak, aku juga dari kampung, makanya nyaman pake baju yang seadanya, lebih adem." 

 

Ada saja jawaban Aida yang tak menyindir dan memang membuat Parmi jadi makin menyukai sikap merendahnnya. Aida memang tak sombong. Dia juga tak mengacak-ngacak lemari itu. Pilihannya cukup cepat juga, tak sampai semenit.

 

"Aku pilih yang ini aja deh."

 

Aida menghentikan pencariannya dengan pilihan kaos biru dongker lengan panjang polos dan celana panjang bahan berwarna senada dengan kerudungnya, TAN. Coklat gelap, yang sering dianggap seperti warna beige, padahal sebetulnya berbeda. Warna ini di alam bisa ditemukan di pasir, tanah atau batang pohon.

 

"Non, tapi baju itu jelek Non. Gak pantes buat Non."

 

"Ndak pa-apa mbak Parmi, makasih ya udah mau pinjemin aku baju sama kasih aku pakai sabun mukanya," itu ucapnya sebelum kembali ke kamar mandi untuk salin.

 

Beruntung Aida menggunakan kerudung. Jadi rambutnya tidak disasak sedemikian rupa pakai konde dan membuat dirinya bisa lebih cepat mengganti pakaian. Hanya membuka semua baju pengantinnya dan yang paling lama adalah menghapus make up tadi di wajahnya sampai dia harus berkali-kali mencuci wajah.

Aida sudah merasa sangat cepat.

Tapi ...

 

'Kesalahan apalagi yang iblis jantan itu menatap seperti ingin menerkamku?' bisik Aida curiga melihat Reiko yang berdiri sendiri dengan tangan bersedakep sedangkan semua anggota keluarganya duduk di sofa ruang tengah terlihat santai bercengkrama satu dengan yang lainnya. Hanya senyum Rukma dan Reti yang mengganggu Aida.

 

"Seperempat jam kamu menghabiskan waktuku menunggu. Ganti baju apa spa dulu, hmm?"

 

"Spa memang ada yang cuma seperempat jam, Pak?"

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Kiki Sulandari
Reiko....kau jahat... Untuk apa kau menikahi Aida,kalau hanya dijadikan sebagai pembantu?
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status