Home / Romansa / Istri yang Terabaikan / Hasrat yang Terpendam

Share

Hasrat yang Terpendam

Author: Alverna
last update Last Updated: 2025-10-02 20:44:46

Aira baru saja selesai menata makanan di meja makan. Ia menatapnya sejenak, lalu menghela napas panjang. Pandangannya beralih ke pintu kamar Gavin. Peringatan suaminya itu masih terngiang:

“Jangan pernah masuk kamarku tanpa izin.”

Namun, tiap kali pintu itu terbuka, aroma pengap menusuk hidungnya. Malam ini, keinginannya untuk membersihkan kamar itu jauh lebih kuat daripada rasa takutnya.

Perlahan ia memutar gagang pintu. Pintu berderit, dan matanya langsung melebar.

“Kamar atau kapal pecah?” gumamnya pelan.

Botol minuman keras berserakan di lantai, gelas-gelas kotor menumpuk di meja, pakaian acak-acakan. Bau alkohol membuat Aira ingin muntah. Ia menutup hidung, lalu cepat-cepat mengambil sapu dan pel.

“Ya Tuhan, apa karena ditinggal Lyra dia begini?” bisiknya sembari mengangkat pakaian dan memasukkannya ke keranjang.

Ada rasa bersalah menusuk hatinya. Jelas tergambar bahwa Gavin sedang hancur karena kepergian Lyra.

Setelah cukup lama, kamarnya perlahan rapi. Aira bahkan mengganti seprai. Saat hendak meletakkan sesuatu di meja, pandangannya tertumbuk pada sebuah foto. Ia terdiam.

Foto Lyra.

Kembarannya. Dengan gaun elegan, senyum memikat. Jauh berbeda darinya.

Aira tersenyum getir. “Kamu memang selalu lebih bersinar dariku, Lyra… maafkan aku harusnya kamu yang di sini”

*

Di sisi lain, Gavin baru pulang. Tubuhnya terasa remuk setelah seharian rapat dan menembus macet dengan motor butut. Raut wajahnya penuh frustasi.

Sambil menghela napas berat, ia membuka pintu rumah. Sepatunya ia tendang sembarangan. Ia melirik sofa kosong.

Sungguh kakeknya tidk main-main dengan hukumannya. Bahkan ketika Gavin meminta uang pada neneknya, kakeknya langsung mengusirnya.

“Kemana lagi perempuan itu?” gumamnya lirih mencari keberadaan Aira.

Bunyi air dari kamar mandi membuatnya tahu bahwa Aira di dalam sana. Ia melangkah ke dapur, mengambil sebotol minuman dari kulkas dan meneguk sampai tandas.

Ceklek.

Pintu kamar mandi terbuka.

Mata Gavin membola, Aira keluar hanya dengan handuk melilit tubuhnya. Sedangkan Aira sendiri membeku saat melihat Gavin berdiri di dapur, masih memegang botol kosong.

Mata mereka saling bertemu. Hening.

“Se-jak kapan kamu pulang?” suara Aira terbata, tangan merapatkan handuknya. “Aku pikir… kamu nginap lagi," ujar Aira karena sudah lama Gavin gak pulang.

Alis Gavin berkerut. “Maksudmu kau ingin aku pergi?” suaranya dingin, menusuk.

“Bukan begitu!” Aira buru-buru menunduk. “Aku hanya… tidak tahu kamu pulang lebih cepat. Kalau tahu, aku pasti bersiap.”

Gavin melangkah maju. Aira refleks mundur. “Bersiap?” tanyanya datar. “Untuk apa?”

Wajah Aira memerah. “M-maksudku, aku akan hati-hati. Tidak keluar begini.” Aira mengeratkan handuknya.

Sekejap kemudian, tanpa peringatan, Gavin menariknya ke pelukan. Tubuh Aira kaku.

“Ga… Gavin…” suaranya bergetar.

“Diam.” Gavin menunduk, kepalanya bersandar di lekuk leher Aira. “Jangan menjauh.”

Jantung Aira berpacu liar. Ia bisa merasakan nafas panas suaminya di kulit lembapnya.

“Kenapa… kenapa kau lakukan ini?” tanyanya lirih.

“Karena aku butuh ini.” Suara Gavin parau, sarat kerinduan. Melihat Aira ia jadi semakin merindukan Lyra.

Aira terdiam. Ia tahu persis, pelukan ini bukan untuknya. Ia hanyalah bayangan Lyra.

Beberapa detik terlewati dalam keheningan. Lalu, dengan suara hampir berbisik, Aira berkata, “Aku Aira… bukan Lyra.”

Tubuh Gavin menegang. Ia segera melepas pelukannya. Tatapannya kembali dingin.

“Tentu saja. Kalau bukan karena dia, untuk apa aku memelukmu.”

Kata-kata itu menusuk hati Aira. Namun ia hanya menunduk, menahan diri. Perlahan ia melangkah menjauh. “Kalau begitu… aku permisi.”

Baru beberapa langkah, Gavin kembali meraih tangannya.

“Sebentar.”

Aira menoleh, bingung. “Apa lagi?”

Gavin menatapnya dalam. Tanpa kata, ia menunduk.

Cupp!

Bibir mereka bersentuhan. Aira membeku, matanya membola. Tangannya otomatis menekan dada Gavin, tapi tubuhnya lemas, tak bertenaga.

Gavin justru semakin menekan. Bibirnya melumat penuh, dalam, seolah ingin menenggelamkan semua kerinduan yang ia pendam. Aira terhanyut, tak tahu harus melawan atau menyerah.

Ia berusaha menutup rapat mulutnya, namun Gavin menggigit lembut, memaksanya terbuka. Detik itu, Aira merasakan seluruh pertahanannya runtuh.

Aira terdiam. Tubuhnya gemetar, campuran bingung dan rasa yang baru pertama ia rasakan. Aira terbuai, tanpa sadar memejamkan matanya.

“Aira sadar,” batinnya berontak.

Ini salah, Gavin mencium bukan karena cinta. Hanya karena wajahnya menyerupai seseorang yang sudah tiada.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri yang Terabaikan   Meminta Izin

    Selama satu bulan terkurung di apartemen, ia benar-benar merasa bosan, apalagi hanya ditemani Mbok Inah.Ia terbiasa bekerja keras, terbiasa mengurus semuanya sendiri. Tiba-tiba harus diam di rumah berbulan-bulan membuat kepalanya penuh dan dadanya sesak oleh rasa jenuh yang menumpuk.Tapi Gavin melarangnya.Tanpa izin Gavin, Aira bahkan tak diperbolehkan keluar. Ia memilih menurut daripada membuat lelaki itu marah dan berujung pada hukuman yang membuat Aira merinding.Kemarin ia melanggar larangan Gavin dan hampir berakhir ciu man panas.Namun, selama satu bulan itu pula, Gavin berubah begitu manis. Ia terus menghubunginya, memberitahu di mana ia berada, apa yang ia lakukan. Aira sampai merasa mereka seperti sepasang kekasih yang menjalani LDR.“Memangnya diizinkan sama Tuan?” tanya Mbok Inah sambil menata gurame asam manis ke atas piring, lalu meletakkannya di meja. Beberapa potong ayam goreng turut disajikan. “Mau makan nasi atau lauknya saja?” tanyanya lagi saat hendak mengambil

  • Istri yang Terabaikan   LDR

    Gavin yang mendengar meradang. Pagi-pagi emosinya dibuat naik oleh Elvand.“Apa yang barusan lo bilang?”“Tuh, nyatanya juga tuli. Sini, cepat! Takut ngamuk,” kata Elvand masih tidak peduli pada Gavin. Bahkan ia menyuruh Aira agar beralih padanya.Aira yang mendengar langsung terkekeh, bahkan hampir tertawa nyaring.“Lo mau gue bunuh?” kata Gavin tajam. Tatapannya dingin, menusuk.Elvand langsung menatap balik, tak kalah panas.“Santai, Bro. Cuma bercanda kok. Biar pagi-pagi nggak tegang,” katanya nyengir, puas karena berhasil memancing emosi Gavin.“Lagian hidup tuh jangan terlalu kaku. Santai dikit… biar nggak cepat tua,” lanjutnya. “Nanti Aira malah beralih cari brondong. Iya, kan, Aira? Nggak masalah banget kalau berondongnya yang paling dekat. Misalnya… gue,” ujarnya sambil mengedipkan mata ke arah Aira.Tangan Gavin langsung mengepal.“Ayo pulang. Ngapain buang waktu ngobrol sama keledai bodoh? Takut kebagian bego,” katanya dingin, sengaja menekankan kata itu. Menurut Gavin, Elv

  • Istri yang Terabaikan   Anggap Sebagai Hukuman

    Sekali lagi kecupan mendarat, kali ini di bibir Aira, walau hanya sekilas namun cukup membuat Aira membatu di tempat.“Oke. Satu kali kamu memanggil aku dengan sebutan Tuan, berarti kamu sengaja meminta aku untuk menyentuhmu. Anggap itu sebagai hukuman karena terus menggodaku,” kata Gavin memberi peringatan. Tapi lebih tepatnya mencari kesempatan.Dan membuat milikku terasa ngilu, batin Gavin melanjutkan kata-katanya.Aira masih mematung. Kali ini ia benar-benar harus mengingat untuk berhenti memanggil Gavin dengan sebutan Tuan. Ia merasa seperti perempuan murahan, seolah sengaja meminta untuk disentuh, padahal ia baru saja diperingatkan, namun tetap saja mengulanginya lagi dan lagi.Hening kembali menyelimuti mereka.Sepertinya Aira takut pada ancaman Gavin.“Kamu ingin mandi lebih dulu?” tanya Gavin akhirnya, memecah keheningan. “Sepertinya kita harus pulang. Aku tidak mau bertemu dengan ‘mereka’ di meja makan, karena aku yakin Eyang Mandala akan mengumpulkan kita lagi. Masalah mala

  • Istri yang Terabaikan   Hasrat yang Tertahan

    Gavin bangun dengan mata yang berkantung. Setelah hampir semalaman tidak bisa tidur karena hasratnya terus meronta ingin diberi jatah, lelaki itu baru bisa terlelap sekitar jam empat subuh.Matanya mengerjap beberapa kali saat mencoba membiasakan diri dengan cahaya matahari yang masuk melalui celah gorden yang sedikit terbuka.Ah … sudah jam enam pagi rupanya.Gavin merasa pergelangan tangannya sedikit kebas, karena posisi Aira masih tidur menindih lengan itu.Dengan lembut Gavin mengangkat kepala Aira dan mengganjalnya dengan bantal untuk menggantikan tangannya.Aira yang masih nyenyak dalam mimpi tampak begitu damai, bahkan bunyi dengkuran halus pun terdengar.Kali ini Gavin tidak mendengar igauan apa pun dari Aira. Biasanya wanita itu selalu tidur dengan wajah cemas, lalu saat sudah nyenyak akan mengigau hingga menangis.Senyenyak itu dia tidur, seolah tak peduli Gavin yang sedang berusaha mengatur detak jantungnya yang menggila dan rasa panas yang menjalar ke seluruh tubuh karena

  • Istri yang Terabaikan   Aku Menginginkanmu...

    Gavin menoleh. Tanpa sadar ia tertawa, membayangkan Aira yang lembut itu menampar ibu tirinya, rasanya membuatnya lucu. Melukai hewan saja Aira tak tega, bagaimana bisa menampar penyihir.Tapi ia mengangguk sambil menimpali candaan Aira.“Bolak-balik, kalau perlu. Kalau bisa kamu ikut hajar juga tadi.”Aira ikut tersenyum dan melanjutkan, “Kalau perlu, biar aku saja yang maju. Biar Eyang Mandala percaya padamu.”Kali ini Gavin terdiam. Aira benar. Ia tidak menyangka sang Eyang justru berpihak pada Ayahnya.Mungkin Eyang Mandala mulai membuka hati untuk memaafkan Ayahnya, begitu pun Neneknya yang terang-terangan mengundang keluarga mereka. Padahal mereka semua tahu Gavin masih sangat membenci mereka.Tangan Aira terulur, menyentuh pipi Gavin yang masih tampak merah bekas tamparan Adimas. Gavin membeku begitu saja oleh sentuhan itu.Aira mengusapnya lembut, seakan dengan sentuhan itu rasa sakit di pipi Gavin akan hilang tanpa sisa.Gavin menatap mata Aira lekat-lekat, lalu tersenyum. Ta

  • Istri yang Terabaikan   Aku Di sini...

    Aira mencoba mengangkat wajahnya untuk melihat Gavin, tetapi ketika ia ingin merenggangkan pelukan, Gavin justru menahannya erat.“Jangan pergi… kumohon,” suara Gavin pecah dan serak, membuat Aira terdiam.Untuk pertama kalinya, Aira melihat Gavin benar-benar jatuh. Sosok yang selama ini tampak tegar dan tak tersentuh itu tampak hancur di pelukannya. Luka lama yang kembali terkoyak dengan kedatangan keluarga yang merusak masa kecilnya— ternyata masih menyisakan sakit yang begitu dalam.“Tidak apa-apa, aku di sini bersama kamu,” bisik Aira lembut.Ia menepuk-nepuk punggung Gavin, merasakan bagaimana dada lelaki itu naik turun tak teratur, sementara aroma maskulin suaminya perlahan menenangkan dirinya sendiri.Mendengar kata-kata Aira, Gavin semakin menenggelamkan wajahnya di lekuk lehernya, seakan mencari tempat berlindung terakhir yang ia punya. Getar di tubuhnya perlahan mereda. Aira bisa merasakan Gavin menarik napas panjang sebelum akhirnya merenggangkan pelukan mereka.Gavin men

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status