LOGINAlex terbangun dengan kepala berdenyut dan rasa mual yang hebat. Ia mengerang, mencoba mengingat apa yang terjadi semalam. Samar-samar ia mengingat sebuah wajah perempuan yang ditemuinya di lorong apartemen.
Namun, bayangan itu segera tertutup oleh gelombang amarah yang menggelegak. “Sialan kau, Regina!” Mantan kekasihnya itu menjebaknya, memberinya obat perangsang dalam minumannya saat mereka di bar tadi malam. “Dasar wanita licik!” Alex tahu pasti ini adalah ulah Regina, yang ingin kembali menjalin hubungan asmara dengannya, atau mungkin lebih, berharap dia nikahi agar bisa menguasai hartanya. Tadi malam Alex bisa lepas dari Regina, tapi ada perempuan lain yang menghabiskan malam dengannya tentu tidak bisa dia abaikan begitu saja. Alexander Quinn Vancroft, pengusaha keturunan Eropa dengan kekuasaan dan reputasi tanpa cela yang dibangun di atas rahasia kelam dan skandal yang selalu berhasil dikubur dalam-dalam oleh para leluhurnya. Insiden tadi malam yang tak bisa ia terima, sebuah aib yang bisa menjadi amunisi sempurna bagi keluarganya yang haus kekuasaan dan ingin menyingkirkannya. Reputasinya tidak boleh tercoreng oleh insiden memalukan seperti ini. Dengan rahang mengeras, Alex meraih ponselnya yang tergeletak di nakas. Jemarinya menekan nomor asisten pribadinya. Suaranya dingin, penuh otoritas, tanpa sedikit pun keraguan. "Cari tahu siapa wanita yang bersamaku semalam. Detail lengkap. Dan pastikan tidak ada jejak apa pun yang tertinggal. Aku tidak ingin ada skandal." Ia tidak peduli siapa wanita itu, dari mana asalnya, atau apa yang telah ia alami. Yang terpenting baginya adalah membersihkan kekacauan ini, secepat mungkin. Motivasi awalnya murni untuk melindungi reputasinya, untuk menghindari masalah yang bisa merusak citranya. Ia bangkit, berjalan ke kamar mandi, menatap pantulan dirinya di cermin. Mata merah, rambut acak-acakan, dan tatapan kosong. Ia harus menemukan wanita itu, memberikan kompensasi yang layak, dan memastikan perempuan itu akan tutup mulut selamanya. Tidak ada yang boleh tahu dan merusak reputasi bisnis yang telah ia bangun dengan susah payah, dan tidak ada yang boleh membuka kembali luka lama keluarga Vancroft. Ia membasuh wajahnya dengan air dingin, mencoba menghapus jejak-jejak malam yang terkutuk itu, namun bayangan wajah wanita itu terus menari-nari di benaknya, mengusik ketenangannya. Ada ketakutan dalam diri Alex saat mengingat semalam tidak menggunakan pengaman. Ia tidak ingin Sejarah kelam dalam keluarga kembali terulang. *** Di tempat yang berbeda, Aditya tidak membuang waktu. Dengan pikiran kalut dan rasa bersalah yang mulai merayapi, ia melesat menuju rumah sakit. Sesampainya di sana, ia langsung menuju ruang gawat darurat. Pemandangan yang menyambutnya membuat napasnya tercekat. Naira terbaring lemah di ranjang, wajahnya pucat pasi, bibirnya membiru, dan ada perban di kepalanya. Hati Aditya mencelos, rasa bersalah menghantamnya dengan kekuatan penuh. Seorang dokter mendekatinya, wajahnya serius. "Anda suami Nyonya Naira?" Aditya mengangguk kaku. "Kondisi Nyonya Naira cukup stabil. Tidak ada cidera serius akibat kecelakaan. Sepertinya dia hanya syok saja, namun..." Dokter itu ragu sejenak, lalu melanjutkan dengan suara pelan, "...ada indikasi kuat bahwa Nyonya Naira baru saja mengalami pelecehan seksual berat." “Maksudnya?” tanya Aditya, suaranya tercekat. “Istri Anda mengalami pemerkosaan.” Dokter itu tampak berat mengungkap kenyataan pahit itu. Dunia Aditya seolah runtuh. Istrinya diperkosa, justru saat berada di dekatnya, dan dia tidak tahu sama sekali, tidak bisa melindungi. Rasa jijik pada diri sendiri, kemarahan pada pelaku, dan penyesalan yang mendalam membanjiri Aditya. Ia telah mengkhianati Naira, dan kini Naira harus menanggung penderitaan yang lebih mengerikan. Aditya duduk di samping ranjang Naira, menatap wajah istrinya yang masih terpejam. Ia ingin memohon maaf, ingin menjelaskan, ingin memutar waktu kembali. Namun, kata-kata tercekat di tenggorokannya. Setelah beberapa jam berlalu, kelopak mata Naira bergerak perlahan. Ia mengerjap, pandangannya kosong, menatap langit-langit putih yang terasa asing. Otaknya mencoba memproses di mana ia berada, namun ingatan tentang malam terkutuk itu menerjangnya seperti gelombang pasang. Aroma asing, sentuhan kasar, bisikan menjijikkan, semuanya berkelebat, membuat napasnya memburu. Perlahan, pandangan Naira jatuh pada Aditya yang duduk di sampingnya. Dengan cepat Aditya meraih tangannya, mendekapnya erat, seolah ingin mentransfer semua ketenangan dan penyesalan yang ia rasakan. Namun, pelukan hangat Aditya justru berubah menjadi sentuhan asing yang mengerikan di kulit Naira. Pelukan suaminya itu mengingatkannya pada sentuhan paksa Alex. Naira merasakan gelombang jijik yang luar biasa terhadap dirinya sendiri, seolah tubuhnya sangat kotor. Naira menarik tangannya dari genggaman Aditya, mendorong suaminya menjauh dengan sekuat tenaga yang tersisa. Ia ingin berteriak, ingin mencuci semua jejak sentuhan itu, merasa kotor dan menjijikkan. Aditya terpaku, bingung dengan reaksi Naira. Ia melihat ketakutan yang dalam di mata istrinya, sebuah ketakutan yang tidak ditujukan padanya, melainkan pada memori yang baru saja terbangkitkan. Namun, senyum tipis penuh kepahitan, terukir di bibirnya yang pucat. Dan kemudian, suara Naira yang serak dan bergetar, nyaris tak terdengar, menusuk jantung Aditya hingga ke relung terdalam. "Selamat, Mas. Kamu akan menjadi ayah."“Kenapa harus jenguk sekarang sih, Bu? Besok masih bisa.” Ardi dengan wajah kuyu pulang kerja tampak kesal karena ibunya memaksa untuk menjenguk Vita sekarang juga.“Niat baik itu harus disegerakan, Ar. Jangan ditunda-tunda.”Ardi hanya menghembuskan napas kasar mendengar alasan ibunya yang terdengar bijaksana.Di koridor rumah sakit yang dipenuhi aroma antiseptik yang menusuk hidung. Lampu-lampu panjang di langit-langit memantulkan cahaya putih yang terlalu terang, membuat bayangan di lantai tampak memanjang.Ardi berjalan sejajar dengan ibunya, dalam benaknya hanya ingin segera sampai lalu segera pulang. Malas rasanya jika harus berbasa-basi di hadapan Kirana, karena sebenarnya mulutnya sudah gatal untuk membuka kedok Kirana di hadapan kedua orang tuanya.Sementara Ambar berusaha menyeimbangkan dengan langkah kecil yang cepat. Sesekali ia merapikan kerudungnya, wajahnya tegang menahan campuran gugup dan penasaran.“Bagaimana pun, Vita itu cucuku,” gumam Ambar seolah ingin mengingatk
Kata demi kata yang terlontar dari bibir Danang membat Aditya terpaku di tempat. Ia menunduk, bahunya jatuh, tidak ada pembelaan, tidak ada dalih. Hanya kesadaran telanjang tentang betapa besar luka yang sudah ia timbulkan.Dengan suara hampir tak terdengar, Aditya berkata, “Saya akan bertanggung jawab atas semua yang telah saya lakukan, Pak. Tapi izinkan saya untuk mendampingi Vita.”Danang menatapnya lama, pandangan yang penuh benci, sekaligus sesuatu yang lebih tua dari itu. rasa kecewa yang mendalam.“Kau mau ikut atau tidak, itu urusanmu,” ucap Danang akhirnya, dengan nada dingin. “Tapi semua tentang Vita… bukan di tanganmu, kau tidak punya hak apa pun atas cucuku.”Kirana kembali dengan selimut, memeluk Vita erat. Dia tampak bingung di hadapannya ada Aditya dan ayahnya yang tampaknya belum bisa berdamai dengan pria yang dia cintai.“Ayo...” Kirana tidak tahu pasti siapa yang dia ajak. “Kita ke rumah sakit sekarang,” sambungnya lirih, dengan suara yang patah-patah karena gugup.D
Aditya terdiam membeku, tidak langsung memberi reaksi atas kabar yang baru saja disampaikan Kirana.Tatap mata Aditya terlihat kosong, seolah semua dinding di sekelilingnya mendadak bergerak menghimpit.Sementara itu, Revan tetap tenang, menunggu reaksi Aditya berikutnya.Lalu Aditya meletakkan tangannya di dahi, tubuhnya sedikit membungkuk, suara yang keluar dari bibirnya begitu lirih. Pria yang selama ini penuh wibawa dan matang kini terlihat lelah, kacau, dan dipenuhi rasa kalah yang selama ini ia sembunyikan.“Ya Tuhan… ujian apa lagi ini…?”Aditya bangkit dari kursi dengan gerakan kaku, seolah lututnya tidak lagi mau bekerja sama. Dengan kalimat seadanya, nyaris tidak beraturan dan sama sekali tidak menunjukkan kelas seorang Aditya Pramudito.“Aku… aku harus pergi sekarang. Ada urusan penting yang harus segera aku selesaikan. Nanti kita… kita bicarakan lagi.”Tanpa menunggu jawaban, Aditya berjalan terburu-buru menuju pintu bar. Langkahnya goyah, napasnya sesak, seperti seseorang
Sementara itu di tempat yang berbeda, di sebuah bar yang temaram, lampu-lampu kuning menggantung seperti bintang kuno yang setengah padam. Musik jazz mengalun pelan, namun tidak cukup untuk mengikis ketegangan yang tercipta di antara dua laki-laki di sudut ruangan.Aditya menggenggam gelasnya terlalu kuat, seolah ingin memecahkannya hanya dengan amarah. “Ternyata selama ini kau hanya mempermainkan aku, Van,” ucap Aditya dengan suara rendah, tapi penuh bara.Di tempat dan situasi seperti ini, sikap formal penuh ramah tamah tidak lagi ditunjukkan oleh Aditya. Panggilan dengan embel-embel ‘Pak’ atau sebutan ‘Anda’ sudah ditanggalkan.Pikiran Aditya begitu kacau. Semua rencananya tidak berhasil, semua harapannya tidak terwujud. Rumah tangganya hancur, dan bisnisnya berantakan. Aditya merasakan hidupnya sedang dirundung kesialan.“Kau bilang Tuan Vancroft tinggal menunggu finalisasi. Kau bilang peluangnya besar.”Revan menarik napas panjang, tidak menyentuh minumannya. “Aku tidak pernah bi
Tyas tertegun, senyum yang sempat menghiasi bibirnya runtuh sebelum sempat benar-benar mengembang.“A… apa maksud, Bu Retno?”Retno meletakkan cek itu di meja, menggesernya pelan ke arah Kirana. Dan setiap sentuhan kertas itu ke permukaan meja terasa seperti tamparan keras bagi Kirana. Apa yang dilakukan Retno bukan hanya penolakan, tapi juga penghinaan baginya.“Jauhi Aditya,” lanjutnya tanpa jeda. “Setelah ini, jangan pernah ganggu kehidupan anak kami lagi. Aku rasa uang ini cukup sebagai kompensasi.”Tyas mengerjap cepat, wajahnya berubah kebingungan, tak mengerti apa yang sebenarnya sedang dibicaraka oleh Retno. Yang pasti Tyan tahu, apa yang sedang dibicarakan bukan soal bantuan untuk biaya pengobatan cucunya, tapi sesuatu yang begitu asing dan kasar.“Lho… apa maksud Bu Retno meminta Vita? Vita adalah cucu saya. Meski dia lahir tanpa…”Tyas tidak melanjutkan kalimatnya, suaranya tiba-tiba hilang kala ia menoleh pada Kirana.Kirana menunduk, kedua tangannya saling menggenggam era
“Pak Arya… Bu Retno,” ucap Kirana lirih, terlihat gugup dan penuh ketakutan.Arya berdiri di depan pintu, tubuhnya tetap terlihat tegap di usianya yang sudah tidak muda lagi, tapi sorot matanya menyiratkan lelah yang sangat. Di sebelahnya berdiri Retno, sang istri tercinta. Perempuan paruuh baya itu sama anggunnya seperti biasa, tapi wajahnya lebih datar, atau mungkin lebih ragu.Kirana menelan ludah. Ingatan tentang penolakan Retno di hotel, dingin, tajam, menusuk, langsung menyentak kembali. Untuk sesaat ia hanya terpaku, tak tahu harus mempersilakan atau tetap berdiri layaknya patung penjaga.Dari dalam, suara Tyas menggema. “Siapa tamunya, Ki?”Kirana baru membuka mulut untuk menjawab ketika Tyas muncul di sampingnya sambil menggendong Vita yang masih tertidur. Begitu melihat siapa yang bertamu, Tyas ikut terkejut. Alisnya naik tinggi, namun nalurinya sebagai tuan rumah muncul lebih cepat dari keterkejutannya.“Oh… Pak Arya… Bu Retno…” Tyas memaksa senyum ringan. “Silahkan masuk P







