Gamma segera mengusap layar untuk mengangkat panggilan itu. Dalam benaknya dipenuhi dengan berbagai pertanyaan. Apa yang terjadi hingga William menelponnya sepagi ini.Jika memang ada yang terjadi, ia harap bukan hal buruk.q"Ada apa, Will?" tanya Gamma begitu benda pipih dengan layar menyala itu berada di samping telinganya. Nada Gamma memang datar, tetapi ada kepanikan di sana.["Tenanglah. Tidak ada hal buruk yang terjadi. Justru aku mau memberitahumu kalau kondisi Rena membaik. Kau baik-baik saja, kan?"] Terdengar suara ribut selain William dari seberang sana, beberapa langkah kaki, lalu suara troli untuk ransum pasien. Maklum rumah sakit di pagi hari cukup memiliki aktivitas yang banyak. "Syukurlah kalau begitu. Aku aman, Will, jangan khawatir. Lalu kenapa kau pagi-pagi sudah ke sana?" ["Rena yang memintaku untuk ke sini sebelum aku bekerja. Dan, katanya dokter hari ini bisa melakukan tindakan karena kondisinya semakin pulih. Sekarang dia sedang di observ
Apa yang tidak bisa dilakukan oleh seorang Gamma Pranadipta? Semuanya bisa kecuali keinginan istrinya. Terasa sangat Sulit untuk ia kabulkan. Hanya perkara Almond tuiles saja citranya sebagai pengusaha yang bergelimang harta hilang seketika.Bagaimana tidak? Serra menginginkan makanan itu, tetapi ia tak bisa mengabulkannya. Bukan karena uang, tetapi karena Serra menolak semua toko yang telah rekomendasikan.Huft!Kini, Kedua netra Gamma sedang fokus mencermati deretan huruf dan angka yang tertera pada layar komputer jinjingnya. sesekali menikmati sajian film drama china kesukaan sang istri. Sedangkan Serra kini sedang berdiri mondar-mandir di hadapannya sembari menerima telepon dari seseorang.Bian Aditama.Sejak tadi Serra ingin menghubungi pria itu. Ia teringat kembali dengan perkara almond tuiles yang membuatnya berdebat dengan Gamma sehari yang lalu. Tetapi sepertinya dewi Fortuna sedang tidak berpihak kepadanya. Karena jawaban Bian diluar dugaan.["Maaf, Serra. Bukan aku tidak
"Ra, dasiku dimana?" Jari-jari Gamma menyisir barisan dasi yang tergantung rapi di walk in closet berukuran 13 meter itu. Ia sedang mencari dasi berwarna biru tua bermotif garis, namun sejak tadi ia gak jua menemukannya.Sementara itu, Serra sedang menyetrika kembali jas senada yang akan digunakan suaminya. Dengan secepat kilat Serra mematikan setrika dan dan segera menghampiri Gamma, tak lupa membawa jas yang telah selesai ia setrika.Alis wanita itu bertaut saat tiba di hadapan sang suami. Bagaimana bisa Gamma bertanya dasinya dimana sedangkan puluhan dasi sudah tergantung di hadapannya? "Bukankah dihadapanmu itu banyak dasi?" tanya Serra kemudian meletakkan jas gamma pada sebuah gantungan."Tidak ada yang aku cari. Biru tua motif garis!" Gamma menoleh ke arah Serra. Pria itu menatapnya dengan tatapan datar seraya membenarkan posisi jam tangannya.Serra lantas mengernyitkan dahi. "Harus yang itu ya?"Anggukan kepala diberikan oleh Gamma. "Ya, aku haru
Di kantor"Ada apa, Gamma? Kenapa kau memanggilku sepagi ini?" tanya William yang baru saja melemparkan tubuhnya pada sebuah sofa berwarna merah di ruang kerja Gamma. Pria yang sedang mengenakan jas berwarna abu-abu itu menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa, bahkan mungkin posisi william hampir merebahkan diri dengan kedua kelopak mata yang terpejam.Sementara itu, Gamma sedang duduk pada kursi kebesarannya sembari mengutak-atik layar tab berwarna silver lantas menekuk dahi. Kedua netra pria itu menyipit kala mendapati hal tak biasa pada wajah William. Adik lelakinya itu tampak letih, tubuh kekarnya tak sebugar biasanya. Kedua kantung mata yang cukup menggantung itu juga menganggu pandangan Gamma.Ditambah lagi, adiknya itu menguap membuat Gamma semakin bertanya-tanya, apakah William tak sempat tidur? Memang beberapa hari ini ia tak bertemu dengan Adik angkatnya itu. Bahkan sejak kemarin malam, lelaki itu hanya mengantarnya pulang, kemudian pergi lagi. Lalu, semalam William juga t
Sementara itu, Di jam yang sama di tempat yang berbeda."Aku sudah kenyang, Kak," kata Rena sebelum menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan ketika sebuah sendok berisi bubur di sodorkan tepat di hadapannya. Perempuan bertubuh kurus itu menolak tawaran Serra untuk melanjutkan sarapannya barang satu suap lagi. Sedangkan Serra yang baru beberapa detik yang lalu menyuapinya hanya bisa menghela napas pelan. Berusaha berpikir bagaimana caranya agar Rena bisa makan lebih banyak lagi.Adik semata wayangnya itu sejak dulu selalu sama, tidak akan makan lebih dari tiga suap setiap paginya meski diiming-imingi dengan barang keinginannya. Padahal tubuh lemahnya membutuhkan banyak asupan gizi."Satu lagi, ya? Satu sendok saja, yang terakhir," rayu Serra dan kembali mendekatkan sendoknya ke arah Rena.Sementara Rena yang sudah tidak berminat menggelengkan kepalanya. Kedua tangannya bahkan belum beranjak dari wajahnya. "Aku sudah mual."Serra lantas menarik kembal
"Rena! Hidungmu berdarah, Sayang, sebentar Kakak panggilkan dokter!" Serra bangkit dari tidurnya tetapi saat kedua kakinya hampir turun dari ranjang, Tangannya ditahan oleh Rena membuat Serra hanya terduduk di atas brankar. Sebenarnya mimisan semacam ini sudah menjadi hal yang biasa bagi Rena juga hal yang tabu bagi Serra. Karena sebelum rawat inap di rumah sakit ini, mereka tinggal bersama dalam satu atap. Tetapi saat ini Serra tak ingin ada hal buruk yang terjadi mengingat stadium kanker yang telah diderita oleh Rena. Jika lalai karena hal sepele saja mungkin akan menyebabkan kefatalan.Namun, meski tengah mengeluarkan darah cukup banyak, Rena yang masih terlihat tenang. Seakan tak peduli dengan darah yang mengalir deras. Perempuan itu menggeleng lemah. "No, Kak,aku tidak mau dipanggilkan dokter!""Tapi, Rena, ini—""Kak, please! Sekali ini saja. Aku ingin merasakan sehari saja tanpa jarum suntik. Ini hanya mimisan biasa. Aku tidak apa-apa," potong Rena sebelum Serra melanjutkan a
Serra menatap Madam Lily dengan Serius. Wanita yang tengah mengandung calon keturunan Pranadipta itu masih menanti jawaban dari ibu asuhnya. Sementara Madam lily membuang pandangan dari Serra, ia sedang berusaha memutar otaknya, memikirkan bagaimana cara mencari argumen yang tepat agar ia tak kelepasan bicara. Ia tak akan membiarkan itu terjadi. Jika nine night club berhasil diruntuhkan Gamma, maka ia tak akaj memiliki penghasilan apa-apa.wanita itu lantas membuang napas kasar. "Serra, sesuai perjanjian aku tidak bisa menyebutkan siapa mereka," jawab Madam Lily seraya menyandarkan punggungya. "Lagipula, kau hanya cukup bersyukur saja karena mereka tak mengharapkan ucapan terima kasihmu."Karena mendapat jawaban yang tidak sesuai dengan harapan, Serra lantas membuang napas pelan. "Aku hanya ingin menghargai mereka, Madam. Terlebih apa yang mereka lakukan begitu berarti. Tetapi jika mereka memang tidak mau, aku menghargai keputusan itu. Tolong sampaikan rasa terima kasihku kepada mer
"Memangnya kita mau kemana?" Serra mengernyitkan dahinya ketika mendengar pernyataan Gamma yang akan mengajaknya pergi ke suatu tempat. Jelas Serra merasa aneh, karena Gamma sangat jarang mengajaknya pergi secara pribadi seperti ini kecuali dalam acara penting yang harus melibatkan Serra seperti pesta perusahaan beberapa waktu yang lalu."Rahasia. Intinya kau tidak usah memasak, dan berdandanlah secantik mungkin, aku jemput jam tujuh, oke?" Jawab laki-laki itu kembali. Alih-alih memudar kerutan di dahi Serra semakin menekuk dalam. Tetapi, meskipun begitu ia menjawab suaminya dengan pasrah hingga terdengar sebuah helaan napas dari bibir mungilnya."Ya sudah, terserah kau saja. Tapi beri tahu aku, apakah ini acara penting? Aku akan menyesuaikan bajuku jika itu memang acara formal seperti yang kita hadiri kemarin." Bukan tanpa alasan Serra bertanya demikian. Tentu ia tak ingin mempermalukan dirinya dengan kejadian salah kostum pada sebuah acara. Apalagi jika acara biasa tetapi dandannya