Share

Salah Paham

Dita POV

Tubuhku terasa sakit, namun tidak bisa ter-elakkan bahwa kasur tempatku tidur ini terasa sangat nyaman. Mataku perlahan bisa menyesuaikan dengan cahaya di ruangan.

Hal pertama yang aku lihat adalah furniture ruangan yang asing. Semuanya serba putih, tampak elegan dan klasik namun manly dalam waktu yang bersamaan.

Kesadaranku terkumpul. Jelas ini bukan kamar yang biasa aku tempati. Beberapa menit berusaha mencerna, namun tidak kunjung ada pencerahan kecuali pintu utama yang tiba-tiba terbuka.

Hal itu sukses membuatku membeku. Lelaki dengan kemeja blue pastel yang kancing atasnya terbuka 3 dari atas dengan wajah cerah dan piring di tangannya mendatangiku. Bahkan sampai dia berdiri di sebelah ranjang, mulutku masih melongo.

“Sudah bangun ternyata!!!”

Jawab Dita, jangan diam saja. Tapi nyatanya, pagi ini aku menjadi bisu.

“Hey? Kamu sakit?”

Tangannya menyentuh keningku, rasa panas menjalar di pipiku. Lelaki itu tersenyum dan menggeleng.

“Kamu tidak sakit, kenapa malah bengong?”

“Ahh…” bisakah aku menghilang dari muka bumi ini? Malunya itu loh, ketara sekali jika aku sedang terpesona olehnya, walau itu memang kebenarannya, “maaf, tadi aku hanya sedang berusaha mencerna apa yang terjadi sehingga aku bisa berakhir disini, dan kenapa…kenapa bajuku berganti?”

Sial. Aku bahkan baru menyadari bahwa baju yang aku kenakan adalah setelan piyama tidur, bukan baju yang aku kenakan semalam. Mataku langsung menangkap pergerakan gugup lelaki itu. Pertanyaan besar sekarang, siapa dia dan kenapa bisa aku disini?

“Ahh, saya tidak tahu masalah itu. Saya hanya dititipi pesan oleh tuan Charlie untuk menyiapkan sarapan anda, nona.”

“Charlie? Maksudmu, Charlie puth? Sejak kapan dia ada di Indo?”

“Bukan…” lelaki itu terkekeh, “maksud saya dokter Charlie. Jika sudah selesai, saya pamit undur diri dulu. Jika butuh sesuatu, nona bisa panggil saya.”

“Tunggu…” dia berbalik dan menatapku, “dimana Charlie?”

“Tuan Charlie sudah ke rumah sakit sejak subuh tadi, ada panggilan mendesak dan beliau berpesan kepada saya agar anda tidak bekerja dulu hari ini, beliau akan mengurus izin anda.”

Dia sangat sopan, juga tampan. Tapi tetap saja, apa yang terjadi hingga bajuku berganti? Tidak mungkin Charlie adalah lelaki yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan bukan?

***

Author POV

Menjelang sore, Dita memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar rumah. Meski sepi, namun terasa sangat nyaman. Terakhir, Yuan—asisten Charlie—sekitar 3 jam yang lalu ijin untuk pamit. Dita tidak punya kuasa menahannya, juga canggung.

Ombak pantai terdengar, tidak sadar jika Dita tersenyum mendengarnya, melupakan semua masalah hidup yang datang bertubi-tubi. Perut Dita berbunyi saat berjalan ke sekitar pantai, dan memutuskan untuk membeli makanan.

Dan menonaktifkan ponselnya, tidak kuasa melihat notif dari Firdaus yang masih menghubunginya yang disertai dengan ancaman.

Sibuk dengan pilihan makanan didepannya saat memasuki toserba, langkah Dita berhenti melihat siapa sosok yang berdiri di luar toserba.

“Kamu pikir mas tidak tahu kamu dimana? Bisa-bisanya kamu tidak menjawab pesan dan panggilanku?”

Niatnya untuk menghindar, namun tangan Dita dicekal.

“Mas, maumu sekarang apa? Belum puas sudah menghancurkan hidupku?”

“Apa katamu? Mas awalnya sudah bicara baik-baik sama kamu ya, tapi kamu mendadak berubah dan mulai berani melawan sama suami.”

“Mas, cukup. Sekarang urus surat cerai kita, tapi jika mas tidak menyerahkan apartemen itu, maka aku akan menuntutmu.”

“Menuntut?” kekeh Firdaus, “kau pikir wanita sepertimu bisa menuntutku? Sadar diri Dita, kau ini hanyalah pegawai rendahan dan berasal dari keluarga miskin. Mandul pula, siapa yang akan mendengarkan wanita sepertimu?”

“Cukup, mas. Kau selalu menghinaku, apa itu membuatmu senang?”

“Tidak sebelum kau serahkan dimana surat kepemilikan apartemen. Ternyata selama ini kau sudah mengesahkannya menjadi milikmu, itu perbuatan yang ilegal. Ikut saya sekarang.”

“LEPAS!! Lepaskan atau aku akan teriak, mas.”

“Teriak saja, aku akan mengatakan bahwa kau adalah pasien rumah sakit jiwa.”

Dita berusaha berontak.

“Diam, aku katakan jangan bergerak mandul.”

Dita sudah bersiap untuk menerima tamparan di wajahnya. Namun tangan Firdaus tertahan di udara, tubuhnya langsung ditarik ke belakang.

“Wah, saya tidak tahu jika seorang dokter seperti anda melakukan kekerasan juga.”

Wajah Firdaus dipenuhi keterkejutan, dia mundur dan menatap Charlie yang menahan tangannya.

“Apa yang anda lakukan disini?”

“Saya?” Charlie menatap Dita dan merangkul wanita itu, “justru yang bertanya. Apa yang anda lakukan disini?”

“Kenapa anda memeluk istri saya seperti itu?” Firdaus tidak terima.

“Istri? Bukankah anda masih single? Data di rumah sakit berkata demikian, selain itu, bukankah anda itu kekasih dokter Lady?”

Tubuh Firdaus mematung, dia gugup, dan lupa bahwa di rumah sakit tidak seorangpun yang tahu bahwa dia sudah menikah. Semua itu dia lakukan untuk mendapatkan jabatan.

“Saya…ini bukan urusan anda, wanita ini memiliki hubungan dengan saya.”

“Jadi anda mengenal kekasih saya?” Charlie merangkul Dita lebih erat, “sayang, apa kamu mengenal dokter Firdaus? Kenapa tidak pernah bilang kalo kalian ini saling kenal?”

Wajah Dita memerah, dia cukup terkejut dengan kedatangan Charlie yang mendadak, bahkan lelaki itu mengaku sebagai kekasihnya.

“Saya? Tidak begitu dekat, hanya kenal begitu saja.”

“Tunggu dulu, kalian…kalian kekasih? Kenapa saya…tidak tahu?”

“Kenapa juga kamu harus tau masalah asmara saya? Oh ya sayang, malam ini kita makan diluar ya, kamu suka seafood kan?”

Dita mengangguk, walau dia gugup karena Charlie masih merangkulnya.

“Tentu saja.”

“Kalau begitu, bagaimana jika kita pergi sekarang? Sore-sore begini enaknya makan yang hangat-hangat. Oh ya, apa urusan kalian sudah selesai?”

Melihat punggung Dita dan Charlie sudah menjauh, membuat Firdaus makin marah dan bingung. Dia mengejar Dita, menarik tangan wanita itu hingga terlepas dari rangkulan Charlie. Dia benar-benar tidak terima.

“Jadi selama ini kamu juga selingkuh? Jelas sekali kamu sangat terluka dan berteriak ingin cerai, jadi ini adalah rencanamu?”

“Lepaskan tangan saya, mas. Ini tidak ada urusannya denganmu.”

“Tidak ada? Saya ini…” Firdaus menatap Dita dan Charlie bergantian, “kamu punya hutang pada saya, kau lupa itu?”

“Hutang?” Dita tersenyum mengejek, kali ini dia lebih berani, “apa mas sudah hilang ingatan siapa diantara kita yang punya hutang? Aku membantumu untuk sekolah dokter spesialis, bahkan untuk kebutuhan rumah sama-sekali tidak pernah keluar dari dompet pribadimu kan? Jadi cukup sampai disini, kita akan bertemu di pengadilan, dan jangan lupa untuk angkat kaki dari apartemen saya!!”

“Wah…dasar wanita mandul, mulutmu sudah benar-benar keterlaluan. Apa kamu pikir kamu bisa menang melawan saya di pengadilan?”

“Mandu?” ulang Charlie, menatap Dita yang menundukkan wajahnya dan mengepalkan tangannya. Sejauh ini Charlie paham apa yang terjadi, dia berbalik dan menatap Firdaus, “padahal di rumah sakit anda dikenal dengan orang yang santun bicaranya, ternyata begini toh sifat asli anda?”

“Diam, Charlie. Bukankah sudah saya katakan masalah ini tidak ada hubungannya dengan anda? Dan asal kamu tahu, wanita ini mandul dan kamu akan menyesal nantinya.”

“Bagaimana jika apa yang anda katakan itu adalah sebuah kesalahan?”

Firdaus kesal, dia harus mengakui bahwa Charlie adalah salah satu dokter di Rumah Sakit yang menjadi saingannya. Hubungan mereka juga tidak baik.

“Saya kenal dengan wanita dalam waktu yang lama.”

“Benarkah? Ternyata kekasih saya kenal dengan orang seperti anda?”

“Berhenti memanggil dia seperti itu, Charlie!!” kali ini Firdaus mulai kehabisan stok kesabaran. Dia tidak suka melihat hal itu, “aku tahu kau hanya mengaku-ngaku saja.”

“Mengaku-ngaku?” Charlie terkekeh, menarik pinggang Dita semakin dekat, “jika pun begitu, toh tidak ada hubungan dengan anda, bukan begitu?”

Menggigit bibir bawahnya, Dita memberanikan diri menatap Firdaus.

“Mas, aku bilang sudah cukup. Aku dan Charlie memang sudah menjadi kekasih dalam waktu yang lama. Bukankah itu fair dengan perbuatanmu?”

“Wah, dasar wanita licik. Ingat, aku tidak akan pernah menuruti permintaanmu. Kau ingat itu….”

***

Dita diam saja sejak kembali ke rumah, Charlie menatap cincin yang jemari Dita. Dia tidak ingin memasuki kehidupan wanita di hadapannya, namun keadaan selalu mempertemukan mereka.

Perapian sudah menyala, gerimis sudah turun diluar. Charlie menyeduh teh hangat, duduk tidak jauh dari Dita.

“Ahh…maaf jadi merepotkanmu, Charlie.”

“Tidak apa, aku juga kurang suka dengan tutur bahasa Firdaus. Apa dia suamimu?”

Deg. Jantung Dita berdetak lebih cepat, dia bahkan tidak berani menatap Charlie, apalagi dengan kejadian tadi malam.

“Itu…iya, dia suamiku. Charl…ada…ada yang ingin aku tanyakan padamu.”

Melihat Dita yang gugup membuat bibir Charlie membentuk senyuman. Entahlah, Charlie bahkan tidak tahu sejak kapan menyukai gerak-gerik Dita.

“Ada apa?”

“Tadi malam…apa…apa aku berbuat terlalu jauh? Maksudku, apa kita melakukan sesuatu tadi malam?”

Kening Charlie mengerut, lalu mengangguk.

Wajah Dita sukses memerah. Dia menutupi wajahnya, terlebih karena menyadari bercak kemerahan di leher Charlie, jadi tadi malam mereka benar-benar melakukan hal itu? Sungguh bodoh sekali.

“Mengapa kamu tidak menahanku? Semalam aku mabuk.”

“Bagaimana bisa aku menahanmu, kamu yang lebih dulu….”

“Cukup, tolong jangan lanjutkan. Aku minta maaf, seharusnya kita tidak melakukannya. Apalagi hubungan kita hanya sebatas kenalan, aku merasa sangat bersalah,” cicit Dita pelan, dia benar-benar sangat malu dan juga marah pada saat bersamaan. Jadi benar bahwa semalam mereka melakukannya, jadi itu alasan bajunya berganti. Berarti Charlie juga sudah melihat seluruh tubuhnya.

Di Keadaan ini, Charlie tidak paham maksud Dita. Dia tidak mempermasalahkan soal semalam Dita yang muntah di bajunya, sehingga dia harus memanggil iparnya untuk membantu mengganti baju Dita.

“Tidak apa, aku juga tidak mempermasalahkannya. Kita sama-sama menikmatinya.”

“Me…menikmatinya?! Aku... menikmatinya?” Dita terdiam cukup lama, tidak mengerti lagi harus seperti apa. Sungguh malu.

Sekali lagi Charlie mengangguk. Mereka memang sama-sama menikmati kejadian semalam, maksudnya, setelah Dita muntah, mereka makan pizza. Dita makan cukup banyak, jadi perkataannya tidak salah kan?

Atau, Dita memikirkan hal yang lain?

“Aku akan bertanggung jawab.”

Uhuk. Dita tersendak teh hangatnya.

“Aduh, hati-hati, Dita. Jangan menyakiti dirimu sendiri.”

Jantung Dita berdetak semakin cepat, apalagi dengan jarak mereka yang sangat dekat. Waktu terasa berhenti, Dita tenggelam dalam tatapan lembut Charlie, tidak sadar jika tangannya bersandar di dada bidang lelaki itu.

Menarik tubuh Charlie, hingga Dita merasakan bibir yang selalu merasuki pikirannya.

Dan pergerakan Dita sukses membuat tubuh Charlie membeku. Wanita itu mencium bibirnya. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status