LOGIN(POV Fahri Zidan)
Hari-hari dalam hidup gue kok terasa semakin berat, Gue duduk di balkon kantor Gue, ngelihat langit yang penuh bintang. Angin malam lumayan dingin, tapi hati gue lebih dingin lagi. Sialnya, makin gue coba kabur dari perasaan, makin gue kejebak di dalamnya. Hari sudah larut malam, tapi gue masih bingung harus pulang atau nggak, gue takut kalau Aisyah dengan mudah gantiin posisi Salsa di hati gue. Gue tarik napas panjang. Kenapa sih gue nggak bisa berhenti mikirin Aisyah? Wajahnya waktu baca Qur’an itu terus muncul. Suara lembutnya, caranya menunduk waktu bicara, bahkan tatapan matanya yang kadang nyelonong bikin gue salah tingkah. Semua itu bikin gue resah. Tapi di sisi lain, bayangan Salsa juga masih sangat kuat. Senyumnya, tawanya, caranya nge genggam tangan gue dulu, itu semua bikin gue merasa kehilangan. Gue sempat yakin Salsa adalah segalanya, dan bakalan menjadi Ibu dari anak-anak gue nantinya. Tapi, perjodohan ini... Sekarang, dua wajah itu antara Aisyah dan Salsa berperang di kepala gue. Salsa yang seksi, modern, bebas… atau Aisyah yang sederhana, kalem, dan selalu menunduk? Kenapa hidup gue jadi ribet begini? "Kring... Kring... Kring..." Tiba-tiba ponsel gue berdering yang jelas bukan Aisyah yang memanggil, karena semenjak menikah, kami bahkan nggak saling tukar nomer handphone. Sengaja ponsel gue abaikan, karena gue masih menikmati kesendirian gue saat ini. "Kring... Kring.. kring..." Ponsel gue kembali berdering, "Siapa sih tengah malem begini" batin gue kesal. Gue tatap layar ponsel gue, ternyata "Salsa." Pupil mata gue membesar, masih belum percaya, ternyata Salsa hubungin gue duluan, padahal waktu itu dia marah besar ke gue, saat gue bilang gue terpaksa menikahi cewek lain karena perjodohan. Salsa bahkan melayangkan sebuah tamparannya ke wajah gue waktu itu. Kalau di pikir-pikir wajar sih gue dapetin itu, gue udah pacaran sama dia selama lima tahun, tiba-tiba putus cuma karena gue dijodohin. Dengan cepat gue mengangkat panggilan dari "Sal-sa, ini lo, Sa?" Gue masih nggak yakin, gue pikir dia akan benar-benar membeci dan ngelupain gue selamanya, seperti kata-katanya waktu itu. "Fahri, gue nggak bisa hidup tanpa lo, Ri... Lima tahun jalin hubungan ama lo gak bisa gue lupain lo semudah itu, apalagi kita putus juga bukan karena ada masalah sebelumnya, cuma karena lo di jodohin sama bokap lo, kan? Apa lo bisa bahagia tanpa gue Ri? Apa lo bahagian dengan istri lo, Ri?" Suara Salsa bergetar, gue tau dia pasti sedang menangis sekarang. Salsa adalah cewek yang manja, dan gue yakin saat ini dia rapuh dan butuh banget bahu gue untuk bersandar. "Lo fine, Sa?" Sebagai pria yang sudah beristri, gue bingung harus menjawab semua pertanyaannya. Kalau boleh jujur gue akan bilang gue juga nggak bisa lupain lu, Sa. Pernikahan gue seperti neraka, karena nggak ada cinta, istri gue juga bukan tipe gue. Tapi entah kenapa, rasanya lidah gue kelu untuk ungkapin hal itu semua, seperti ada yang menghalangi, entah karena bayang-bayang wajah Aisyah yang terkadang selalu menghantui gue, atau bahkan tentang komitmen yang harus gue pegang sebagai seorang pria sejati. "Gue nggak baik-baik aja, Ri. Gue butuh lo, gue pingin ketemu lu, sekarang... Ri." Pintanya merengek. "Gue nggak bisa sekarang, Sa. Ini udah terlalu malem, gue...." Belum selesai gue berbicara, "Gue tau, pasti lu udah ditungguin sama istri lo, kan, Ri. Gampang banget ya, lo ngelupain gua." Tuuuut.. tiba-tiba sambungan telefon terputus. Salsa mematikan sepihak panggilan itu. "Akh..." Gue meremas rambut gue dan mengusap wajah gue. Gue putuskan untuk pulang ke rumah, meskipun udah larut malam. Sesampainya di rumah, gue langsung masuk kamar dan jam udah nunjukin pukul 02.00 dan Aisyah nggak ada di kamar. "Ke mana perginya Aisyah?" Batin gue, gue sengaja berdiri di depan kamar mandi mencoba mendengarkan suara air, dan memastikan apakah Aisyah di dalam, dan ternyata.... Tiba-tiba pintu kamar kebuka. Gue terperanjat, dan menjadi salting. Khawatir dia berfikir gue mencoba mengintipnya di dalam. Aisyah tersenyum kecil, dan masuk dengan nampan kecil berisi teh hangat. Dia selalu begitu, perhatian meski gue nggak pernah minta. “Mas belum tidur?” tanyanya pelan. Gue cepat-cepat pura-pura datar. “Belum. Kenapa?” Dia menaruh teh di meja. “Takut Mas kedinginan, karena di luar. Saya bikinkan teh biar hangat.” Gue cuma ngangguk. Tapi waktu dia balik mau keluar, tanpa sadar gue nahan. “Aisyah…” Dia berhenti, menoleh. “Iya, Mas?” Gue hampir bilang sesuatu. Gue hampir ngomong, “Mau nggak kamu pergi sama gue, ke bulan madu itu?” Tapi mulut gue kaku. Yang keluar malah kalimat dingin. “Nggak usah terlalu repot. Gue nggak butuh perhatian.” Gue lihat jelas wajahnya menegang sesaat, lalu dia tersenyum tipis. “Baik, Mas.” Dia keluar, ninggalin gue sama teh yang masih beruap di meja. Gue usap wajah kasar-kasar. Bodoh! Kenapa sih gue ngomong gitu? Padahal… padahal gue pengen banget dia ada di sini, duduk bareng gue, ngomong hal-hal kecil.POV Aisyah Aku duduk di tepi ranjang, memeluk kedua lututku erat-erat. Kamar resort ini terasa terlalu sunyi, padahal dari luar samar-samar terdengar suara ombak dan desir angin laut. Sunyi yang membuatku bisa mendengar dengan jelas gemuruh hatiku sendiri."Kenapa Aisyah? Fahri suamimu, kau harusnya memang mengikuti apa kehendaknya" batinku berusaha mencoba membenarkan apa yang telah kupakai tadi. Aku masih bisa merasakan kain tipis merah itu di kulitku. Lingerie yang Fahri berikan tadi… sesuatu yang bahkan tak pernah terbayang akan aku pakai seumur hidupku. Ketika ia menyerahkannya, aku sempat ingin menolak. Namun Lidahku kelu, hati kecilku berontak. Aku merasa berdosa. Tapi ada sesuatu dalam tatapan matanya, tatapan yang tajam sekaligus penuh tuntutan, yang membuatku tak kuasa berkata “tidak”. Dan sekarang, aku masih bergetar setiap kali mengingat bagaimana ia menatapku tadi. Tatapan yang lain dari biasanya. Tidak ada muak, tidak ada dingin. Justru ada sesuatu yang sulit aku meng
Gue masih belum bisa mengalihkan pandangan dari bayangan itu. Bayangan yang terjadi malam tadi, saat Aisyah dengan wajah memerah dan langkah canggung mencoba menuruti permintaan gue, memakai lingerie merah yang gue beli, sesuatu dalam diri gue bergetar hebat. Jujur aja, gue nggak nyangka… sama sekali nggak nyangka kalau efeknya bakal sebesar ini. Gue pikir gue cuma ingin menguji dia, ingin melihat apakah dia beneran polos atau pura-pura. Tapi ternyata, gue sendiri yang terperangkap di dalamnya.Gue berjalan mondar-mandir di balkon resort kamar gue. Angin laut malam berhembus, suara debur ombak keras terdengar, tapi hati gue jauh lebih gaduh daripada itu. Setiap kali bayangan tubuh Aisyah dengan kulitnya yang putih bersinar, ditutupi kain tipis merah menyala itu, mampir ke kepala gue… dada gue serasa mau meledak. Gue tarik napas panjang, lalu buang kasar. Gue lakukan itu terus menerus supaya gue lebih tenang."Apa-apaan, Fahri? Lo kenapa jadi kayak gini? Lo yang bilang dia bukan tipe
Gue akhirnya memilih jalan-jalan sendirian di sekitar resort. Dari pada gue di kira ngikutin Aisyah. Udara sore ini cukup hangat, matahari hampir tenggelam di balik laut. Gue masuk ke salah satu butik kecil di lobi, awalnya cuma mau iseng lihat-lihat. Dan entah kenapa mata gue berhenti pada sebuah lingerie warna merah menyala. Gue nggak tahu apa yang ngebuat tangan gue tiba-tiba meraihnya. Mungkin karena warna itu, mungkin karena bayangan Salsa yang sering pake hal-hal kayak gini. Atau… mungkin juga karena gue penasaran kalau Aisyah, perempuan yang selama ini terlalu tertutup, pake ini. Tanpa pikir panjang, gue beli. Lagian, apa salahnya Kalau Aisyah gue suruh pakai ini. Toh diakan istri gue. Sepanjang jalan gue kepikiran terus gimana cara gue buat nyuruh Aisyah pake pakaian terbuka kayak gini. Gue sangat yakin, pasti dia akan nolak kalo gue minta baik-baik. Malamnya, gue masuk kamar. Aisyah lagi duduk di pinggir ranjang sambil baca buku tipis. Dia menoleh pas gue datang, senyum
Matahari pagi menembus tirai kamar resort kami. Cahaya hangatnya jatuh ke wajah gue yang belum sempat tidur nyenyak. Dari semalam gue gelisah, kebayang terus tangis Aisyah yang nggak pernah berhenti, karena udah gue bentak habis-habisan.Gue bangun pelan, melirik ke arah balkon. Di sana dia duduk, masih dengan gamis sederhana, mukanya pucat tapi tetap tersenyum samar saat sadar gue menatapnya. Senyumnya membuat gue merasa semakin bersalah.“Assalamu'alaikum, Mas. Saya sudah pesenin sarapan. Kalau Mas mau mandi dulu, nanti makanannya dikirim ke kamar,” katanya tenang. Suaranya lembut, seolah nggak ada luka semalam.Gue cuma bisa bengong. Serius nih perempuan? Kemarin gue bikin dia menangis. Gue lemparin kata-kata paling tajam, gue bilang gue muak sama dia. Gue yakin siapa pun di posisi dia pasti udah ngamuk, udah balas kata-kata gue dengan seribu pisau yang sama tajamnya. Tapi dia? Bangun pagi masih bisa mikirin gue, masih bisa nyiapin
(POV Fahri) Gue duduk di balkon resort gue, sengaja gue memesan dua kamar dalam perjalanan bulan madu ini. Gue menatap laut gelap yang berkilauan kena cahaya bulan. Angin laut menerpa wajah gue, tapi nggak bisa mendinginkan kepala gue yang panas. Barusan gue bentak Aisyah lagi. Kata-kata gue terlalu tajam, bahkan untuk orang yang nggak gue suka. Gue bisa lihat jelas matanya yang berkaca-kaca, tapi gue malah pura-pura nggak peduli. Kenapa gue ngomong gitu sih? Rasanya gue pingin mengutuki diri gue sendiri. Kenapa setiap kata yang keluar dari mulut gue ke Aisyah adalah kata yang selalu nyakitin dia. Padahal… gue tahu dia nggak salah apa-apa. Dia cuma berusaha nyambungin obrolan, dia cuma berusaha jadi istri yang baik. Tapi entah kenapa, tiap kali gue lihat wajahnya… gue seperti kalah dengan tatapan matanya, dan ego gue ngerasa muak dengan itu semua. Atau lebih tepatnya, rasa takut
Mobil hitam yang membawa kami melaju keluar dari gerbang rumah keluarga Mahendra. Aku duduk di samping Fahri, menunduk, sementara tanganku menggenggam ujung jilbab panjangku dengan gelisah. Suasana begitu hening, hanya suara mesin dan deru angin dari luar jendela. Aku melirik Fahri sebentar. Wajahnya tetap dingin, tatapannya lurus ke jalan, rahangnya mengeras. “Mas…” suaraku pelan, hampir berbisik. “Apa lagi?” balasnya cepat, nadanya ketus. Tatapannya tetap ke depan. Aku menghela napas kecil. “Saya hanya ingin bilang terima kasih, Mas... sudah mau berangkat. Walau saya tahu mungkin Mas nggak mau.” Ia tertawa pendek, sinis. “Jangan ge-er. Gue berangkat karena dipaksa Papa, bukan karena lo.” Aku terdiam, menunduk lagi. Mataku memanas, tapi aku menahan air mata itu. Kenapa setiap kata dari suamiku tidak pernah sekalipun membuatku bahagia? Pernikahan seperti apakah ini? Aku hanya bi







