POV Fahri Zidan
Setelah kejadian semalam, akhirnya Gue dipanggil Papa ke ruangannya, Gue duduk di ruang kerja Papa, memandangi peta kecil yang beliau buka di meja. Mata Papa berbinar penuh semangat, seakan-akan... “Papa sudah pesan resort di Lombok. Tempatnya indah, suasananya tenang. Pas buat kalian berdua mulai saling mengenal,” katanya dengan senyum penuh harap. Pantas saja sedari tadi Papa senyum penuh semangat, ternyata rencana bulan madu itu benar-benar bakalan terjadi. Gue mendengus, berpura-pura nggak peduli. “Pa, buat apa sih repot-repot? Gue nggak merasa butuh bulan madu.” Papa menatap gue tajam, tatapannya menusuk tapi penuh kasih. “Fahri, jangan keras kepala. Kalian baru menikah. Aisyah butuh kesempatan, kamu juga. Papa yakin kalau kalian pergi berdua, tanpa campur tangan keluarga, kamu bisa lihat sisi Aisyah yang sebenarnya.” Gue terdiam. Dalam hati, ada sesuatu yang bergerak. Iya, jujur, gue juga pengen. Gue pengen ngerasain hidup berdua aja sama Aisyah, jauh dari tatapan Mama sama Salsa yang tiap hari bikin suasana rumah kayak neraka buat dia. Tapi… gengsi gue terlalu tinggi. “Papa, gue udah bilang. Aisyah bukan tipe gue. Mau ke surga sekalipun kalau bareng dia, gue nggak bakal bisa bahagia,” gue ucapin itu dengan nada dingin, meski hati gue sendiri gemetar. Apalagi setelah malam gue melihat Aisyah tanpa kerudung dan gamisnya, pakaian yang ia pakai juga sopan seperti halnya cewek lain. Tapi bisa meruntuhkan benteng yang gue buat selama ini ke dia. Papa menarik napas panjang, lalu bangkit berdiri. Dia mendekat, menepuk bahu gue pelan. “Nak, jangan menipu dirimu sendiri. Ayah lihat caramu memandang Aisyah. Ada rasa di situ. Kamu hanya menolak karena gengsi.” Setelah Papa keluar, gue bersandar di kursi, nutup wajah dengan tangan. Apa benar kata Papa? Gue cuma gengsi? tapi gue liat-liat Aisyah sebenarnya sangat oke sih, tanpa stelan ninja Hatori nya. Bayangan malam itu muncul lagi. Waktu Aisyah berdiri dengan rambut terurai, kulit putihnya berkilau di bawah lampu kamar. Gue… hampir kehilangan kendali. Gue yang biasanya bisa menahan diri, justru hampir kalah gara-gara tatapan matanya. Tapi beberapa waktu berikutnya dia bilang semua itu salah. Dia bilang dia berdosa karena mencoba jadi orang lain demi gue. Dan di situlah gue marah. Gue merasa dipermainkan. Padahal, kalau gue jujur, bukan dia yang mempermainkan. Gue sendiri yang terjebak antara ingin dan gengsi. Sepulang kantor, gue masuk kamar. Gue tau Aisyah selama ini nggak tidur sebelum gue pulang, entah apa dasar dia yang selalu nunggui gue pulang kerja. Padahal usahanya selalu sia-sia di mata gue. Aisyah lagi duduk di lantai, baca mushaf. Suaranya lirih, merdu, bikin hati gue tenang. Gue berdiri di pintu lama banget, cuma dengerin. Tapi waktu dia sadar gue ada di sana, gue buru-buru jalan masuk dengan wajah dingin. “Mas, baru pulang?” dia tanya pelan. Kenapa setiap harinya cewek ini semakin sok manis di hadapan gue. “Iya.” Jawaban gue singkat, ketus. Dia tersenyum tipis, lalu menutup mushafnya. “Mau saya bikinkan teh hangat?” Gue menoleh sekilas. Hati gue bergetar. Kenapa perempuan ini selalu sabar banget? Kenapa dia nggak pernah marah meskipun gue dingin, bahkan kasar? “Gak usah repot,” jawab gue cepat. Dia menunduk, mengangguk. “Baik, Mas.” Hening lagi. Gue pengen ngomong. Gue pengen nanya, “Kalau kita pergi berdua pergi bulan madu, kamu mau?” Tapi lidah gue kelu. Yang keluar malah nada sinis. “Papa pengen kita bulan madu. Kamu tahu?” Aisyah mengangkat wajah, agak kaget. “Bulan madu?” Gue mengangguk dengan senyum miring. “Iya. Papa pikir kita ini pasangan bahagia. Lucu, kan?” Dia terdiam sebentar, lalu menunduk lagi. “Kalau itu keinginan Papa, saya ikut saja, Mas.” Jawaban itu bikin hati gue panas sekaligus nyeri. Dia bilang ikut saja. Jadi, bukan karena dia mau sama gue? Bukan karena dia pengen bareng gue? “Kenapa? Kamu nggak keberatan jalan berdua sama orang yang kamu tahu nggak bakal pernah cinta sama kamu?” Gue nyeletuk, suara gue meninggi. Dia menatap gue, matanya berkaca-kaca. “Saya nggak pernah berharap Mas langsung cinta sama saya. Saya cuma berharap bisa jadi istri yang Mas butuhkan. Kalau bulan madu itu bisa bikin Mas sedikit nyaman, saya mau.” Sial. Kata-kata itu nusuk banget. Gue buru-buru buang muka. “Sudahlah. Jangan bicara seolah-olah kamu tahu apa aja yang gue butuhin.” Dia terdiam. namun seperti sedang memikirkan sesuatu. Setelah Aisyah tidur, gue masih terjaga. Gue lihat wajahnya di bawah cahaya redup lampu tidur. Damai. Suci. Kenapa sih, gue nggak bisa berhenti ngelihat dia? Tiba-tiba gue ngebayangin, kalau benar kami pergi bulan madu, mungkin di pantai itu gue bisa lihat dia tertawa tanpa rasa takut. Mungkin gue bisa dengar dia cerita tentang mimpinya, hobinya, hal-hal kecil yang nggak pernah bisa dia bagi di rumah ini karena Mama dan Salsa terus menekannya. Gue pengen tahu sisi lain Aisyah. Gue pengen lihat dia bahagia. Tapi… di balik itu semua, gengsi gue muncul lagi. Kalau gue bilang iya, kalau gue terima ajakan Papa buat bulan madu, bukankah artinya gue kalah? Artinya gue mengakui kalau gue peduli? Kalau gue… tertarik? Dan gue nggak siap buat ngaku itu. Gue terlalu keras kepala. Keesokan harinya, Papa nanya lagi. “Jadi, bagaimana? Kamu setuju pergi dengan Aisyah?” Gue nyaris bilang “iya.” Lidah gue udah di ujung buat ngomong itu. Tapi entah kenapa, yang keluar malah kalimat dingin. “Gue nggak butuh bulan madu, Pa. Itu cuma buang-buang waktu. Lagian, apa gunanya pergi jauh kalau hati gue tetap nggak bisa nerima dia?” Papa mendesah panjang, kecewa. “Fahri… kamu akan menyesal kalau terus menutup hati.” Gue diam. Nggak ada yang bisa gue jawab. Karena gue tahu, dalam hati kecil gue, gue udah mulai jatuh hati padanya… tapi gue terlalu takut buat ngakuin. Malam itu, sebelum tidur, gue lihat Aisyah lagi lipat baju. Gue cuma berdiri, memperhatikan gerakannya. Sederhana, tapi entah kenapa ada sesuatu yang hangat menyusup ke dada gue. Gue pengen bilang: “Besok, ayo kita pergi. Kita coba mulai dari awal.” Tapi gengsi gue menahan. Yang keluar cuma kata pendek: “Lampunya matiin. Gue mau tidur.” Aisyah tersenyum kecil. “Baik, Mas.” Dan sekali lagi, gue kalah oleh ego gue sendiri.POV Fahri ZidanSetelah kejadian semalam, akhirnya Gue dipanggil Papa ke ruangannya, Gue duduk di ruang kerja Papa, memandangi peta kecil yang beliau buka di meja. Mata Papa berbinar penuh semangat, seakan-akan... “Papa sudah pesan resort di Lombok. Tempatnya indah, suasananya tenang. Pas buat kalian berdua mulai saling mengenal,” katanya dengan senyum penuh harap.Pantas saja sedari tadi Papa senyum penuh semangat, ternyata rencana bulan madu itu benar-benar bakalan terjadi.Gue mendengus, berpura-pura nggak peduli. “Pa, buat apa sih repot-repot? Gue nggak merasa butuh bulan madu.”Papa menatap gue tajam, tatapannya menusuk tapi penuh kasih. “Fahri, jangan keras kepala. Kalian baru menikah. Aisyah butuh kesempatan, kamu juga. Papa yakin kalau kalian pergi berdua, tanpa campur tangan keluarga, kamu bisa lihat sisi Aisyah yang sebenarnya.”Gue terdiam. Dalam hati, ada sesuatu yang bergerak. Iya, jujur, gue juga pengen. Gue pengen ngerasain hidup berdua aja sama Aisyah, jauh dari tata
Kamar itu terasa semakin sunyi setelah ucapan Aisyah. Ia duduk kaku di tepi ranjang, menundukkan wajah dengan air mata yang masih menggenang.Fahri menatapnya tajam. Jemarinya mengepal kuat."Apa maksudnya cewe resek ini? dia mencoba tampil menggoda beberapa waktu lalu, membuat gue hampir kehilangan kendali… dan sekarang, dia bilang dia tidak bisa jadi orang lain? Jadi, apa selama ini gue hanya di per mainin?" Batinnya enggan menerima keputusan Aisyah begitu saja.Wajah Fahri mengeras. “Aisyah… kamu ini sebenarnya mau apa, sih?” suaranya dingin.Aisyah tersentak. “Maksud Kamu?” tanyanya hati-hati.Fahri bangkit dari duduknya, berdiri di depan istrinya sambil mendengus keras. “Kamu pikir aku ini mainan, ya? Pertama kamu tampil seperti wanita… yang… seperti wanita lainnya. Sekarang... Kamu bikin aku bingung, kamu bikin aku… hampir... Seenaknya tiba-tiba kamu bilang semua itu salah, dan kamu nggak mau mengulanginya lagi?!” Kata-katanya terputus, namun nada suaranya meninggi. Aisyah terd
Malam itu Aisyah duduk di sudut kamar setelah selesai menunaikan shalat tahajud. Matanya masih basah, sujudnya terasa lebih lama dari biasanya. Ia tak sanggup segera bangkit, karena hatinya terasa berat oleh rasa bersalah. "Ya Allah… apa yang hamba lakukan? Apa pantas hamba mengubah diri hanya demi seorang suami yang bahkan tak pernah menginginkan kehadiran hamba?" Air matanya menetes, membasahi sajadah. Ia teringat malam ketika ia memberanikan diri berpakaian lebih terbuka di hadapan Fahri. Ia yang sejak kecil dididik menjadi gadis sopan, pemalu, dan menjaga diri, tiba-tiba mengkhianati semua itu. Bukan karena ia ingin, tapi karena rasa cinta yang diam-diam tumbuh pada suaminya. Meskipun Fahri tidak menerimanya, tapi Ia berusaha selalu membuka hati dan berusaha mencintai pria yang telah sah menjadi suaminya itu. Aisyah menutup wajah dengan kedua tangannya. “Astaghfirullah… Astaghfirullah... Astaghfirullah” bisiknya lirih.Hari-hari di rumah itu begitu sulit baginya. Namun ia
Pagi itu, ruang makan keluarga Mahendra terasa ramai. Maryam duduk di kursi utama, Aluna di sampingnya, sementara Fahri hanya fokus pada ponselnya. Aisyah duduk dengan tenang, di samping Fahri. Ia mencoba menuangkan air minum untuk semua, tanpa banyak bicara. Namun obrolan yang tercetus membuat hatinya bergetar. “Ma, ingat nggak dulu waktu Kak Fahri sama Mbak Salsabila Hana?” tanya Aluna dengan suara penuh semangat. “Cantik banget ya, Ma. Badannya… ya ampun, seksi terjaga. Siapa sih yang nggak bakal jatuh cinta.” Maryam terkekeh tipis. “Iya, Mama juga masih ingat. Wajahnya modern, modis, pinter bawa diri. Mama kira dulu Kakak mu itu bakalan nikah sama dia.” Aluma mengangguk cepat, matanya melirik sekilas ke arah Aisyah. “Sayang banget ya, Ma, harus putus. Padahal Kak Salsabila itu tipe cewek yang cocok buat Kak Fahri. Nggak kaku, nggak ketinggalan zaman.” Aisyah yang sedang menunduk hanya bisa mendengar setiap kata menusuk jantungnya. Tangannya sedikit gemetar saat menuangka
Malam kini sudah sangat larut, aku memberanikan diri lagi. Aku duduk di meja makan, menunggu kepulangannya dengan hidangan sederhana yang kususun sepenuh hati. Saat ia pulang, aku menyapanya. "Fahri, aku sudah siapkan makan malam." Ia menatap hidangan itu sebentar, lalu berkata dingin, "Aku sudah makan di luar." Aku tercekat. "Tapi… aku sudah menyiapkannya sejak sore." Fahri menghela napas panjang, seakan kesal dengan keberadaanku. "Kenapa repot-repot? Aku tidak butuh kau layani. Aku bisa hidup sendiri. Urus saja dirimu sendiri." Aku menunduk. Air mataku jatuh ke piring yang masih utuh. Malam itu, aku kembali berdoa. "Ya Allah, aku tahu jodoh adalah takdir-Mu. Aku tahu Engkau tidak pernah salah memilihkan jalan untuk hamba-Mu. Tapi hati ini sakit, Rabb… Hatiku remuk, tubuhku lelah. Aku ingin kuat, tapi aku merasa hancur. Jika memang jalan ini adalah ujian, kuatkan aku. Tapi jika aku memang tidak berharga di matanya, jangan biarkan aku merasa tidak berharga juga di mata-M
Ballroom hotel itu dipenuhi cahaya lampu kristal yang memantul ke meja akad nikah yang dihias sederhana namun elegan. Warna putih dan emas mendominasi ruangan, bunga mawar segar berjajar di sepanjang meja, sementara kamera dari tim dokumentasi bersiap mengabadikan momen sakral. Para tamu duduk rapi di kursi, menanti detik-detik ijab kabul. Suasana hening, hanya terdengar lantunan ayat suci yang baru saja selesai dibacakan. Penghulu duduk di posisi tengah, diapit oleh dua saksi resmi. Di hadapannya, Arya Suseno, ayah mempelai perempuan, duduk berhadapan dengan Fahri Zidan, sang calon mempelai pria. Fahri mengenakan jas putih modern dipadukan peci dengan warna senada, wajahnya tenang namun dingin. Penghulu membuka prosesi dengan khutbah nikah singkat, lalu memberi isyarat kepada ayah mempelai. Dengan suara mantap, Arya Suseno mengucapkan kalimat ijab. "Saya, Arya Suseno bin Prasetyo, menikahkan engkau, Fahri Zidan dengan putri kandung saya, Aisyah Humaira, dengan mas kawin beru