Dion melangkah memasuki kantor dengan wajah masam. Melewati para karyawan yang menatapnya dengan rasa bingung. Tumben saja, biasanya jarang sekali lelaki itu terlihat, kalau tidak karena urusan uang, pasti Dion tidak akan mau menginjakkan kakinya di sini.
Tuan Sigit Prasetia 'pun hari ini terlihat berbeda, penampilannya lebih rapi dan terlihat berwibawa. Apalagi saat asisten pribadinya berteriak, dan memanggil para karyawan untuk segera berkumpul, hal itu semakin menimbulkan banyak sekali pertanyaan dalam benak para karyawan.
"Selamat pagi semuanya." Tuan Sigit berdiri di tengah-tengah para karyawan yang sudah berbaris rapi. Di sebelahnya juga terlihat Dion, sang putra tunggal yang nantinya akan mengemban tugas untuk meneruskan perusahaan itu.
"Maaf. Jika kalian di kumpulkan tiba-tiba." Pria paruh baya kembali bersuara, namun banyak dari mereka menangkap gelagat yang tidak nyaman pada lelaki yang berada di sebelahnya.
"Hari ini saya sebagai pemimpin perusahaan ingin memberitahu, jika mulai hari ini, detik ini, tanggung jawab Prasetia Group saya serahkan sepenuhnya pada putraku, Dion."
Semua karyawan saling pandang tidak mengerti. Kenapa tiba-tiba Tuan Sigit membuat keputusan seperti itu. Padahal ia tahu, bagaimana sikap putranya selama ini yang hanya bisa bersenang-senang dan menghamburkan uang saja.
"Jadi, mulai sekarang, urusan apapun yang berhubungan dengan perusahaan akan di tangani langsung oleh Dion."
Semua hanya mengangguk setuju, termasuk sang asisten yang ada di sebelahnya. Sebenarnya mereka ragu pada lelaki itu. Ragu dengan kemampuannya, apa bisa ia menjalankan tugas perusahaan yang berat? Sedangkan selama ini pekerjaannya hanya menghabiskan uang kedua orang tuanya.
"Bagaimana, Dion? Apa kau mengerti?" Tuan Sigit menatap ke arah putranya, meminta persetujuan secara langsung pada lelaki itu.
"Tapi, Pa....?" Ah, sila! Sang papa langsung melotot, sekan kedua bola matanya hendak keluar, "I–iya. Aku mengerti."
Terpaksa lelaki itu mengangguk setuju saja. Itu lebih baik, daripada ia tidak bisa menemui Lita lagi, dan semua fasilitasnya mewahnya di beku–kan.
Selanjutnya Tuan Sigit menatap ke arah sang asisten yang sejak tadi juga diam dan menunduk. "Sen, mulai sekarang kau yang akan membantu putraku."
"Baik, Tuan."
Sekarang Tuan Sigit merasa lega karena ia sudah berhasil memaksa Dion untuk menggantikan posisinya. Terserah lelaki itu mau menganggapnya paksaan atau apa, tapi yang terpenting mulai saat ini pergerakannya akan bisa ia batasi.
Bukan tanpa alasan Tuan Sigit menyerahkan tanggung jawab itu. Tapi ia mulai muak dengan sikap putranya yang susah di atur dan selalu membangkang. Apalagi jika sudah menyangkut soal Lita, perempuan tak tahu diri yang selalu menjadi penyebab pertengkarannya dengan lelaki itu.
"Kau awasi dia, Sen. Aku tidak ingin Dion menemui perempuan itu lagi."
Tuan Sigit mengatakan itu sebelum akhirnya ia memutuskan untuk meninggalkan ruangannya. Pria paruh baya itu mengatakan jika dua hari lagi ia akan menjalin kerjasama dengan perusahaan baru, dan harus Dion yang mewakilinya secara langsung.
"Ingat. Jangan sampai putraku menolak untuk bertemu! Aku tidak ingin membuat malu pada Tuan Bagas nantinya."
Seno langsung mencatat perintah itu segera. Menyiapkan beberapa berkas yang nantinya akan mereka bahas, dan mempelajari seluk beluk perusahaan baru yang nantinya akan menjalin kerjasama dengannya.
Di dalam ruangn, tepatnya ruangan milik CEO yang baru saja di resmikan, Dion menatap gusar pada semua berkas yang ada di depannya. Sungguh ia tidak mengerti sama sekali apa itu tugas kantor. Yang ia tahu selama ini hanya pergi ke club dan menghabiskan banyak uang dengan para wanitanya.
"Ini, ini, ini, apalagi....?" Bahkan sudah lebih dari satu jam, tak ada satupun dari berkas itu yang ia pahami. Deretan demi deretan angka yang tetera di dalam sana malah semakin membuat pusing. Hingga sejak tadi ia hanya mondar-mandir sembari menunggu kedatangan sang papa masuk ke ruangan itu.
Ceklek,
Dion hampir bersorak saat mendengar suara pintu yang tiba-tiba saja terbuka. Lelaki itu langsung menyongsong kedatangan seseorang dari luar sana yang ia yakini adalah sang papa.
"Pa....?" Ucapannya menggantung saat melihat siapa yang masuk ke ruangan itu. Bukan Papa Sigit, melain Seno sang asisten.
"Mana Papa? Kenapa kau yang datang?" Lelaki itu masih menunggu, siapa tau masih ada satu orang lagi yang tertinggal dari luar sana.
"Maaf, Tuan Sigit sudah pulang sejak tadi." Pria bernama Seno itu membawa banyak sekali berkas di tangannya, lantas meletakkannya di atas meja kerja lelaki itu.
"Apa! Pulang?" Dion sampai harus meyakinkan sekali lagi jika yang baru saja ia dengar adalah benar.
"Iya, Tuan. Tuan Besar memang sudah pulang setengah jam yang lalu," ucap pria itu lagi.
"Kenapa kau membiarkannya pulang? Akhhhh.... bagaimana ini?" Dion mengacak rambutnya kasar. Tidak menyangka jika papanya tega meninggalkannya begitu saja.
"Silahkan, Tuan. Semua ini yang harus Anda pelajari." Seno menunjuk semua berkas yang sejak tadi sudah tersusun rapi di atas meja.
"Apa lagi ini? Semua? Kau gila!" Membayangkannya saja belum pernah, apalagi mempelajari?
"Tidak mau! Kenapa bukan kau saja? Aku 'kan CEO di sini?" elak lelaki itu tidak terima. Ada saja ia membuat alasan.
"Justru itu karena Anda CEO di sini, makanya harus mempelajarinya."
Dion bergidik ngeri sendiri. Baru saja sehari merasakan menjadi bos, ia harus berhadapan dengan banyaknya pekerjaan yang sama sekali tidka ia ketahui, apalagi nanti? Saat sang papa benar-benar tidak bisa lagi membantunya.
"Aku tidak mengerti. Kau saja yang membacanya!"
Dasar gila! Seno ingin sekali berteriak dan memakinya. Bagaimana bisa lelaki bodoh sepertinya di serahi tanggung jawab sebesar ini?
"Anda juga harus memahaminya, Tuan, bukan hanya saya."
"Jadi, kau sudah paham? Kenapa kau menyuruhku mempelajarinya? Aku 'kan bisa bertanya padamu nanti?"
Ah, bodoh! Lama-lama ia bisa gila sendiri jika meladeni ucapan bos barunya.
"Silahkan Anda pelajari. Saya akan melanjutkan pekerjaan saya lagi"
Seno memilih berjalan ke luar, daripada ia harus menghadapi bosnya yang hampir membuatnya gila.
"Oh ya, Tuan? Apa Tuan Sigit sudah memberitahu, mengenai kerjasama yang akan Anda bahas dengan klien baru kita?"
Seno sengaja mengatakan itu sebelum keluar ruangan. Ia ingin tahu apa reaksi lelaki itu mengenai kerjasama yang akan ia urus untuk pertama kalinya.
"Apa? Papa tidak mengatakan apapun. Apalagi mengenai klien baru yang tadi kau bahas."
"Baiklah. Mungkin hari ini juga Anda harus segera mempelajarinya. Dan berkas berwarna biru itu adalah informasi mengenai perusahaan yang akan menjalin kerja sama baru dengan kita."
Seno sudah mempersiapkan sebelumnya. Ia sengaja menggunakan warna yang berbeda sendiri untuk berkas dari perusahaan itu. Tujuannya agar Dion tidak lagi perlu repot-repot mencarinya.
Dion langsung meraih berkas berwarna biru itu. Ia baca satu persatu tulisan yang ada di dalamnya. Lantas bibirnya berucap pelan, "AA Group...? Perusahaan siapa ini?"
Seorang wanita tengah berjalan hati-hati memasuki sebuah perusahaan besar yang menghubunginya beberapa hari lalu. Rencananya hari ini ia akan menjalani wawancara, sekaligus kontrak kerja dengan perusahaan yang menawarinya pekerjaan sebagai seorang sekretaris.Wanita cantik itu bernama Nabila, dengan usianya yang baru menginjak 23 tahun, ia terbilang orang yang cukup pandai dan cekatan dalam menyelesaikan tugas-tugasnya."Silahkan masuk, Nona." Dari ruangan HRD, wanita itu langsung di antar ke rungan asisten Seno, yang nantinya akan menjelaskan apa saja tugasnya."Kamu bisa pelajari ini." Sang asisten memberitahu apa-paa yang harus ia kerjakan selama menjadi sekretaris di sini, yang langsung di angguki mantap oleh Nabila."Satu jam lagi saya akan mengajakmu ke ruangan bos, jadi bersiap-siaplah." Seno melangkah meninggalkan wanita itu di dalam ruangan kerja barunya.Selanjutnya yang Nabila lakukan adalah mempelajari apa saja mengenai perusahaan itu,
Alex berulang kali mondar-mandir memikirkan cara untuk menggagalkan kerja sama itu. Bagaimana–pun, ia tidak bisa membiarkan calon mertuanya berurusan dengan orang licik seperti mereka. Apalagi kini ia mengetahui jika calon istrinya yang akan menjadi wakil dalam pertemuan itu langsung.'Calon istri?'Mungkin terdengar lucu. Sejak kapan ia menganggapnya, dan sejak kapan pula ia peduli dengan gadis super menyebalkan itu."Bagaimana, Tuan? Apa yang harus saya lakukan?" Lelaki itu mendesah frustasi. Andai pernikahannya tidak gagal, pasti ia bisa sedikit punya kuasa untuk urusan ini. Sayangnya saat ini ia bukan siapa-siapa. Ia hanya calon suami dari putri semata wayang dari keluarga itu."Tenang, Lex. Mereka hanya akan menjalin kerja sama, kenapa kau sepanik ini?" Arya menelisik wajah lelaki itu, mencari jawaban atas kekhawatirannya yang berlebihan. "Apa kau mulai peduli dengannya?"Tentu saja. Tuan Bagas adalah sahabat Papa Wahyu, apalagi ia seben
"Untuk apa aku harus bersiap serapi ini, Pa? Memang siapa yang akan aku temui?" Dion merasa papanya sangat berlebihan. Bagaimana tidak, sejak tadi ia muncul dari kamar, pria paruh baya itu sudah mengomentari penampilannya berkali-kali. Seakan semua yang ia pakai tidaklah cocok menurut pandangan papanya."Pokoknya kamu harus tampil sempurana, Dion. Kamu jangan buat malu Papa?""Buat malu bagaimana maksud Papa? Memangnya siapa sih yang akan aku temui? Merepotkan saja!" Lelaki itu sampai mengumapat berkali-kali hanya karena sang papa yang terus saja menyuruhnya menukar pakaian."Apa-apaan ini? Kau mau buat putri Tuan Bagas ilfeel melihat penampilanmu yang seperti ini?" tanya pria paruh baya itu dengan wajah kesal, "Ganti!"Dion hanya menatapnya dengan bingung. 'Memang, penampilanku kenapa?' lelaki itu menatap penampilannya sendiri yang ia rasa sudah sempurna."Papa bilang ganti! Gunakan pakaian yang sudah Papa persiapkan."'Huhhhjjfff!'
Airin tiba di restoran lima belas menit sebelum jadwal yang di tetapkan untuk pertemuan. Gadis itu sengaja berangkat lebih awal agar bisa menyiapkan semuanya dengan matang, dan juga menghindari kemacetan yang akan membuatnya terlambat. Ia di giring ke arah sebuah meja yang sudah di pesan oleh asisten ayahnya, dan ternyata di sana sudah duduk seorang pria muda yang sepertinya seumuran dengannya."Selamat pagi," sapa Airin pada pria itu, yang langsung mendapat respon sebuah senyuman darinya."Selamat pagi. Anda pasti Nona Airin, 'kan?" Dion menatap wajah gadis itu. Sesekali ekor matanya meneliti penampilan Airin dari atas sampai bawh."Iya, saya Airina Sasmita." Gadis itu memperkenalkan diri. Keduanya saling berjabat tangan, lantas Dion mempersilahkan gadis itu untuk duduk."Senang bertemu dengan Anda." Dion mulai berbasa-basi. Mengajak gadis itu berbincang sebentar, lantas kembali ke acara inti, yaitu membahas kerja sama antara kedua perusahaan yang akan s
Dion pulang ke rumah dengan perasaan kacau balau. Entah kenapa ia merasa sedikit patah hati saat mengetahui jika Airin sudah memiliki calon suami, dan yang lebih mengenaskan, tidak lama lagi keduanya akan melangsungkan pernikahan.Lelaki itu bahkan mengabaikan pekerjaannya begitu saja, lantas menyerahkan semua hasil kerja sama tadi pada Nabil."Tuan, apa tidak sebaiknya kita kembali ke kantor lebih dulu?" Wanita itu berulang kali membujuk Dion, berharap agar lelaki itu menyelesaikan lebih dulu tugas-tugasnya barulah bisa pulang."Kau tidak dengar! Aku mau langsung pulang." Lelaki itu benar-benar kesal dan meninggalkan Nabil di parkiran restoran begitu saja."Tapi, Tuan.... ahkkkkk! Bagaimana ini?" Sudah di pastikan jika nanti Asisten Seno akan memarahinya. Karena ia yang di tugaskan mendampingi Tuan Dion sampai kerja sama itu selesai."Sebaiknya aku pikirkan nanti." Nabil lantas melangkah cepat mencari taksi agar ia tidak sampai terlambat tiba di k
Grepppp! Airin sengaja memegang tangan Alex. Memaksa pada lelaki itu agar segera memberikan ponsel miliknya. "Auw.....!" Tanpa di duga Alex malah balas mendorongnya, hinggu tubuh gadis itu terjengkang dan membentur bagian dalam mobil. "Lelaki gila! Beraninya sama wanita!" Tidak tahu lagi sekesal apa Airin saat itu. Makian demi makian ia lontarkan. Namun tetap saja tidak membuat Alex menyerah dan melepas benda itu untuk ya. "Kau bilang apa!" "Apa! Benarkan?" 'Dasar menyebalkan.' Tok.. tok.... "Nona?" Asisten Hardi mengetuk kaca mobil Alex dari luar. Pria itu terlihat menunggu beberapa saat, hingga Alex membukanya. "Pulang dulu saja, Pak. Nanti biar Airin saya yang mengantar," ucap Alex memberitahu, lelaki itu lantas melirik ke arah wanita yang saat ini masih duduk di sampingnya. "Eh, aku pulang sama Pak Hardi aja." Gadis itu tiba-tiba menyahut. Merasa ada kesempatan untuk menghindarinya. "Tidak! Bapak pulang dulu saja. Biar dia, saya yang mengantar." Akhirnya Hardi memilih
Hari yang di nanti oleh kedua keluarga sudah tiba. Pagi-pagi sekali keluarga Airin sudah bersiap menuju gedung yang telah mereka siapkan jauh-jauh hari untuk pernikahannya. WO, MUA, serta keperluan lainnya juga sudah siap dengan sedemikian rupa. Kali ini Alex yang mengurusnya secara langsung. Lelaki itu memilih turun tangan sendiri untuk mengawasi semuanya."Maaf, Nona. Bisakah Anda jangan terlalu banyak gerak, emmmm .... maksud saya...?" MUA yang tengah merias Airin sedikit kesal karena gadis itu terus saja bertingkah dan tidak bisa diam. Hingga beberapa kali harus membenahi riasannya yang sempat berantakan."Nah, ini aku udah diem lho, Mbak? Lagian, ngapain sih pakai make up, aku 'kan hanya ingin menikah."Sontak perkataan Airin sempat membuat perempuan berusia empta puluh tahun itu menatap tak percaya. Ada ya orang yang mengatakan hanya ingin menikah?"Aku hanya mau nikah, Mbak. Kenapa seribet ini?" Airin bersuara kembali. Seakan gadis itu benar-benar menganggap biasa di hari sepen
"Kau tidak lihat, istrimu kesakitan?" Papa Wahyu langsung memberondong putranya dengan tatapan tajam. Selain itu ia juga sangat kesal karena harus berteriak dan memanggilnya berkali-kali.Alex hanya mendengus. Lagi-lagi karena gadis itu ia harus menerima kemarahan dari Papa Wahyu dan tatapan tajam dari keluarganya."Dasar, merepotkan!" Lelaki itu mengumpat. Tapi tetap saja Alex berjalan ke arah Airin, dan dengan gerakan cepat ia menganggkat tubuh ramping itu."Awww....!" Airin memekik, merasa tubuhnya yang tiba-tiba melayang. Gadis itu sangat terkejut melihat Alex yang terang-terangan mengangkatnya di depan semua keluarga besarnya."Hei, lepas! Dasar tidak tahu malu!" Airin mencoba memberontak. Rasanya ia ingin melepaskan diri dan berlari menyembunyikan wajahnya yang teramat malu."Diam! Kau ingin aku menjatuhkanmu sekarang juga!"Yang lain hanya menatap sembari mengulum senyum. Terserahlah, toh mereka sudah resmi. Begitupun dengan Bunda, wanita itu membiarkan putri satu-satunya pergi