"Kau yakin, data ini benar-benar valid?" Arya menatap Dirga dengan serius, pria berusia 25 tahun yang sudah lama mengabdi pada keluarganya itu mengangguk yakin, "Benar, Tuan."
"Itu yang saya dapatkan dari penyelidikan selama satu bulan, Tuan. Satu perusahaan besar itulah yang paling banyak menjalin kerjasama dengan W* Group, dan saya yakin para antek mereka sengaja membantunya dari belakang."
Arya hanya manggut-manggut, meneliti sekali lagi informasi yang di dapat dari pria itu, lantas meraih gagang telepon untuk menghubungi seseorang, [Ya. Selamat malam....?]
*****
"Aku sudah menghubungi pemimpin perusahaan itu, dan aku menyerahkan tanggung jawab ini padamu." Arya menepuk pundak lelaki itu pelan, menyadarkan lamunannya kembali dari barisan huruf yang sejak tadi menahannya.
"Tapi, Tuan, saya–....?"
"Aku percaya padamu, Lex. Kau pasti bisa menjalankan semuanya. Di sini sudah ada informasi lengkap tentang perusahaan itu, sekaligus seluk beluk keluarganya. Tapi ingat, mereka sangat licik, kau harus sangat hati-hati."
Lelaki itu kembali tertegun, saat mengingat kembali bagaimana perjuangannya selama ini. Menjalani hidup yang sangat sulit setelah kebangkrutan perusahaan yang di miliki oleh keluarga besarnya. Tak hanya itu, ia dan keluarganya juga harus terusir dari rumah satu-satunya yang selama ini ia tempati.
Tapi kini satu-persatu misteri itu hampir bisa ia kuak. Tentunya dengan bantuan Arya dan juga orang-orang pilihan yang menjadi kepercayaannya. Keluarga Pratama bukan saja telah menyelamatkan hidupnya saat itu, tapi juga menjamin keselamatannya keluarganya dari orang yang ingin melenyapkannya secara terang-terangan.
Alex masih sangat ingat waktu itu, saat kedua orang tuanya masih jaya dan mempunyai sebuah perusahaan besar. Kala itu usianya masih 15 tahun, masih terlalu muda bukan? Tapi ia sangat mengerti apa yang di alami oleh keluarganya.
Malam itu, Papa Wahyu pulang dalam keadaan berantakan, wajahnya terlihat kusut, dan pakaiaannya sangat acak-acakan. Rahang tegas serta tatapan tajam yang biasa Alex lihat kini berubah sendu dan tanpa gairah.
"Maafkan aku, Bu....?" Papa Wahyu memeluk tubuh istrinya dengan penuh penyesalan. Bagaimana tidak, perusahaan yang bertahun-tahun telah dia bangun, kini harus hancur dalam sekejap mata.
Semua aset, serta kekayaan yang telah lama menjadi miliknya tiba-tiba saja berpindah tangan dan di akui oleh seseorang. Dan lebih malangnya lagi, Wahyu Aditama harus di usir secara tidak hormat oleh sekumpulan orang-orang dari kantornya sendiri.
"Kita sudah bangkrut, Bu. Sekarang kita sudah tidak punya apa-apa lagi," ucapnya dengan suara yang sedikit bergetar.
Lasmi yang saat itu hanya ibu rumah tangga biasa hanya mampu menguatkan suaminya. Berharap yang saat itu mereka alami hanya mimpi, dan ketika ia bangun nanti, semuanya akan baik-baik saja.
"Maafkan Papa, Bu. Maaf.....?"
Alex hanya bisa mencuri dengar percakapan kedua orang tuanya dari balik pintu. Selanjutnya, hidupnya berubah 180 derajat. Mereka yang terbiasa hidup enak dan menikmati fasilitas mewah, kini harus rela tinggal di sebuah kontrakan kecil dan sederhana.
Hari-hari yang pemuda itu lalui terasa sangat berat. Setiap pagi-pagi sekali ia harus berjalan puluhan kilo untuk sampai di sekolahnya. Tidak sampai di situ, semua teman-temannya seakan menjauh saat mengetahui kabar kebangkrutan keluarganya, bahkan tidak jarang dari mereka yang terang-terangan menghina dan mencemoohnya habis-habisan.
"Tapi, bagaimana kalau mereka curiga, Tuan?" Tidak mungkin Alex bisa bertindak kalau pihak musuh mngetahui rencananya lebih dulu.
"Kau tenang saja. Aku sudah menyuruh anak buahku untuk menyembunyikan identitas aslimu, termasuk kedua orang tuamu."
Oh begitu. Baiklah. Alex lega sekarang. Jadi ia bisa bergerak leluasa, termasuk memancing semua antek yang terlibat dalam kejahatan
"Minggu depan kau bisa memulainya, biar aku sendiri yang membantumu menyiapkan segalanya," ucap pria itu lagi. Arya terlihat begitu bersemangat untuk membongkar kebusukan dari para penjahat itu.
"Tapi, Tuan, biar saya meminta bantuan yang lain. Anda tidak perlu repot-repot turun tangan sendiri," balas Alex. Lelaki itu tidak enak hati jika harus melibatkan Arya lebih jauh lagi, dengan hanya memberi dukungan saja itu lebih dari cukup.
"Tidak apa. Selain aku, Dirga dan Nabil juga akan membantumu. Biar dia yang mengawasi kegiatan mereka. Ingat! Jangan terlalu banyak melibatkan orang! Ini misi rahasia yang jangan sampai orang lain menyadarinya, apalagi pihak musuh." Arya menerangkan sekali lagi.
"Nabil? Maksud, Tuan, pegawai kita yang baru?"
Arya langsung mengangguk. Bukan tanpa alasan ia memilih gadis itu. Gadis belia yang baru saja lulus kuliah. Dan kini menjabat sebagai sekretaris baru di kantor Arya.
"Aku percaya dengannya. Aku juga yakin dia gadis yang baik."
Alex melihat semua hasil yang Arya dapatkan sekali lagi. Ada rasa yang menusuk hingga ke hati saat ia membaca barisan demi barisan di dalam sana. Seakan kehancuran keluarganya kini terpampang jelas di depan mata.
Dulu ia hanya bisa diam dan tidak bisa melakukan apapun. Tapi sekarang, Arya menawarkan bantuan dan mendukungnya secara penuh.
"Ayo. Kita temui Nabil dan Dirga. Mereka sudah menunggu perintah selanjutnya darimu." Arya mengajak lelaki itu menuju ruangan Nabil yang terletak persis di depan ruangan pribadinya. Di sana ternyata Dirga dan gadis itu sudah menunggu sejak tadi dengan perasaan was-was.
"Jadi benar, apa kau sudah menyanggupi semuanya?" tanya Alex pada gadis itu. Nabila langsung mendongak, menatap wajah Alex dengan penuh keyakinan, "Saya akan berusaha, Tuan. Tapi, bisakah saya meminta satu syarat?"
Alex menghela napas pelan. Ia tahu yang akan gadis itu lakukan bukanlah pekerjaan mudah. Resikonya terlalu besar jika sampai ketahuan. "Katakan."
"Apa Tuan bisa menjamin keselamatan Nenek saya? Hanya dia keluarga yang saya punya," ucap gadis itu dengan wajah sendu. Itu lah satu-satunya yang membuat Nabil menyanggupi pekerjaan itu. Pekerjaan yang sedikit berbahaya, itu lah yang pernah ia dengar dari sang bos.
"Ya. Saya akan menjamin keselamatan nenekmu. Kamu juga tidak usah khawatir, seluruh biaya pengobatan akan saya tanggung."
Gadis itu tersenyum senang. Baginya yang terpenting saat ini adalah kesehatan sang nenek, karen dia lah satu-satunya alasannya untuk bertahan selama ini.
"Lalu, apa yang harus saya kerjakan, Tuan?" Nabila kembali menatap kedua atasannya dengan wajah serius.
"Pelajari ini, dan minggu depan kamu harus siap menjalankan rencananya." Alex menyerahkan beberapa lembar kertas kepada gadis itu.
Nabila menerima dan berusaha memahami poin-poin penting yang ada di dalam sana. Tapi, baru beberapa saat ia membacanya, Alex kembali membuka suara, "Kalau ragu, kamu bisa membatalkannya saat ini juga."
Bagaimana pun ia harus menemukan seseoranh yang benar-benar siap dan mau menanggung apapun resikonya nanti.
"Lalu, kapan saya mulai menjalankan tugas ini?" tanya Nabil sekali lagi.
"Minggu depan. Minggu depan kau harus mulai menjalankan rencana yang sudah aku persiapkan."
Setelah pertemuannya Riska dengan Erick di depan kampus beberapa hari yang lalu. Riska memutuskan untuk menceritakan siapa sebenarnya pria itu pada putrinya. Dan sejak itu pula Erick berusaha mendekati Nisya dengan perlahan. "Jadi, Om itu papaku, Ma?" tanya Nisya sekali lagi. Yang langsung di jawab anggukan kepala oleh sang mama. "Ya. Dia papamu, Nak." Dan hari-hari mereka mulai berwarna. Apalagi saat Erick terang-terangan melamar Riska di depan semua temannya. Meski terkesan buru-buru, Riska akhirya pun menerima lamaran itu demi putri tercintanya. "Menikahlah denganku, Riska. Aku janji akan membahagiakanmu dan juga Nisya." Seluruh mahasiswa yang menyaksikan acara lamaran itu langsung bersorak, meminta pada Riska untuk segera memberikan jawaban. Tidak butuh waktu lama, acara pernikahan Riska dan Erick segera di laksanakan. Pernikahan sederhana itu di gelar di rumah kediaman Riska dan hanya di hadiri oleh kerabat serta teman dekatnya saja. Mereka melanjutkan hidup dengan bahagia.
"Airinnn ...!!" teriak Elisa kegirangan. Ia mundur beberapa langkah untuk mengambil ancang-ancang, lalu ... Bughhh!! Satu pukulan mendarat lagi di perut pria asing yang tadi mencekal sebelah tangannya. Kini Elisa tidak merasa takut lagi, karena ada Airin yang siap membantunya. "Kamu tidak apa-apa 'kan, El?" Meski khawatir, Airin tetap waspada. Tidak ingin ceroboh sampai memberi kesempatan pada penjahat itu lagi. "Aku baik-baik saja, Rin." Elisa berlari ke arah ketiga bocah tadi. Memeriksa satu-persatu dari mereka. Elisa lega karena semuanya dalam keadaan baik-baik saja. "Kalian tunggu Mama di sini. Jangan ke mana-mana!" Lalu Elisa berdiri tepat di depan ketiga bocah itu untuk melindungi dari pria jahat yang masih meringis kesakitan. "Sialan!!" Pria itu mengumpat lagi. Bahkan terdengar juga sumpah serapahnya, memaki pada dua ibu muda yang sudah berhasil mengalahkannya. Tidak ingin memberikan kesempatan lagi, Airin dan Elisa segera memberikan pukulan secara bersamaan. Bughhh, bug
Drama panjang mengenai hilangnya Haidar dan Rey yang terjadi di rumah milik Alex berlalu sudah. Kini dua minggu setelah kejadian itu Airin dan Elisa mengajak anak-anaknya bermain di sebuah taman permainan khusus anak. Dan tentu saja di temani oleh kedua suami dari mereka.Anak-anak mulai bermain, saling berkejaran dan menikmati suasana sore yang semakin ramai. Di sana-sini juga terlihat anak-anak lain tengah bermain dengan di awasi oleh para orang tuanya masing-masing.Suasana taman terasa ramai sekali, apalagi saat ini tengah libur akhir pekan. Sementara para ibu tengah mengawasi para anak main, Alex dan Roy memilih menyingkir mencari tempat untuk berbincang. "Kak Rey, ayo main!" ajak Azki. Gadis kecil itu mulai menyeret tangan Rey untuk mengikutinya. Padahal sejak tadi Lexa juga sudah ada di sebelahnya memainkan boneka yang sengaja mereka bawa dari rumah."Kakak di sini aja ya? Kakak nggak suka main boneka." Rey ogah-ogahan mengikuti tangan gadis itu yanga terus saja menggandengnya
"Kalian ...?" Kay menatap bingung pada dua pria kecil di depannya. Haidar dan Rey kini tengah duduk bersebelahan di dalam gudang yang terletak di samping taman. "Kalian ngapain di sini?"Dua pria kecil tadi menoleh serempak. Melihat gadis kecil berkuncir kuda dengan tatapannya yang berbeda."Kak Kay ...!" Haidar langsung bangkit dan berusaha menyembunyikan tubuh sang kakak di belakangnya. "Kenapa Kakak ke sini?" ucapnya lagi."Kalian ngapain ada di sini?" Kay mengulang pertanyaan itu lagi.Sedangkan di depan sana Rey menatap gadis itu dengan kedua mata yang berbinar."Berhenti menatap Kak Kay seperti itu!" Haidar memasang badan tepat di depan Kay. Menghalangi pandangan pria di depan sana agar tidak terus menerus menatap ke arah sang kakak."Kamu ngapain sih, Dek?" Kay bingung sendiri melihat aksi konyol adiknya. "Ayo, Mama sama Ayah khawatir." Menarik tubuh Haidar agar mengikutinya."Awas kalau kamu berani menatap Kak Kay seperti itu lagi!" ancamnya sebelum melangkah keluar dari dalam
Beberapa tahun kemudian."Kakak, gendong ..." rengek Azki manja pada pria kecil berusia sepuluh tahun. Pria kecil itu hanya menurut, berjongkok dan memasang punggungnya di depan gadis kecil tadi."Yeyyy, asikkk!" Azki tersenyum senang mendapati pria itu tidak menolaknya lagi. Padahal ia tidak tahu saja sebenarnya pria itu tengah memakinya dengan kesal.Azkia Putri Aditama.Nama yang di berikan Airin dan Alex untuk putri pertama mereka. Gadis kecil berkulit putih, serta berambut lurus itu saat ini sudah berusia lima tahun. Azki tumbuh menjadi sosok yang ceria dan juga pintar.Saat ini mereka tengah kedatangan tamu dari Keluarga Roy dan juga Arya. Semua berkumpul di taman belakang menyaksikan anak-anak mereka bermain. Saling berkejaran, ada juga yang terlihat saling berbincang."Lihat ekspresi wajah putramu, El, dia lucu sekali, 'kan?" Airin menunjuk ke arah Rey yang saat ini tengah menggendong Azkia. Gadis kecil itu tampak tertawa senang, sedangkan Rey terus saja menekuk wajahnya masam
"Pa, bagaimana dengan nasibku?" Saat ini perempuan itu tengah menemui papanya di sel tahanan. Tuan Bara harus menjalani hukuman dua tahun lebih lama di banding dengan Sigit Prasetya karena kesalahannya dia anggap lebih fatal. Sedangkan Riska dengan keadaan perutnya yang semakin hari kian membuncit kebingungan harus menyembunyikan kehamilannya dari orang-orang di tempat tinggal barunya nanti."Dari awal Papa sudah bertanya padamu, kan? Siapa Ayah dari bayi yang kau kandungan? Tapi kau malah diam dan seolah melindunginya. " Papa Bara kesal dengan Riska yang sangat keras kepala. Coba saja dulu ia mau jujur, pasti keadaannya tidak akan seperti ini."Maaf, Pa. Maafkan Riska." Bulir bening jatuh begitu saja melewati kedu pipi perempuan itu. Mama Nathali hanya mampu menenangkan dan mengusap lembut punggung putri satu-satunya itu."Sudahlah, Ris. Sebaiknya kita segera pulang." Ibu dan anak itu melangkah gontai meninggalkan sel tahanan suaminya menuju tempat tinggal baru yang mereka sewa denga