Airin berjalan mengendap-endap menuruni anak tangga satu-persatu. Gadis itu memeriksa sekeliling, lantas langkahnya kembali ia ayunkan agar sampai pintu utama rumah itu tanpa kepergok oleh siapa pun.
"Mau ke mana kamu!" Baru saja ia bisa bernapas lega karena tidak ada satupun orang yang memergokinya, tapi sekarang gadis itu hanya bisa diam dan membeku di tempat.
"A– aku...?" Gadis itu hanya tergagap mencari alasan yang masuk akal. Tapi otaknya mendadak tidak bisa di ajak bekerja sama.
"Bunda bilang, mau ke mana kamu?" ucap perempuan paruh baya itu lagi. Bunda sudah berdiri di belakangnya dengan tatapan yang tajam.
"Airin hanya ingin jalan-jalan, Bund." Gadis itu mengatakannya dengan ragu. Melirik sekilas ke arah sang Bunda, lantas ia berbalik dan saat melihat tidak adanya reaksi dari perempuan itu, "Iya-iya, Airin kembali ke kamar lagi aja," sungut gadis itu dengan perasaan kesal.
Sebenarnya Airin sudah sangat bosan. Semenjak kejadian hari itu, hari di batalkan pernikahannya karena dirinya yang terluka, gadis itu sama sekali tidak di ijinkan keluar rumah sedikit pun. Bahkan untuk keluar kamar sepertinya Bunda harus terus mengawasinya dari dekat.
"Bunda tidak ingin terjadi apa-apa lagi sama kamu," ucap perempuan itu dua hari yang lalu.
"Tapi, tidak dengan seperti ini juga kali, Bund? Airin janji, tidak akan macam-macam." Meski gadis itu sudah memohon berulang kali, tetap saja sang Bunda tidak memberinya ijin untuk keluar sejengkal saja dari rumahnya.
"Tidak boleh! Bunda tidak ingin mengambil resiko! Kamu tau 'kan, bisa semarah apa Ayah nanti kalau pernikahanmu sampai gagal lagi? Pokoknya Bunda tidak kasih ijin kamu keluar!"
"Tapi, Bund.....?" Airin akhirnya diam saat melihat tatapan tajam dari perempuan itu. Yah, apa mau di kata. Sekarang ia benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa lagi.
"Ayah juga pesan tadi, kalau lusa kamu harus gantiin Ayah buat ketemu sama salah satu rekan bisnisnya. Setelah mengucapkan itu, Bunda langsung keluar dari kamar anak gadisnya begitu saja.
'Apalagi ini...
Masa aku harus mewakili Ayah? Buat apa?
Aku 'kan belum punya penaglaman sama sekali. Bagaimana kalau kerja sama itu tidak berjalan dengan baik, atau gagal.
Kenapa Ayah mendadak menugaskanku untuk mewakilinya?'
"Bisa-bisa mati bosan aku, hufttt....." Airin menatap ke luar jendela. Mengamati lalu-lalang kendaraan yang yang melintas di jalanan bawah sana.
'Apa aku kabur saja. Keluar dari jendela dan pergi ke cafe Nana.'
Gadis itu tersenyum penuh arti. Mengambil ancang-ancang, lantas mengendap lagi keluar dari jendela kamarnya yang terletak di lntai dua.
Airin benar-benar berhasil turun dari balkon jendela kamarnya sendiri. Ia melangkah tergesa, dan memanggil taksi yang kebetulan lewat tidak jauh dari mereka berdiri.
Nana yang saat itu tengah sibuk sangat terkejut dengan kedatangan Airin yang tiba-tiba. Apalagi melihat penampilan gadis itu yang hanya menggunakan piyama tidur, semakin menimbulkan banyak pertanyaan di pikirannya.
"Kamu ngapain? Bukannya kamu bilang Bunda tidak mengijinkanmu keluar rumah?" tanya Nana di sela-sela kesibukannya, tangan gadis itu juga masih asik menari membuat laporan keuangan yang akan ia berikan kepada orang tuanya nanti.
"Aku terpaksa kabur dari rumah."
"Kabur....?" Nana sampai menjatuhkan pulpen yang sejak tadi ia pegang. "Kamu gila ya! Bagaimana kalau orang tuamu menyalahkanmu nanti?"
"Tidak mungkin lah. Lagian Ayah sama Bunda tidak tahu kalau aku di sini," ucap gadis itu tanpa dosa. Senyumnya mengembang, menatap setiap sudut cafe yang pernah menjadi tempat kerjanya.
"Udah. Pulang gih? Aku tidak mau di salahkan, Rin?" Nana bangkit, memaksa agar gadis itu segera pergi dari cafe miliknya.
"Kamu ngusir aku?"
"Bukan gitu, Rin? Aku takut kamu kena marah nanti. Lebih baik kamu pulang ya, dan jangan lupa minta maaf sama Bunda."
Tapi Airin mlah memasang wajah kesal. Sebagai sahabat, bukannya Nana harus selalu mendukungnya, namun saat ini malah pengusiran yang ia dapatkan dari gadis itu.
"Padahal aku hanya ingin cerita, Na. Aku bosan, aku butuh teman. Tapi, aku nggak tau lagi harus kemana?"
Gadis itu hanya mengehela napas pelan. Ia sangat tahu apa yang telah di alami oleh gadis itu belakangan ini, termasuk gagalnya pernikahan yang harusnya sudah dirinya laksankan.
"Oke. Kamu boleh cerita. Tapi, aku pengen kamu minta ijin dulu sama Bunda."
Tidak bisa di tawar lagi saat gadis itu sudah meraih handphone dan mengetikkan nomer rumah keluarganya.
[Hallo....?]
Sementara di kantor tengah terjadi pertemuan dengan salah satu rekan bisnis baru yang akan menjalin kerja sama dengan perusahaan miliknya. Bagas sudah setuju saat Tuan Sigit meminta jadwal pertemuan lagi untuk melanjutkan pembahasan tentang kerja sama mereka.
"Tapi, mungkin nanti putra saya yang akan mewakili pertemuan selanjutnya," ucap pria paruh baya itu, senyum terus tertarik di sudut bibirnya saat Bagas langsung mengiyakan permintaannya tadi.
"Bukankah Anda juga mempunyai seorang putri? Bagaimana kalau memintanya untuk menggantikan pertemuan ini?" Pria itu kembali bersuara, meminta pada Bagas untuk mengabulkan permintaannya sekali lagi.
"Dengan senang hati sebenarnya, Tuan Sigit. Tapi, putri saya belum tau apa-apa mengenai dunia bisnis. Saya khawatir putra Anda kesal jika nanti bertemu dengannya, hahaha....!" Bagas tergelak sendiri, mengingat kelakuan Airin yang snagat urakan. Bagaimana kalau lelaki itu langsung ilfeel dan membatalkan kerja samanya.
"Tuan tidak usah khawatir, putra saya pasti akan memakluminya. Itung-itung juga buat belajar. Toh, nanti pasti mereka juga yang akan melanjutkan tugas kita kedepannya."
Bagas terlihat berpikir sejenak. Sebenarnya ragu jika Airin yang menggantikannya. Tapi benar juga yang di katakan pria itu. Kapan lagi memberikan kesempatan pada putrinya jika tidak sekarang.
"Baiklah, nanti akan saya usahakan untuk membujuknya." Akhirnya setuju. Mungkin Airin memang harus secepatnya belajar, agar nanti saat gadis itu menggantikan posisinya sudah terbiasa.
"Aku senang jika Anda menyetujuinya. Saya pastikan jika putraku tidak akan mengecewakan nanti." Senyum Sigit bertambah lebar mendengar rekan bisnisnya akhirnya setuju. Yang ia harus pastikan sekarang adalah membujuk putra satu-satunya agar mau menerima tawarannya.
'Persetan dengan kesepakatan itu. Ia tidak ingin lagi menggantungkan nasibnya pada sahabatnya lagi. Ia merasa hanya di manfaatkan dan di jadikan sebagai umpan.'
"Aku tidak mau, Pa. Aku sibuk." Ternyata respon putranya sungguh di luar dugaan. Lelaki itu langsung menolaknya mentah-mentah saat baru saja ia menyampaikan niatnya.
"Papa mohon, Sayang. Ini juga demi kebaikan kita." Pria itu berharap putranya berubah pikiran. Mau di taruh mana harga dirinya nanti, jika ia tiba-tiba membatalkan. Padahal ia sendiri yang membuat usul.
Ah, lagi-lagi wanita itu. Wanita yang hidupnya seperti parasit yang setiap waktu menempel pada putranya.
"Lakukan! Lakukan jika kau ingin kehilangan semua fasilitasmu!" Sigit terpaksa sedikit mengancam. Ia tidak boleh lemah dan membiarkan putranya untuk menolak.
"Tapi, Pa? Aku ada janji dengan Lita. Bagaimana kalau dia marah?"
"Turuti perintah Papa, atau——....?"
"Kau yakin, data ini benar-benar valid?" Arya menatap Dirga dengan serius, pria berusia 25 tahun yang sudah lama mengabdi pada keluarganya itu mengangguk yakin, "Benar, Tuan.""Itu yang saya dapatkan dari penyelidikan selama satu bulan, Tuan. Satu perusahaan besar itulah yang paling banyak menjalin kerjasama dengan WA Group, dan saya yakin para antek mereka sengaja membantunya dari belakang."Arya hanya manggut-manggut, meneliti sekali lagi informasi yang di dapat dari pria itu, lantas meraih gagang telepon untuk menghubungi seseorang, [Ya. Selamat malam....?]*****"Aku sudah menghubungi pemimpin perusahaan itu, dan aku menyerahkan tanggung jawab ini padamu." Arya menepuk pundak lelaki itu pelan, menyadarkan lamunannya kembali dari barisan huruf yang sejak tadi menahannya."Tapi, Tuan, saya–....?""Aku percaya padamu, Lex. Kau pasti bisa menjalankan semuanya. Di sini sudah ada in
Dion melangkah memasuki kantor dengan wajah masam. Melewati para karyawan yang menatapnya dengan rasa bingung. Tumben saja, biasanya jarang sekali lelaki itu terlihat, kalau tidak karena urusan uang, pasti Dion tidak akan mau menginjakkan kakinya di sini.Tuan Sigit Prasetia 'pun hari ini terlihat berbeda, penampilannya lebih rapi dan terlihat berwibawa. Apalagi saat asisten pribadinya berteriak, dan memanggil para karyawan untuk segera berkumpul, hal itu semakin menimbulkan banyak sekali pertanyaan dalam benak para karyawan."Selamat pagi semuanya." Tuan Sigit berdiri di tengah-tengah para karyawan yang sudah berbaris rapi. Di sebelahnya juga terlihat Dion, sang putra tunggal yang nantinya akan mengemban tugas untuk meneruskan perusahaan itu."Maaf. Jika kalian di kumpulkan tiba-tiba." Pria paruh baya kembali bersuara, namun banyak dari mereka menangkap gelagat yang tidak nyaman pada lelaki yang berada di sebelahnya."Hari ini saya sebagai pemimpin perus
Seorang wanita tengah berjalan hati-hati memasuki sebuah perusahaan besar yang menghubunginya beberapa hari lalu. Rencananya hari ini ia akan menjalani wawancara, sekaligus kontrak kerja dengan perusahaan yang menawarinya pekerjaan sebagai seorang sekretaris.Wanita cantik itu bernama Nabila, dengan usianya yang baru menginjak 23 tahun, ia terbilang orang yang cukup pandai dan cekatan dalam menyelesaikan tugas-tugasnya."Silahkan masuk, Nona." Dari ruangan HRD, wanita itu langsung di antar ke rungan asisten Seno, yang nantinya akan menjelaskan apa saja tugasnya."Kamu bisa pelajari ini." Sang asisten memberitahu apa-paa yang harus ia kerjakan selama menjadi sekretaris di sini, yang langsung di angguki mantap oleh Nabila."Satu jam lagi saya akan mengajakmu ke ruangan bos, jadi bersiap-siaplah." Seno melangkah meninggalkan wanita itu di dalam ruangan kerja barunya.Selanjutnya yang Nabila lakukan adalah mempelajari apa saja mengenai perusahaan itu,
Alex berulang kali mondar-mandir memikirkan cara untuk menggagalkan kerja sama itu. Bagaimana–pun, ia tidak bisa membiarkan calon mertuanya berurusan dengan orang licik seperti mereka. Apalagi kini ia mengetahui jika calon istrinya yang akan menjadi wakil dalam pertemuan itu langsung.'Calon istri?'Mungkin terdengar lucu. Sejak kapan ia menganggapnya, dan sejak kapan pula ia peduli dengan gadis super menyebalkan itu."Bagaimana, Tuan? Apa yang harus saya lakukan?" Lelaki itu mendesah frustasi. Andai pernikahannya tidak gagal, pasti ia bisa sedikit punya kuasa untuk urusan ini. Sayangnya saat ini ia bukan siapa-siapa. Ia hanya calon suami dari putri semata wayang dari keluarga itu."Tenang, Lex. Mereka hanya akan menjalin kerja sama, kenapa kau sepanik ini?" Arya menelisik wajah lelaki itu, mencari jawaban atas kekhawatirannya yang berlebihan. "Apa kau mulai peduli dengannya?"Tentu saja. Tuan Bagas adalah sahabat Papa Wahyu, apalagi ia seben
"Untuk apa aku harus bersiap serapi ini, Pa? Memang siapa yang akan aku temui?" Dion merasa papanya sangat berlebihan. Bagaimana tidak, sejak tadi ia muncul dari kamar, pria paruh baya itu sudah mengomentari penampilannya berkali-kali. Seakan semua yang ia pakai tidaklah cocok menurut pandangan papanya."Pokoknya kamu harus tampil sempurana, Dion. Kamu jangan buat malu Papa?""Buat malu bagaimana maksud Papa? Memangnya siapa sih yang akan aku temui? Merepotkan saja!" Lelaki itu sampai mengumapat berkali-kali hanya karena sang papa yang terus saja menyuruhnya menukar pakaian."Apa-apaan ini? Kau mau buat putri Tuan Bagas ilfeel melihat penampilanmu yang seperti ini?" tanya pria paruh baya itu dengan wajah kesal, "Ganti!"Dion hanya menatapnya dengan bingung. 'Memang, penampilanku kenapa?' lelaki itu menatap penampilannya sendiri yang ia rasa sudah sempurna."Papa bilang ganti! Gunakan pakaian yang sudah Papa persiapkan."'Huhhhjjfff!'
Airin tiba di restoran lima belas menit sebelum jadwal yang di tetapkan untuk pertemuan. Gadis itu sengaja berangkat lebih awal agar bisa menyiapkan semuanya dengan matang, dan juga menghindari kemacetan yang akan membuatnya terlambat. Ia di giring ke arah sebuah meja yang sudah di pesan oleh asisten ayahnya, dan ternyata di sana sudah duduk seorang pria muda yang sepertinya seumuran dengannya."Selamat pagi," sapa Airin pada pria itu, yang langsung mendapat respon sebuah senyuman darinya."Selamat pagi. Anda pasti Nona Airin, 'kan?" Dion menatap wajah gadis itu. Sesekali ekor matanya meneliti penampilan Airin dari atas sampai bawh."Iya, saya Airina Sasmita." Gadis itu memperkenalkan diri. Keduanya saling berjabat tangan, lantas Dion mempersilahkan gadis itu untuk duduk."Senang bertemu dengan Anda." Dion mulai berbasa-basi. Mengajak gadis itu berbincang sebentar, lantas kembali ke acara inti, yaitu membahas kerja sama antara kedua perusahaan yang akan s
Dion pulang ke rumah dengan perasaan kacau balau. Entah kenapa ia merasa sedikit patah hati saat mengetahui jika Airin sudah memiliki calon suami, dan yang lebih mengenaskan, tidak lama lagi keduanya akan melangsungkan pernikahan.Lelaki itu bahkan mengabaikan pekerjaannya begitu saja, lantas menyerahkan semua hasil kerja sama tadi pada Nabil."Tuan, apa tidak sebaiknya kita kembali ke kantor lebih dulu?" Wanita itu berulang kali membujuk Dion, berharap agar lelaki itu menyelesaikan lebih dulu tugas-tugasnya barulah bisa pulang."Kau tidak dengar! Aku mau langsung pulang." Lelaki itu benar-benar kesal dan meninggalkan Nabil di parkiran restoran begitu saja."Tapi, Tuan.... ahkkkkk! Bagaimana ini?" Sudah di pastikan jika nanti Asisten Seno akan memarahinya. Karena ia yang di tugaskan mendampingi Tuan Dion sampai kerja sama itu selesai."Sebaiknya aku pikirkan nanti." Nabil lantas melangkah cepat mencari taksi agar ia tidak sampai terlambat tiba di k
Grepppp! Airin sengaja memegang tangan Alex. Memaksa pada lelaki itu agar segera memberikan ponsel miliknya. "Auw.....!" Tanpa di duga Alex malah balas mendorongnya, hinggu tubuh gadis itu terjengkang dan membentur bagian dalam mobil. "Lelaki gila! Beraninya sama wanita!" Tidak tahu lagi sekesal apa Airin saat itu. Makian demi makian ia lontarkan. Namun tetap saja tidak membuat Alex menyerah dan melepas benda itu untuk ya. "Kau bilang apa!" "Apa! Benarkan?" 'Dasar menyebalkan.' Tok.. tok.... "Nona?" Asisten Hardi mengetuk kaca mobil Alex dari luar. Pria itu terlihat menunggu beberapa saat, hingga Alex membukanya. "Pulang dulu saja, Pak. Nanti biar Airin saya yang mengantar," ucap Alex memberitahu, lelaki itu lantas melirik ke arah wanita yang saat ini masih duduk di sampingnya. "Eh, aku pulang sama Pak Hardi aja." Gadis itu tiba-tiba menyahut. Merasa ada kesempatan untuk menghindarinya. "Tidak! Bapak pulang dulu saja. Biar dia, saya yang mengantar." Akhirnya Hardi memilih