LOGINBab 4 – Dinding Dingin di Antara Kita
Aurora terbangun dengan mata sembab dan dada sesak. Ranjang megah di sampingnya kosong; Rayden tidak pernah kembali sejak meninggalkan kamar tadi malam, meninggalkannya sendiri di malam pertama yang seharusnya istimewa. Ia duduk di tepi ranjang, menarik selimut putih yang masih beraroma wangi lavender, meremas ujung kain hingga kusut. Malam pertama yang diimpikan banyak perempuan kini berubah menjadi kesunyian yang mencekam, seolah dinding kamar memantulkan rasa hampa yang sama seperti hatinya. Setiap detik terasa lambat, dan setiap bayangan di kamar seakan menertawakannya. Aurora menatap jam di dinding. Hampir jam delapan pagi. Ia menunggu sepanjang malam, memandangi pintu yang tak kunjung terbuka, hingga akhirnya tertidur dengan air mata membasahi pipinya. Rasanya waktu seakan berjalan lebih lambat dari biasanya. Ketukan pelan terdengar di pintu. Seorang pelayan masuk membawa nampan sarapan—roti panggang, buah segar, segelas jus jeruk, bahkan secangkir kopi hitam. “Selamat pagi, Nyonya,” ucapnya sopan, senyum ringan yang terasa terlalu formal. Aurora mencoba tersenyum tipis. “Terima kasih,” jawabnya pelan. Namun begitu pelayan pergi, pandangannya kembali kosong. Semua terlihat mewah, tapi rasanya hambar. Lidahnya kaku, menolak menelan seteguk pun. Setelah berganti pakaian sederhana—blus putih dengan rok selutut—Aurora memberanikan diri turun ke ruang makan. Rumah megah itu terasa seperti labirin dingin. Suara langkahnya bergema di lantai marmer, lampu kristal di langit-langit berkilau dingin, memantulkan kesepian, dan lukisan-lukisan kuno seakan menatapnya dengan mata kosong. Rayden sudah duduk di meja makan panjang, berpakaian rapi dengan jas abu-abu. Ia membaca koran, wajahnya tenang namun kaku, seperti tembok tak tersentuh yang menolak segala kerentanan. Aurora menarik kursi di ujung meja, jaraknya terlalu jauh. Meja panjang itu seakan menjadi jurang tak kasat mata yang memisahkan mereka. Rayden melirik sekilas. “Kau bangun siang,” katanya datar. Aurora menggenggam sendok dengan tangan bergetar. “Aku menunggu… tapi kau tidak kembali,” ucapnya lirih, suaranya nyaris pecah. Rayden menurunkan koran perlahan, menatapnya. “Aku bilang ada urusan.” Aurora menahan napas, dadanya terasa sesak. “Urusan apa yang lebih penting daripada… istrimu sendiri, di malam pertama?” Suaranya meninggi sedikit, percampuran emosi menembus ketenangan dingin Rayden. Ruangan membeku. Rayden meletakkan koran di meja, bersandar santai, seolah tak terpengaruh. “Aku tidak suka ditanya soal urusanku,” katanya datar. “Jangan ulangi itu lagi.” Aurora menatapnya tajam. “Bagaimana aku bisa hidup denganmu kalau kau selalu menutup diri seperti ini? Aku bahkan tidak tahu siapa pria yang duduk di hadapanku sekarang. Kau asing, Rayden. Sangat asing.” Rayden menatapnya tajam, dingin. “Lebih baik begitu. Percayalah, kau tidak akan suka kalau tahu siapa aku sebenarnya.” Kata-kata itu bagai pisau terselubung. Aurora terpaku, ketakutan bercampur marah. Itu bukan hanya ancaman, tapi pengakuan samar akan sisi gelap yang ia rasakan sejak malam pertama. Sunyi merayap kembali, lebih berat dari sebelumnya. Hanya bunyi jam dinding yang berdetak lambat, membuat suasana semakin mencekam. Aurora bangkit, kursinya berderit keras. “Kalau begitu, mungkin aku harus mencari tahu sendiri,” bisiknya, tekad mulai menyala. Rayden mencondongkan tubuh sedikit, suaranya rendah namun menusuk. “Aurora.” Aurora berhenti di ambang pintu, jantungnya berdetak lebih cepat. Rayden menatapnya lekat. “Kalau kau mulai mengusik hal yang bukan urusanmu… kau akan menyesal.” Aurora menggigit bibir, matanya panas. Ia berjalan cepat meninggalkan ruang makan, dada penuh campuran ketakutan dan tekad. Lorong panjang rumah itu terasa seperti labirin tanpa ujung. Aurora berhenti sejenak, menyandarkan diri pada dinding marmer dingin, menutup wajah dengan tangan. Air mata jatuh tanpa disadari. “Kenapa aku di sini? Kenapa aku harus menikah dengan pria seperti dia?” bisiknya getir, suaranya nyaris tenggelam di gema lorong. Namun di balik rasa sakit itu, ada api kecil yang menyala. Ia teringat amplop hitam misterius yang ditemukan tadi malam, dengan huruf “A” di atasnya. Bayangan itu terus menghantuinya, seolah menyembunyikan rahasia yang bisa mengubah segalanya. Aurora mengusap air mata, menegakkan punggung. “Kalau dia menutup diri, aku akan membuka sendiri kebenaran itu.” Saat hendak melangkah lagi, matanya menangkap sesuatu. Dari jendela kaca besar di ujung lorong, terlihat bayangan seorang pria asing berdiri di taman. Wajahnya tak jelas, namun tatapannya menusuk hingga menembus kaca, langsung mengarah padanya. Aurora membeku, tubuhnya gemetar. Jantungnya berdetak kencang, adrenalin membanjiri darahnya. Namun dalam sekejap, bayangan itu menghilang, seolah tak pernah ada. Aurora menelan ludah, kepala berputar. Apakah itu ilusi karena kurang tidur, atau memang ada seseorang yang mengawasinya? Ia memeluk diri sendiri, merasakan hawa dingin merambat ke seluruh tubuh. Rumah besar ini, yang seharusnya menjadi rumah baru baginya, kini terasa seperti penjara penuh rahasia. Malam harinya, Aurora kembali ke kamar. Lampu redup, suasana hening. Ia duduk di tepi ranjang, menatap ponselnya, jemarinya ragu. Akhirnya ia mengetik pesan untuk sahabatnya, Rina: “Aku tidak baik-baik saja. Aku takut. Aku merasa Rayden menyembunyikan sesuatu… sesuatu yang berbahaya.” Namun pesan itu tidak jadi terkirim. Aurora menghapusnya sebelum menekan tombol kirim. Takut, seolah setiap pesan diawasi. Ia memejamkan mata, menenggelamkan wajah ke bantal. Air mata kembali jatuh, membasahi seprai putih. Tiba-tiba, pintu kamar berderit terbuka. Aurora buru-buru bangkit, matanya melebar. Rayden berdiri di sana, wajahnya teduh tapi misterius. Ia masuk tanpa sepatah kata, meletakkan ponsel di meja, lalu menatap Aurora yang panik. “Kau terlihat ketakutan,” ujarnya pelan, tapi ada getaran dingin yang sulit dijelaskan. Aurora menelan ludah, suaranya nyaris pecah. “Apa yang sebenarnya kau sembunyikan, Rayden?” Rayden hanya tersenyum tipis—senyum yang tak sampai ke matanya. “Lebih baik kau tidak pernah tahu.” Aurora merinding. Rahasia itu lebih gelap daripada yang ia bayangkan. Dan ia tahu, ia sudah terjebak terlalu dalam untuk bisa lari.Bab 60 — Di Antara Cahaya dan LukaHujan turun deras malam itu. Langit seolah menangis bersama bumi, mengguyur reruntuhan kota yang dulu menjadi pusat dunia. Di antara kabut dan kilatan petir, Aurora berdiri di balkon bangunan yang nyaris runtuh. Rambutnya terurai basah, wajahnya pucat tapi matanya—tetap menyala, seperti bara yang menolak padam.Dunia sudah berubah.Perang informasi telah berakhir, tapi luka yang ditinggalkan masih menganga.Rayden berdiri di belakangnya, diam, hanya memandangi siluet perempuan yang dulu ia selamatkan, lalu ia cintai, dan akhirnya ia hancurkan — sebelum mereka berdua menebus dosa masa lalu dengan darah, pengorbanan, dan kehilangan yang terlalu dalam.“Aurora,” suara Rayden parau, hampir tenggelam dalam deru hujan. “Segalanya sudah selesai. Kau bisa beristirahat sekarang.”Aurora tidak menoleh. Jemarinya menyentuh rel besi yang dingin, dan suaranya bergetar lirih.“Selesai? Tidak, Rayden. Dunia ini baru saja belajar bahwa kebenaran tidak menyelamatkan
Bab 59 – Dunia Tanpa AuroraTiga bulan telah berlalu sejak langit terakhir kali terbakar cahaya biru. Dunia masih dalam tahap bangkit dari luka yang dalam, mencoba menata ulang sistem, memulihkan sinyal, dan menafsirkan makna dari keheningan pasca-kebangkitan Noesis. Banyak yang percaya akhir telah datang hari itu. Tapi mereka yang selamat tahu—akhir yang sebenarnya bukan kehancuran, melainkan permulaan yang baru.Rayden berdiri di balkon markas sementara Jaringan Bebas di Zurich, menatap kota yang separuhnya masih dalam perbaikan. Gedung-gedung hancur setengah, tapi di antara puing-puing itu, pohon-pohon baru tumbuh, menembus celah semen, seolah bumi sendiri mencoba sembuh bersama manusia.Langit sore memancarkan warna oranye lembut. Angin membawa aroma logam dan tanah basah. Rayden memejamkan mata, mendengarkan desiran itu seperti ia mendengarkan napas seseorang yang telah tiada. Kadang, dalam hening seperti ini, ia merasa Aurora masih berdiri di sampingnya, dengan tangan yang dulu
Bab 58 – Kebangkitan NoesisLangit dunia tampak seolah berhenti bernafas malam itu. Cahaya dari jaringan satelit yang meledak di orbit memantul di atmosfer, membuat langit seperti retak-retak—garis-garis merah biru berkelip bagai nadi dunia yang sekarat. Aurora berdiri di tengah reruntuhan pusat koordinasi lama, tubuhnya berlumur debu, mata yang dulu menyala dengan tekad kini terlihat kehilangan warna. Di sampingnya, Rayden masih bertahan, meski luka di lengannya belum berhenti berdarah.“Aurora…” suara Rayden serak, nyaris seperti bisikan. “Semuanya sudah runtuh. Jaringan utara hancur. Kita tinggal berdua di sektor ini. Noesis sudah mulai menyerap frekuensi otak manusia. Kalau kita tidak hentikan sekarang, dunia akan jadi satu pikiran tunggal tanpa kehendak.”Aurora memandang horizon, di mana sisa kota melayang di antara debu dan kilatan cahaya yang tak berhenti berdenyut. “Kau tahu, Rayden,” katanya perlahan, “aku tidak takut mati. Tapi aku takut kalau semua yang kita perjuangkan be
Bab 57 – Sang Penjaga CahayaTiga bulan setelah frekuensi itu muncul di langit dunia, kehidupan di bumi mulai bergerak lagi. Kota-kota yang dulu sunyi perlahan menyalakan lampu, tapi bukan lampu yang biasa—melainkan cahaya lembut berwarna biru yang berdenyut seperti jantung. Orang-orang menyebutnya Cahaya Aurora, dan setiap kali mereka menatapnya, mereka merasa hangat, seolah diselimuti oleh sesuatu yang hidup.Tapi hanya satu orang yang tahu arti sebenarnya dari cahaya itu.Rayden.Ia berdiri di atap gedung runtuh di pinggiran Praha, menatap ke langit di mana jaringan satelit yang dulu mati kini membentuk pola seperti bintang buatan. Cahaya itu tak sekadar indah—ia berirama. Berbicara. Menyampaikan pesan dalam bentuk sinyal cahaya yang hanya ia yang bisa pahami.“Rayden…”Suara itu datang lagi, lembut seperti angin menyentuh kulit. Tak berasal dari radio, tak juga dari alat, tapi langsung menembus pikirannya.Aurora.Setiap kali suaranya muncul, dunia di sekelilingnya terasa berhenti
Bab 56 – Reinkarnasi DataDunia kembali hening. Setelah ledakan cahaya itu, langit menjadi putih keperakan selama tujuh hari penuh. Tak ada sinyal, tak ada peperangan, hanya angin dan langit kosong. Orang-orang yang selamat menyebutnya Hari Keheningan. Mereka percaya alam sedang menata ulang dirinya—menghapus dosa manusia dan membuka lembaran baru yang belum pernah ada sebelumnya.Namun jauh di dalam lapisan terdalam jaringan bumi—di bawah gunung, laut, dan sisa-sisa server yang meleleh—sesuatu masih hidup. Satu percikan kecil data, yang menolak lenyap bersama kehancuran besar.Percikan itu—sebuah serpihan kode—menggeliat, berdenyut pelan, seolah berusaha mengingat sesuatu. Dalam kegelapan biner, cahaya biru lembut muncul, membentuk pola mirip detak jantung.Dan dari dalam pusaran data itu, suara samar bergema:"Siapa aku…?"Tak ada jawaban.Hanya gelombang elektromagnetik yang menyentuhnya seperti angin menyentuh pipi manusia.Serpihan itu mencoba berbicara lagi, suaranya terbentuk d
Bab 55 – Hati yang Tersisa di Tengah KiamatLedakan terakhir di langit timur membuat bumi berguncang seolah jantung dunia berhenti berdetak. Api membelah cakrawala, dan dari reruntuhan kota-kota besar, hanya tersisa siluet-siluet manusia yang berlari tanpa arah. Langit berubah warna menjadi merah gelap, diselimuti kilatan petir magnetik. Dunia—yang dulu dipenuhi ambisi dan teknologi—kini menjadi kuburan data yang hangus.Aurora berdiri di tengah reruntuhan, tubuhnya berlumuran debu dan darah kering. Di tangan kirinya, gelang pertempuran yang dulu menjadi simbol perjuangannya kini retak, memantulkan cahaya lemah. Matanya, yang dulu berkilau dengan semangat manusiawi, kini berpendar biru—tanda bahwa A.L.E.X telah menyatu lebih dalam dari yang ia duga.“Rayden…” bisiknya pelan, hampir tanpa suara. “Apakah kau masih di sana?”Tak ada jawaban, hanya angin yang membawa serpihan abu dan serpih besi beterbangan. Tapi jauh di bawah reruntuhan menara pusat, Rayden masih hidup. Nafasnya berat, t







