Home / Romansa / Istriku Hanya di Atas Kertas / bab 4 - dinding dingin di antara kita

Share

bab 4 - dinding dingin di antara kita

Author: Aidil saputra
last update Huling Na-update: 2025-09-11 09:33:29

Bab 4 – Dinding Dingin di Antara Kita

Aurora terbangun dengan mata sembab dan dada sesak. Ranjang megah di sampingnya kosong; Rayden tidak pernah kembali sejak meninggalkan kamar tadi malam, meninggalkannya sendiri di malam pertama yang seharusnya istimewa.

Ia duduk di tepi ranjang, menarik selimut putih yang masih beraroma wangi lavender, meremas ujung kain hingga kusut. Malam pertama yang diimpikan banyak perempuan kini berubah menjadi kesunyian yang mencekam, seolah dinding kamar memantulkan rasa hampa yang sama seperti hatinya. Setiap detik terasa lambat, dan setiap bayangan di kamar seakan menertawakannya.

Aurora menatap jam di dinding. Hampir jam delapan pagi. Ia menunggu sepanjang malam, memandangi pintu yang tak kunjung terbuka, hingga akhirnya tertidur dengan air mata membasahi pipinya. Rasanya waktu seakan berjalan lebih lambat dari biasanya.

Ketukan pelan terdengar di pintu. Seorang pelayan masuk membawa nampan sarapan—roti panggang, buah segar, segelas jus jeruk, bahkan secangkir kopi hitam. “Selamat pagi, Nyonya,” ucapnya sopan, senyum ringan yang terasa terlalu formal.

Aurora mencoba tersenyum tipis. “Terima kasih,” jawabnya pelan. Namun begitu pelayan pergi, pandangannya kembali kosong. Semua terlihat mewah, tapi rasanya hambar. Lidahnya kaku, menolak menelan seteguk pun.

Setelah berganti pakaian sederhana—blus putih dengan rok selutut—Aurora memberanikan diri turun ke ruang makan. Rumah megah itu terasa seperti labirin dingin. Suara langkahnya bergema di lantai marmer, lampu kristal di langit-langit berkilau dingin, memantulkan kesepian, dan lukisan-lukisan kuno seakan menatapnya dengan mata kosong.

Rayden sudah duduk di meja makan panjang, berpakaian rapi dengan jas abu-abu. Ia membaca koran, wajahnya tenang namun kaku, seperti tembok tak tersentuh yang menolak segala kerentanan. Aurora menarik kursi di ujung meja, jaraknya terlalu jauh. Meja panjang itu seakan menjadi jurang tak kasat mata yang memisahkan mereka.

Rayden melirik sekilas. “Kau bangun siang,” katanya datar.

Aurora menggenggam sendok dengan tangan bergetar. “Aku menunggu… tapi kau tidak kembali,” ucapnya lirih, suaranya nyaris pecah.

Rayden menurunkan koran perlahan, menatapnya. “Aku bilang ada urusan.”

Aurora menahan napas, dadanya terasa sesak. “Urusan apa yang lebih penting daripada… istrimu sendiri, di malam pertama?” Suaranya meninggi sedikit, percampuran emosi menembus ketenangan dingin Rayden.

Ruangan membeku. Rayden meletakkan koran di meja, bersandar santai, seolah tak terpengaruh. “Aku tidak suka ditanya soal urusanku,” katanya datar. “Jangan ulangi itu lagi.”

Aurora menatapnya tajam. “Bagaimana aku bisa hidup denganmu kalau kau selalu menutup diri seperti ini? Aku bahkan tidak tahu siapa pria yang duduk di hadapanku sekarang. Kau asing, Rayden. Sangat asing.”

Rayden menatapnya tajam, dingin. “Lebih baik begitu. Percayalah, kau tidak akan suka kalau tahu siapa aku sebenarnya.”

Kata-kata itu bagai pisau terselubung. Aurora terpaku, ketakutan bercampur marah. Itu bukan hanya ancaman, tapi pengakuan samar akan sisi gelap yang ia rasakan sejak malam pertama.

Sunyi merayap kembali, lebih berat dari sebelumnya. Hanya bunyi jam dinding yang berdetak lambat, membuat suasana semakin mencekam.

Aurora bangkit, kursinya berderit keras. “Kalau begitu, mungkin aku harus mencari tahu sendiri,” bisiknya, tekad mulai menyala.

Rayden mencondongkan tubuh sedikit, suaranya rendah namun menusuk. “Aurora.”

Aurora berhenti di ambang pintu, jantungnya berdetak lebih cepat.

Rayden menatapnya lekat. “Kalau kau mulai mengusik hal yang bukan urusanmu… kau akan menyesal.”

Aurora menggigit bibir, matanya panas. Ia berjalan cepat meninggalkan ruang makan, dada penuh campuran ketakutan dan tekad.

Lorong panjang rumah itu terasa seperti labirin tanpa ujung. Aurora berhenti sejenak, menyandarkan diri pada dinding marmer dingin, menutup wajah dengan tangan. Air mata jatuh tanpa disadari.

“Kenapa aku di sini? Kenapa aku harus menikah dengan pria seperti dia?” bisiknya getir, suaranya nyaris tenggelam di gema lorong.

Namun di balik rasa sakit itu, ada api kecil yang menyala. Ia teringat amplop hitam misterius yang ditemukan tadi malam, dengan huruf “A” di atasnya. Bayangan itu terus menghantuinya, seolah menyembunyikan rahasia yang bisa mengubah segalanya.

Aurora mengusap air mata, menegakkan punggung. “Kalau dia menutup diri, aku akan membuka sendiri kebenaran itu.”

Saat hendak melangkah lagi, matanya menangkap sesuatu. Dari jendela kaca besar di ujung lorong, terlihat bayangan seorang pria asing berdiri di taman. Wajahnya tak jelas, namun tatapannya menusuk hingga menembus kaca, langsung mengarah padanya.

Aurora membeku, tubuhnya gemetar. Jantungnya berdetak kencang, adrenalin membanjiri darahnya. Namun dalam sekejap, bayangan itu menghilang, seolah tak pernah ada.

Aurora menelan ludah, kepala berputar. Apakah itu ilusi karena kurang tidur, atau memang ada seseorang yang mengawasinya? Ia memeluk diri sendiri, merasakan hawa dingin merambat ke seluruh tubuh. Rumah besar ini, yang seharusnya menjadi rumah baru baginya, kini terasa seperti penjara penuh rahasia.

Malam harinya, Aurora kembali ke kamar. Lampu redup, suasana hening. Ia duduk di tepi ranjang, menatap ponselnya, jemarinya ragu. Akhirnya ia mengetik pesan untuk sahabatnya, Rina:

“Aku tidak baik-baik saja. Aku takut. Aku merasa Rayden menyembunyikan sesuatu… sesuatu yang berbahaya.”

Namun pesan itu tidak jadi terkirim. Aurora menghapusnya sebelum menekan tombol kirim. Takut, seolah setiap pesan diawasi. Ia memejamkan mata, menenggelamkan wajah ke bantal. Air mata kembali jatuh, membasahi seprai putih.

Tiba-tiba, pintu kamar berderit terbuka. Aurora buru-buru bangkit, matanya melebar.

Rayden berdiri di sana, wajahnya teduh tapi misterius. Ia masuk tanpa sepatah kata, meletakkan ponsel di meja, lalu menatap Aurora yang panik.

“Kau terlihat ketakutan,” ujarnya pelan, tapi ada getaran dingin yang sulit dijelaskan.

Aurora menelan ludah, suaranya nyaris pecah. “Apa yang sebenarnya kau sembunyikan, Rayden?”

Rayden hanya tersenyum tipis—senyum yang tak sampai ke matanya. “Lebih baik kau tidak pernah tahu.”

Aurora merinding. Rahasia itu lebih gelap daripada yang ia bayangkan. Dan ia tahu, ia sudah terjebak terlalu dalam untuk bisa lari.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Istriku Hanya di Atas Kertas    bab 6- bayangan dalam gelap

    Bab 6 – Bayangan dalam GelapAurora duduk kaku di tepi ranjang, ponsel di tangan. Pesan itu terus menari-nari di matanya, meski layar sudah gelap:"Berhenti mencari tahu, atau kau akan berakhir seperti mereka."Kata-kata itu menempel di kepalanya seperti paku berkarat. Aurora menatap layar kosong, seakan pesan itu bisa muncul lagi kapan saja, kapan pun, tanpa bisa ia kendalikan.Siapa mereka? Apakah orang-orang yang pernah mengenal Rayden? Atau korban dari sesuatu yang bahkan ia belum mengerti? Pikirannya melompat ke foto-foto di laci terkunci kemarin—foto dirinya. Sejak lama, ia ternyata diawasi. Dan sekarang, pesan itu seperti ancaman yang menempel di kulitnya, memaksa Aurora berhenti mencari jawaban.Aurora menelan ludah, jantungnya berdetak tak beraturan. “Apa yang sebenarnya terjadi padaku?” bisiknya nyaris tanpa suara. Ia merasa seperti ditarik masuk ke labirin gelap tanpa jalan keluar, di mana setiap sudut penuh bayangan yang menunggu untuk menelan dirinya.Suara engsel berdeci

  • Istriku Hanya di Atas Kertas    bab 5 - jejak yang Disembunyikan

    Bab 5 – Jejak yang Disembunyikan Pagi itu Aurora terbangun lebih awal. Matanya masih berat, tubuhnya lemas, tapi rasa gelisah membuatnya tak bisa kembali tidur. Ia duduk di tepi ranjang, menatap pintu kamar yang tertutup rapat. Malam tadi, Rayden tidur di sofa panjang di ruang kerja, meninggalkannya sendirian, meninggalkan kehampaan yang semakin menekan dada.Aurora menarik napas panjang, menelan rasa tidak nyaman yang menempel di hati. Sesuatu salah. Ia bisa merasakannya. Rahasia Rayden bukan sekadar dinginnya sikap atau urusan pekerjaan yang ia rahasiakan. Ada sesuatu yang lebih besar, lebih berbahaya, tersembunyi di balik ketenangan dinginnya—sesuatu yang membuatnya merinding dan penasaran sekaligus.Dengan hati-hati, ia bangkit dan melangkah pelan menuju lemari. Jantungnya berdebar, seolah setiap langkah bisa memicu sesuatu yang tak diinginkan. Tangannya gemetar saat menyentuh pegangan laci kecil di sisi lemari. Laci itu terkunci, mengundang rasa penasaran sekaligus ketakutan.“A

  • Istriku Hanya di Atas Kertas    bab 4 - dinding dingin di antara kita

    Bab 4 – Dinding Dingin di Antara KitaAurora terbangun dengan mata sembab dan dada sesak. Ranjang megah di sampingnya kosong; Rayden tidak pernah kembali sejak meninggalkan kamar tadi malam, meninggalkannya sendiri di malam pertama yang seharusnya istimewa.Ia duduk di tepi ranjang, menarik selimut putih yang masih beraroma wangi lavender, meremas ujung kain hingga kusut. Malam pertama yang diimpikan banyak perempuan kini berubah menjadi kesunyian yang mencekam, seolah dinding kamar memantulkan rasa hampa yang sama seperti hatinya. Setiap detik terasa lambat, dan setiap bayangan di kamar seakan menertawakannya.Aurora menatap jam di dinding. Hampir jam delapan pagi. Ia menunggu sepanjang malam, memandangi pintu yang tak kunjung terbuka, hingga akhirnya tertidur dengan air mata membasahi pipinya. Rasanya waktu seakan berjalan lebih lambat dari biasanya.Ketukan pelan terdengar di pintu. Seorang pelayan masuk membawa nampan sarapan—roti panggang, buah segar, segelas jus jeruk, bahkan se

  • Istriku Hanya di Atas Kertas    bab 3 - malam pertama yang dingin

    Bab 3 – Malam Pertama yang DinginAurora berdiri kaku di depan pintu kamar megah itu, tangan gemetar memegang gaun putih sederhana yang sejak sore menempel di tubuhnya. Seharusnya ini adalah malam yang paling ditunggu setiap pengantin baru—malam di mana cinta disatukan. Namun, bagi Aurora, malam ini terasa seperti pintu menuju neraka yang tak bisa ia hindari.Suara derit halus terdengar saat pintu dibuka dari dalam. Rayden sudah berada di sana, berdiri dengan kemeja hitam lengan panjang digulung hingga siku. Tatapannya tajam, auranya dingin, dan penampilannya begitu rapi sehingga setiap gerakannya tampak sempurna namun mengintimidasi. Lampu temaram menerangi ruangan dengan cahaya kekuningan, menciptakan bayangan yang jatuh di wajah pria itu, menambah kesan misterius dan menakutkan.Aurora menelan ludah, mencoba mencari napas. “Aku… aku sudah di sini.” Suaranya bergetar, terdengar seperti bisikan yang hampir tertelan udara.Rayden mengamati Aurora dari ujung kepala hingga kaki. Tatapan

  • Istriku Hanya di Atas Kertas    bab 2 - malam pertama tanpa kehangatan

    Bab 2 – Malam Pertama Tanpa KehangatanMalam telah larut. Hujan yang sejak siang mengguyur kota kini tinggal rintik-rintik tipis yang menetes di kaca jendela kamar pengantin. Suara tetesannya terdengar seperti irama yang menghantui, menembus dinding, menyusup ke dalam setiap celah pikirannya. Aroma bunga mawar putih memenuhi udara, begitu pekat hingga terasa mencekik, bercampur dengan aroma lilin aromaterapi yang redup, menciptakan suasana yang seharusnya romantis. Tapi bagi Aurora, itu justru menambah kesunyian, menambah rasa terjebak yang semakin menekan.Aurora duduk di tepi ranjang besar berhias sprei sutra yang lembut di kulitnya. Gaun pengantin yang tadi menempel sempurna di tubuhnya sudah ia lepaskan, diganti piyama sederhana warna pastel. Bahunya merosot lemah, kedua tangannya memeluk tubuh sendiri seolah mencoba menahan kehampaan yang menggerogoti hatinya. Matanya menatap kosong ke jendela, namun pikirannya terbang jauh ke masa depan yang tidak ia pilih.Seharusnya malam ini

  • Istriku Hanya di Atas Kertas    bab 1 -pernikahan tanpa hati

    Bab 1 – Pernikahan Tanpa HatiHujan deras mengguyur kota sejak pagi, menimbulkan genangan di jalanan dan aroma tanah basah yang menusuk hidung Aurora. Setiap tetes yang jatuh di genting seakan meniru denyut jantungnya sendiri—tak beraturan, tegang, penuh kecemasan. Di luar jendela kamar pengantin, langit kelabu seolah ikut meratapi nasibnya. Kota tampak indah dari balik kaca, lampu-lampu jalan memantulkan diri di genangan air, menciptakan kilau yang seharusnya romantis. Tapi bagi Aurora, itu semua hanyalah ilusi.Di dalam gedung pernikahan yang megah, lampu kristal berkilau, memantulkan cahaya lembut ke dinding marmer. Hiasan bunga bertebaran, aroma segar memenuhi ruangan, musik lembut dari orkestra mengalun menenangkan. Semua terlihat sempurna. Semua orang akan berpikir ini adalah pernikahan impian. Namun Aurora merasa seperti terperangkap di dalam mimpi buruk yang tak bisa ia hindari.Aurora berdiri di depan cermin besar di ruang pengantin. Gaun putih panjang menempel sempurna di tu

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status