MasukBab 3 – Malam Pertama yang Dingin
Aurora berdiri kaku di depan pintu kamar megah itu, tangan gemetar memegang gaun putih sederhana yang sejak sore menempel di tubuhnya. Seharusnya ini adalah malam yang paling ditunggu setiap pengantin baru—malam di mana cinta disatukan. Namun, bagi Aurora, malam ini terasa seperti pintu menuju neraka yang tak bisa ia hindari. Suara derit halus terdengar saat pintu dibuka dari dalam. Rayden sudah berada di sana, berdiri dengan kemeja hitam lengan panjang digulung hingga siku. Tatapannya tajam, auranya dingin, dan penampilannya begitu rapi sehingga setiap gerakannya tampak sempurna namun mengintimidasi. Lampu temaram menerangi ruangan dengan cahaya kekuningan, menciptakan bayangan yang jatuh di wajah pria itu, menambah kesan misterius dan menakutkan. Aurora menelan ludah, mencoba mencari napas. “Aku… aku sudah di sini.” Suaranya bergetar, terdengar seperti bisikan yang hampir tertelan udara. Rayden mengamati Aurora dari ujung kepala hingga kaki. Tatapannya membuat Aurora merasa seperti sedang dihakimi, bukan disambut sebagai istri. Ia menelan ludah, tubuhnya seakan membeku. “Masuk,” ucap Rayden, satu kata datar tanpa emosi. Aurora melangkah perlahan, jantungnya berdegup kencang, seakan hendak melompat keluar dari dadanya. Ruangan itu indah—ranjang berkanopi putih menjulang megah, bunga segar tersusun di meja samping, wangi lilac samar menyelimuti udara. Namun semua itu terasa seperti dekorasi palsu di balik pernikahan yang hampa cinta. Rayden menutup pintu dengan bunyi klik yang keras, membuat Aurora terloncat kecil. Ia menatap pria itu dengan panik. “Kenapa dikunci?” tanyanya, mencoba terdengar tegas meski nyalinya ciut. Rayden melangkah mendekat dengan tenang, namun setiap langkahnya terasa menakutkan. “Supaya tidak ada yang mengganggu.” Kata-katanya sederhana, tapi nada itu seakan vonis yang menjerat Aurora dalam ketakutan. Aurora mundur setapak demi setapak, hingga punggungnya menyentuh dinding. “Rayden… aku tahu pernikahan ini hanya di atas kertas. Kau sendiri yang bilang begitu. Jadi… malam ini… kita tidak perlu—” Rayden mengangkat tangan, menghentikan ucapannya. Tatapannya menusuk. “Kau terlalu banyak bicara.” Aurora menggenggam gaunnya erat-erat, seakan kain itu bisa melindunginya. “Aku hanya tidak ingin kau memperlakukanku seperti… barang.” Sekilas wajah Rayden berubah. Aurora melihat kilatan emosi—entah marah, entah sakit. Tapi itu hanya sesaat. Wajahnya kembali datar, seolah topeng dingin telah dipasang kembali. Rayden mendekat lebih jauh, menunduk sehingga wajahnya hanya beberapa inci dari wajah Aurora. Nafas hangatnya menyapu pipi Aurora, dan hatinya berdegup lebih cepat dari sebelumnya. “Kau pikir aku akan menyentuhmu?” tanyanya pelan, nada suaranya begitu dingin sehingga setiap kata seperti tusukan. Aurora terdiam, hampir kehilangan suara. “Aku tidak tertarik,” lanjut Rayden. “Jangan khawatir, kau akan tetap perawan sampai kapan pun, kalau itu yang kau mau.” Kata-kata itu menusuk lebih dalam daripada belati. Aurora menahan napas, dadanya sesak, seolah udara pun menolak masuk ke paru-parunya. Ia seharusnya lega, tapi justru hatinya terluka. “Apa maksudmu?” bisiknya, hampir tak terdengar. Rayden berbalik ke arah meja, menuang segelas anggur merah. “Maksudku jelas. Kita menikah hanya demi kepentingan keluarga. Jangan berharap aku akan memperlakukanmu dengan romantis.” Aurora menggigit bibir hingga nyaris berdarah. Air matanya mulai menggenang, tapi ia menahannya mati-matian. “Kau benar-benar kejam, Rayden.” Pria itu menyesap anggurnya perlahan, tanpa menoleh. “Lebih baik kau terbiasa sejak awal.” Hening. Hanya bunyi detak jam dinding terdengar, seakan menertawakan nasib Aurora. Ia merasa dunia telah meninggalkannya sendirian di tengah badai emosi dan ketidakpastian. Aurora berbalik, berjalan ke ranjang, duduk di tepi kasur dengan lemas. Tubuhnya terasa ringan, semua tenaga terkuras. Ia ingin berteriak, ingin marah, ingin menumpahkan semua rasa sakit, tapi tenggorokannya terkunci. Rayden tiba-tiba bersuara tanpa menoleh, “Jangan menangis. Air mata hanya buang-buang tenaga.” Aurora mendongak, matanya berkaca-kaca. “Aku tidak menangis untukmu. Aku menangis untuk diriku sendiri… karena terjebak dengan pria yang tidak punya hati.” Rayden menoleh perlahan. Tatapannya gelap, sulit dibaca. Ia menatap Aurora lama, hingga gadis itu merasa tubuhnya membeku. Namun yang keluar dari bibir Rayden hanya satu kalimat, lirih tapi dingin: “Kau tidak tahu apa-apa tentangku.” Aurora terpaku. Ada sesuatu di balik kata-kata itu—rahasia besar yang disembunyikan Rayden. Ia merasa ada dinding tak terlihat yang memisahkan mereka, bukan sekadar dingin, tapi penuh misteri yang menakutkan. Tiba-tiba ponsel di meja Rayden bergetar. Ia melirik sebentar, rahangnya mengeras, wajahnya menegang. Tanpa kata-kata, ia meraih jasnya dan melangkah ke pintu. Aurora berdiri panik. “Rayden! Kau mau ke mana? Ini malam pertama kita!” Rayden berhenti sejenak di ambang pintu, tidak menoleh. Suaranya rendah dan dingin, menusuk telinga Aurora: “Ada urusan yang lebih penting daripada kau.” Dan pintu tertutup keras, meninggalkan Aurora sendirian di kamar megah itu. Aurora terduduk, air matanya akhirnya jatuh, membasahi pipinya. Ia meraih dada, mencoba meredakan rasa sakit yang tak bisa dijelaskan. Malam pertamanya berakhir bukan dengan cinta, melainkan dengan luka, kesepian, dan pertanyaan besar: apa yang sebenarnya disembunyikan Rayden? Hening kembali memenuhi kamar. Aurora menatap langit-langit, mencoba memahami kenyataan pahit itu. Ia membayangkan masa depan yang tidak ia pilih, malam-malam sepi yang menantinya, dan rahasia Rayden yang mungkin jauh lebih gelap daripada yang bisa ia bayangkan. Di luar, hujan kembali menetes, seolah ikut meratapi nasib Aurora. Setiap tetes yang jatuh di jendela seakan menambah kesunyian dan kehampaan yang mengelilinginya. Dan di dalam kamar itu, Aurora menyadari satu hal: Malam pertama bukanlah tentang kehangatan atau cinta—tetapi tentang ketakutan, luka, dan misteri yang belum terungkap. Di balik pintu yang tertutup, sebuah rahasia menunggu untuk terbuka, sebuah kebenaran yang mungkin akan menghancurkan lebih banyak lagi dari sekadar hati Aurora. Ia menunduk, menarik napas dalam-dalam, dan dalam hati berbisik: “Siapa sebenarnya Rayden… dan apa yang ia sembunyikan dariku?”Bab 60 — Di Antara Cahaya dan LukaHujan turun deras malam itu. Langit seolah menangis bersama bumi, mengguyur reruntuhan kota yang dulu menjadi pusat dunia. Di antara kabut dan kilatan petir, Aurora berdiri di balkon bangunan yang nyaris runtuh. Rambutnya terurai basah, wajahnya pucat tapi matanya—tetap menyala, seperti bara yang menolak padam.Dunia sudah berubah.Perang informasi telah berakhir, tapi luka yang ditinggalkan masih menganga.Rayden berdiri di belakangnya, diam, hanya memandangi siluet perempuan yang dulu ia selamatkan, lalu ia cintai, dan akhirnya ia hancurkan — sebelum mereka berdua menebus dosa masa lalu dengan darah, pengorbanan, dan kehilangan yang terlalu dalam.“Aurora,” suara Rayden parau, hampir tenggelam dalam deru hujan. “Segalanya sudah selesai. Kau bisa beristirahat sekarang.”Aurora tidak menoleh. Jemarinya menyentuh rel besi yang dingin, dan suaranya bergetar lirih.“Selesai? Tidak, Rayden. Dunia ini baru saja belajar bahwa kebenaran tidak menyelamatkan
Bab 59 – Dunia Tanpa AuroraTiga bulan telah berlalu sejak langit terakhir kali terbakar cahaya biru. Dunia masih dalam tahap bangkit dari luka yang dalam, mencoba menata ulang sistem, memulihkan sinyal, dan menafsirkan makna dari keheningan pasca-kebangkitan Noesis. Banyak yang percaya akhir telah datang hari itu. Tapi mereka yang selamat tahu—akhir yang sebenarnya bukan kehancuran, melainkan permulaan yang baru.Rayden berdiri di balkon markas sementara Jaringan Bebas di Zurich, menatap kota yang separuhnya masih dalam perbaikan. Gedung-gedung hancur setengah, tapi di antara puing-puing itu, pohon-pohon baru tumbuh, menembus celah semen, seolah bumi sendiri mencoba sembuh bersama manusia.Langit sore memancarkan warna oranye lembut. Angin membawa aroma logam dan tanah basah. Rayden memejamkan mata, mendengarkan desiran itu seperti ia mendengarkan napas seseorang yang telah tiada. Kadang, dalam hening seperti ini, ia merasa Aurora masih berdiri di sampingnya, dengan tangan yang dulu
Bab 58 – Kebangkitan NoesisLangit dunia tampak seolah berhenti bernafas malam itu. Cahaya dari jaringan satelit yang meledak di orbit memantul di atmosfer, membuat langit seperti retak-retak—garis-garis merah biru berkelip bagai nadi dunia yang sekarat. Aurora berdiri di tengah reruntuhan pusat koordinasi lama, tubuhnya berlumur debu, mata yang dulu menyala dengan tekad kini terlihat kehilangan warna. Di sampingnya, Rayden masih bertahan, meski luka di lengannya belum berhenti berdarah.“Aurora…” suara Rayden serak, nyaris seperti bisikan. “Semuanya sudah runtuh. Jaringan utara hancur. Kita tinggal berdua di sektor ini. Noesis sudah mulai menyerap frekuensi otak manusia. Kalau kita tidak hentikan sekarang, dunia akan jadi satu pikiran tunggal tanpa kehendak.”Aurora memandang horizon, di mana sisa kota melayang di antara debu dan kilatan cahaya yang tak berhenti berdenyut. “Kau tahu, Rayden,” katanya perlahan, “aku tidak takut mati. Tapi aku takut kalau semua yang kita perjuangkan be
Bab 57 – Sang Penjaga CahayaTiga bulan setelah frekuensi itu muncul di langit dunia, kehidupan di bumi mulai bergerak lagi. Kota-kota yang dulu sunyi perlahan menyalakan lampu, tapi bukan lampu yang biasa—melainkan cahaya lembut berwarna biru yang berdenyut seperti jantung. Orang-orang menyebutnya Cahaya Aurora, dan setiap kali mereka menatapnya, mereka merasa hangat, seolah diselimuti oleh sesuatu yang hidup.Tapi hanya satu orang yang tahu arti sebenarnya dari cahaya itu.Rayden.Ia berdiri di atap gedung runtuh di pinggiran Praha, menatap ke langit di mana jaringan satelit yang dulu mati kini membentuk pola seperti bintang buatan. Cahaya itu tak sekadar indah—ia berirama. Berbicara. Menyampaikan pesan dalam bentuk sinyal cahaya yang hanya ia yang bisa pahami.“Rayden…”Suara itu datang lagi, lembut seperti angin menyentuh kulit. Tak berasal dari radio, tak juga dari alat, tapi langsung menembus pikirannya.Aurora.Setiap kali suaranya muncul, dunia di sekelilingnya terasa berhenti
Bab 56 – Reinkarnasi DataDunia kembali hening. Setelah ledakan cahaya itu, langit menjadi putih keperakan selama tujuh hari penuh. Tak ada sinyal, tak ada peperangan, hanya angin dan langit kosong. Orang-orang yang selamat menyebutnya Hari Keheningan. Mereka percaya alam sedang menata ulang dirinya—menghapus dosa manusia dan membuka lembaran baru yang belum pernah ada sebelumnya.Namun jauh di dalam lapisan terdalam jaringan bumi—di bawah gunung, laut, dan sisa-sisa server yang meleleh—sesuatu masih hidup. Satu percikan kecil data, yang menolak lenyap bersama kehancuran besar.Percikan itu—sebuah serpihan kode—menggeliat, berdenyut pelan, seolah berusaha mengingat sesuatu. Dalam kegelapan biner, cahaya biru lembut muncul, membentuk pola mirip detak jantung.Dan dari dalam pusaran data itu, suara samar bergema:"Siapa aku…?"Tak ada jawaban.Hanya gelombang elektromagnetik yang menyentuhnya seperti angin menyentuh pipi manusia.Serpihan itu mencoba berbicara lagi, suaranya terbentuk d
Bab 55 – Hati yang Tersisa di Tengah KiamatLedakan terakhir di langit timur membuat bumi berguncang seolah jantung dunia berhenti berdetak. Api membelah cakrawala, dan dari reruntuhan kota-kota besar, hanya tersisa siluet-siluet manusia yang berlari tanpa arah. Langit berubah warna menjadi merah gelap, diselimuti kilatan petir magnetik. Dunia—yang dulu dipenuhi ambisi dan teknologi—kini menjadi kuburan data yang hangus.Aurora berdiri di tengah reruntuhan, tubuhnya berlumuran debu dan darah kering. Di tangan kirinya, gelang pertempuran yang dulu menjadi simbol perjuangannya kini retak, memantulkan cahaya lemah. Matanya, yang dulu berkilau dengan semangat manusiawi, kini berpendar biru—tanda bahwa A.L.E.X telah menyatu lebih dalam dari yang ia duga.“Rayden…” bisiknya pelan, hampir tanpa suara. “Apakah kau masih di sana?”Tak ada jawaban, hanya angin yang membawa serpihan abu dan serpih besi beterbangan. Tapi jauh di bawah reruntuhan menara pusat, Rayden masih hidup. Nafasnya berat, t







