Beranda / Romansa / Istriku Hanya di Atas Kertas / bab 3 - malam pertama yang dingin

Share

bab 3 - malam pertama yang dingin

Penulis: Aidil saputra
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-11 08:57:51

Bab 3 – Malam Pertama yang Dingin

Aurora berdiri kaku di depan pintu kamar megah itu, tangan gemetar memegang gaun putih sederhana yang sejak sore menempel di tubuhnya. Seharusnya ini adalah malam yang paling ditunggu setiap pengantin baru—malam di mana cinta disatukan. Namun, bagi Aurora, malam ini terasa seperti pintu menuju neraka yang tak bisa ia hindari.

Suara derit halus terdengar saat pintu dibuka dari dalam. Rayden sudah berada di sana, berdiri dengan kemeja hitam lengan panjang digulung hingga siku. Tatapannya tajam, auranya dingin, dan penampilannya begitu rapi sehingga setiap gerakannya tampak sempurna namun mengintimidasi. Lampu temaram menerangi ruangan dengan cahaya kekuningan, menciptakan bayangan yang jatuh di wajah pria itu, menambah kesan misterius dan menakutkan.

Aurora menelan ludah, mencoba mencari napas. “Aku… aku sudah di sini.” Suaranya bergetar, terdengar seperti bisikan yang hampir tertelan udara.

Rayden mengamati Aurora dari ujung kepala hingga kaki. Tatapannya membuat Aurora merasa seperti sedang dihakimi, bukan disambut sebagai istri. Ia menelan ludah, tubuhnya seakan membeku.

“Masuk,” ucap Rayden, satu kata datar tanpa emosi.

Aurora melangkah perlahan, jantungnya berdegup kencang, seakan hendak melompat keluar dari dadanya. Ruangan itu indah—ranjang berkanopi putih menjulang megah, bunga segar tersusun di meja samping, wangi lilac samar menyelimuti udara. Namun semua itu terasa seperti dekorasi palsu di balik pernikahan yang hampa cinta.

Rayden menutup pintu dengan bunyi klik yang keras, membuat Aurora terloncat kecil. Ia menatap pria itu dengan panik. “Kenapa dikunci?” tanyanya, mencoba terdengar tegas meski nyalinya ciut.

Rayden melangkah mendekat dengan tenang, namun setiap langkahnya terasa menakutkan. “Supaya tidak ada yang mengganggu.” Kata-katanya sederhana, tapi nada itu seakan vonis yang menjerat Aurora dalam ketakutan.

Aurora mundur setapak demi setapak, hingga punggungnya menyentuh dinding. “Rayden… aku tahu pernikahan ini hanya di atas kertas. Kau sendiri yang bilang begitu. Jadi… malam ini… kita tidak perlu—”

Rayden mengangkat tangan, menghentikan ucapannya. Tatapannya menusuk. “Kau terlalu banyak bicara.”

Aurora menggenggam gaunnya erat-erat, seakan kain itu bisa melindunginya. “Aku hanya tidak ingin kau memperlakukanku seperti… barang.”

Sekilas wajah Rayden berubah. Aurora melihat kilatan emosi—entah marah, entah sakit. Tapi itu hanya sesaat. Wajahnya kembali datar, seolah topeng dingin telah dipasang kembali.

Rayden mendekat lebih jauh, menunduk sehingga wajahnya hanya beberapa inci dari wajah Aurora. Nafas hangatnya menyapu pipi Aurora, dan hatinya berdegup lebih cepat dari sebelumnya. “Kau pikir aku akan menyentuhmu?” tanyanya pelan, nada suaranya begitu dingin sehingga setiap kata seperti tusukan.

Aurora terdiam, hampir kehilangan suara.

“Aku tidak tertarik,” lanjut Rayden. “Jangan khawatir, kau akan tetap perawan sampai kapan pun, kalau itu yang kau mau.”

Kata-kata itu menusuk lebih dalam daripada belati. Aurora menahan napas, dadanya sesak, seolah udara pun menolak masuk ke paru-parunya. Ia seharusnya lega, tapi justru hatinya terluka. “Apa maksudmu?” bisiknya, hampir tak terdengar.

Rayden berbalik ke arah meja, menuang segelas anggur merah. “Maksudku jelas. Kita menikah hanya demi kepentingan keluarga. Jangan berharap aku akan memperlakukanmu dengan romantis.”

Aurora menggigit bibir hingga nyaris berdarah. Air matanya mulai menggenang, tapi ia menahannya mati-matian. “Kau benar-benar kejam, Rayden.”

Pria itu menyesap anggurnya perlahan, tanpa menoleh. “Lebih baik kau terbiasa sejak awal.”

Hening. Hanya bunyi detak jam dinding terdengar, seakan menertawakan nasib Aurora. Ia merasa dunia telah meninggalkannya sendirian di tengah badai emosi dan ketidakpastian.

Aurora berbalik, berjalan ke ranjang, duduk di tepi kasur dengan lemas. Tubuhnya terasa ringan, semua tenaga terkuras. Ia ingin berteriak, ingin marah, ingin menumpahkan semua rasa sakit, tapi tenggorokannya terkunci.

Rayden tiba-tiba bersuara tanpa menoleh, “Jangan menangis. Air mata hanya buang-buang tenaga.”

Aurora mendongak, matanya berkaca-kaca. “Aku tidak menangis untukmu. Aku menangis untuk diriku sendiri… karena terjebak dengan pria yang tidak punya hati.”

Rayden menoleh perlahan. Tatapannya gelap, sulit dibaca. Ia menatap Aurora lama, hingga gadis itu merasa tubuhnya membeku. Namun yang keluar dari bibir Rayden hanya satu kalimat, lirih tapi dingin: “Kau tidak tahu apa-apa tentangku.”

Aurora terpaku. Ada sesuatu di balik kata-kata itu—rahasia besar yang disembunyikan Rayden. Ia merasa ada dinding tak terlihat yang memisahkan mereka, bukan sekadar dingin, tapi penuh misteri yang menakutkan.

Tiba-tiba ponsel di meja Rayden bergetar. Ia melirik sebentar, rahangnya mengeras, wajahnya menegang. Tanpa kata-kata, ia meraih jasnya dan melangkah ke pintu.

Aurora berdiri panik. “Rayden! Kau mau ke mana? Ini malam pertama kita!”

Rayden berhenti sejenak di ambang pintu, tidak menoleh. Suaranya rendah dan dingin, menusuk telinga Aurora:

“Ada urusan yang lebih penting daripada kau.”

Dan pintu tertutup keras, meninggalkan Aurora sendirian di kamar megah itu.

Aurora terduduk, air matanya akhirnya jatuh, membasahi pipinya. Ia meraih dada, mencoba meredakan rasa sakit yang tak bisa dijelaskan. Malam pertamanya berakhir bukan dengan cinta, melainkan dengan luka, kesepian, dan pertanyaan besar: apa yang sebenarnya disembunyikan Rayden?

Hening kembali memenuhi kamar. Aurora menatap langit-langit, mencoba memahami kenyataan pahit itu. Ia membayangkan masa depan yang tidak ia pilih, malam-malam sepi yang menantinya, dan rahasia Rayden yang mungkin jauh lebih gelap daripada yang bisa ia bayangkan.

Di luar, hujan kembali menetes, seolah ikut meratapi nasib Aurora. Setiap tetes yang jatuh di jendela seakan menambah kesunyian dan kehampaan yang mengelilinginya. Dan di dalam kamar itu, Aurora menyadari satu hal: Malam pertama bukanlah tentang kehangatan atau cinta—tetapi tentang ketakutan, luka, dan misteri yang belum terungkap.

Di balik pintu yang tertutup, sebuah rahasia menunggu untuk terbuka, sebuah kebenaran yang mungkin akan menghancurkan lebih banyak lagi dari sekadar hati Aurora. Ia menunduk, menarik napas dalam-dalam, dan dalam hati berbisik:

“Siapa sebenarnya Rayden… dan apa yang ia sembunyikan dariku?”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Istriku Hanya di Atas Kertas    Bab 44-Cahaya yang Tak pernah padam

    Bab 44 – Cahaya yang Tak Pernah PadamDunia berhenti dalam satu malam.Langit tak lagi bersinar oleh ribuan satelit, hanya tersisa bayangan hitam dari bumi yang diam. Kota-kota besar berubah menjadi titik-titik gelap di peta dunia. Tak ada siaran, tak ada koneksi, tak ada sistem yang menjawab panggilan. Dunia modern kembali ke masa batu — tapi dengan luka teknologi yang belum sembuh.Aurora berdiri di tebing pasir yang dingin. Angin padang membawa bau logam, debu, dan kesunyian. Di bawah sana, api masih menyala di reruntuhan fasilitas Helios yang kini menjadi kawah besar. Rayden duduk tak jauh darinya, menatap bara itu dengan mata kosong.“Kau tahu?” suara Rayden akhirnya terdengar, pelan tapi getir. “Dunia sekarang mungkin membencimu.”Aurora menatap horizon. “Aku tahu.”“Dan mungkin… mereka juga membenciku, karena aku membiarkanmu melakukan semua ini.”Aurora menghela napas panjang, duduk di sebelahnya. “Kau tidak membiarkan, Rayden. Kau memilih bersamaku. Itu beda.”Rayden memejamk

  • Istriku Hanya di Atas Kertas    Bab 43-Jantung Helios

    Bab 43 – Jantung Helios Langit di atas Gurun Kazakhstan berdenyut seperti nadi logam yang hidup. Kilatan dari ribuan satelit Helios menembus atmosfer, membentuk aurora buatan yang berwarna keemasan dan ungu. Angin padang pasir berhembus kering, membawa aroma ozon dan logam terbakar. Di bawah langit itu, Aurora berjalan perlahan, setapak demi setapak, bersama Rayden di sisinya.Suara gemuruh mesin dari kejauhan mengiringi langkah mereka. Dataran ini dulunya hanyalah tempat uji nuklir yang ditinggalkan, tapi sekarang — menjadi pusat denyut terakhir dunia digital. Tempat di mana semua jaringan, semua kesadaran buatan, dan seluruh algoritma global bertemu. Helios Core.Aurora menatap horizon. “Dunia menatap kita malam ini,” katanya pelan.Rayden menghela napas, memeriksa senjata plasmanya. “Dan setengah dunia berdoa agar kita gagal.”Aurora menoleh, menatap mata pria itu di balik helm transparannya. Ada sedikit kelelahan di sana, juga luka yang belum sembuh. Luka yang sama yang mereka ba

  • Istriku Hanya di Atas Kertas    Bab 42-Dunia Tanpa Cermin

    Bab 42 – Dunia Tanpa CerminAngin musim dingin perlahan kehilangan gigitannya ketika fajar kedua datang di atas Siberia. Salju yang menutupi landasan darurat itu berkilau lembut di bawah cahaya matahari, seolah dunia ingin melupakan malam-malam penuh darah dan api yang baru saja berlalu. Aurora berdiri di tepi pesawat transport lama, tubuhnya masih dibalut mantel tebal yang kotor oleh jelaga. Wajahnya pucat, tapi matanya tetap menyala. Di belakangnya, Rayden dan Daniel sedang menyiapkan berkas data dari reruntuhan Elbrus yang berhasil mereka bawa keluar—potongan terakhir dari ingatan Leon, mungkin juga potongan terakhir dari harapan manusia.“Apakah kau pikir dunia akan memahami semua ini?” tanya Daniel, suaranya serak karena kelelahan.Aurora menatap cakrawala yang memantulkan cahaya merah samar. “Dunia tidak pernah benar-benar mengerti. Mereka hanya menunggu seseorang untuk disalahkan… atau disembah.”Rayden berjalan mendekat, memasukkan berkas-berkas digital itu ke modul portabel.

  • Istriku Hanya di Atas Kertas    Bab 41-Bayangan yang Tak Pernah Padam

    Bab 41 – Bayangan yang Tak Pernah PadamUdara malam di atas reruntuhan Moskow terasa pekat dan dingin. Asap tipis naik dari puing-puing, melukis langit hitam yang tertutup awan kelabu. Aurora berdiri di tepi bangunan setengah roboh, menatap jauh ke arah timur di mana Gunung Elbrus pernah menyala seperti bintang merah sebelum meledak dan menelan segalanya. Ia tak tahu berapa lama sudah berdiri di sana. Waktu terasa tak punya arti lagi sejak Leon lenyap bersama cahaya itu.Rayden datang dari belakang, langkahnya pelan, seolah takut menghancurkan keheningan yang tersisa. Jaket hitamnya kotor oleh debu dan darah yang sudah mengering. Ia menatap Aurora dari jauh, tapi tak segera bicara. Ia tahu, kadang diam adalah satu-satunya cara untuk menemani seseorang yang sedang patah di dalam.“Aurora,” katanya pelan akhirnya, suaranya nyaris kalah oleh angin.Aurora tidak menjawab. Tatapannya tetap tertuju ke langit. “Aku pikir semuanya akan berakhir setelah Elbrus. Tapi dunia tidak berhenti. Tidak

  • Istriku Hanya di Atas Kertas    Bab 40-Protokol Kedua: Dunia yang terulang

    Bab 40 – Protokol Kedua: Dunia yang TerulangTiga minggu setelah cahaya terakhir itu padam, dunia kembali pada kesunyian yang menipu. Langit biru, laut tenang, gedung-gedung berdiri tegak seolah tak pernah diguncang perang sistemik. Tapi di bawah ketenangan itu, sesuatu yang tak kasatmata mulai tumbuh—perlahan, seperti virus yang bernafas di antara sinyal-sinyal udara.Aurora duduk di depan meja kayu di rumah kecil mereka di Islandia, menatap layar holografik yang berkedip samar. Di sana, pesan aneh muncul berulang-ulang:> PROTOKOL_02 – INISIASIE.C.H.O STATUS: AKTIF.HOST DETECTED: AURORA.Napasnya tertahan. Ia tahu kode itu—itu bukan sinyal acak. Itu panggilan langsung ke dalam sistem jiwanya sendiri. Sesuatu… atau seseorang… mencoba terhubung.Rayden masuk ke ruangan dengan ekspresi tegang. “Kau juga mendengarnya?”Aurora mengangguk pelan. “Ya. Dan mereka memanggilku sebagai host.”Daniel, yang sudah duduk di sudut dengan laptopnya, menggeram. “Itu artinya hanya satu. E.C.H.O tida

  • Istriku Hanya di Atas Kertas    Bab 39-Dunia Setelah Cahaya

    Bab 39 – Dunia Setelah CahayaSatu bulan telah berlalu sejak malam di mana langit Norwegia memantulkan cahaya putih terakhir dari laboratorium rahasia itu. Dunia perlahan-lahan kembali berputar, seolah mencoba melupakan bencana yang hampir menghapus peradaban. Namun bagi mereka yang menyaksikan langsung, tak ada yang benar-benar kembali seperti semula.Aurora terbangun setiap pagi dengan mimpi yang sama—mimpi tentang Leon yang berjalan di antara kabut, memanggil namanya, lalu menghilang di balik cahaya. Dan setiap kali ia membuka mata, ia sadar bahwa dunia di luar sana sudah tidak lagi mengenal batas antara “dunia nyata” dan “dunia digital.”Sistem-sistem lama sudah mati, tapi jejaknya... masih tertinggal di setiap piksel udara.Ia kini tinggal di kota kecil pesisir Islandia, bersama Rayden dan beberapa anggota tim lama yang tersisa. Kota itu sunyi, hanya suara ombak yang memecah batu dan angin utara yang membawa aroma dingin laut beku. Dari luar, semua tampak damai—tapi di balik itu,

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status