Share

Istriku, Kekasih Abangku
Istriku, Kekasih Abangku
Author: Setiga

1. Permintaan Ibu

Author: Setiga
last update Huling Na-update: 2021-11-02 18:47:56

"Nak ... ibu ada permintaan ...."

 

 

Ravi yang tengah menyuapi ibunya bubur ayam, mendadak menghentikan pergerakannya. "Ada apa, Bu?" tanya Ravi dengan senyuman lembut kepada ibunya.

 

 

"Nak ... ibu ingin melihat kamu atau abangmu menikah," pintanya dengan suara lemah. Ia terbatuk-batuk sebentar, lalu berusaha kembali berbaring dengan nyaman.

 

 

Saking terkejutnya, Ravi tak menyadari ibunya yang sedang kesusahan dan terbatuk-batuk tersebut. Ia benar-benar terkejut, hingga terdiam, berusaha mencerna kata-kata ibunya.

 

 

 "Nak ... ibu mohon ...."

 

 

Ravi pun hanya tersenyum membalas permintaan ibunya. "Ibu ... Ibu sedang demam. Ibu jangan terlalu banyak berpikir, ya." Ia berucap lembut sambil menyuapi wanita yang paling dicintainya itu sesendok bubur. 

 

 

Sudah semalaman ibunya mendadak demam, ia khawatir dengan kondisi beliau, walaupun terlihat hanya sakit demam biasa.

 

 

Pikiran Ravi pun menerawang jauh ke masa silam, ketika ia duduk di semester tiga bangku perkuliahan. Ayahnya juga secara tiba-tiba berkata, ingin melihat salah satu dari anaknya untuk menikah. Namun, Ravi maupun abangnya, Rava, tidak menghiraukan permintaan ayahnya tersebut. Lagian, waktu itu mereka merasa masih terlalu muda untuk menikah. Beberapa minggu kemudian, ayah mereka pergi untuk selama-lamanya saat menjadi imam salat Isya di rumah mereka. Padahal, ayah mereka sehat, tidak memiliki penyakit sama sekali.

 

 

"Nak ... apa permintaan ibu berlebihan? Kalian sudah dewasa, juga sudah mapan," ungkap ibunya mengiba.

 

 

Ravi terdiam, hatinya tidak sanggup melihat ibunya memohon seperti ini.  "Baik, Bu. Ravi akan bicarakan dengan Rava. Ibu tenang saja, ya. Pasti kami turuti permintaan Ibu." Ravi menggenggam lembut tangan ibunya. Ia mampu merasakan suhu tinggi ibunya, yang menjalar ke telapak tangan. 

 "Kita ke dokter ya, Bu," pinta Ravi kemudian. Ibunya lagi-lagi hanya tersenyum, sambil menggeleng. Ravi semakin khawatir, sudah berkali-kali ia mengajak ibunya untuk ke rumah sakit, tetapi ibunya tetap tidak mau dibawa ke rumah sakit.

 

 

Ravi menghela napas pelan. Ia tersenyum kecil, menutupi kekhawatirannya. "Baiklah, Bu. Ibu sekarang istirahat, ya. Ravi beres-beres dulu di dapur," ujarnya sambil menyelimuti tubuh ibunya.

 

 

Ia pun berjalan keluar dari kamar. Pikirannya berkecamuk. Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan permintaan ibunya. Ia memiliki kekasih, dan juga sudah mapan. Namun, permintaan ibunya hanya terlalu mendadak. Ia belum berpikir untuk menikah sekarang, ia berencana untuk menikah tiga tahun lagi.

 

 

Ia memasuki dapur, lalu segera membereskan sisa-sisa peralatan sehabis memasak tadi, dan mencucinya. Sesudah beres-beres, Ia mengambil nasi, dan sepotong rendang ayam di dalam mangkuk. Ia duduk di meja makan dan memulai sarapan paginya.

 

Baru dua suap ia makan, ia langsung termenung. Jangan sampai hal yang sama terulang untuk kedua kalinya. Meski mengerikan, ia tidak bisa menepis perasaan bagaimana jika ini adalah permintaan terdalam dari ibunya, yang harus segera dikabulkan? 

 

 

Akhirnya, ia mengambil ponsel dari dalam saku celana. Ia tampak mencari sebuah kontak, dan menekan tombol memanggil.

 

 

 "Assalamu'alaikum, Va"

 

 

 W*'alaikumussalam. Ada apa?

 

 Suara dari seberang terdengar cuek dan angkuh. Ya, memang selalu begitu. Abangnya itu tidak pernah senang ketika ia menghubunginya.

 

 

 "Va ... gue mau ngomong"

 

 

Cepet, gue belum salat Zuhur nih, baru keluar kelas.

 

 

 "Ibu meminta salah satu dari kita untuk menikah."

 

 

Ravi menahan napas. Ia sudah menebak jawaban dari Rava, tetapi masih nekat untuk bertanya. Hening pun tercipta beberapa saat.

 "Va???"

 

 

Ya, sudah, lu aja yang nikah. Gak mungkin gue, 'kan? Jangan sampai lu ngecewain ibu.

 

 

 "Tapi ... Va?"

 

 

Lu mau gue berhenti kuliah? Come on brother, this is Oxford. Hidup mati gue.

Ravi terdiam. Benar juga. Abangnya sedang berkuliah di luar negeri, dengan universitas yang bagus dan jurusan yang sudah ia minati selama ini. Tidak mungkin abangnya itu mau meninggalkannya begitu saja.

 

 

Gue bakal nikah, tapi setelah lulus dari sini. And you know, insyaallah setahun lagi. Gak mungkin gue nikah, 'kan? Waktu makan aja gue sambilin sama buat tugas. Ayolah! Bahkan, kalau iya lu jadi nikah. Gue gak punya waktu untuk ke Indonesia.

 

 

Ravi terdiam. Benar juga. Abangnya pasti sangat sibuk menyelesaikan program magister-nya di The Black Country tersebut. 

 

 

 "Good luck, Va! Assalamu'alaikum."

 

 

Lu juga, good luck nyari istrinya. Ha-ha ... w*'alaikumussalam.

 

 

Ravi terdiam cukup lama. Ia tidak sengaja melihat layar ponselnya. Tampak waktu menunjukkan hampir pukul delapan pagi. Ia harus bergegas pergi bekerja. Ada jadwal mengajar melukis untuk anak Taman Kanak-Kanak hari ini.

 

Ravi mempercepat makannya. Ia mencuci piring sisa makannya kemudian. Tak lupa, ia berpamitan ke kamar ibunya dahulu sebelum berangkat bekerja.

 

 

 "Ibu ... Ravi tidak masalah, kok, jika harus libur bekerja."

 

 

 "Jangan, Nak. Ibu sungguh tidak apa-apa." Walau berkata tidak apa-apa, tetapi ibunya itu terlihat pucat dan terbatuk-batuk kecil.

 

 

 "Baiklah, Bu. Oya, Bu. Sebentar lagi, Bu Ati ke sini, Bu. Apa Ravi tunggu—"

 

 

 "Tidak usah. Kamu langsung saja berangkat bekerja. Jangan terlalu mengkhawatirkan ibu," potong ibunya cepat.

 

 

Ravi tampak berpikir sejenak. Ia ragu untuk meninggalkan ibunya, tetapi ibunya pasti akan marah jika mengabaikan ucapannya untuk tetap berangkat bekerja.

 "Baik, Bu." Ravi mencium puncak kepala ibunya. Mengelus pelan, dan menciumi punggung tangan ibunya. 

 

 

 "Nak ... tolong pikirkan permohonan ibu, ya. Kamu bisa ajak kekasihmu Risa untuk menikah. Karena Ibu tidak yakin, kalau Rava mau pulang ke Indonesia," pinta ibunya sambil tersenyum penuh harap.

 

 

 "Iya, Ibu sayang...." Ravi tertawa kecil. Permintaan ibunya sedikit membuat dirinya cemas.

 

 

 "Ravi berangkat kerja ya, Bu. Ibu cepat sembuh, kalau ada apa-apa, langsung telepon Ravi ya, Bu," ungkapnya lembut. Ibunya hanya tersenyum membalas ucapan anak bungsunya tersebut.

 

***

 

 

 

 

Saat ini, Ravi sedang bermenung di dalam mobil. Ia masih berada di parkiran halaman gedung Taman Kanak-Kanak, setelah tadi selesai melaksanakan tugasnya sebagai guru melukis kelas berbakat, yang ada di sana.

 

 

 Ravi memang memiliki jadwal untuk melatih anak-anak melukis di Taman Kanak-Kanak sebanyak satu kali dalam seminggu. Taman Kanak-Kanak ini pun bukan sembarangan. Ini adalah salah satu Taman Kanak-Kanak terbaik di Indonesia, dengan anak-anak pilihan. Ravi yang merupakan lulusan terbaik di salah satu Institut Seni ternama di Indonesia, sangat mudah mendapat pekerjaan. Ia mengerjakan semuanya, mulai dari perancang grafis, ilustrator, kurator, sampai melatih melukis anak-anak di Taman Kanak-Kanak, dan bahkan, ia memiliki sanggar melukis miliknya sendiri.

 

Ravi cukup sukses di usia mudanya. Ia menjalani hari-harinya sama seperti lelaki sukses kebanyakan, ia benar-benar banyak bekerja dan berlatih. Hitung-hitung mengasah kemampuannya agar semakin membaik.

 

Ia menolak bonus beasiswa S2 ke luar negeri untuknya--hadiah dari institut tempatnya menyelesaikan S1, karena berhasil menyelesaikan studi dengan predikat terbaik di kampus. Ia berpikir, jika dirinya keluar negeri, dengan siapa ibunya nanti akan tinggal. Ia tidak ingin ibunya di rumah sendirian. Ia sangat peduli dan menyayangi ibunya itu. Apalagi sekarang, hanya beliau satu-satunya orangtua yang dimiliki.

 

Sebenarnya, Ravi ... harus mengalah dengan abangnya, yang sangat ingin kuliah di luar negeri. Tidak mungkin mereka berdua pergi, dan membiarkan ibunya hidup sendirian di rumah, walaupun ibunya berkata tidak apa-apa.

 Munafik kalau ia bilang, ia tidak ingin melanjutkan kuliahnya ke luar negeri. Siapa yang tidak mau S2 gratis di Royal College of Art, Inggris? Itu impian terbesar Ravi. Namun, cintanya kepada keluarganya jauh lebih besar. 

 

Ravi mengambil hikmahnya. Toh, dia sukses sekarang dengan berbagai pekerjaan yang dilakukannya.

 

Setelah bermenung cukup lama, ia membenturkan kepala berkali-kali pada setir mobil. "Risa pasti gak mau," ungkapnya lemah.

 

Pasalnya, ia mengenal betul kekasihnya itu. Gadis cantik itu sangat berambisi menjadi model kelas dunia. Bahkan, ia pernah berkata kepada Ravi, bahwa ia tidak akan menikah sebelum wajahnya ada di halaman depan majalah bergengsi di dunia.

 

Waktu itu, Ravi tersenyum saja sambil menyemangati gadis itu. Lagian ia yakin, dengan kemampuan yang dimiliki, gadis itu akan mampu mencapai impiannya. Namun ternyata, keadaaan sedang mendesaknya sekarang.

 

 

 "Aku cinta Risa, selain dia, gak ada lagi gadis lain yang berani aku nikahi." Ia tampak berpikir. "Aku harus mencobanya."

 

 

Ia pun segera menyalakan mobil menuju kafe tempatnya dan Risa sering menghabiskan waktu bersama. Tempat favorit sekaligus menjadi saksi awal mereka bertemu. Tak butuh waktu lama, ia pun sampai di halaman kafe.

 

Kafe bergaya estetik dengan bangunan minimalis putih-cokelat. Kafe ini terdiri dari dua lantai--lantai kedua berupa atap yang terbuka bebas--, dengan kaca-kaca transparan sebagai dinding. 

 

Ravi segera menemui manajer kafe yang cukup akrab dengannya--karena sudah menjadi langganan sedari zaman kuliah. Ia merencanakan kerja sama, dengan menata kembali bagian atap kafe agar terlihat lebih romantis, hanya untuk hari ini. 

 

Ia mengambil tempat di sudut, dengan tambahan hiasan mawar merah dan lampu kecil-kecil. Bahkan, sepanjang anak tangga menuju atap, tersusun bunga mawar merah yang menjadi kesukaan Risa. Ia jadi teringat pertemuan pertamanya dengan gadis itu. Mereka bertemu di tangga, ketika kaki Risa keseleo karena sepatu bertumit tinggi yang dipakainya. Ravi membantunya naik ke atas dengan memapahnya. Waktu itu, mereka sama-sama datang sendiri, sehingga memutuskan untuk duduk dan menghabiskan waktu bersama. Tak disangka, dari obrolan-obrolan itu, mereka merasa cocok dan nyaman satu sama lain, hingga hubungan mereka terus berkembang.

 

Ravi tersenyum, berusaha menghilangkan rasa gugupnya. Ia telah menghubungi Risa, dan kekasihnya itu akan tiba setengah jam lagi. Ia sangat bersemangat.

 

 

***

Terima kasih telah membaca. :))

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Istriku, Kekasih Abangku   27. Pergi dari Rumah Ini!!!

    Ana berdeham kecil, ia merasa ada sesuatu yang mengganggu kerongkongannya. Matanya menyipit saat melihat ke sudut kanan bawah layar laptop yang menunjukkan pukul dua pagi.Ia menarik napas panjang sambil menyandarkan punggung di sandaran sofa. Rasanya sudah cukup untuk hari ini. Tiba-tiba, ia tercenung.Entah berapa lama ia seperti itu, sebuah suara dari arah dapur menyadarkannya. “Kamu, Vi?” tanyanya untuk memastikan.Tidak ada jawaban.Ia berinisiatif untuk melihatnya sambil membawa salah satu buku yang paling tebal di atas meja. Langkah kakinya terkesan pelan dan hati-hati, sebelah tangannya terangkat sambil menggenggam buku tersebut.Walau dari belakang, ia tahu jika seseorang yang saat ini berdiri memunggunginya di dekat kompor adalah sang suami. Ide jail untuk mengganggu pria itu pun muncul, ia berjalan mengendap-ngendap.“Dor!” seru Ana setengah berteriak sambil memukulkan pelan buku itu ke punggung Ravi.Ravi terlihat terkejut, sampai-sampai hampir menyemburkan air yang diminu

  • Istriku, Kekasih Abangku   26. Bertengkar Hebat

    “Tolong sapuan kuasnya … lebih halus lagi. Di bagian ini …,” komentar Ravi yang berhenti di sebelah salah satu muridnya. “Secara keseluruhan harus seimbang dengan paduan warna yang tipis.” Ia menoleh sebentar ke arah remaja perempuan enam belas tahun itu sambil tersenyum ramah. “Ya, kamu bisa.” Muridnya tersebut tersenyum lalu mengangguk. Dia melemparkan tatapan kagum ke arah Ravi yang berjalan meninggalkannya menuju murid lain. “Hm … poin dari teknik aquarel ini adalah sapuan yang tipis, transparan, dan tembus pandang.” Ia membungkuk, menyejajarkan tubuh dengan kanvas yang sedang dilukis oleh murid lelaki tujuh belas tahun. “Ini masih terlihat sebaliknya, bahkan di bagian ini menutup penuh latar belakang objek. Sepertinya kamu masih terpaku dengan teknik plakat yang terakhir kali kita pelajari.” “Ah, iya, Pak.” Remaja lelaki itu cengengesan. “Maaf, Pak. Padahal aku bertekad lulus tes universitas tanpa halangan,” keluhnya. “Aku akan banyak latihan lagi.” “Kamu pasti bisa.” Ravi ter

  • Istriku, Kekasih Abangku   25. Saran 'Kotor' dari Inka

    “Aduh!” Ana melompat-lompat agar mencapai bagian kaca jendela paling atas. Sudah banyak yang dikerjakannya--tentu saja dibantu sang suami--sebelumnya, dan kini tenaganya cukup terkuras. Tubuhnya sedikit tersentak ke belakang karena ada tangan lain yang berhasil mencapai bagian itu. Ia bisa merasakan seseorang berdiri tepat di belakangnya. “Lain kali kalau gak mampu, minta bantuan sama yang lebih mampu.” Suara berat itu membuat Ana merinding, jantungnya juga berdebar sekarang. “Sudah jelas tidak akan sampai, Pendek!” Baiklah, suara itu mulai terdengar menyebalkan. Ana pun berbalik, ia bisa melihat wajah suaminya walau harus mendongak karena ia hanya sebahu sang suami. “Berniat menolong, atau ngata-ngatain?” tanyanya menantang dengan mata menyipit. “Emosimu mudah terpancing,” kata Ravi dengan tawa kecil yang mengejek. “Tidak berubah.” Seketika Ana terdiam. Tidak berubah? Apa artinya Ravi masih mengingat sikapnya sedari masa sekolah dulu? Ia jadi merasa senang. “Kenapa?” Sebela

  • Istriku, Kekasih Abangku   24. Untuk Pertama Kalinya

    “Kamu mengejekku?” Mata Ravi menyipit memandangnya.Ana menggeleng. “Mengapa kamu selalu berprasangka buruk seperti itu?” tanyanya menantang. “Aku bersungguh-sungguh mengatakannya … suamiku seperti tokoh di dalam film.” Suaranya terdengar meyakinkan.“Film apa?” tanya Ravi hati-hati, masih memandang curiga.“Azab, enggak, ini … film Korea,” koreksi Ana cepat sebelum pria itu mengamuk. “Film Korea, tentu saja! Tidak perlu dipertanyakan lagi.”“Teruslah mengejekku.”“Aku tidak mengejek.” Ana menggosok telapak tangan dengan cepat, membersihkan permukaannya. Ia lalu menengadahkan tangan ke arah sang suami. “Seorang suami yang tampan dan kaya raya.” Senyumannya pun mengembang. “Bukankah selalu menjadi tokoh utama yang diidamkan semua penonton?”“Aih, selain hobi mengejek, kamu juga pandai menyanjung orang lain.” Ravi pun berdiri, ia telah menyelesaikan makannya. “Karena kemarin aku sudah membersihkan sampah camilan dan mempersiapkan sarapan, jadi kamu yang membersihkan semua ini. Aku mau m

  • Istriku, Kekasih Abangku   23. Tokoh-Tokoh di Dalam Film

    Suara keyboard beradu cepat dengan jari-jari tangan memenuhi ruangan yang sepi ini. Televisi menyala, tetapi tanpa suara. Gelas kosong dan sampah camilan hampir memenuhi meja, berantakan sekali.Ana meraih gelas di dekat laptopnya tanpa menoleh, ia masih fokus bekerja. Di rumah ia memiliki pekerjaan sebagai pekerja lepas, seperti menulis artikel untuk website dan menulis novel online. Memang banyak cara yang dilakukannya untuk mendapatkan uang.“Eh, kosong.” Ana menyadari gelasnya kosong, bahkan air di teko juga sudah habis. Ia pun memandang ke arah jam dinding yang berada di atas televisi. “Sudah pukul dua belas malam?!” Matanya melotot kaget, lantas segera mengecek ponsel. “Ravi tidak ada mengabari sama sekali. Ah, menyebalkan.”Kedua tangannya terangkat tinggi-tinggi untuk merenggangkan badan. Ketika sudah berada di depan laptop, ia bisa menghabiskan banyak waktu tanpa terasa. “Karena sudah malam, lebih baik berhenti. Besok pagi sekolah.”Ia beralih mematikan laptop, kemudian terli

  • Istriku, Kekasih Abangku   22. Senang Berbisnis Dengan Anda, Pak!

    Ana langsung berbalik pergi setelah mengatakan hal itu. Sedangkan Ravi terdiam, ia sedikit terkejut karena sikap dan perkataan istrinya meski ia tahu bahwa istrinya itu bukan tipe orang yang akan menerima saja jika merasa diperlakukan tidak baik. Bagaimanapun dulu mereka satu sekolah dan sempat dekat, sehingga ia cukup mengenalnya. Sama seperti surat perjanjian pra-nikah yang dulu mereka tanda tangani, itu untuk melindungi dirinya. Sekali lagi, dia bukan wanita yang mau tertindas.Baru lima langkah, Ana terdiam. Ia teringat nasihat ibunya--sebelum acara ijab kabul waktu itu--agar menjadi istri yang sholeha. Bukan hanya sang ibu, kakak, bahkan Inka--yang tadi malah menyuruhnya bertindak sebaliknya--juga memiliki nasihat yang sama. Seakan-akan mereka semua khawatir dan memiliki firasat jika ia tidak bisa menjadi istri yang baik. Meski diakui, ya, hal itu memang mungkin.Terdengar embusan napas berat yang cukup kuat dari Ana, hal itu menarik perhatian Ravi untuk memandang ke arahnya.“Ba

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status