"Kamu berani mengancam?" Mencengkram rahangnya sekuat tenaga, hingga dia meringis kesakitan.
"Kalau kamu berani mengadukan perbuatanku selama ini kepada papanya Luna, aku akan menjatuhkan talak tigaku kepada kamu, Reta!" Aku mengancam balik. "Sakit, Mas!" pekiknya seraya menitikkan air mata. Aku melepaskan cengkraman kemudian mencari buku pemilik kendaraan bermotor itu di laci lemari juga meja rias. Kosong. Tidak menemukan apa-apa di dalam sana, hanya ada beberapa kotak kontrasepsi yang dia simpan. Satu lagi rahasia Reta terbongkar. Ternyata selama ini dia tidak hanya berbagi raga dengan pria yang kemarin sedang bersamanya, melainkan dengan banyak laki-laki. Terbukti dengan penemuan kontrasepsi di laci lemari, dan selama ini aku tidak pernah menggunakan benda seperti itu saat tubuh kami menyatu. Sesal tiada bertepi karena sudah menyia-nyiakan berlian hanya demi serpihan kaca, yang diam-diam menusuk juga melukai. "Di mana kamu simpan BPKB itu, Reta?!" sentakku seraya menatap sinis wajahnya yang sudah terlihat sembab serta kuyu. Hening. Dia tidak mau menjawab. Hanya suara isak tangis yang ia buat-buat yang terdengar. Karena tidak menemukan apa-apa di kamar utama, aku kemudian mencoba mencari BPKB itu di kamar tamu. Namun, saat aku hendak menuju ke kamar tersebut, Reta malah mencegah dan menghadangku. "Kenapa aku tidak boleh ke kamar itu, Reta. Apa yang kamu sembunyikan di dalam sana?" tanyaku semakin meradang. "Nggak ada apa-apa, Mas. BPKBnya aku gadaikan kemarin buat biaya berobat Mama." Entah omongannya benar atau tidak, yang pasti saat ini aku sudah tidak percaya lagi dengan semua kata yang keluar dari mulut wanita itu. "Minggir!" Mendorong tubuh Reta, menyuruh dia menyingkir dari hadapanku. Aku kembali melangkah menuju pintu, memutar knopnya dan lagi-lagi mendapatkan kejutan dari perempuan berambut sebahu itu. Seprai begitu berantakan, ada pakaian laki-laki teronggok di lantai, juga melihat seperti ada seseorang melompat keluar melalui jendela. Pantas saja saat mendengar suara-suara aneh di dalam kamar ini dan ketika aku hendak membuka pintu tiba-tiba Reta sudah berada di belakangku. Ternyata, jendela kamar ini tidak memiliki teralis. Sehingga orang bisa keluar masuk kapan saja, sebab langsung menuju teras yang berhubungan dengan pintu samping rumah. Lagi-lagi dan lagi, menemukan bekas kontrasepsi di dalam kamar. Sepertinya kamar ini memang sengaja mereka gunakan untuk berhubungan ketika aku tidak ada, atau, justru saat aku ada di sini pun mereka diam-diam melakukannya. Menjijikkan. Menatap nyalang wajah Reta, emosiku kembali menyala-nyala seperti api yang sedang berkobar. "Katakan. Siapa yang tadi berada di dalam kamar ini?" tanyaku penuh dengan penekanan. "Nggak ada, Mas!" jawabnya dengan mimik ketakutan. "Katakan, Reta!!" Sentakku lagi. "Nggak ada, Mas. Aku dari tadi sendiri di sini. Tolong jangan bentak-bentak aku. Kalau kamu terus saja kasar, lebih baik aku pulang ke rumah ...." "Mau pulang ke rumah orang tua kamu?" Potongku kesal. "Silahkan. Bukankah aku sudah mengusir kamu?!" Kini ancamannya sudah tidak lagi membuat diri ini gentar. "Sekarang, kamu katakan, siapa laki-laki yang membersamaimu tadi?!" "Nggak ada, Mas!" Dia masih saja mengelak. Dengan kasar menarik tangan perempuan itu. Menyeretnya keluar dari rumah, sudah tidak sudi lagi memiliki istri seperti dia. Sudah pemalas, hobi selingkuh pula. "Mas, tolong jangan usir aku dari sini. Aku mohon. Kalau kamu mengusir aku dari sini, nanti aku akan tinggal di mana?" Reta mencekal kakiku dan bersimpuh. "Silahkan kamu tinggal bersama selingkuhan kamu itu, Reta!" Menyingkirkan tangan perempuan itu dengan kasar. "Aku nggak mau, Mas. Aku cintanya sama kamu!" "Bulsyit! Kalau kamu cinta sama aku, kamu tidak akan mungkin selingkuh, Reta. Kamu tahu sendirikan? Kalau aku itu pantang diselingkuhi!" "Tapi kamu juga sudah selingkuh, Mas. Kamu sudah mengkhianatiku dengan menikahi Luna!" "Dengar, Reta! Walaupun aku menikah dengan Luna, aku masih tetap memberi kamu fasilitas mewah. Aku selalu menuruti semua keinginan kamu, sampai lupa dengan tanggungjawab membahagiakan istriku Luna. Tapi sekarang, beginikah balasan kamu, hah?!" Melenggang masuk meninggalkan Reta yang sedang berteriak histeris, tidak perduli dengan beberapa pasang mata yanh sedang memperhatikan. Toh, mereka semua tahu apa yang sudah Reta lakukan di dalam rumah ini. Memasukkan laki-laki yang bukan suaminya, menjalin hubungan terlarang serta menyelami surga dunia dengan cara berzina. Kembali lagi masuk ke dalam kamar tamu, mencari apa yang sedang aku cari-cari, namun buku pemilik kendaraan bermotor itu tidak kunjung kutemukan. Di mana Reta menyimpannya. Apa dia benar-benar menggadaikan BPKB itu? Hampir dua jam mengacak-acak seluruh isi rumah, tidak ada barang berharga sedikitpun yang aku temukan, juga BPKB yang sedang aku cari. Membuat aku putus asa serta merasa pusing. 'Dari mana aku akan mendapatkan uang jika BPKB itu tidak ketemu. Tidak mungkin kan aku menjual mobil yang sedang aku pakai saat ini.' Bergumam sendiri dalam hati. Membuka tas Reta yang tergeletak di atas meja. Melihat isinya, dan ternyata hanya ada bedak dan beberapa alat rias lainnya yang aku tidak tahu apa itu namanya. Pun dengan dompet wanita itu. Hanya ada selembar uang dan beberapa buah kartu anjungan tunai mandiri di dalamnya. Mungkin di dalam benda pipih kecil ini ada beberapa saldo yang tersimpan. Tidak mungkin dia menghabiskan semua uang yang aku berikan, karena aku memberinya dengan jumlah yang cukup banyak. Reta masih saja berdiri di depan rumah saat aku keluar. Dia kembali memohon, memintaku agar memaafkan dan menerima dia kembali dalam kehidupan. Tidak sudi aku dengan perempuan kotor seperti dia. Takut tertular penyakit jika lama-lama berhubungan dengan wanita yang suka bergonta-ganti pasangan. "Minggir, Reta. Atau kamu aku tabrak!" Acamku, karena dia terus saja berdiri di depan moncong mobil. "Tabrak saja. Aku nggak takut!" Dia malah menantang. Menyalakan mesin mobil, menggerakkannya perlahan dan aku lihat tubuh Reta mulai menjauh. "Sekarang ancaman kamu sudah tidak mempan, Reta!" Bergumam sendiri sambil melajukan kendaraan roda empatku meninggalkan komplek perumahan dengan sejuta luka itu. Buk! Memukul stir dengan keras, merasa kesal dengan semua yang aku dapati. Air susu dibalas air tuba. Aku selalu memanjakan dia, malah dia balas dengan Pengkhianatan. Seperti ini kah yang kamu rasakan ketika melihat aku sedang bersama Reta, Luna. Sesakit ini kah luka yang aku torehkan di hati kamu? Tapi,kenapa dulu kamu selalu diam. Kenapa kamu tidak pernah memprotes. Terbuat dari apa hati kamu, Luna. Hingga kuat menghadapi sifat jahatku selama ini. Senyuman Luna kembali terbayang di mata. Bayang-bayang wanita itu terus saja menari-nari dalam benak. Rasa rindu perlahan menelusup kedalam qolbu, menghadirkan penyesalan yang begitu dahsyat dalam sanubari. Lunaku menangis. Dia telah aku sakiti. Aku harus menemuinya, bersujud di kaki Luna dan meminta maaf kepadanya. Aku harap dia masih mau memaafkan dan kembali hidup bersama. Aku terus saja melajukan mobil dengan kecepatan tinggi membelah jalanan kota. Tidak perduli bunyi nyaring klakson kendaraan lain, yang memprotes karena aku mengendarai mobil secara ugal-ugalan. Tanpa aku sadari mobil sudah berhenti di depan gerbang pemakaman. Merasa bingung sendiri, kenapa justru malah datang ke tempat seperti ini. Luna. Ya. Aku ingin menemui Luna. Kenapa malah jadi pelupa seperti ini? Ya Tuhan... Keluar dari dalam mobil. Berjalan terburu-buru menuju makam istriku yang selalu aku lukai. Entah sedang apa dia di alam sana. Apakah dia juga memikirkan aku. Atau, malah sudah bahagia dengan jodoh lainnya di alam keabadian. Luna, tolong jangan khianati aku. Jangan seperti Reta, Luna. Berdiri di depan gundukan tanah bertabur bunga-bunga, melihat Luna sedang berbaring di sana dengan wajah cantik memesona. Dia tersenyum. Memamerkan wajahnya yang ayu tanpa polesan. Ragu-ragu aku jalan menghampiri, berlutut di kakinya sambil berucap kata maaf. Namun, Luna hanya terdiam. Dia tetap saja membisu menatapaku yang sedang menangis tergugu. Apa dia tidak mau memaafkan aku? "Lun, maafkan Mas. Ampunilah semua kesalahan yang telah Mas perbuat kepadamu. Mas baru sadar sekarang, kalau ternyata hanya kamu yang tulus mencintai Mas. Maafkan Mas karena telah menduakan kamu. Mas berjanji, setelah ini Mas akan meninggalkan perempuan itu dan kita akan hidup bahagia!" Ucapku sambil mencium kakinya. Lagi. Luna hanya diam membisu. Menatapku dengan sorot penuh luka, tidak berucap sepatah kata apalagi menitikkan air mata seperti biasa. "Lun, jangan diam terus. Diam kamu itu sangat menyiksa batin Mas, sayang." Hening. Hanya suara angin yang berbisik di telinga. Disertai riuh suara burung saling bersahutan. Mereka seperti menertawakan. Mengejek diriku yang sedang diabaikan. "Lun," mengusap kepala perempuan itu dan menciumnya. "Apa kamu mau memaafkan suami kamu ini?" Mengusap pipinya yang rerasa sedingin es. Tetap membisu. Apakah dia sudah tidak lagi mau berbicara kepadaku? "Mas. Mas Fatur!" Terdengar seseorang memanggil serta menepuk pelan pundakku. Aku terkesiap dan segera menoleh. Luna sedang berdiri di belakangku, bersama seorang laki-laki bertubuh tinggi besar berada di sisinya. "Mas Fatur lagi ngapain?" Tanyanya sembari melengkungkan bibir. Aku berdiri lalu mendekati. Dan seperti biasa, dia malah beringsut menjauh saat aku ingin menyentuhnya. "Istighfar, Mas. Istighfar! Dia Lani, bukan Luna." Pria yang ada di samping Luna angkat bicara. Menahan tubuhku yang terasa limbung, juga kepala ini seperti sedang berputar-putar. Bumi tempatku berpijak seolah ingin menenggelamkanku, membuat dadaku terasa sesak dan sulit untuk bernapas.Atmojo terkikik melihat respon Suci. "Saya tidak sebejat itu, Suci. Saya hanya bercanda. Saya tidak mungkin melecehkan kamu. Saya sudah tua dan juga memiliki seorang putri. Saya tidak mau kelakuan bejatku berimbas kepada Lani."Suasana berubah menjadi hening. Ekor mata Suci melirik Atmojo sekilas, merasa kesal karena sudah berhasil dikerjai.***#FaturBerjalan melewati dua satpam yang berjaga, ingin masuk ke ruang NICU tempat dimana putri kecilku sedang di rawat. Aku ingin melihatnya malam ini, sebagai penghapus rindu kepada mendiang Luna ibunya."Maaf, Pak. Jam besuk sudah habis. Lebih baik Bapak datang lagi saja besok jam delapan pagi." Cegat salah satu seorang securty, ketika aku hendak masuk ke dalam."Tapi saya mau lihat anak saya, Pak. Masa harus nunggu sampai besok!" protesku tidak terima."Saya hanya mengikuti perintah dan peraturan rumah sakit, Pak."Hmmm...Ya sudahlah. H
Fatur duduk di teras rumah menatap indahnya sinar bulan yang berpendar di langit. Cahaya yang temaram, membuat dia kian merindukan mendiang istrinya. Ah, andai saja dulu tidak disia-siakan. Jika saja dulu menjadi suami yang setia kepada satu wanita, mungkin perasaannya sekarang tidak akan seperti ini. Mencintai dikala dia sudah tidak ada itu lebih sakit dari pada merasakan cinta yang bertepuk sebelah tangan.Sebab, sebesar apapun rindu yang dia rasa, tidak akan mungkin bisa bersua.Pelan-pelan Fatur memejamkan mata, membayangkan jika rembulan itu adalah Luna dan teruntai turun menghampiri dia, menyentuh pipinya dan mengatakan cinta seperti biasanya ketika dia masih ada di dunia.Lelaki dengan garis wajah tegas itu menghela napas dalam-dalam, mencoba merasakan kehadiran sang istri, tetapi tidak ada tanda-tanda kedatangannya. Bahkan wangi vanilla yang biasa menguar di udara tidak lagi tertangkap di indera penciumannya.
Sementara Lani. Dia sudah mulai aktif kembali ke kampus. Berusaha tersenyum walaupun getir yang dia rasakan dalam hati, mencoba menutupi luka yang mengaga di dada. Mungkin jika luka hatinya seperti luka bekas sayatan pisau, darah segar akan terus mengalir deras karena luka itu teramat dalam. Terlebih lagi, dia harus menghadapi hari penuh dengan cibiran serta bisik-bisik sumbang dari tetangga dan teman-teman kuliahnya, juga harus sering bersitatap dengan Sultan di kampus tempat dia menimba ilmu. Rasanya sudah seperti kulit sedang disilet-silet lalu disiram menggunakan air garam. Perih, sakit tak terperi. "Lan," Sultan menghampiri ketika Lani sedang duduk sendiri di taman, menikmati novel karya Emak Ida Saidah di sebuah grup literasi. Sebab karya-karya dialah salah satu hiburan dikala hatinya sedang dilanda gelisah. Lani mendongak sekilas, melihat siapa yang datang menghampiri kemudian kembali fokus kelayar laptop.
"Ma--Mama, kok ada di sini?" gagapnya sambil mengusap lembut pipi sang istri.Wajah Atmojo terlihat pias. Apalagi Faizah terus saja menatapnya. Pindaiannya begitu aneh seakan sedang menyelidiki apa yang sedang terjadi."Mama sengaja nyusul Papa. Soalnya Papa pergi dalam keadaan emosi. Mama itu paham betul sifat Papa seperti apa. Mama takut Papa berbuat macam-macam kepada Fatur. Makanya Mama kejar!" beber Faizah panjang lebar."Tadi Mbak Suci bilang apa sama Papa? Kenapa Papa terlihat marah sama dia?" Lagi, Faizah menanyakan masalah itu."Dia minta Fatur dibebaskan!""Kalau Fatur tidak bersalah ya kenapa harus ditahan, Pa?" "Dia sudah membuat kita malu!" "Makanya kita tanyakan dulu kepada dia. Apa motifnya melakukan tindakan seperti itu kepada Lani. Apa dia memang sengaja ingin menggagalkan pernikahan Lani, karena setahu Mama, Fatur itu selalu menganggap Lani sebagai Luna. Bisa saja dia terobsesi kepada Lani dan sengaja melakukan hal itu, Pa." Atmojo berpikir sejenak. Memang benar s
Setelah tamunya pergi, dengan kasar Atmojo membanting badan di atas sofa. Memijat kepala yang terasa berdenyut nyeri, sambil mencoba meredam emosi yang kian meninggi.'Fatur. Semua penyebabnya adalah Fatur. Kalau dia tidak melecehkan Lani, mungkin semua tidak akan seperti ini. Sialan. Kurang ajar memang itu anak!" Atmojo kembali meninju meja, tidak memperdulikan punggung tangannya yang terasa nyeri serta memar.Dengan amarah yang kian membuncah dia keluar dari rumah. Meminta supir pribadinya untuk mengantar dia ke kantor polisi, ingin memberi pelajaran kepada menantunya yang perlahan mulai dia benci.Sepanjang jalan umpatan-umpatan terhadap Fatur terus saja meluncur dari mulut Atmojo. Rasanya hanya dengan mengumpat saja dia belum merasa puas. Ingin memberikan pelajaran lebih kepada suami mendiang anak sulungnya, supaya tidak lagi berulah serta membuat hidupnya menjadi susah.Mobil sedan berwarna putih menepi di parkiran sebuah kantor polisi. Atmoj
Di rumah sakit.Lani masuk ke dalam ruangan khusus didampingi oleh Faizah untuk menjalankan visum.Pertama. Lani menjalani pemeriksaan menyeluruh mulai dari tekanan darah, denyut nadi, bukti adanya tindak kekerasan, penularan penyakit kelamin, hingga pemeriksaan fisik. Setelah prosedur itu dilakukan, seorang dokter perempuan menyuruh Lani berbaring dengan posisi kaki ditekuk, persis seperti orang hendak melahirkan. Wajah Lani terlihat memucat serta ketakutan. Akan tetapi Faizah serta pihak penyidik terus saja meyakinkan dia kalau semuanya akan baik-baik saja. Lani harus menjalani serangkaian pemeriksaan susuai prosedur, supaya bisa menjadi bukti di persidangan nanti.Dokter berhijab putih yang memeriksa Lani mengerutkan dahi saat memeriksa bagian sensitif gadis itu. Sementara Lani, selain merasa takut dan trauma, ia juga merasa sangat malu karena harus memperlihatkan auratnya di depan orang lain."Maaf, Bu. Sepertinya tidak ada tanda-tan