Share

Pengkhianat yang Dikhianati

Auteur: Ida Saidah
last update Dernière mise à jour: 2024-05-24 08:03:54

Membuka mata perlahan, mengerjap-ngerjap, menyesuaikan cahaya yang terasa begitu menyilaukan mata. Terus mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan bernuansa serba putih, dengan bau khas obat-obatan. Seulas senyum tergambar di bibir Bunda yang dipoles lipstik berwarna merah menyala, dengan mata menatap sendu wajah ini.

"Kamu sudah bangun, Tur?" tanya Bunda seraya mengusap lembut rambutku.

"Kenapa aku ada di rumah sakit, Bun?" Aku balik bertanya, menatap wanita yang telah melahirkanku tiga puluh tahun yang lalu dengan mimik bingung.

"Tadi Sultan dan Lani yang membawa kamu ke rumah sakit. Katanya kamu pingsan di pemakaman." Terang Bunda, mata bulat dengan bulu mata lentik tersebut tidak lepas dari wajahku.

"Luna mana, Bun. Tadi aku lihat dia sedang tidur di sana. Dia marah sama aku, Bun. Dia nggak mau maafin aku!" Menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari keberadaan Luna, siapa tahu dia ikut mengantar ke rumah sakit.

Kosong. Hanya ada Bunda di ruangan ini yang menemani. Sepertinya dia benar-benar marah serta kecewa kepadaku.

Mungkin memang benar aku yang salah, karena telah menduakan cintanya, menyia-nyiakankan dia, selalu berbuat kasar dan tidak pernah menganggap dia ada.

Luna. Aku merindukan kamu. Aku baru menyadari kalau ternyata pelan-pelan cinta itu menelusup begitu dalam ke dasar hati. Kembalilah, sayang. Jangan siksa batin dan perasaanku.

"Fatur, dengerin Bunda. Kamu harus ikhlas melepas kepergian Luna. Bunda tahu kamu begitu mencintai dan menyayangi dia. Tapi, kalau kamu terus-terusan seperti ini, kasihan Luna di alam sana. Dia jadi tidak tenang. Ikhlaskan kepergian istri kamu ya, sayang..." Kini mata teduh Bunda sudah mulai menganak sungai.

Ikhlaskan? Kepergiannya?

Otakku berusaha mencerna semua kata yang terucap dari mulut Bunda.

Astaghfirullahaladzim...

Aku lupa kalau Luna sudah tiada. Kenapa perasaanku menjadi kacau seperti ini. Mengapa terus saja berhalusinasi tanpa bisa mengendalikan diri. Dan, kenapa perasaan cinta mulai tumbuh justru setelah dia pergi menghadap ke haribaan Illahi.

Meraup wajah, berusaha menenangkan diri dan menepis segala rasa yang mulai singgah di dalam hati. Sedalam apa pun perasaan yang aku rasa, sebesar apa pun penyesalan dalam sanubari, tidak akan merubah keadaan sama sekali, apalagi membuat Luna kembali.

"Minum teh hangat dulu. Biar pikiran kamu sedikit tenang." Wanita berkulit bersih itu mengangsurkan segelas teh hangat dan segera kuteguk hingga tandas.

Setelah itu, duduk bersandar di dipan rumah sakit, menatap lurus ke depan terus menahan gejolak rindu yang kian tidak dapat aku tahan. Semakin berusaha melupakan Luna, bayangan itu seolah menari-nari dalam ingatan.

Aku selalu dihantui rasa bersalah serta penyesalan terdalam.

"Tur, mumpung lagi di rumah sakit, Bunda kepengen nengok anak kamu. Kamu Bunda tinggal di sini sendirian nggak apa-apa kan?" Bunda berujar sambil menyambar tas lalu berdiri.

"Aku ikut, Bun. Aku juga kangen sama putriku." Aku menyahut sambil berusaha bangun.

"Nanti Bunda pinjam kursi roda dulu sama suster. Takut kamu masih lemas."

"Nggak usah, Bun. Aku nggak apa-apa."

Berusaha berdiri, tetapi lantai yang aku pijak seolah bergerak-gerak. Kepala ini berputar-putar seperti gasing dan pandangan berkunang-kunang. Aku pun memutuskan untuk menuruti omongan Bunda, menggunakan kursi roda agar bisa melihat putri kecilku. Sebab, sudah dua hari tidak melihat dia, karena terus saja sibuk mengurus si Reta.

Entah mengapa menyebut nama Reta hati ini terasa sangat nyeri. Tercacah-cacah karena cinta yang selalu aku jaga telah dikhianati. Aku rela mengabaikan istri demi dia, malah justru pengkhianan yang aku dapatkan. Miris. Menjadi pengkhianat yang dikhianati.

Mungkin jika Luna masih ada, saat ini dia sedang menikmati kehancuranku, menertawakan keadaan karena dia merasa menang.

Ya, kamu memang sudah menang, Luna. Berhasil memporak-porandakan hatiku, sukses membuatku rindu dan menahan cinta yang tidak pernah akan tersampaikan.

Masuk ke dalam ruang NICU, menatap wajah tenang malaikat kecilku yang sedang terlelap di dalam inkubator.

Dia, bayi yang tidak pernah aku inginkan kehadirannya, bahkan beberapa kali menyuruh Luna untuk meluruhkan dia dengan alasan belum siap.

"Kenapa harus digugurkan, Mas. Janin ini berhak hidup. Dia berhak melihat dunia meskipun nanti nyawa aku yang jadi taruhan!" Ucap Luna sambil memegangi perut datarnya, beberapa menit setelah menunjukkan test pack bergaris dua dan aku menyuruh dia menggugurkan janin yang masih berusia sekitar satu bulanan itu.

"Aku belum siap menjadi seorang ayah, Luna. Masih ingin bebas. Bisa nambah beban serta pengeluaran nanti jika ada anak juga!" Sungutku sambil menghempas tubuh di atas kasur.

"Kan semua kebutuhan Papa yang memenuhi. Kamu tinggal berangkat ke kantor, uang dijatah sama Papa setiap bulan. Kenapa musti takut dibebani oleh anak, Mas. Lagian, anak itu amanah dari Allah. Dia menitipkan seorang anak di rahim aku, berarti Allah yakin kalau kita mampu. Soal rezeki mah sudah ada yang ngatur, Mas." Ocehnya panjang lebar, membuatku meradang dan langsung menarik kasar tangannya.

"Nggak usah sok bijak. Tidak perlu memberi nasehat kepadaku. Bosan denger kamu ceramah terus tau nggak!" Mendorongnya kasar kemudian pergi meninggalkan rumah untuk menemui Reta di rumah kostannya.

"Kenapa sih, Mas. Kok mukanya cemberut begitu?" Tanya Reta sambil mengalungkan lengan di leherku.

"Biasalah, kamu juga tahu." Jawabku malas.

"Kenapa nggak kamu ceraikan saja sih dia. Kamu betah banget hidup sama wanita yang katanya tidak kamu cintai. Apa, jangan-jangan sebenarnya kamu menyimpan rasa sama dia, tapi pura-pura tidak cinta kalau di depanku!" Reta memonyongkan bibir manja.

'Kalau aku melepas dia begitu saja, dari mana aku mendapat uang untuk membahagiakan hidup kamu. Kalau mengandalkan uang hasil percetakan itu tidak seberapa. Belum harus dibagi kepada Bunda dan juga Diva adikku.' Aku menggumam sendiri dalam hati. Memeluk pinggang ramping Reta, mengajaknya masuk ke dalam kamar, menyalurkan kebutuhan batin yang jarang aku tunaikan dengan Luna.

Entahlah, walaupun Luna pasangan halalku, tetapi kurang bergairah jika melihat dia. Hanya saat-saat mendesak dan ketika Reta tidak bisa melayani saja aku meminta jatah kepada wanita itu. Menuntut hak biologis, karena tidak mampu berlama-lama menganggur.

Jika dengan Reta. Perasaan itu menggebu-gebu, ditambah lagi rasa takut jika pemilik kos tahu kalau aku diam-diam menyelinap masuk ke dalam kamar kost Reta, melakukan hubungan terlarang bersama dia, menyelami samudera dosa hingga terlelap dalam dekapan kekasih hatiku.

"Mas. Kapan kamu akan menikahi aku. Jangan ingkar janji, loh. Kita sudah sering melakukannya, tetapi kamu nggak mau nikahin aku. Nanti kalau aku hamil bagaimana?" Tanya Reta sembari bergelayut manja di pundakku, ketika baru saja terjaga dari lelapnya tidur.

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application
Commentaires (1)
goodnovel comment avatar
Zhen Zhen
kalau luna meninggal trus gmn ni cerita
VOIR TOUS LES COMMENTAIRES

Latest chapter

  • Istriku Meninggal Saat Aku Sedang Selingkuh   Isi hati Luna

    "Lepaskan saya, Pak. Jangan perlakukan saya seperti seorang penjahat!!" menepis tangan satpam yang memegangi dengan kasar."Kamu jangan pernah datang lagi ke sini, Fatur. Atau kamu tidak akan pernah bertemu dengan putri kamu untuk selamanya!" tekan Papa. Mata elangnya tidak lepas dari wajahku, menatap bengis penuh dengan kebencian."Tapi Alessa anak saya, Pa. Saya yang lebih berhak mengasuh dia. Bukan Papa ataupun Mama!" Papa mengangkat satu ujung bibir. Tertawa renyah seolah ada yang lucu dengan perkataanku."Apa kamu bisa membayar biaya pengobatan Sekar, Fatur?" "Namanya Alessa, Pa. Luna yang memberi nama. Bukan Sekar!" protesku, tidak terima Papa memberi nama anakku tanpa persetujuan dariku.Lagi. Papa terkekeh. Dia menatap mencemooh ke arahku, seolah tidak percaya dengan semua yang terucap dari bibir ini."Kamu itu sudah setengah gila, Fatur. Jadi apapun yang keluar dari mulut kam

  • Istriku Meninggal Saat Aku Sedang Selingkuh   Part 31

    Aku hanya bisa menelan saliva yang terasa mengganjal di tenggorokan. Jika memang Papa menginginkan aku keluar dari rumah ini, aku akan segera melakukannya. Tidak mau melawan ataupun protes, sebab hunian yang sedang ditempati memang bukan milikku. Istana ini milik Luna, hadiah dari Papa ketika kami baru saja menikah. "Oh, ya, Fatur!" Papa menghentikan langkah. "Jangan lupa lupa kalung berlian serta barang-barang berharga milik Luna segera kamu serahkan ke Papa. Mau Papa jual dan Papa hibahkan ke orang-orang yang membutuhkan!" ujarnya lagi tanpa menoleh. "Iya, Pa." jawabku patuh. Aku terus saja berdiri memaku menatap punggung Papa hingga dia tidak terlihat lagi. Kenapa cobaan begitu bertubi-tubi menderaku? Dengan cara apa harus mendapatkan uang untuk membeli kalung berlian Luna yang memang tidak pernah ada. Menyesal kenapa dulu sering berbohong, mengambil sejumlah uang dari perusahaan h

  • Istriku Meninggal Saat Aku Sedang Selingkuh   Alessa?

    Masuk ke dalam mobil, memasang sabuk pengaman dan segera menyalakan mesin kendaraan roda empatku. Bunda terlihat kurang yakin ketika perlahan mobil yang sedang aku kemudikan keluar meninggalkan parkiran pekuburan, merasa khawatir kalau anaknya tidak konsentrasi mengemudi dan menabrak kendaraan lainnya.Padahal, tidak mungkin aku akan menabrak. Sudah hapal cara nenyetir, sebab sejak sekolah menengah atas Ayah sudah mengajarkannya kepadaku.Dengan kecepatan sedang kulajukan mobil yang pernah kuhadiahkan kepada Reta ini. Jalanan begitu lengang karena belum ada aktivitas di kota. Hari masih terlalu gelap. Jarum pendek jam masih menunjuk ke angka setengah dua dini hari.Setelah sampai di rumah. Gegas diri ini masuk ke dalam kamar, merebahkan bobot tanpa menggati pakaian dan segera memejamkan mata menjemput lelap serta berharap bertemu istri di dalam mimpi.***Alarm di atas meja terus saja menjerit-jerit. Entah mengapa

  • Istriku Meninggal Saat Aku Sedang Selingkuh   Sebuah Penyesalan

    Atmojo terkikik melihat respon Suci. "Saya tidak sebejat itu, Suci. Saya hanya bercanda. Saya tidak mungkin melecehkan kamu. Saya sudah tua dan juga memiliki seorang putri. Saya tidak mau  kelakuan bejatku berimbas kepada Lani."Suasana berubah menjadi hening. Ekor mata Suci melirik Atmojo sekilas, merasa kesal karena sudah berhasil dikerjai.***#FaturBerjalan melewati dua satpam yang berjaga, ingin masuk ke ruang NICU tempat dimana putri kecilku sedang di rawat. Aku ingin melihatnya malam ini, sebagai penghapus rindu kepada mendiang Luna ibunya."Maaf, Pak. Jam besuk sudah habis. Lebih baik Bapak datang lagi saja besok jam delapan pagi." Cegat salah satu seorang securty, ketika aku hendak masuk ke dalam."Tapi saya mau lihat anak saya, Pak. Masa harus nunggu sampai besok!" protesku tidak terima."Saya hanya mengikuti perintah dan peraturan rumah sakit, Pak."Hmmm...Ya sudahlah. H

  • Istriku Meninggal Saat Aku Sedang Selingkuh   Kekhawatiran Seorang Ibu

    Fatur duduk di teras rumah menatap indahnya sinar bulan yang berpendar di langit. Cahaya yang temaram, membuat dia kian merindukan mendiang istrinya. Ah, andai saja dulu tidak disia-siakan. Jika saja dulu menjadi suami yang setia kepada satu wanita, mungkin perasaannya sekarang tidak akan seperti ini. Mencintai dikala dia sudah tidak ada itu lebih sakit dari pada merasakan cinta yang bertepuk sebelah tangan.Sebab, sebesar apapun rindu yang dia rasa, tidak akan mungkin bisa bersua.Pelan-pelan Fatur memejamkan mata, membayangkan jika rembulan itu adalah Luna dan teruntai turun menghampiri dia, menyentuh pipinya dan mengatakan cinta seperti biasanya ketika dia masih ada di dunia.Lelaki dengan garis wajah tegas itu menghela napas dalam-dalam, mencoba merasakan kehadiran sang istri, tetapi tidak ada tanda-tanda kedatangannya. Bahkan wangi vanilla yang biasa menguar di udara tidak lagi tertangkap di indera penciumannya.

  • Istriku Meninggal Saat Aku Sedang Selingkuh   Menangislah

    Sementara Lani. Dia sudah mulai aktif kembali ke kampus. Berusaha tersenyum walaupun getir yang dia rasakan dalam hati, mencoba menutupi luka yang mengaga di dada. Mungkin jika luka hatinya seperti luka bekas sayatan pisau, darah segar akan terus mengalir deras karena luka itu teramat dalam. Terlebih lagi, dia harus menghadapi hari penuh dengan cibiran serta bisik-bisik sumbang dari tetangga dan teman-teman kuliahnya, juga harus sering bersitatap dengan Sultan di kampus tempat dia menimba ilmu. Rasanya sudah seperti kulit sedang disilet-silet lalu disiram menggunakan air garam. Perih, sakit tak terperi. "Lan," Sultan menghampiri ketika Lani sedang duduk sendiri di taman, menikmati novel karya Emak Ida Saidah di sebuah grup literasi. Sebab karya-karya dialah salah satu hiburan dikala hatinya sedang dilanda gelisah. Lani mendongak sekilas, melihat siapa yang datang menghampiri kemudian kembali fokus kelayar laptop.

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status