"Za!"
"Mama? Tumben ke kantor pagi-pagi gini?" "Kenapa? Tidak boleh kah mama ke sini?" Wanita dengan dandanan menor itu, meletakkan tas mahalnya di atas meja kerja Reza dengan begitu hati-hati. Seolah-olah, tak ingin benda itu lecet sedikitpun. "Ada apa?" tanya Reza cepat. Masih banyak urusan yang harus diselesaikan, sebelum dia mengambil cuti selama seminggu nantinya. "Persiapan pernikahan kamu sudah beres semua ‘kan?" tanya wanita itu, membenarkan letak kacamatanya agar jelas menatap ke arah sang anak. Mendengar itu, Reza yang sibuk dengan pekerjaannya langsung mendongak dengan cepat. "Pelankan suara Mama," pintanya dengan suara tertahan. "Kenapa? Apa kamu masih belum ingin memberitahu Ayu? Istri mandulmu itu?" ucapnya dengan suara sinis. Reza mendesah kesal. Sebelah tangannya mencengkram bolpoin yang dia pegang saat ini, dan sebelah tangannya lagi, mencengkram pinggiran meja. "Jaga ucapan Mama!" ucapnya dengan dada yang bergemuruh hebat. Mencoba menahan gejolak emosi yang sudah siap meledak. "Ck! Udah nggak bisa kasih keturunan, masih saja dipertahankan!" desisnya. "Ma, udah lah. Jangan menjelek-jelekkan istriku. Aku sudah mengorbankan pernikahanku, dengan menuruti keinginan Mama!" ucapnya yang tak bisa lagi menahan kekesalannya. "Reza, ini semua juga demi kebaikan kamu. Mama yakin, suatu saat nanti, kamu pasti akan berterima kasih sama mama!" Wanita itu meraih tasnya. Keluar dengan langkah lebar, tanpa mengatakan apapun lagi. "Lho, Mas? Mama kenapa?" Suara lembut itu membuat Reza dengan cepat merubah ekspresinya. Buru-buru dia berdiri, menghampiri wanita cantik yang kini masih berdiri di ambang pintu. Sepertinya, dia tadi berpapasan dengan ibu mertuanya. "Ada sedikit masalah, Sayang. Tapi, udah selesai, kok!" "Masalah apa?" "Sudahlah. Ayo, masuk!" "Ta—" "Kamu bawa apa ini?" potong Reza cepat, mengalihkan perhatian sang istri. Ayu tersenyum tipis. "Bawa sarapan. Kamu tadi kan belum sempat sarapan!" "Ayo! Kita sarapan bareng!" ~~~ "Rin!" Seruan itu membuat Arinda langsung menoleh dengan cepat. Dia tersenyum lebar, saat mendapati Ulfa datang dengan Sri, kawan lamanya juga. "Hey! Sini mampir dulu!" Arinda melambaikan tangannya dengan begitu semangat. Dua orang kawan lama Arinda langsung mendekat dengan sepeda motornya. "Selesaikan dulu itu pekerjaan kamu. Pamali, kalau nyapu nggak dilanjut," celetuk Sri, melirik ke arah sapu yang ada digenggaman Arinda. Arinda menepuk jidatnya. "Ah, iya! Sebentar, ya! Kalian duduk aja dulu, aku selesaikan ini dengan cepat!" Baik Sri maupun Ulfa, langsung mengangguk cepat. Duduk di teras rumah sembari memperhatikan Arinda yang menyapu halaman rumah dengan cepat. Hujan angin semalam, merontokkan daun pohon mangga yang ada di depan rumahnya. "Rin, rujakan, yuk?" ajak Ulfa, yang ternyata sudah berada tak jauh dari tempat Arinda berdiri. Dia tengah memamerkan mangga muda yang sedikit penyok di tangan kirinya. Arinda mengangguk cepat, mengingat dia masih memiliki beberapa buah di dalam rumah. "Boleh. Aku ambilkan teman-temannya dulu!" Arinda melesat dengan cepat ke dalam rumah. Tak lama, Sri ikut menyusul Arinda. Dia ikut membantu temannya itu membawa bahan-bahan rujakan ke teras rumah. "Kalian tadi habis dari mana?" tanya Arinda, memulai percakapan sembari tangannya dengan cekatan mengupas mangga muda. "Dari pa—" "Astaga! Kan tadi kita beli gorengan juga, Sri!" pekik Ulfa yang bergegas menuju motornya berada, memotong ucapan Sri yang belum selesai. Gegas mengambil kantong kresek yang rupanya isinya adalah gorengan. "Lupa!" Sri nyengir. "Udah pada sarapan ‘kan?" tanya Arinda, menatap tidak sabar ke arah cobek di depannya. "Sudah, dong!" Ketiganya mulai menyuap ke dalam mulut masing-masing. Pedas memang, terlalu pedas malahan. Tetapi, mulut mereka seolah menolak untuk berhenti mengunyah. "Rin, kamu serius mau nikah, nih?" tanya Sri, mencoba mengorek informasi yang dia dapatkan dari Ulfa. Memang tidak banyak yang tahu. Karena Arinda sendiri memang tidak menyebar undangan. Pikirnya, dia akan mengajari kawan-kawannya menjelang harinya nanti. Arinda mengangguk antusias. "Kurang dari dua minggu ini, Sri!" jawabnya sembari mengusap peluh di wajahnya. "Ngomong-ngomong, aku belum tahu calon suami kamu, lho. Boleh lihat dulu nggak, sih?" ucap Sri dengan kedipan matanya. Seperti ada maksud terselubung dari tatapan matanya itu. "Besok juga kalian tahu, kok!" sahut Arinda, menyudahi acara makannya karena sudah tidak sanggup. Sri mencebik, kecewa. "Lama atuh, Rin. Kita kan juga penasaran. Masa harus nunggu dia datang ke sini, sih?" "Iya, nih. Padahal, kita kan temen baik, ya, Sri?" imbuh Ulfa dengan muka ditekuk. Arinda menggigit bibirnya, merasa tak enak hati dengan ekspresi kedua temannya. "Bukan gitu …." Berpikir sejenak, sebelum akhirnya Arinda bangkit dari duduknya. "Bentar. Aku ambil ponsel dulu!" ucapnya yang mulai berjalan masuk ke dalam rumah. Sri dan Ulfa saling tatap. Sebelum akhirnya, keduanya tersenyum lebar. "Kamu yakin nih, adik ipar kamu tahu calon suaminya Arinda?" bisik Ulfa lirih, matanya terus menatap awas ke dalam rumah. Takut tiba-tiba Arinda muncul dari dalam sana. Sri terlihat ragu. "Semoga aja tahu, ya, Fa," ucapnya sembari meremas jari-jemarinya. Mereka berdua kembali terdiam, saat suara langkah kaki Arinda mulai terdengar. Beberapa detik kemudian, gadis itu sudah muncul di ambang pintu dengan ponsel di tangannya. Arinda kembali duduk di tempatnya tadi. Mulai mengutak-atik ponselnya sebentar. Sebelum akhirnya, menunjukkan layar ponselnya yang menyala kepada teman-temannya. "Ini calon suami aku, Guys. Namanya Mas Ardi," jelas Arinda dengan senyum di wajahnya. Ulfa dan Sri saling tatap. Merasa Arinda begitu mencintai laki-laki bernama Ardi itu. "Neng, bisa bantu bibi sebentar?" seru Nuriyah dari dalam rumah. Arinda langsung menoleh. "Iya, Bi!" Dia langsung beranjak, melupakan ponselnya yang masih berada di tangan Sri. Ulfa langsung menepuk tangan Sri. "Buruan, keburu Arinda balik!" ucapnya dengan nada mendesak. Sri mengangguk, mengeluarkan ponselnya sendiri. Dia langsung mengirimkan gambar yang dia ambil dari ponsel Arinda ke nomor adik iparnya. "Jangan lupa hapus riwayat kirimnya!" titah Ulfa mengingatkan, tentunya sembari berbisik pelan. Sri hanya mengangguk, meletakkan ponsel Arinda di sebelahnya. Bersikap seolah-olah mereka tidak melakukan apa pun sepeninggal Arinda tadi. Arinda kembali keluar. "Rin, ponsel kamu. Kayaknya, kita juga mau balik, nih. Mau masak buat makan siang nanti," ucap Ulfa, merapikan sisa-sisa bahan rujakan mereka. "Aku juga mau belanja dulu, nih," sahut Arinda, merapikan jilbabnya yang sedikit meleyot. "Oke, deh. Besok kita ke sini lagi, ya!" timpal Sri yang juga ikut beranjak. Keduanya langsung naik ke atas motor. Kendaraan roda dua tersebut langsung meluncur pelan. Sementara Arinda, masih menunggu kedua temannya menghilang di belokan depan sana. Setelahnya, dia baru berjalan melangkah ke warung Bu Rahayu. Tiba di belokan depan sana, Sri menghentikan laju motornya. Menepikan kendaraan tersebut di depan rumah tetangganya. "Kenapa, Sri?" tanya Ulfa, melongok ke depan. "Kayaknya ada pesan masuk. Aku cek bentar!" ucapnya sembari merogoh ponsel yang ada di dalam tas kecilnya. Ulfa hanya manggut-manggut saja. Berharap pesan balasan itu adalah dari adik ipar Sri. "Fa, Wina yang kirim pesan!" seru Sri sedikit berteriak. Mata Ulfa melebar. "Apa katanya?" Sri membuka pesan tersebut, dengan Ulfa yang ikut membaca di belakang sana. [Itu Pak Reza, Mbak. Dia bosnya Mas Wisnu. Kenapa Mbak tanya Pak Reza?] Begitu isi pesan yang Wina kirimkan ke nomor Sri. "Kok, Reza, sih? Apa adik ipar kamu salah orang, Sri?" Belum sempat Sri membalas pesan tersebut, satu pesan dari Wina kembali masuk ke ponselnya. Membuat mata keduanya hampir keluar dari tempatnya saat membaca isi pesan kedua tersebut. [Jangan kepo sama Pak Reza, deh, Mbak. Dia udah ada bini soalnya!]"Sudahlah, Sayang. Nanti kamu juga akan ketemu sama mereka lagi pas balik ke desa," ucap Ardi, menenangkan. Arinda mengangguk. Namun, tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Dia kecewa, karena semuanya tidak seperti yang dia harapkan. Harusnya, dia bisa berpamitan dengan teman-temannya terlebih dulu. "Entah kapan aku bisa kembali ke desa," batinnya. "Apa Mas Ardi sengaja memajukan jadwal kita karena ingin segera bertemu dengan wanita itu? Atau memang Mas Ardi benar-benar ada urusan?" batin Arinda kembali bertanya-tanya, menatap sebentar ke arah suaminya itu. Entahlah. Rasanya, sekarang dia mulai tidak percaya kepada laki-laki yang duduk di sebelahnya saat ini. Padahal, dia tidak pernah merasakan hal ini sebelumnya. Arinda memejamkan matanya, menghalau rasa sesak di dadanya. "Tenanglah, Rin. Semuanya akan baik-baik saja!" ~~~ Sampai di kota. Mobil yang membawa
Arinda melongo sejenak. Mengerjapkan matanya untuk mencerna apa yang baru saja dia dengar itu. "A–apa? Dia tidak meminta haknya malam ini?" batinnya sedikit bingung. Lagi-lagi mereka tidak seperti pasangan suami istri baru yang lainnya. "Tidurlah, istirahat!" Ardi menepuk ranjang di sebelahnya, memberikan kode agar Arinda segera mendekat. Arinda menurut, naik ke atas ranjang tanpa melepaskan penutup kepalanya. Ia merebahkan tubuhnya di ranjang itu dengan canggung. Tidak ada percakapan, hanya hening yang mengisi ruangan sempit itu. Dan Ardi tampaknya juga sudah terlelap tak lama Arinda naik. Arinda menatap suaminya yang sudah memejamkan matanya. Dengkuran halus mulai terdengar, pikiran Arinda kembali bercabang. Malam pertamanya, sangat jauh dari yang dia bayangkan. "Apa ini? Apa ada sesuatu yang dia sembunyikan?" "Bahkan, dia enggan menyentuhku?" batinnya dengan mata yang terasa p
"Aarrgh!"Brak!Pyar!Sampai di rumah, Ayu membanting semua yang ada di meja riasnya. Skincare, alat-alat makeup, parfum dan semua yang ada di sana jatuh ke lantai, pecah berserakan. Hancur menjadi bagian yang sudah tak bisa digunakan lagi."Hiks! Tega kamu sama aku, Mas!""Jahat kamu, Mas! Jahat!" teriak Ayu histeris. Dia menangis meraung-raung, kembali melempar sprei di atas ranjangnya beserta semua yang ada di sana.Sekali lagi, Ayu menjerit keras. Meluapkan semua sesak yang ada di dadanya. Hatinya begitu nyeri, seperti ada ribuan duri yang menancap di sana."Hah!" Napas Ayu tersengal. Tubuhnya mulai lelah, tak bertenaga. Dan akhirnya, dia jatuh ambruk ke lantai. Terduduk dengan memeluk lututnya sendiri, sembari terus menangisi nasibnya yang begitu malang."Sepuluh tahun, Mas. Akhirnya, kamu sudah tidak bisa menahan rasa itu hanya untuk aku saja," gumam Ayu terdengar pilu."Rasanya, sungguh tidak bis
"Tolongin Arinda, Mas. Kayanya, calonnya bukan orang baik-baik deh," lanjut Sri lagi, masih dengan berbisik."Kenapa Sri dan ibu bisa berpikiran yang sama, ya?" batin Dika dengan kening mengkerut."Kenapa kamu ngomong gitu, Sri? Kamu kenal sama calonnya Arinda?" tanya Dika balik. Dan bisa-bisanya, dia juga ikut berbisik seperti yang Sri lakukan.Sri menggeleng lemah. "Sebelum aku kecelakaan, aku sempat tanya sama Wina, Mas. Aku kirim foto ke dia.""Dan Wina bilang, foto yang aku kirim itu ... adalah atasan Mas Wisnu!Dika terkejut mendengarnya. Walau dia sendiri tidak tahu seperti apa rupa wajah atasan Wisnu itu."Ah. Mungkin, cuma kebetulan mirip aja kali, Sri. Kita kan memang punya tujuh kembaran di muka bumi ini!" Akhirnya, hanya kalimat itu yang keluar.Sri manggut-manggut, ikut membenarkan. "Tadinya, aku juga mikir gitu, Mas. Tapi, Wina mendadak aneh setelah lewat rumah Pak RT tadi. Dan sekarang, dia malah udah bali
"Kamu serius mau balik ke kota sekarang, Win?" Sri bertanya saat Wina tengah menyapukan bedak ke wajahnya.Wina melirik Sri dari kaca besar yang ada di depannya saat ini. Sri terlihat menyilangkan kedua tangannya di depan dada, dengan tubuh yang bersandar di pintu kayu yang warnanya bahkan sudah pudar.Merasa diperhatikan, Sri melangkah mendekati Wina. Berdiri tepat di sisi adik iparnya itu. Menatap Wina dengan tatapan menyelidik."Win? Bukannya kamu pengen banget menghadiri pernikahan Arinda?" tanya Sri lagi, sedikit mendesak agar Wina lekas bersuara dan menjawab kebingungannya.Wina menutup bedaknya, meletakkannya dengan hati-hati di dalam tas. Dia mengambil lipstik, menyapukan benda itu ke bibirnya.Masih berusaha mengabaikan keberadaan Sri yang masih menunggu jawaban dari dirinya. Walau hatinya sendiri sedang bergejolak hebat saat ini. Rasanya, dia ingin mengeluarkan semua beban yang dia dapatkan secara dadakan ini. Membaginya dengan
"Bu?"Dika terbangun saat hari sudah hampir petang. Dia celingukan, mendapati kamarnya yang masih dalam keadaan gelap."Aduh, jam berapa ini?" keluhnya beranjak dari ranjangnya dengan sempoyongan.Dia belum mengisi perutnya sejak pulang ke rumahnya kembali. Dan seharian ini, dia menghabiskan waktunya untuk tidur saja. Pantas saja kalau dia merasa kelaparan saat ini.Ctek!Bukan hanya kamar Dika saja yang gelap. Tetapi, seluruh rumah dalam keadaan gelap. Tak ada tanda-tanda keberadaan sang ibu di dalam rumah sederhana ini."Ibu belum pulang, kah?"Dika kembali berjalan. Menghidupkan semua lampu di rumahnya. Setelahnya, dia membuka pintu depan. Masih celingak-celinguk di depan rumahnya.Tiba-tiba, Dika teringat dengan calon Arinda yang menurut ibunya, sekarang menginap di rumah Pak RT."Ah, sial! Aku jadi tidak bisa mengorek informasi tentang calon Arinda!" keluhnya, menyesal karena sudah tidur seharian.